Kamis, 27 Oktober 2011

tentang "Ayah"


Ini tentang ayahku.
      Sebenarnya aku terbiasa memanggilnya dengan sebutan ‘bapak’. Tapi tak apa lah. Di kesempatan tulis-menulis ini aku akan memanggilnya dengan panggilan ‘ayah’. Biar lebih syahdu, begitu. (hi.hi. ngalem banget..)
         Mungkin kau sudah tahu, Dee. Bahwa ayahku adalah putera ketiga (sebenarnya ke-enam. Tapi ketiga kakaknya wafat ketika masih kecil) dari pasutri bernama Rohaman dan Saneh. Ayahku sendiri bernama Abdul Tomik. Dan cukup dipanggil dengan nama ‘tomik’. Tentang namanya ini, ada beberapa temanku yang suka mengisengiku dengan banyolan seperti ini, “ayo..yang batuk.. yang batuk.. minum di’Tomik’ saja yah.. dijamin ampuh!”. ha.ha. sebel sih iya. Tapi lucu juga kok.
         Ayahku adalah seorang ekstrovert. Dan ia memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang kehidupan. Seluas samudera yang menyelimuti bumi ini, kukira. (halah...alay.com) yah. Boleh juga kan kubilang pengetahuannya seluas samudera. Mengingat tanggal kelahirannya di 20 Januari 1967 itu mutlak menjatuhkannya pada zodiak aquarius. Nyambung kan?? He.he..

      Jadi, kembali pada ayahku.
      Ayahku memiliki pandangan hidup yang tegas. Apalagi soal disiplin. Entah itu tentang waktu ataupun hal remeh-temeh lainnya. Bila ayah mengajak pergi ke luar (misal) pukul 08.00. maka kami yang diajaknya harus sudah siap setengah jam sebelum jam on-nya. Karena ayah sering sekali mempercepat jadwal janji. (mandinya aja gak sampe lima menit! cepat kan??!!!). Hadeuh.. tentang waktu memang aku salut deh sama ayah.
    Ayahku juga seorang yang punya empati tinggi terhadap lingkungannya. Ayah tak segan-segan membantu siapa saja yang kelihatannya susah. Bahkan kepada orang yang baru dikenalnya juga. Sifat ayah ini lah yang membuatnya populer di mata orang-orang sekitarnya. Ini pula yang membuat pergaulan ayahku jadi sangat luas. Apalagi ayah pernah merantau ke luar provinsi, jadi cukup banyak juga saudara angkat yang bisa dimiliki oleh keluargaku berkat empati tinggi ayahku ini. Contohnya saja keluarga Om Malwan, teman rantau ayah saat bekerja di Palembang. Juga Om Haris dan Mbak Sumi, Teh Reva asal Ciledug, dan lain-lain. Rempong banget dah kalo aku mesti nulisin semua nama saudara angkatku di sini. So, go on, Oke.
        Namun begitu, ada juga hal yang membuatku dan adikku takut pada ayah. Apa itu??

Hmm... ayahku galak!

    Kalau ayah sudah marah, maka zona beradius satu kilometer bisa kena dampak amarahnya. Dan suaranya itu looh menggelegarr!! Sedang tak marah saja, intonasi dan volum suara ayahku sudah cukup tinggi. Jarak 15 meter mah masih bisa dengar suara ayahku yang lagi ngobrol. Tapi kalau sedang marah, hiiii...serem. biasanya sih jika sedang marah, ayah tak suka banyak bicara dan hanya menunjukkan face yang cembetut abis. Tapi jika amarahnya sudah tak terbendung, ya meledaklah suara bariton maha menggelegar dari tenggorokannya itu. alamat semua orang pingin kabur deh.

Pernah sekali aku membuat ayahku marah.
       Jadi ceritanya saat pertengahan bulan ramadhan 2011 ini ada acara peringatan nuzulul quran di mushalla Nurul Iman (mushalla dekat rumahku). Dan bagi tiap-tiap rumah diminta untuk menyumbangkan panganan atau uang seikhlasnya. Kebetulan saat itu paginya ayah sedang ada di rumah. Dan aku keceplosan mengatakan padanya ingin membuat brownies kukus untuk sumbangan ke mushala. Ayah senang sekali mendengarnya. Dan aku turut senang melihat senyum di wajahnya saat itu. Kukira semuanya akan baik-baik saja. Tapi nampaknya harapanku terlalu muluk di hari itu. Kenapa? Begini...
      Hari itu siangnya ayah pergi ke mushala untuk membantu persiapan acara. Dan setelahnya aku dan emakku sungguh sibuk sekali. Yah..sibuk lah. Ya urusan warung, kambing, anak asuh, dan lagi sekitar jam dua-nya ada temanku yang berkunjung ke rumah. So pasti aku jadi tak sempat membuat brownies kukus seperti yang kujanjikan pada ayah. Hmm.. jadinya, keluargaku hanya memberikan uang seikhlasnya. Gak perlu lah kusebutkan jumlahnya berapa.. he.he.
        Kemudian itulah, ketika jam menunjukkan pukul lima dan aku sedang memasak kolak pisang, ayah datang. ia marah. Marah besar. Ayah mengatakan bahwa ia sangat malu karena tadi ia mendapat teguran dari kak Madin (pengurus mushala) dan Om Oji yang agak menyindirnya karena keluarga kami tidak jadi menyumbang kue. Aku kaget. jelas saja! Aku tak tahu kalau ayah sudah sesumbar ke orang lain tentang pembuatan kue itu yang sayang tak jadi. Tapi aku lebih kaget dengan intonasi suara ayah yang terlalu tinggi untuk hanya soal sepele ini. Hanya karena masalah sumbangan ke mushala saja! Ya ampun...
       Jadi aku pun berusaha mengemukakan argumenku demi membela diri. Kuceritakan pada ayah tentang betapa sibuknya aku dan emak seharian ini. Dari keadaan warung yang dua kali lipat lebih rame jika sudah jam 4, kemudian juga temanku yang baru pulang sekitar jam setengah empat, Dimas yang masih harus diasuh sampai jam lima, serta tiga puluh ekor kambing yang harus digiring ke kandang.
       Aku bahkan baru memasak untuk berbuka puasa pada pukul lima. Padahal biasanya jam setengah lima sudah selesai. Sampai serak suaraku demi membela diri dari cercaan dan amarah ayah yang meletup-letup di hadapanku itu. kolak buatanku bahkan gosong sedikit, lantaran aku yang bolak-balik dari dapur ke warung, sembari tetap diomeli ayah. Saat itu emak sedang menggiring kambing, dan herdie berbuka puasa di tempat lain.
        Aku pusing mendengarkan cercaan ayah yang terus berentetan. Tapi aku hanya diam, Dee.. aku masih cukup sadar dengan tidak ikut menyulut amarahku. Meski begitu, pada akhirnya dinding pertahananku runtuh. Aku menangis.. dan ayah masih terus memarahiku. Ya tentang kue brownies yang tak jadi kumasak, tentang kolak yang gosong, dan kesembronoanku yang sudah lama berlalu pun diungkitnya. Aku menangis, Dee.. tapi ayah terus memarahiku sambil mengaduk-aduk kolak tanpa sempat melihatku.

Hingga akhirnya ayah pun melihatku...
      Ia langsung terdiam ketika mendapati aku tengah menatapnya dengan tangisan yang terus menderas di kedua pipiku dan senyuman pedih di bibirku. Ia terdiam. Dan amarahnya pun redam. Kukira ayah saat itu langsung tahu kalau ia sudah cukup kelewatan memarahiku. Hingga akhirnya ia berkata dengan intonasi lembut,
“ya sudah.. meli tutup warung saja. Maafin bapak ya. Bapak kelewatan.”
     Aku pun tersenyum lemah. Aku mengangguk dan menepis air mata dengan bahu tanganku kemudian beranjak untuk menutup warung.
     Kau rasakan kan, Dee? Ayahku memang seorang yang mudah meledak-ledak (macam kembang api saja!ha.ha.). tapi ia jauh lebih mudah untuk meminta maaf bila memang ia punya salah. Dan aku sangat berbangga karenanya.

Phyuhh... kembali ke topik ayahku ya.
Ada hal yang sangat lucu tentang aku dan ayahku. Kau tahu apa itu?
NYASAR!
Ya! Nyasar!
        Ha.ha... jika aku dan ayah sedang berboncengan naik motor untuk entah kemana, kami pasti hampir selalu nyasar ke tempat-tempat aneh atau minimal mengalami sedikit apek seperti ban yang kempes atau bocor. Sebalnya, ayah mengatakan kalau ia hanya mengalami kesialan-kesialan seperti itu jika sedang naik motor denganku. Hu.uh. aku sih tak pernah menganggap semua kejadian nyasar atau tetek bengek ban itu sebagai kesialan. Justeru aku menganggapnya lucu. Dan ayah selalu menertawakanku tentang standar ‘lucu’ nya aku ini.
        Hm.. entah kenapa jika bersama ayah, aku selalu saja salah sikap. Pasti ada-ada saja tingkah konyol atau kesembronoan yang kulakukan di hadapannya. Dan ini membuatku jadi malu. Pantas saja ayah masih menganggapku sebagai ‘puteri kecil’nya. Padahal kan aku sudah gede! (eits,,, gak pake ukuran mata ya ngukurnya! Ukurlah dengan ‘hati’. He...)
Salah satu kekonyolanku saat di hadapan ayah adalah di suatu perjalanan berangkatku menuju Ciputat.
        Saat itu seperti biasanya ayah mengantarkanku dengan honda beat-nya. Kami memilih jalur Kalideres-Grogol-Senayan di perjalanan kami saat itu. sejak mendapatkan kecelakaan tempo hari sebelumnya, ayah masih trauma untuk mengantarkanku langsung ke ciputat. Jadi aku hanya ikut ayah sampai ke senayan. Dan setelahnya aku naik mobil 102 jurusan Senayan-Ciputat yang akan menurunkanku di depan kampus Syahid.
       Di perjalanan, beberapa kali kami agak terantuk-antuk melewati jalanan yang sudah agak rusak di daerah slipi. Helm yang kugunakan bahkan sering membentur helm ayah. Dan ini membuatku agak mual di perjalanan kali itu.
        Syukurlah... setelah dua jam yang memualkan, kami tiba juga di Senayan. Persisnya di halte Gelora Bung Karno. Ayah menurunkanku di halte dan mematikan mesin motornya. Aku segera mencium tangannya dan meminta restu untuk menuntut ilmu. Kemudian aku segera mencari mencari tempat duduk di halte itu. syukurlah, meski agak ramai oleh orang-orang yang juga sedang menunggu angkutan tapi masih ada sedikit tempat di ujung halte. Aku segera pergi ke sana.
         Kulihat mbak-mbak yang duduk di samping tempat kosong yang kutuju,
“subhanallah... cantik. Kayak si temat” (maksudku tuh artis yang jadi pemeran bawang putih di sinetron tv. He..he.. aku gak begitu hafal nama.)
       Dan lebih cantik lagi begitu si mbak temat itu tersenyum padaku. Begitu pun rekan di sebelahnya yang hitam manis (gula merah kaliii..hihi.). aku pun membalas senyuman mereka dengan senyuman mantapku.
        Kemudian aku pun duduk. Tapi aku sangat kaget begitu melihat ayah yang masih nongkrong di jok motornya dan tersenyum-senyum melihatku. Spontan aku langsung bertanya.
“kok masih di sini? Ayah gak perlu nungguin meli.. nanti telat lagi kerjanya..”
          Nah... kata-kata ayah berikut lah yang sontak membuatku sangat-sangat kaget. sebelumnya ia tersenyum dahulu baru kemudian berkata,

“helm-nya, mel...”

      Oouww... spontan aku memegang kepalaku. Benar saja.. aku masih mengenakan helm ternyata. Pantas saja si mbak-mbaknya tersenyum manis banget tadi.. kukira semua orang Jakarta emang ramah-ramah. Ternyata...
         Aku malu banget. Ayah makin gak bisa nahan cengirannya. Tapi syukurnya ayah sangat bijak sehingga tidak langsung tertawa di halte itu. ia tahu aku tentu sangat malu.              Jadi, aku langsung melepas helm- merah-memalukan itu dari kepalaku dan menyerahkannya pada ayah. Dan ayah pun segera berlalu pergi setelahnya.
       Aku masih sangat malu ketika aku kembali duduk di halte. Bahkan sampai aku pindah duduk di angkutan 102 dan sampai di kosanku pun aku masih malu... ya iyalah malu. Siapa pula yang gak bakal ketawa melihat kekonyolanku itu. hadeuh...

   Begitulah.. banyak hal menarik yang kualami bersama ayahku. Dari hal menyebalkan, membahagiakan, aneh, lucu, juga konyol.
Dan dialah ayahku. Seorang yang selalu tahu bagaimana cara membimbingku.
Seorang yang selalu tahu kapan aku membutuhkan sesuatu.
Seorang yang selalu siap memberi sebelum sempat kuutarakan maksudku.
Seorang yang selalu menyertai doa-doanya dengan nama ibu, adik, dan namaku.
Seorang yang selalu mengajarkanku tentang disiplin dan keempatian.
Dialah yang selalu dan selalu dan selalu dan selalu dan selaalu dalam hidupku.

Dan kukira, kau pun memiliki sosok seperti itu bukan, kawan? ^_^

Sosok ayah, meski tak intens menunjukkan rasa sayangnya, sesungguhnya ia memiliki berjuta-juta cinta yang disembunyikannya dalam tepukan lembut ketika merangkulmu, atau dalam senyum tegas ketika menasihatimu, atau juga dalam kediamannya ketika jauh darimu. Jadi, jangan pernah meragui cintanya kepadamu, ok.

Alhamdulillah....
Ditulis dan diselesaikan di rumah ketiga, Rempoa
27 Oktober 2011
Dalam hujan dan teduh yang meriakkan rindu di hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar