Minggu, 22 Juni 2014

Hari Ke-empat Tahlilan Abah



Ahad, 25 Sya’ban 1435 H.
Cerita Panjang:
Tadi siang, demamku datang. Syukurlah setelah tidur siang cukup lama, kondisiku hanya menyisakan pening sedikit.
Hari ini adalah hari keempat tahlilan Abah Ende. Rumahku masih cukup riuh dengan kehadiran beberapa saudara yang menginap. Sayup-sayup suara para mu’alim terdengar sedang mengaji di kamar Abah. Prosesi yang akan terus berlangsung sampai tiga hari ke depan. Untuk menggenapkan tahlilan selama tujuh hari untuk mendo’akan almarhum abah.
Hmm…
Di kesempatan ini, aku akan menceritakan detail peristiwa wafatnya Abah Ende. Dan inilah dia, ceritaku..
---
Hari itu, Rabu siang, aku dan Bapak baru pulang dari jaulah ke rumah temannya, Pak Muklis, selaku Ketua Yayasan Daarul Muqimin. Jam menunjuk pada pukul 11.10 wib. Bapak dan Emak lantas pergi kondangan sementara aku menunggu rumah sembari membuat lembaran kertas file dari kertas-kertas HVS yang sudah tak terpakai.
[Cara membuat kertas file ini cukup mudah. Jadi, awalnya kertas-kertas print-an skripsi yang sudah tak terpakai lagi, kuberi garis lurus di bagian kertas yang sisinya lebih panjang. Garis lurus ini kelak akan menjadi batas atas kertas file. Setelah diberi garis, kemudian kertas itu kulipat sama panjang. Setelah dilipat, kertas HVS itu akan seukuran buku tulis biasa. Lalu, kuambil satu contoh kertas file (CKF) yang sudah berlubang lalu kusejajarkan dengan kertas HVS yang sudah kulipat tadi. Setelah itu, dari lubang-lubang CKF itu aku membuat titik di setiap bagian tengah lubangnya. Agar titiknya besar, aku memakai spidol. Lalu, ketika dilepas dari CKF, kertas HVS pun memiliki titik-titik besar sepanjang pinggiran kertasnya. Kemudian, kulubangi pinggiran kertas HVS itu menggunakan pelubang kertas. Ketika melubanginya, aku harus mengusahakan untuk membuat titik-titik yang ada di kertas HVS itu ada di tengah lubang. Akhirnya, setelah kulubangi kertas HVS di semua titiknya, kudapatkanlah kertas file. Kertas file ini bisa kugunakan dan kuselipkan di binder. Sama seperti kertas file yang ada di toko. Gitu deh. ^.^]
Tak lama kemudian Bapak dan Emak pulang. Menit berikutnya adzan zhuhur berkumandang. Bapak kemudian segera ke kamarnya tuk melangsungkan shalat zhuhur sementara aku masih menyelesaikan tumpukan lembaran kertas file.
Usai Bapak shalat, aku gantian shalat. Dan setelahnya, aku kembali menekuni pekerjaanku sebelumnya. Membuat kertas file. Beberapa menit kemudian Bunde muncul di muka pintu. Bunde pamit ke Sukadiri dan meminta Bapak untuk sebentar menjaga Abah. Saat itu jam menunjuk pukul 12.25 wib.
Selanjutnya, Bapak menyerahkan amanat Bunde tuk menjaga Abah kepadaku, lantaran Bapak ingin tidur dahulu. Maka, setelahnya Bapak tidur dan berbaik hati meninggalkan 2 gorengan pisang di kresek hitam untukku dan Emak. Tak sampai semenit, 2 gorengan pisang itu sudah habis kami makan.
Saat kuhabiskan sisa-sisa remah gorengan yang ada di kresek, aku mendengar suara ketukan di kamar sebelah. Kamar Abah Ende.
Tok. Tok. Tok. Tok.
“Mak, itu Abah Ende ya?” aku bertanya pada Emak di sampingku untuk memastikan pendengaranku. Emak mengangguk, mengiyakan.
Menit berikutnya aku merapihkan lembaran kertas HVS dan meja tulis milik Herdi lalu membawanya ke kamar Abah.
Sesampainya di sana, benar saja. Kulihat Abah sudah erat-erat memegang tabung pispotnya untuk kembali mengetukkannya ke lantai.
Setelah kuletakkan meja tulis dan lembaran kertas HVS di samping Abah, aku bersegera menyapanya. Butuh sekitar setengah menit lamanya untukku sebelum akhirnya kupahami makna ucapan terbata-batanya.
[Penyakit stroke yang sudah menemani Abah Ende selama enam tahun ini tak hanya membatasi pergerakan tubuhnya, melainkan juga kemampuan bicaranya. Abah hanya mampu bicara dengan ucapan terbata-bata. Itu pun dengan volume suara yang kecil. Sejak stroke, Abah mulai tinggal bersama anak-anaknya. Beserta Abah, mengikut juga Bunde, istri ke-tiganya, dengan setia. Di rumah Bi Mar, Mak Ati, di rumah Mama’ Amad, kembali ke rumah Mak Ati, dan akhirnya tiga bulan lalu Abah dan Bunde tinggal di kamar kosong samping rumahku yang pernah ditempati oleh keluarga A’ Asep.]
Ternyata Abah Ende menanyakan Bunde. Segera setelah kuketahui makna ucapan Abah itu, kuberitahu ia bahwa Bunde sedang ke Sukadiri. Kulihat Abah nampak sedikit kecewa dengan isi jawabanku. Kemudian kutawari Abah untuk minum. Sayang, Abah menolaknya. Lalu, kunyalakan TV untuk dilihat Abah. Dan Aku pun kembali menekuni lembaran-lembaran kertas yang siap dilubangi untuk dijadikan kertas file.
Tak. Tik. Tak. Tik.
Begitulah bunyinya.
---
Menit demi menit berlalu begitu saja. Sudah dua setengah jam kiranya aku menemani Abah Ende. Selama itu, sudah berkali-kali Abah memintaku untuk melakukan sesuatu untuknya. Menambah dan meninggikan bantal. Menanyakan Bunde. Merubah posisi bantal. Kembali menanyakan Bunde. Menggeser arah kipas angin. Lagi-lagi menanyakan Bunde. Menanyakan Bunde. Menanyakan Bunde. Merubah posisi bantal guling. Kembali menanyakan Bunde. Kembali menanyakan Bunde.
Selanjutnya, saat jam menunjuk pukul 3 lewat 15 menit, kudengar suara Bapak yang baru bangun. Perutku kemudian berbunyi untuk mengingatkanku bahwa aku belum makan siang. Aku pun pamit pada Abah Ende sebentar untuk kemudian menemui Bapak dan memintanya menjaga Abah, sementara aku makan.
Aku makan di ruang TV, ruang sebelah kamar Abah Ende. Kunyalakan TV untuk menemaniku makan dan kemudian asyik pada tayangan TV (maaf. Aku lupa saat itu tayangannya tentang apa). Selesai makan, aku sempat tersedak saat minum. Tumpahan air yang siap kutelan malah muncrat ke mana-mana membasahi lantai. Ini sungguh aneh. Karena saat itu aku tak terburu-buru minum. Jadi, bagaimana bisa tersedak? Kutengok jam, setengah 4 wib.
Aku kembali duduk di depan TV dan melipat pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran oleh Emak. Saat melipat baju, sempat terdengar suara Bapak seperti ini:
“Bah, Ulah ka mana-mana, nyak? Kula ndeuk shalat ashar heula.” (kira-kira seperti itu redaksinya. Jika di-Bahasa Indonesia-kan maka akan menjadi, “Pak, Jangan ke mana-mana ya. Saya mau shalat ashar dahulu”)
Emak yang ada di dekatku, tertawa mendengar ucapan Bapak itu. katanya,
“Orang gak bisa jalan ke mana-mana juga. Bapak mah aneh”
Aku ikut tersenyum sebelum akhirnya berkata,
“Maksud Bapak tuh jiwanya, Mak.. jiwanya..”
Emak mengangguk mafhum.
“Ooh..”
Tak lama kemudian Bapak berpesan kepadaku untuk menjaga Abah Ende, sementara ia shalat ashar. Aku pun mengiyakan dan bergegas melipat baju terakhir. Saat itu Bunde belum pulang.
Bapak tak lama shalat dan segera kembali menjaga Abah Ende. Sementara aku pun kembali asyik menjahit kaos yang sobek. Terdengar olehku suara Bapak mengaji dan beberapa kali ia berkata ‘Bunde belum pulang’. Kuterka sendiri bahwa Abah tentu kembali menanyakan Bunde. Kembali kulihat jam, 15.43 wib.
“Ndin!”
Kutengok jendela.
“Alhamdulillaah… Bunde udah pulang.” Desisku pelan.
Aku kembali menekuni jahitan kaosku. Dan bersenandung pelan shalawat Badar.
Di kesempatan berikutnya, aku dikejutkan oleh teriakan Bapak yang memanggil namaku.
“Mel! Mel! Sini! Abah Ende udah gak ada.”
Aku terkejut. Dadaku berdegup kencang. Kulangkahkan kakiku dengan goyah. Dan pikiranku langsung menyuruhku untuk mengabarkan berita ini pada seseorang. Tapi kemudian di dapur, aku yang sudah sibuk mencari-cari nomor bibi di HP bapak, terkejut ketika Bapak membentakku untuk menemui jasad Abah Ende yang belum lama ditinggalkan oleh jiwanya. Maka, kuletakkan kembali HP Bapak di kamarnya dan bergegas ke tempat jasad Abah.
Di sana.
Di atas kasur kapuk yang bersepraikan kain lusuh berwarna pink, terbaring jasad Abah Ende yang nampak seperti sedang tidur. Satu detik lamanya aku diam tergugu. Memandangi wajah Abah yang terlihat begitu….. damai.
Setelah jarakku semakin dekat, terlihat jelas sekali ada perbedaan Abah Ende saat itu dengan Abah Ende yang sedang benar-benar tidur, seperti biasanya. Wajah di hadapanku itu saat itu terlihat pucat. Kurus. Tak ada urat. Meski juga nampak damai.
“Abah.. Abah Ende…” aku menjerit dalam hati saat kusungkurkan kepalaku ke pelukan tangannya yang mulai mendingin. Aku menangis dalam hati ketika kuucapkan do’a perpisahanku untuknya yang akan berpindah ke alam kubur.
“Allahummagfirlahu.. warhamhu.. wa’aafihii..  wa’fu ‘anhu.. wa akrim nuzulahu.. wa wassi’ madkhalahu.. waghsilhu.. bil maa-i watstsalji.. walbaradi.. wa naqqihi.. minal khathaaya.. kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu.. minaddanasi wa abdil-hu.. daaraan khairaan.. min daarihi.. wa ahlann khairann.. min ahlihi.. wa zaujann khairann.. min zaujihii.. wa qihi.. fitnatal qabri.. wa ‘adzaabannaar.. amin.. allahumma amiin..”
[Arti doa di atas: “Ya Allah, ampunilah dia. Dan kasihanilah dia. Sejahterakan ia dan ampunilah dosa dan kesalahannya. Hormatilah kedatangannya. Dan luaskanlah tempat tinggalnya. Bersihkanlah ia dengan air, salju, dan embun. Bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih yang bersih dari segala kotoran. Dan gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya yang dahulu. Dan gantikanlah baginya ahli keluarga yang lebih baik daripada ahli keluarganya yang dahulu. Dan peliharalah ia dari siksa kubur dan adzab api neraka. Kabulkanlah.. kabulkanlah, Ya Tuhan kami..]
Kukecup kening Abah dengan lembut. Dan tetes air mataku mulai menjebol pertahanan kelopak mataku. Segera saja kujauhkan wajahku untuk mengusap dua aliran air mataku agar tak sampai menyentuh jasad Abah. Barulah setelahnya kusadari keberadaan Bunde dan keponakannya yang mungkin sudah sedari awal ada di dekatku. Aku hanya terlalu fokus pada wajah Abah, saat aku masuk ke ruangan 3x4 meter itu, hingga tidak menyadari keberadaan mereka.
Kulihat Bunde menangis. Aku ingin ikut menangis. Tapi tidak! Kutegaskan diriku untuk menabahkan hati agar menyimpan tangisku hanya saat aku berdua dengan-Nya. Ada hal yang lebih pantas untuk kuberikan kepada Abah Ende dibandingkan aliran air mata yang tiada henti. Ada pemberian yang lebih baik untuk Abah Ende, lelaki yang memiliki nama arti ‘Hamba yang Pengasih’, AbdurRahman. Dan pemberian itu adalah do’a.
Akhirnya, kuputuskan untuk segera beranjak bangun dan mengambil wudhu. Setelah ashar, kuambil mushafku dan segera mengaji surat-surat pilihanku untuk Abah Ende. Yaasiin. Ar Rahmaan. Al Kahfi. Nuur. Kembali Ar Rahmaan. Al Waaqi’ah. 26 surat di juz 30. Dan terakhir adalah surat As Saff.
Selesai mengaji, kusadari di sekelilingku sudah cukup banyak pelayat yang datang. Kutengok jam, pukul setengah 6 lewat. Aku pun bergegas mandi dan kembali mendapati jumlah para pelayat yang berlipat ganda dibanding sebelumnya. Saat itulah Bunde mengingatkanku untuk menelpon Herdi. Aku pun menelponnya.
---
Menit-menit berikutnya aku sibuk membantu persiapan ini-itu. Aku pun ikut membantu memandikan wajah Abah Ende.
Menjelang isya’ Herdi pulang.
Segera setelah Herdi selesai mengajikan Abah Ende, jasad Abah pun dibawa ke mushala untuk dishalatkan. Dalam prosesi ini, aku turut serta. Ba’da isya (sekitar jam 8 lewat), iringan Abah dan para pelayat berangkat menuju makam keluarga besar di Jati Pasar. Aku ikut mengantar dan menyertai sampai prosesi penguburan selesai. Ketika sampai di rumah, waktu menunjuk pukul 9 lewat.
---
Hmm…
Peristiwa yang terjadi pada hari itu sungguh memukul telak batinku. Meski begitu, di antara sekian peristiwa yang terjadi di hari ini, ada satu moment yang paling membekas di benakku. Moment itu ada di dua setengah jam kebersamaanku dengan Abah sebelum ia wafat.
Saat itu, ketika Abah Ende berkali-kali nampak kecewa mendengar jawaban pertanyaannya yang menanyakan Bunde, aku pun mengelus-elus pelan kepalanya. Kukira perbuatanku itu akan membuat Abah merasa nyaman dan tertidur. Karena aku pun mudah tertidur jika ada yang mengelus-elus kepalaku. Tapi kemudian aku terkejut, ketika kulihat Abah nampak –entah- meringis kesakitan atau menangis (entah karena apa). Aku pun segera berhenti mengelus kepalanya dan menanyakan apa yang bisa kulakukan untuknya. Saat itu Abah menjawab dengan gelengan lemah sembari memejamkan mata. Kejadian ini berlangsung tiga kali. Aku mengelus dan Abah Ende nampak meringis/menangis, sebelum akhirnya kembali menanyakan Bunde. Dan aku setia menjawab pertanyaan Abah dengan jawaban yang sama.
“Bunde belum pulang, Bah.. Abah mau minum? Atau tambah bantal lagi? Atau kipasnya mau digeser? Atau abah mau lihat channel TV yang lain?”
Dan seperti sebelum-sebelumnya, rentetan pertanyaanku itu dijawab Abah dengan gelengan lemah sambil memejamkan mata.
---
Berkali-kali..
Berkali-kali setelah prosesi penguburan Abah selesai, Aku berpikir.
Saat itu..
Jika saja aku tahu bahwa Abah Ende tengah diburu batas waktu, aku tentu akan bersegera memenuhi permintaannya untuk memanggil Bunde pulang. Entah dengan cara bagaimana.
Saat itu..
Jika saja aku tahu bahwa Abah sedang ditunggu malaikat Izrail yang akan mengajak serta nyawanya pergi dari raga, aku tentu akan melantunkan ayat pilihanku untuknya, surat Ar Rahmaan, di sampingnya. Akan kubacakan pula terjemahan surat itu dengan suara lantang, seperti yang biasa kulakukan di setiap ba’da maghrib pada hari-hari sebelumnya.
Saat itu..
Argh!
Astaghfirullaahal’azhiim…
Tentu saja aku tahu bahwa kematian makhluk adalah salah satu rahasia yang pengetahuannya hanya dimiliki oleh-Nya, selaku Sang Pemegang Kendali Waktu. Pun jua kematian Abah Ende ini. Aku pun tak memiliki hak untuk meminta-Nya menggulung kembali lembaran takdir yang telah terjadi.
Aku tahu..
Aku tahu itu…
Tapi,
Tetap saja.
Aku masih mengharapkan hal-hal mustahil seperti ‘memutar waktu’ untuk bisa terjadi. Karena sampai saat ini, aku memiliki beban yang belum terangkat di benakku. Terutama perihal Abah Ende ini.
---
Allah.. aku meluruh ke hadapan-Mu…
---