Sabtu, 15 April 2017

Tujuh Bulanan

Tujuh bulanan..
Entah hanya sebuah adat/tradisi, atau memang salah satu sunnahnya nabi. Yg jelas, aku cukup deg-degan menantikan prosesi nya di hari sabtu ini.😅

Yap!😊
Insya Allah sabtu ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanannya Dede. Mulanya acara ini akan dilangsungkan pada Senin, 24 April di Jati. Tepat di hari libur Rajaban. Tapi oleh karena satu dan lain hal, acaranya pun dimajukan menjadi 15 April. Berbarengan juga dengan acara khitanannya Fadhil. Di Kedung Dalem.

Hmm...lebih tepatnya mungkin, acara riungan Dede hari sabtu, di sambung ke acara khitanan Fadhil pada hari minggunya. 😊

Semuanya dimulai sejak hari Kamis. Saat aku "ngebut" menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah. Ya rapih2 rumah, nyuci apa segala, menggosok tumpukan baju berusia dua minggu, menjahit beberapa baju (aku bahkan menjahit sebuah rok menggunakan bahan hadiah nikah yg sempat kujadikan tirai..😁), serta menyiapkan bekal pakaian. Bekal pakaian ini untuk masa menginap kami (Aa dan aku) selama beberapa hari di Kd. Dalem. 😊

Kami berangkat dan sampai di Kd. Dalem sekitar jam 8 malam. Bercengkerama sebentar dg Fadhil. Sebelum akhirnya masuk ke kamar untuk tidur. 😊

Jumat pagi, aku ikut membantu mengelap daun pisang untuk bahan pembungkus kue. Sampaaaaaiii siang. Sementara itu Aa menghilang setelah sebelumnya pergi ke rumah Jati untuk memesan jeruk bali ke Bapak. Baru mendekati waktu shalat jumat saja Aa pulang. Ternyata Aa diminta membantu Mama Amad untuk membetulkan atap kamar kami yg memang bocor. 😊

Siang hingga ashar, aku ikut mengupas bawang putih. Sementara Aa menjamu tiga kawan pondoknya yg tlah lama tak bersua. Dan ba'da asar-nya, Emak Haji menyuruhku untuk melakukan satu adat nujuh bulanan. Yaitu jajaluk. Meminta beras ke 7 rumah.

Hmm...sebenarnya aku agak enggan melakukan prosesi adat yg satu ini. Meminta-minta kan dalam Islam termasuk perbuatan yg hina. Tapi agaknya jika aku menolak melakukannya, justru akan dianggap sebagai tindakan menghina. Alhasil, dg ditemani Mak Eti, aku pun jajalukan.😑

Ada 8 rumah yg kukunjungi. Dan aku mendapatkan sejumlah liter beras yg rencananya akan dibuat menjadi bubur. Hmm.. Bubur apa ya.. 😄

Malamnya, aku ikut membantu membungkus kue cemilan untuk dibagikan di acara riungan. Sebelum akhirnya bisa beranjak tidur.

Hari Sabtu.
Sudah cukup riweh sedari pagi. Memarut buah2an untuk bahan rujak hingga siang, mengupas bawang putih, memetik cabai hijau, dll. Tapi kulalui hari ini dg seru. Apalagi sorenya aku kembali diantar Mak Eti ke rumah2 yg kemarin sempat kujajaluki. Kali ini kami membagikan bubur yg sudah jadi. Bubur hitam putih. 😊

Eeh,, tapi... Ada kejadian yg bikin aku gak sreg juga sih. 😕
Jadi, ada satu adat yg gak sreg di hatiku. Itu adalah meloloskan bungkusan bubur melewati pakaian hingga jatuh ke tanah di depan rumah. Membuang2 makanan. Itu ksn mubazir.. Berkali2 kutanyakan ke Mak Eti, haruskah aku melakukan prosesi itu. Dan jawabannya selalu "ya". Alhasil dg berat hati, kubuang lah bungkusan bubur itu dan meninggalkannya dg rasa sesal di hati.
"Maaf ya, Bur.."😣

Dan kegiatan terus berlanjut..
Hingga mendekati maghrib, ruang tengah penuh oleh bungkusan berkat untuk acara riungan ba'da isya. Riungan Dede gitu deh.. 😊😁😁

Dan ba'da isya pun tiba.
Sementara acara riungan berlangsung, aku digedog oleh Bu Eti di dalam kamar. Enak euy. Dipijet2 seluruh badan. 😊 saat acara doa, aku ke kamar mandi dan mengalami prosesi adat lainnya, yakni meloloskan telur ayam kampung dari balik samping. Mitosnya sih, kalau pecah menandakan anaknya perempuan. Sementara kalau retak laki-laki. Dan hasilnya adalah, retak. Wallahua'lam. Aku sih g mau percaya. Khawatir jatuh ke ranah musyrik nantinya.😊

Oh ya. Alhamdulillah saat pembacaan doa marhaban, hujan turun cukup deras. Kuharap sih itu jadi pertanda bagi mudah terkabulnya harapan dan doa2 tuk Dede. Aamiin..😊

Itulah kiranya acara tujuh bulanan Dede. Sederhana namun penuh makna.😊😊😊

Jumat, 07 April 2017

Berlatih Puasa bersama Dede. 😊

Hari ini masuk hari ke 10 bulan Rajab. Alhamdulillaah..😊 Aa dan Emak kontinyu berpuasa sejak hari pertama di salah satu bulan Mulianya Islam ini. Sementara aku, sejauh ini baru bisa puasa seperempat atau setengah hari. Hee.. 😁

Mengingat kondisiku yg sedang hamil. Terlebih lagi waktu makanku yg bisa sampai tujuh kali dalam sehari di masa kehamilan ini, jelas saja jika aku kesulitan untuk langsung puasa full-day. Sebabnya aku mesti sering makan, tak lain dan tak bukan adalah karena porsi makanku yg lebih sedikit dari sebelum masa hamil. Ini juga dikarenakan aku yg tak bisa makan terlalu full. Karena  kini dalam perutku juga ada Dede sehingga aku lebih cepat kenyang sekaligus juga lebih cepat lapar. Jika kupaksakan makan terlalu full, bisa-bisa aku olab. Hmm.. Enggak mau deh.😑

Aku jadi teringat kembali pada kenanganku saat hari pertama aku ikut berpuasa Rajab.

Saat itu aku beraktifitas seperti biasa. Pengecualian nya adalah aku mesti bangun jam 3 untuk menyiapkan panganan sahur. Menunya simpel. Sayur asam, tempeh dan telor dadar. Dipadu dg air putih butek, alias susu. 😊

Aku sahur bertiga bersama Aa dan Emak. Bapak agaknya masih mengantuk karena baru pulang dari berdagang tahu. Sehingga aku segan untuk membangunkannya.😊

Usai sahur, kami lelenje sebentar. Sebelum akhirnya adzan subuh berkumandang dan menyatakan awal waktunya kami tuk berpuasa. Maka bismillah, smg niat puasa kami berkah, lancar dan diridhai-Nya. Aamiin.. 😊

Waktu teys berlanjut..
Aa berangkat kerja.. Aku mencuci baju dan bebersih rumah.. Dilanjut belanja ke warung di pinggir kali.. Sampai akhirnya aku kembali ke rumah. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 10 lewat. Aku sudah merasa kelelahan. Sehingga kuputuskan untuk rebahan dahulu. Tidak bersegera masak seperti yg biasanya kulakukan setiap jam 10.

Nah.
Baru beberapa detik merebahkan badan, kepalaku malah nyut2an. Dan rasa mual menyerang. Kucoba mencari posisi tidur yg enak. Tapi aku tahu, pelarianku tak mampu menepis rasa mual yg kian menjadi. Yakinlah aku bahwa beberapa detik ke depan aku hendak muntah. Akhirnya aku pun bersegera ke kamar mandi. Dan benar saja. Aku muntah.😅

Usai memuntahkan air, perutku kukuruyukan. Lapar. Aku lapar. Dan besar kemungkinan Dede pun lapar. Akhirnya aku pun membatalkan puasaku. Sekitar jam setengah 11.

Aku sudah menduga bahwa aku tak akan bisa full day shaum di hari itu. Tapi aku sempat berharap bisa shaum sampai pertengahan hari. Tapi tak apa-apa. Yg utama adalah kesehatan Dede. Jadi tak apa-apa lah jika aku belum bisa shaum full day seperti Aa dan Emak. 😊

Keesokan harinya badanku agak meriyang. Jadi aku tak ikut berpuasa dulu. Pun jua hari berikutnya aku bolos berpuasa sunnah. Meski begitu aku tetap bangun jam 3 atau setengah 4 untuk menyiapkan panganan sahur bagi A  dan Emak. Yah.. Lumayan lah. Seiyanya aku bisa punya kesempatan tuk mendapatkan pahala dg menyiapkan makanan bagi mereka yg berpuasa. Begitu bukan kata baginda Nabi saw.? 😄

Di hari keempat Rajab, aku kembali berpuasa. Kali ini aku bisa bertahan lebih lama. Jam 11. 😊 dan di hari kelima, aku bisa bertahan sampai waktu zuhur. Alhamdulillah..

Itulah. Itulah yg kuharapkan untuk terjadi. Bahwa dg pembiasaan, aku bisa sedikit demi sedikit menambah waktu puasaku. Hingga akhirnya aku bisa full day. Harapku sih, smg dg berlatih puasa di bulan Rajab dan Sya'ban nanti, aku sudah akan bisa full day shaum di bulan ramadhan. Aamiin..😊

Bersama Dede. Melakukan kebaikan ini.
Bersama Dede. Mencoba melatih ketakwaan diri.
Bersama Dede. Menahan nafsu yg seringkali menjebak diri dlm ketidakbaikan.
Bersama Dede pulalah. Meraih keridhaan-Nya..
 ...
Semoga...
...
Aamin.
😊😊😊

Minggu, 02 April 2017

Saat Diam-mu adalah Emas...😊

Baru-baru ini, kesabaranku dan Aa tengah diuji. Sebabnya adalah perihal hutang. Dimana kami berkali-kali (3 kali) mendapatkan janji kosong perihal pembayaran hutang dari orang lain. Orang yg sama. Hmm...☺

Ini bermula pada Kamis, 23 Maret lalu. Saat itu Aa sedang mengaji Yaasiin usai maghrib, sementara aku baru selesai membaca surat Luqman (anjuran dari Ust. mulya untukku yg sdg hamil. Plus doa keselamatan dan kesehatan untuk janin juga dari beliau). Dari kamarku bisa kudengar suara kedatangan seorang tamu perempuan yg mengetuk pintu depan rumah Emak. Dari suaranya, tak kukenal siapa tamu itu.☺

Aku yg hendak menengok isi kulkas pun akhirnya pergi ke ruang tamu. Di sana kudapati Emak tengah berbincang dg seorang ibu2 seumurannya. Di dekatnya kulihat pula seorang anak usia sekitar 10 tahun. Jelas, aku tak mengenal kedua tamu itu. Walau samar2 aku merasa pernah melihat sang ibu entah di mana. Aku lupa.😅

Kubuka kulkas dan segera melihat isinya. Kuambil sebuah pisang untuk kucemil selagi menunggu Aa selesai mengaji. Saat kututup, sang tamu ternyata melontarkan pertanyaan (atau permintaan?) padaku. Ia hendak meminjam uang untuk keperluan biaya sekolah anaknya. 300 ribu. Aku tak segera mengiyakan ataupun menolak pertanyaan ibu itu. Kenapa?😮

Hendak menolak, kulihat si ibu seperti sedang sangat terdesak dan benar2 membutuhkan uang itu. Untuk biaya sekolah anaknya pula.😐

Hendak mengiyakan pun aku tak langsung bisa. Karena aku tak mengenal ibu itu dan tentu aku juga harus meminta ijin Aa terlebih dahulu. Karena uang yg kupunya saat itu adalah uang belanja dari Aa.😐

Akhirnya aku segera pamit sebentar untuk menanyakannya kepada Aa. Pas sekali. Aa juga sudah selesai mengaji.😊

Saat kuutarakan pertanyaanku. Dengan segala sebab dan kondisi sang ibu, Aa pun mengijinkan ku untuk memakai uang belanja untuk dipinjamkan pada ibu itu. Tapi dengan aturan, 200 ribu dari uang belanja dan 100 ribunya dari dompet pribadi Aa. Segera kami siapkan uang 300 ribu itu untuk kemudian kuberikan pada sang ibu. Sang ibu menjanjikan untuk mengembalikan nya pada esok sore jam 5.

Aku sebenarnya sempat waswas, jika2 si ibu tak menepati janjinya. Tapi segera kuluruskan niatku untuk membantu si ibu dan memilih untuk berkhusnudzon saja. Padanya. Juga pada Allah tentunya. 😊 Aku percaya, bahwa setiap niat yg baik insya Allah akan membawa kebaikan pula kepada pelakunya. 😊 Maka bismillah. Ku bersihkan hati dan pikiranku dari pikiran2 su'udzon yg menggelisahkan.😊

Keesokan harinya, sang ibu benar datang. Sebelum membicarakan topik hutang, si ibu menanyakan persiapan surat2ku untuk mendapatkan jamkersal (program pemerintah yg menggratiskan biaya persalinan). Barulah kuingat kalau beliau adalah salah satu kader posyandu di desaku.

Kuutarakanlah padanya perihal ketidaksiapan kami (Aa dan aku) untuk menyiapkan KK. Sebabnya adalah terkait dengan permasalahan E-KTP yg memang tengah ramai diperbincangkan di TV. Si ibu menawarkan diri untuk membantu agar KK yg bisa kupakai sementara ini adalah KK Emak. Aku dan Aa bersyukur. Berharap semoga usaha sang ibu perihal KK itu berhasil. Aamiin.. 😊

Setelah selesai membincangkan KK dan jamkersal, barulah kami beralih topik ke hal hutang. Si ibu menuturkan dg wajah menyesal bahwa ia belum bisa membayarnya. Aku agak kecewa. Tapi setelah mendengar alasan ketidakmampuannya (karena suaminya tak mendapatkan pinjaman dr tempat kerjanya), aku pun memafhumkan. Ia menjanjikan pengembalian uangnya pd hari senin. Aku pun mengiyakan.

Senin tiba, tapi sang ibu tak kunjung datang. Mulailah pikiran su'udzon kembali mengisi benakku. Tapi segera kutepis hal itu. Sampai tiba hari selasa, si ibu tak jua datang. Aa pun menanyakan. Dan kujawab apa adanya. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah si ibu. Walau sebenarnya aku tak tahu persis letaknya di mana. Tapi bisalah aku bertanya-tanya.

Rencana kunjungan itu kulakukan keesokan harinya. Si ibu ada di rumah. Sayang disayang, jawaban si ibu kembali negatif. Alasannya gajian suaminya belum turun. Hm.. Aku mulai agak pesimis. Tapi karena alasan si ibu masih logis, aku pun memafhuminya lagi. Si ibu kembali berjanji akan mengembalikan pinjama nya di akhir Maret.

Aku pulang. Untuk mengabarkan berita itu pada Aa. Awalnya aku agak cemas Aa akan marah atau gimana. Tapi ternyata ia hanya berkata,
"Udah, Neng. Jangan ditanyain lagi ke ibunya. Klo uang belanjanya habis, gakpapa bongkar celengan juga."

Duh.
Hebatnya si Aa. Ia begitu legowo. Aku pun mengiyakan dan dalam hati mulai pula kutanam bibit kepasrahan. Pikirku, aku jua akan memasrahkan perkara hutang ini pada Allah saja lah. Alhamdulillah jika si ibu benar bisa membayar hutangnya. Tak bisa pun juga tak apa-apa. Toh setiap apa yg kupunya adalah milik Allah. Termasuk uang 300ribu itu yg juga adalah titipan. Dan aku juga sudah terbebas dari kewajiban menanyakan hutang.

Ya. Setiap orang yg memberikan pinjaman memang memiliki kewajiban untuk mengingatkan si peminjam tentang hutangnya. Minimal sekali. Hukumnya sama seperti saling mengingatkan di saat saudara sesama muslim sedang khilaf. Karena hutang juga sebuah kekhilafan. Apalagi hutang juga termasuk satu hal yg akan menahan amal shaleh seseorang di akhirat nanti. Hii... 😣 semoga kita tehindar dr berhutang ya, kawan.

Intinya, sampai aku selesai membuat catatan ini, pinjaman itu belum juga kuterima kembali. Si ibu malah kembali menjanjikan untuk membayarnya pada akhir april nanti. Kali ini dg alasan yg makin absurd. Katanya, Suaminya menabrak anak kecil dan harus membayar biaya pengobatan anak itu.

Hmm.. Aku mulai agak kasihan dengan si ibu. Entah benar atau tidak ucapan2nya selama ini. Jika benar, nasibnya sungguh malang karena ditimpa kesulitan yg bertubi-tubi. Jika tak benar, ia tentu akan kembali pusing untuk memikirkan begitu banyak alasan ketidakmampuannya untuk membayar hutang. Mau buat alasan apalagi coba?

Cukup tentang kisahku.😊
Ada ibroh yg bisa kudapat dari peristiwa hutang ini.

Aku bisa saja marah, mencerca bahkan menuntut si ibu atas sikapnya yg lalai perihal hutang. Tapi kemudian aku melihat Aa. Dg segala sikap legowonya. Sadarlah aku bahwa aku tak perlu bersusah payah untuk marah2. Marah2 pun belum tentu uang kami kembali. Dan aku juga sadar bahwa uang itu adalah salah satu titipan-Nya. Jadi Ia berhak untuk mengambilnya dg cara2 yg dipilih-Nya. Kuanggap saja peristiwa ini sebagai ujian kesabaran bagi Aa dan aku. Juga pelajaran untuk kami lebih mawasdiri dg segala kepribadian disekitar kami. Maka aku tak marah. Sungguh tak marah. 😊

Aku juga bisa membuka aib sang ibu ke khalayak ramai. Cukup memberitahukan Emak, maka kukira Emak akan langsung "melabrak" si ibu. Tapi kemudian aku kembali ingat. Bahwa membuka aib orang lain itu termasuk salah satu perbuatan yg tak terpuji. Aku juga teringat dg sebuah hadits yg menyatakan bahwa siapa yg menampakkan aib orang lain, maka Allah pun akan menampakkan aibnya dalam cara yg lebih keji. Hii.. Ngeri.. 😣

Aku juga bisa "curhat" di medsos, baik dg menyebut atau tidak menyebut nama si ibu. Seperti juga yg dilakukan beberapa kawanku (walau dg permasalahan yg berbeda). Tapi buat apa coba marah2 tak jelas di medsos. Hanya membuat isi wall-ku jadi kotor dg hujatan saja. Hmm.. Tak usahlah ya.

Akhirnya aku memilih untuk diam. Diam adalah senjataku menghadapi peristiwa ini. Aku tak akan lagi mengeruhkan pikiranku dg bersu'udzon. Biarlah Allah yg memutuskan. Karena aku yakin Dia Maha Tahu akan apa yg terbaik untuk setiap dari kami.

Aku memilih tuk move on. Cukup bagiku memfokuskan diri pada hal2 baik lain di sekitarku. Tak perlu berlarut-larut memikirkan peristiwa hutang ini yg hanyalah masa lalu. Bukankah cara terbaik untuk membalas keburukan di masa lalu adalah dg merencanakan hal-hal baik di masa depan? So, let's move on! 😊

Dan aku juga memilih untuk diam.
Semoga kediamanku ini adalah emas. Sesuatu yg membawa kebaikan padaku dan keluarga. Aamiin.. Allahumma aamiin...
😊😊😊

Sekian catatanku.
Salam hangat ya, kawan! 😊😉😋