Rabu, 28 Mei 2014

Puisi, "Batas Umurku"


Ahad malam, 25 Mei 2014.
 Hari ini keluargaku cukup sibuk dengan suatu peristiwa.

Siangnya, Herdi, Adikku kehilangan dompet. Ia kehilangan dompet miliknya dalam perjalanan ke rumah sahabatnya di Kondang. Saat itu keluarga kami  lengkap berada di rumah. Bapak yang memang masih dalam masa recovery akibat sakit Typhus selama hampir dua minggu. Emak yang sedang sibuk dengan anak-cucu-cicit ras Kambingnya. Juga Aku sendiri yang sibuk dengan segala kesibukan ala kadarnya (:P). kami semua kaget mendengar akuan Herdie perihal dompetnya itu. Akhirnya, setelah beberapa menit kami lalui dengan perbincangan seputar kronologis kejadian, Bapak pun mengajak Herdi untuk segera ke polsek Mauk untuk mengurus surat pengaduan kehilangan. Sementara aku dan Emak, harap-harap cemas penuh doa di rumah. Dalam hati kami berharap, semoga ada yang berbaik hati untuk mengembalikan dompet Herdi ke rumah.

Selesai mengurus surat pengaduan kehilangan ke polsek, sorenya Herdi pamit pergi untuk kembali ke kantornya di Cisoka. Sebelum keberangkatannya kami (Bapak, Emak, dan Aku) menguatkan hatinya untuk berlapang dada untuk peristiwa yang dialaminya itu. Herdi pun sempat tersenyum dan mengutarakan harapannya perihal dompet miliknya. Semoga sebelum ia pulang ke rumah pada Jumat mendatang, sudah ada orang yang mengembalikan dompetnya ke rumah. Kami yang mendengar harapannya itupun mengaminkannya.
Amin. Allahumma Amiin.
Setelah Herdi pergi, kami sekeluarga kembali pada aktivitas kami masing-masing. Bapak dan Emak mengurus ternak. Sementara aku merapihkan rumah.

Alhamdulillah.
Allah Maha Pengasih kepada Herdi dan kami.
 Doa kami terkabul. Karena mendekati waktu maghrib, ada dua orang pemuda berusia akhir belasan yang dating ke rumah dan mengantarkan dompet Herdie. Aku, bapak dan Emak bersyukur sekali. Kami mengucapkan terima kasih kepada dua pemuda itu yang kemudian kami kenal dengan nama Njul dan Paim. Sembari dalam hati mengirimkan doa kebaikan selalu untuk mereka yang telah membantu memulangkan dompet Herdi.



Setelahnya, Kak Paim dan Njul pamit pulang. Dan keluargaku bersiap-siap menyambut maghrib setelah kami kirimkan berita ditemukannya dompet itu ke Herdi.


Malamnya, aku membaca-baca diary lamaku. Dan di sana, kutemukan kembali beberapa puisi yang pernah kubuat bertahun-tahun yang lalu. Di postingan kali ini, kuputuskan untuk menuliskan salah satu puisiku itu. Ini dia.

Batas Umurku
Wahai umur,
Sampai kapankah batasmu di dunia ini?
Aku ingin lekas sampai pada batas itu
Namun aku tidak ingin meninggalkan yang kusayang

Kau sahabatku
Kita berada dalam satu takdir-Nya
Kita tak pernah tahu
Kapan kita berada di ujung kehidupan

Aku menyayangimu
Terkadang, bahkan cukup sering
Kuberharap tak akan sampai pada batas takdir
Tapi aku ingin sekali
Berjumpa dnegan-Nya

Aku akan menceritakan
Apa-apa yang kulakukan di dunia
Selama kau menemaniku
Aku ingin

Tapi...
Terlebih dulu aku ingin mengukir senyuman
Di hati-hati yang kusayang
Dan kuharap, ukiran itu kan abadi
Walaupun kita telah melewati batas takdir-Nya
Menuju kehidupan baru yang kekal abadi

(Puisi ini ditulis pada,
Rabu, 30 Agustus 2006
Di Rumah Putih)

Berguru pada Sang Ulat



Di pertengahan bulan Mei 2013.
Saat itu aku sedang duduk santai di pinggiran danau Situ Gintung. Tak ada alasan jelas mengapa aku di sana. Aku hanya ingin menikmati kebersamaanku bersama hening dan alam. Itu saja. ^.^
Saat itu, waktu di Asiaphone milikku menunjukkan pukul 13.29. Amannya aku sedang haid, jadi aku dibebastugaskan dari kebutuhanku akan shalat.
Jadi, meski hari masih cukup siang, kusaksikan langit cukup mendung. Kurasakan pula angin yang berdesir cukup kencang. Membuat riak-riak air di permukaan danau yang terlihat tiada putusnya.
Tenang.
Begitulah isi benakku saat itu.
Menikmati sapuan lembut angin Timur dan aroma rerumputan liar di pinggiran danau Situ Gintung. Aku merasa tenang..
Hmm..
Semua hal itu mengingatkanku kembali akan mimpi lamaku untuk memiliki sebuah rumah sederhana di pinggir pantai. Rumah di mana akan kuhabiskan masa-masa bahagia dan laraku di sana bersama keluargaku.
Mimpi ini cukup kuat menyentak kesadaranku. Sampai-sampai aku harus kembali mengulang pertanyaan sama yang meresahkanku selama beberapa tahun ini.
“adakah mimpi-mimpiku akan terwujud?”
Yah..seperti itulah..

Ok. Kulanjutkan saja perbincangan kita pada realita.
Jadi, saat aku tengah menikmati pemandangan alam-Nya yang meneduhkan di Situ Gintung itu, tak sengaja mataku menangkap hal menarik di serumpun ilalang yang tumbuh di tepi danau di hadapanku. Apakah hal menarik itu?

Kudapati di salah satu rumpun ilalang yang tak henti-hentinya bergoyang disapu angin itu, seekor ulat hijau berukuran sejari telunjukku.
Takutkah aku melihatnya?
Tidak.
Justru melihat ulat itu bertengger di rumpun ilalang malah membuatku cukup terkesima. Dalam pikiranku bergumam kata-kata berikut ini.
tidakkah ulat itu merasa takut terjatuh? Ilalang itu tak henti-hentinya bergoyang diterpa angin. Sementara ulat itu bertengger di sana tepat pada pucuknya! Jika bisa kuandaikan, mungkin bertengger di sana akan terasa seperti aku bertengger di puncak pohon kedongdong sambil bertahan dari hempasan badai yang tak henti mengolengkannya. Tidakkah ulat itu merasa takut? Atau khawatir, mungkin?
Seperti itulah…
Dan kemudian, tiba-tiba saja benakku sudah mendapatkan sendiri jawabannya. Kukira jawaban ini berasal dari terka nuraniku sendiri. ^.^

Ulat itu tentulah merasa takut ketika bertengger di rumpun ilalang yang tak henti bergoyang. Tapi dibandingkan rasa takut, ia memiliki keyakinan kuat tuk bertahan karena yang ia tahu, begitulah jalan hidupnya. Begitulah kehidupan bagi dirinya.
Ulat itu menyadari kemampuan yang dianugerahkan Yang Maha Adil kepadanya sebagai usahanya untuk bertahan. Ia memiliki puluhan kaki yang akan membuatnya tetap tegak di tempat manapun ia berpijak. Dengan langkah-langkah kecilnya ia akan meninggalkan jejak di rumput, daun, tangkai, batang, bahkan tanah bumi sebagai bagian dari latihannya untuk menjadi makhluk yang lebih kuat. Bahkan jikalau bisa semakin kuat di setiap jejak langkahnya. Hingga ketika sampainya ia di tempat yang ditakdirkan, ulat itu akan membangun lapisan pelindung dari air liurnya sendiri untuk kemudian bersabar dalam metamorfosenya selama beberapa waktu. Menjadi kupu-kupu. Menari bersama angin kelana.
Begitulah sangkaanku tentang seekor ulat di pucuk ilalang.
Selama beberapa waktu kuheningkan kembali sangkaanku itu. Hingga kemudian kudapati rasa baru muncul di benakku. Rasa iri.
Ya. Aku merasa iri pada sang ulat.
Iri pada kemampuannya untuk menyadari dan menggunakan kekuatannya untuk bertahan hidup. Iri juga pada kearifannya dalam bersahabat dengan segala unsur dan pernak-pernik kehidupan. Terpaan angin kencang. Ilalang yang mudah bergoyang. Pun juga pada kemilaunya panorama di sekitar. Aku iri sekali pada ulat itu. Sungguh!

Hmm.. langit bergemuruh samar. Nampak akan hujan, tapi entahlah..aku tak melihat awan yang cukup mendung sebagai pertanda turunnya hujan. Akhirnya kubiarkan saja langit dan alam berkata apa. Sementara aku kembali pada kekhusyuanku menikmati panorama yang disajikan di sekitarku saat itu sembari menikmati pula alunan lembut musik melalui earphone dan handphone-ku. Dan kemudian kulihat sang ulat mulai turun dari pucuk ilalang dan bersembunyi di bagian bawah dedaunan. Kuterka mungkin ia merasa hujan kan segera membumi. Kuamati pergerakannya baik-baik. Sebelum akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan beranjak pergi dari Situ itu. Sembari melangkah, dalam hati kubisikkan doa,
“Allah, Yaa Lathiif, kelak ketika tiba waktunya aku tuk kembali kepada-Mu, kumohon jadikan hamba-Mu ini sekuat-kuatnya manusia yang bisa melembutkan hati dari nafsu dan keegoan diri. Amiin. Allahumma amiin.”

Sabtu, 24 Mei 2014

Cerpen, "Bincang Sunyi bersama Cinta"

Cinta.
Aku larut dalam samudramu.
Tenggelam hingga ke dasarnya,
Tanpa keyakinan untuk bisa kembali ke tempatku semula.
Bagaimana bisa?

Berawal dari percikan, aku gamang dalam harapan lama
Merinduinya,
Mendambanya,
Pun mencintai waktu saat bersama dengannya.
Harapanku sederhana saja,
Bisa melihat senyum cemerlang di bawah dua gemintang cokelat miliknya.
Sederhana sekali, bukan?

Dan waktu terus berlalu
Menyeret langkahku untuk terus mengikuti ke mana tawa dan senyumnya pergi
Apa dayaku?
Senyumnya begitu memikat hati ini
Kesediaanku untuk melakukan apa pun demi melihat senyumnya begitu merajaiku
Pun ketika harus kulukai diri ini demi kebahagiaannya,
Aku memenuhinya.
Kubiarkan senyumnya dimiliki bidadari lain,
Sementara aku bertahan dalam topeng ketegaran.
Itu kulakukan, cinta.
Demi dia.
Demi dia.

Cinta.
Aku terluka.
Bilangan tahun tlah menyeretku jauh.
Membuatku kehilangan arah menuju mimpi-mimpiku lainnya
Sementara aku bersembunyi di balik bayang senyumnya,
Ia kian cemerlang dalam rangkulan bidadari jelitanya.
Sakit.
Rasanya terlampau sakit, cinta.

Dan tibalah waktu henti itu.
Kuputuskan untuk berhenti melihatnya
Berpaling dari cemerlangnya binar senyum miliknya
Membutakan diri dari segala hal tentangnya
Kutulikan pendengaranku dari suara dan nama miliknya
Kututup hatiku rapat-rapat dari berkemungkinan menyadari keberadaanmu, cinta.
Maaf..
Aku hanya terlampau lemah untuk bertahan dalam rasa pedih ini.
Maafkan aku, cinta..

Cinta.
Aku pun berada dalam zona kebimbangan,
Usai lama tak kusinggung jalur langkahku dengan langkah miliknya.
Duniaku kebas saat itu.
Bagiku setiap waktu adalah malam
Sayangnya malamnya duniaku tak memiliki rembulan,
Ataupun sepercik saja bintang sebagai penerang.
Aku gagap dalam gulita ini, cinta.
Tolong aku.
---
Selintas kabar tentangnya datang padaku
Dia hendak pergi menuju keabadian surga milik-Nya
Bersama sang bidadari...
---
---
Cinta.
Aku kembali.
Kutemukan jalur awalku menuju mimpi-mimpi yang sempat terabaikan
Dan kami bertemu lagi, cinta.
Ia menjadi satu dari sedikit malaikat yang membantuku menemukan jalurku
Aku berterima kasih kepadanya juga kepada malaikat-malaikat lainnya.
Terima kasih..

Dan kali ini, hatiku bisa bersanding dengan sang ikhlas.
Kabar tentang perpisahannya dengan sang bidadari tak membuatku lantas
Berbahagia di atas derita yang tengah dihadapinya.
Aku tak lagi memandangnya sebagai harapan yang bisa kumiliki
Karena bagiku kini,
Ia adalah malaikat yang terlampau cemerlang meski hanya untuk memenuhi mimpiku saja.
Satu harapku tentangnya adalah,
Ia bisa menemukan bidadari lainnya yang secemerlang dirinya.
Amiin..


Hm..
Cinta.
Kurasa takdir mengajakku bermain.
Kami bertemu kembali.
Dalam perjumpaan yang tak pernah terpikirkan.
Kembali berjalan bersama waktu,
Kami bertiga melaluinya bersama.
Aku, dia, dan waktu.

Cinta.
Kurasa dinding di hatiku mulai retak
Kurasa pula aku bisa melihat wujudmu lagi.
“bagaimana bisa?” kau mungkin bertanya.
Waktu dan dia, cinta..
Waktu dan kebersamaan dengannya lah yang kurasa
Bisa mempertemukan lagi kita berdua.
Apa dayaku?

Cinta.
Benar dugaanku.
Waktu dan dia memang kembali mempertemukan kita.
Kau dan aku, cinta.
Kusadari hingga kini, bahwa dayaku semata tak bisa melepaskanku dari jeratmu
Aku terlampau padamu, terhadapnya.
Aku terlampau mencintainya, cinta.
Jadi, kubiarkan waja waktu mengajakku ke mana.
Bersamamu di sisiku, kulangkahkan dayaku menuju mimpi-mimpiku
Meski masih, tak bisa kulepaskan benakku dari memikirkan kilau senyumnya.
Bukankah ini karenamu, cinta?
Tenang saja! Aku tak marah.

Cinta!
Benarkah itu?
Benarkah ucapannya itu?
Bahwa dia memiliki kamu terhadapku?
Bahwa dia (juga) mencintaiku?
Katakan, cinta!
Katakan, bahwa ini bukanlah mimpi!
Bahagia ini terlampau pekat dan membuatku menyangkanya sebagai mimpi!
Aku bahagia, cinta!
Bahagia sekali!

Cinta!
Dia mengajakku pergi menuju keabadian surga-Nya.
Sayangnya, aku masih terikat pada rantai hidup yang kunamakan
Sebagai tanggung jawab.
Hidupku tak hanya milikku saja, Cinta.
Ada mereka-mereka yang berhak melihat kesuksesanku terlebih dahulu
Maka, dengan ringan hati, kujawab ajakannya dengan pernyataan,
“maaf. Mungkin kita masih bisa bertemu dua tahun mendatang”
Itu pernyataanku, cinta.
Sekaligus juga adalah harapanku.


Dan, Cinta!
Apa jawabnya lagi?
Ia bertitah seperti ini,
“jalani hidupmu dengan baik. Dan ijinkan aku menganggap pernyataanmu sebagai penolakan”
Aku menerima titahnya.
Sekaligus juga bertanya-tanya dalam hati.
Kutanyakan pula tanya hatiku kepadamu, Cinta.
‘Oleh sebab apa ia memaknai ucapanku sebagai sebuah penolakan,
Tidak sebagai penantian dan harapan?’
Cinta.
Aku kembali gamang.

Kini,
Benakku kembali sangsi,
Akan kebenaran bilamana ia benar memiliki kamu terhadapku.
Bilamana ia jua memiliki harap untuk perjumpaan kami dua tahun mendatang
Bilamana ia benar-benar memaksudkan pernyataannya itu sebagai sebuah ajakan.
Mungkinkah aku salah menafsirkan?
Mungkinkah aku dikamuflase oleh harapan yang berlebihan?
Mungkinkah semua rona merah, salah tingkah,
Ataupun jua kata-kata yang diucapkannya kepadaku itu hanyalah canda biasa?
Bagaimanalah, cinta?
Aku gamang.

Dan akhirnya kini,
Kuputuskan untuk menganggap bahagia sesaat itu sebagai mimpi.
Akan kukenakan lagi topeng ketegaranku.
Akan kusembunyikan lagi harapanku tentangnya.
Tapi tidak untuk menyembunyikanmu lagi, cinta.
Kuputuskan untuk menerimamu sebagai rekanku,
Selama kuarungi waktu ke depannya nanti.
Akan kuterima keberadaanmu dengan ikhlas.
Tak akan kuusahakan lagi untuk melupakanmu.
Karena nyata sekali pelajaran yang telah kudapat dari masa lalu,
Bahwa semakin kuusahakan diri untuk menjauhimu,
Semakin mendekat dan melekat pula kamu di benakku.
Kian tak damailah hati ini nantinya.
Jadi, kita berkawan saja ya, cinta!

Tentang dia...
Biarkan langit yang menunjukkan,
Apakah garis hidup kami memang akan bertemu di dua tahun mendatang,
Atau tidak.
Dan selagi itu,
Aku akan berusaha mengakrabkan diriku dengan sang ikhlas.
Bismillah, cinta.
Kita mohon ridha-Nya untuk kita berdua...
^.^

(Tulisan ini Ditulis dan diselesaikan pada,
Senin sore, 2 September 2013
Di Rumah Putih.
Amaliyah)