Di
pertengahan bulan Mei 2013.
Saat itu aku
sedang duduk santai di pinggiran danau Situ Gintung. Tak ada alasan jelas mengapa
aku di sana. Aku hanya ingin menikmati kebersamaanku bersama hening dan alam.
Itu saja. ^.^
Saat itu,
waktu di Asiaphone milikku menunjukkan pukul 13.29. Amannya aku sedang haid,
jadi aku dibebastugaskan dari kebutuhanku akan shalat.
Jadi, meski
hari masih cukup siang, kusaksikan langit cukup mendung. Kurasakan pula angin yang
berdesir cukup kencang. Membuat riak-riak air di permukaan danau yang
terlihat tiada putusnya.
Tenang.
Begitulah isi benakku saat itu.
Menikmati sapuan lembut angin Timur dan
aroma rerumputan liar di pinggiran danau Situ Gintung. Aku merasa tenang..
Hmm..
Semua hal itu mengingatkanku kembali akan mimpi lamaku untuk memiliki sebuah rumah sederhana
di pinggir pantai. Rumah di mana akan kuhabiskan masa-masa bahagia dan laraku di
sana bersama keluargaku.
Mimpi ini cukup kuat menyentak kesadaranku.
Sampai-sampai aku harus kembali mengulang pertanyaan sama yang
meresahkanku selama beberapa tahun ini.
“adakah mimpi-mimpiku akan terwujud?”
Yah..seperti itulah..
Ok. Kulanjutkan saja perbincangan kita pada realita.
Jadi,
saat aku tengah menikmati pemandangan alam-Nya yang meneduhkan di Situ Gintung itu,
tak sengaja mataku menangkap hal menarik di serumpun ilalang yang tumbuh di tepi danau
di hadapanku. Apakah hal menarik itu?
Kudapati di
salah satu rumpun ilalang yang tak henti-hentinya bergoyang disapu angin itu,
seekor ulat hijau berukuran sejari telunjukku.
Takutkah aku melihatnya?
Tidak.
Justru melihat ulat itu bertengger
di rumpun ilalang malah membuatku cukup terkesima. Dalam pikiranku bergumam kata-kata
berikut ini.
“tidakkah ulat itu merasa takut terjatuh?
Ilalang itu tak henti-hentinya bergoyang diterpa angin. Sementara ulat itu bertengger di
sana tepat pada pucuknya! Jika bisa kuandaikan, mungkin bertengger di
sana akan terasa seperti aku bertengger di puncak pohon kedongdong sambil bertahan dari hempasan badai
yang tak henti mengolengkannya. Tidakkah ulat itu merasa takut? Atau khawatir,
mungkin?”
Seperti itulah…
Dan
kemudian, tiba-tiba saja benakku sudah mendapatkan sendiri jawabannya.
Kukira jawaban ini berasal dari terka nuraniku sendiri. ^.^
Ulat itu tentulah merasa takut ketika bertengger di
rumpun ilalang yang tak henti bergoyang. Tapi dibandingkan rasa takut,
ia memiliki keyakinan kuat tuk bertahan karena yang ia tahu, begitulah jalan hidupnya.
Begitulah kehidupan bagi dirinya.
Ulat itu menyadari kemampuan yang dianugerahkan Yang Maha Adil kepadanya sebagai usahanya untuk bertahan.
Ia memiliki puluhan kaki yang akan membuatnya tetap tegak di
tempat manapun ia berpijak. Dengan langkah-langkah kecilnya ia akan meninggalkan jejak
di rumput, daun, tangkai, batang, bahkan tanah bumi sebagai bagian dari latihannya untuk menjadi makhluk
yang lebih kuat. Bahkan jikalau bisa semakin kuat di setiap jejak langkahnya.
Hingga ketika sampainya ia di tempat yang ditakdirkan,
ulat itu akan membangun lapisan pelindung dari air
liurnya sendiri untuk kemudian bersabar dalam metamorfosenya selama beberapa waktu.
Menjadi kupu-kupu. Menari bersama angin kelana.
Begitulah sangkaanku tentang seekor ulat
di pucuk ilalang.
Selama beberapa waktu kuheningkan kembali sangkaanku itu.
Hingga kemudian kudapati rasa baru muncul di benakku. Rasa iri.
Ya.
Aku merasa iri pada sang ulat.
Iri pada kemampuannya untuk menyadari dan menggunakan kekuatannya untuk bertahan hidup.
Iri juga pada kearifannya dalam bersahabat dengan segala unsur dan pernak-pernik kehidupan.
Terpaan angin kencang. Ilalang yang mudah bergoyang. Pun juga pada kemilaunya
panorama di sekitar. Aku iri sekali pada ulat itu. Sungguh!
Hmm.. langit bergemuruh samar.
Nampak akan hujan, tapi entahlah..aku tak melihat awan yang
cukup mendung sebagai pertanda turunnya hujan.
Akhirnya kubiarkan saja langit dan alam berkata apa.
Sementara aku kembali pada kekhusyuanku menikmati panorama yang disajikan di
sekitarku saat itu sembari menikmati pula alunan lembut musik melalui earphone dan handphone-ku. Dan kemudian kulihat sang ulat mulai turun dari pucuk ilalang dan bersembunyi di bagian bawah dedaunan. Kuterka mungkin ia merasa hujan kan segera membumi. Kuamati pergerakannya baik-baik. Sebelum akhirnya kuputuskan untuk bangkit dan beranjak pergi dari Situ itu. Sembari melangkah, dalam hati kubisikkan doa,
“Allah,
Yaa Lathiif, kelak ketika tiba waktunya aku tuk kembali kepada-Mu,
kumohon jadikan hamba-Mu ini sekuat-kuatnya manusia yang bisa melembutkan hati dari nafsu dan keegoan diri.
Amiin. Allahumma amiin.”
ulat, binatang yang sangat kecil ya mel?
BalasHapustapi ia ternyata mampu mengajari kita "sesuatu" heee
iya teh. "sesuatu". hee.. ^-^
BalasHapus