Kamis, 30 Januari 2014

My 12th Song - "Blue Day"



Haih..haiih.. cemana ini? Benernya malu juga mau posting laguku yang  ke-12 ini. Kenapa? Karena lagu ini liriknya pake bahasa inggris. Gak pede… tapi ya gimana? Berhubung pingin ng-inggris. Maaf lah ya kalo dirasanya pilihan kata-kata dalam lirik lagu ini salah atau aneh. Maklum lah ya.. masih pemula. Lebih bagus sih kalo kawan sadayana mau bantu ngritik and koreksiin mana kata-kata yang salah. ^.^ makasiih..
Oke deh. Langsung aja. Ini dia laguku. Lagu yang tercipta begitu saja. Gak ribet mikirin lirik. Gak ribet mikirin grammer.
Here it is…

Blue Day
Oleh : Mei

After one day run without you again
Feels nothing but bad thing, which cross in my brain
If just possible I could meeting you
I wanna say badly, “I do really miss you”


Rabu, 29 Januari 2014

My 11th Song - "Awan yang Lari dari Langit"

hmm..
Sekitar awal September, seorang sahabatku memintaku untuk membuat musikalisasi untuk puisi yang telah dibuatnya. Aku tak menolak permintaannya itu. Justru merasa tertantang untuk kembali berkarya setelah beberapa tahun sebelumnya aku sempat "mati otak".-itu istilahku untuk 'kemalasan' ku dalam berkarya.

Jadi, berbekal bismillah dan pemaksaan diri, akhirnya dari sejumlah puisi yang telah dikirimkannya kepadaku, aku berhasil membuat musikalisasi untuk salah satu puisinya. Pada 13 September 2013, aku selesai merampungkan melodi untuk puisi milik sahabatku itu.

Sayangnya, oleh karena keterbatasan instrumen, lagi-lagi aku hanya bisa merekam nada-nada puisi itu via recorder. Dan yang direkam tentu adalah suaraku. Setelah mendengar melodi yang kubuat untuk puisinya, (aku berhutang ucapan maaf kepada sahabatku karena aku baru mengirimkan melodinya pada bulan November... ^_^ maaaff... gak ada alasan khusus juga sih, kenapa lelet banget ngirim melodinya) Sahabatku berpendapat bahwa melodi yang kubuat terasa sekali sedihnya. Dan, well, aku pribadi memang merasa melodi yang kubuat sudah sesuai dengan kata-kata yang terangkai dalam puisi sahabatku itu. tentang "Keputusasaan". berikut adalah syair puisi yang telah dibuat oleh sahabatku.

"Awan yang Lari dari Langit"
oleh Anna Lestari Anwari

Tuhan, kulihat awan lari dari langit
Seperti juga aku yang lari dari lembar takdirku
Tintanya telah memudar dijajah samudera
Memutih, menunggu sisa daun ranggas dari untainya

Tuhan, mengapa baya dan kama lumat pada waktu
Sedangkan waktu tak pernah mau ditawar
Bila sajak ada tak butuh hujan, juga tak perlu awan
Akan kucuri segalanya dari bustan langit

Tapi Tuhan, kataMu aku harus menunggu
Tak Kau katakan harus menunggu siapa
Maka aku diam di tengah hingar dunia
Yang sorenya tak lagi bisa sewarna

O, Tuhan, di mana harus kusimpan waktu tunggu
Yang tak terbatasi diri
Di kota ingatannya atau di gelisah jiwa
Penyair yang datang saat gelisahnya telah diikat janji

Aku menghuni jawabMu, Tuhan...


Dan berikut ini adalah piku not-not nada untuk lagu ke 11-ku..




sekian. ^_^ thanks ya, Rie.

Senin, 20 Januari 2014

My 8th Song - "Adakah Kau Tahu"

yuhuuuu!!! ^o^
O-genki desu ka?
semoga semua kawan dalam keadaan yang super baik. amiin.. ^_^
naaah.. berikut ini adalah lirik lagu ke delapanku.
hmm..lagu ini adalah laguku yang tersingkat. Dibandingkan liriknya, melodinya justru lebih lama. Lagu ini termasuk salah satu lagu pengantar tidur yang cukup ampuh (bikin teler! hehehe..).
Aku sendiri sering nge-play lagu ini sebelum tidur (saingan sama lagu qasidahnya Sam Bimbo). dan beneran! emang bikin cepet tidur! hiihi..
oke. daripada berlami-lami, langsung aja kita simak liriknya ya.

"Adakah Kau Tahu"
Oleh : Mei
Adakah kau tahu
Bagaimana perasaanku
Adakah kau tahu
Semua yang aku mau

Kutak bisa, ikuti maumu
Kutak mau tinggalkan Duniaku...


Dan berikut ini adalah piku not-not nada untuk lagu ke 08-ku..




(tuuhh kaan,, singkat banget kaann? ^o^ ciaw ya!)

Minggu, 19 Januari 2014

My 7th Song - "Kau Pergi"

halluuu!! ^o^
apakabar, Dee? maaf lama tak memberi kabar. kali ini, aku ingin menuliskan karya-karyaku yang belum di-publish. salah satunya adalah lagu berjudul "Kau Pergi" ini.

lagu ini adalah lagu ke tujuhku yang kuciptakan pada 11 Januari 2010. Berlatarkan pengalaman somebody yang namanya gak bisa kusebutin di laman ini. ^-^. hehehe..
Nah... sekitar Januari lalu, lagu ini ku-remake lagi. Dan alhasil kutambahin deh dua bait baru di bagian awalnya.
yap! ini dia liriknya...

"Kau Pergi"
Oleh : Mei
Ingatkah kau sahabat, akan kenangan kita
saat kita bersama, berdua bahagia
lalu datanglah ia, cintamu yang pertama
Menjanjikan kebahagiaan bersamanya

Dirimu pun menjauh,
Lalu kita berdua terpisah
Tak lagi tegur dan sapa

Reff:
Berat langkahku tuk bisa tinggalkan masa lalu
Yang indah karena kehadiranmu
Dan kini kuragu akan semua kemampuanku
Tuk bisa taklukkan duniaku

Aku di sini sendiri, kini meratapi
Semua kepedihanku
Dan kau pun telah pergi
Tinggalkanku sendiri
 Dan kini ku terluka...


Jumat, 10 Januari 2014

Cerpen - "Berlian"

*Berlian...

Karena sungguh, bersama dengan kesulitan ada kemudahan.
Sungguh, Bersama dengan kesulitan ada kemudahan.*
Yakinlah!
-------------------------------------------------------------------------------------------
“Teh Liaa!”
Aku sedikit terkejut mendengar teriakan seseorang memanggilku. Spontan saja kutolehkan wajahku ke arah kanan, ke halaman rumah minimalis bercat merah hati. Namun sebelum retina mataku menangkap rupa sosok yang memanggilku, terlebih dahulu otakku sudah mengirimkan satu nama ke benakku.
Berlian.
Benar saja. Bocah perempuan berusia kurang lebih empat tahun itu sedang melihatku dari jarak tujuh meter. Lengkap dengan senyum lesung pipitnya.
Duh.duh.duuh.. manisnyaaa sepupuku ini!
Selanjutnya kubalas sapaan Lian, panggilan akrab untuk Berlian, dengan tersenyum lebar. Kubelokkan pula langkah kakiku menuju halaman rumahnya, tempat Lian berada. Selagi berjalan, kuperhatikan Lian dengan lebih seksama. Ia sedang jongkok di samping kakak sulungnya, Alfi, yang sedang mengutak-atik motor bebek keluaran sembilan puluhan miliknya. Sekejap saja aku terhenyak begitu melihat baju yang dikenakan Lian. Rok model lipat berwarna merah yang panjangnya selutut dan dipadukan dengan kaus dalam yang warnanya cukup jauh dari warna asalnya yang putih. Hatiku dibuat miris begitu melihat beberapa luka goresan di lutut dan lengan Lian. Jumlahnya kurasa sebanding seperti yang biasa dimiliki anak lelaki seumurnya.
Boneka perca yang tak terawat... desahku dalam hati.
Sesampainya aku di dekat Alfi dan Lian, aku menyapa mereka.
“Sibuk bener, Fi. Awas, jangan sampe salah masukin baut. Entar yang ada, baru juga di-starter motornya udah langsung ancur berantakan”
Alfi menoleh sekilas sebelum tersenyum menanggapi candaanku. Saat itu, ia masih asyik berbaring di bawah motornya sementara kulihat Lian asyik mengumpulkan baut-baut yang berserakan di dekatnya.
Enggak lah, Teh. Ada juga Teh Lia. Udah gerang* masih aja pake sandal warna-warni!”
Aku kaget. Langsung saja kulihat sandal yang kukenakan.
Benar. Sandal cap Shallow yang kukenakan memang tak serasi. Yang kanan bertali merah sementara yang kiri bertali Kuning. Spontan saja aku tertawa kecil mengiyakan kecerobohanku.
“Hahaha! Iya! Ampun deh. Ini pasti karena buru-buru. Habis warnanya mirip sih.” Karena Emak pingin kembaran pas beli sendal, makanya kita beli sendal semerek yang cuma beda warna talinya. Jadi gini deh akibatnya! Malu euy!, tambahku dalam hati.
Alfi kemudian tak lagi membalas kilahku. Mungkin memberiku kesempatan untuk menetralisir rasa malu yang kurasakan. Akhirnya kuputuskan untuk beralih memerhatikan Lian. Sesaat tadi ketika aku menertawakan kecerobohanku, Lian hanya menatapku sebentar dan tersenyum sebelum akhirnya kembali berkutat dengan baut-bautnya.
“Lian lagi apa?” tanyaku kepadanya setelah ikutan berjongkok.
Lian tak menolehkan wajahnya ketika menjawab pertanyaanku dan masih sibuk dengan baut-baut di tangannya.
“Lian bikin kelas, Teh.”
Aku sedikit bingung dengan jawaban Lian itu. Alhasil kuputuskan untuk kembali melontarkan tanya. Berharap bisa memahami maksud dari misteri pikirannya tentang ‘kelas’ itu.
“Kelas apa, Lian?”
Kali ini Lian menoleh sembari menunjukkan dua buah baut di tangannya. Dengan lagak seorang guru, Lian menjelaskan.
“Ini lo, Teh. Kelas besaal...” ia menunjukkan baut berukuran agak besar di tangan kanannya. “...Sama kelas keciiil” dan ia menunjukkan baut berukuran lebih kecil di tangan kirinya.
“Ooohh.. iya, ya.”
Aku tersenyum. Tiba-tiba saja merasa kembali kalah. Sebelumnya aku sudah dibuat malu oleh kejelian Alfi terkait sandalku yang tak serasi. Kali ini aku kembali dibuat malu karena kalah oleh daya imajinasi Lian, yang hanya seorang bocah empat tahun.
Sekilas kulihat Alfi ikut tersenyum.
Aih.. aiiihh... dua kakak beradik ini emang jago bikin orang malu ya! Umpatku pelan dalam hati.
“Teh Lia!”
Spontan kembali kutengokkan wajahku ke arah asalnya suara. Lagi-lagi aku sudah mengetahui milik siapa suara itu sebelum kulihat jelas sosoknya.
Ipin.
Yap! Dugaanku benar. Tepat di muka pintu rumah yang halamannya kupijaki ini telah berdiri Ipin, adik lelaki pertama Alfi. Perawakannya yang lebih tinggi dan lebih berisi seringkali membuat orang salah mengira ia sebagai sulung di keluarganya.
“Yo! Apa kabar, Teh?”
Entah karena pembawaan Ipin yang selalu ceria, atau mungkin juga karena mimik wajah rupawan miliknya yang selalu ekspresif sehingga membuat orang-orang di sekitarnya merasa menjadi muda. Seperti aku saat ini. Aku tak bisa menghentikan otot di wajahku yang mulai membuat senyuman lebar di detik setelah kudengar suara Ipin yang memanggilku. Tak cukup hanya dengan senyuman lebar. Aku pun turut meng-copy gayanya dengan melambaikan tanganku ke arahnya. Hampir saja aku lupa untuk menjawab sapaan Ipin karena terlena oleh bara semangat miliknya yang kelewat berlebih.
“Alhamdulillah Pin, sehat! Eh, Upin-nya mana?” kembali kulontarkan candaanku.
Detik berikutnya aku sadar. Adalah kesalahan jika berani mencandai Ipin tentang ‘Upin’. Karena di samping Ipin bukanlah anak kembar seperti yang ditayangkan di televisi, Ipin juga jauh lebih cerdik dalam membalas candaan dibandingkan abangnya, Alfi. Simak saja ucapannya berikut ini. Setelah hanya tersenyum tipis menanggapi candaanku, ia melontarkan candaan balasannya untukku.
“Ishk.. ishk.. iiisshkk...” (untuk yang satu ini, gayanya sungguhan mirip seperti Si Ipin yang di televisi. Lengkap dengan gelengan kepalanya.)
 “...hari ini bu guru lagi seneng sama pelangi ya? Itu baju merah. Rok ijo. Kerudung biru. Eeehhh,, sendalnya pelangi pula di kanan-kiri! Lagi trend ya, Bu?”
Kali ini wajahku jelas memerah karena malu. Tak banyak yang bisa kukatakan untuk membela diri. Alhasil aku hanya bisa ikut tertawa bersama Ipin. Bahkan Alfi dan Lian pun ikut menertawakanku.
Keceriaan kami di penghujung sore bulan Januari itu terasa tak akan berakhir. Hingga kemudian kami berempat dikagetkan oleh sebuah suara yang berasal dari dalam rumah.
KROMPYANG... Pyang.. Pyang.. Pyang...
Aku terkejut. Sangat. Terlepas dari penyakit lamaku yang memang mudah terkejut, suara seperti perkakas dapur yang jatuh itu membuatku teringat pada peristiwa beberapa bulan yang lalu di tempat yang sama. Di rumah ini. Bedanya, dulu peristiwa itu berlangsung di waktu selepas magrib. Peristiwa yang masih kuingat dengan jelas rinciannya, bahkan hingga saat ini.
----------------------------------------------------------------------------------------
Saat itu aku hendak mengantarkan rok milikku yang resleting-nya bermasalah untuk diperbaiki oleh Bi Sari, yang notabenenya adalah seorang penjahit baju. Baru saja langkahku tiba di muka pintu rumah Bi Sari, terdengar suara nyaring perkakas yang jatuh. Lebih tepatnya mungkin seperti suara perkakas yang dibanting. Aku terkejut mendengar suara yang asalnya dari rumah Bi Ambar, rumah di seberang rumah Bi Sari itu. Dan tak hanya aku saja yang terkejut, tak lama Bi Sari pun muncul dari dalam rumah demi mengetahui apa yang sedang terjadi.
“Lia? Ngapain di situ? Tadi suara apaan, Li?”
“Kurang tahu juga, Bi. Asalnya sih dari rumah Bi Ambar deh kayaknya.”
Perbincangan kami ini tak lama diinterupsi oleh suara kecaman dan teriakan yang berasal dari rumah Bi Ambar.
“Bilang! Bilang sama saya! Kalo perlu apa-apa bilang sama saya! Gak kayak gini! Saya udah kasih uang gaji saya semuanya ke kamu! Itu banyak! Buat keperluan apa sih sampe kamu hutang ke rentenir segala? Bilang, Hah!”
“Gak cukup! Lu pikir emang duitnya gua kemanain? Ya buat biaya sekolah anak-anak lah! Terus mereka makan pake apa? perlu duit lah!”
“Gajiku tiga juta, Mbar! Gak sedikit! Terus ke mana uang empat juta yang kamu pinjam dari rentenir sialan itu, hah?”
“Y-Ya Habis buat ini-itu lah!”
“Uang SPP Alfi juga? Kamu embat uang sekolah anakmu, Mbar?! Tega kamu!”
Mendadak kecaman dan teriakan itu berhenti. Tanpa kusadari aku sudah meremas ujung jaketku. Kantung kresek berisi rok milikku yang hendak kuperbaiki pun entah sejak kapan sudah berada di atas dipan. Kutatap Bi Sari yang sama terhenyaknya sepertiku. Kami saat itu masih ada di depan pintu sembari memandang cemas ke arah rumah Bi Ambar. Tanpa kami sadari beberapa orang lain juga sudah keluar dari rumahnya masing-masing dan memandang ke arah yang sama. Ada Mak Yati, Bi Enjum, Bi Amah, Mang Usep, dan sepupu-sepupuku lainnya. Selama beberapa saat kami semuanya tak berani mengambil tindakan.
“Li, panggil bapakmu Li. Cuma Ka Abdul yang bisa melerai pertengkaran ini. Cepetan, Li!”
Kudapati kegentingan dalam suara Bi Sari ketika menyuruhku untuk memanggil bapak. Aku pun akhirnya bersegera pulang ke rumah untuk memanggil bapak yang kukira sedang tidur.
Aku berlari menerabas angin malam. Gugup, cemas dan rasa takut akan apa yang sedang terjadi pada keluarga Bi Ambar membuat langkahku tertatih-tatih. Dan begitu aku sudah sampai di rumahku yang jaraknya sekitar seratus empat puluh meter dari kompleks rumah bibi-bibiku, segera kubangunkan bapakku yang memang benar sedang tiduran. Butuh waktu semenit lebih lama dari yang seharusnya bagiku untuk menceritakan peristiwa yang sedang terjadi kepada bapak. Tapi tak lama setelahnya bapak bersegera menuju rumah Bi Ambar. Dan aku mengikuti langkah bapakku dari belakang.
Sesampainya di depan rumah Bi Ambar, nampak suasana mulai berubah. Saat itu bibi dan paman-pamanku sudah mulai berkumpul di depan pintu rumah Bi Ambar. Bapak segera saja membelah kerubungan di depan pintu itu dan memasuki rumah. Aku sendiri memutuskan untuk berdiri di samping Bi Enjum. Adik bungsu bapakku ini tak terpaut jauh usianya denganku, jadi kami sama-sama merasa takut untuk ikutan bertindak sesuatu.
Dari dalam rumah, suara kecaman milik Mang Anda dan Bi Ambar nampak mulai mereda. Hanya terdengar tangisan Lian yang sekilas kulihat berada dalam pelukan ibunya. Bi Ambar juga terlihat masih menangis. Di sofa ruang tamu itu, ia memeluk Lian sembari mengelus kepala putri bungsunya itu dengan perlahan.
“Sabar, Nda. Kita bisa bicarain baik-baik.” Lerai bapakku.
“Tapi Kak, Ambar udah kelewatan! Dia pinjam uang rentenir tanpa bilang ke saya. Parahnya, uang SPP Alfi juga diembatnya. Ibu macam apa dia!”
“Iya. Kita tahu itu. tapi kan...”
“Udah! Saya gak mau urusin dia lagi! Terserah dia mau apalah. Saya capek!”
Mang Anda beranjak ke arah pintu. Kali ini bibi dan pamanku yang tadinya berdiri di dekat pintu pun mulai menyingkir. Beberapa dari kami mencoba menghalangi.
“Sabar, Nda..”  Abah Engkus, suami dari Mak Yati mencoba menghentikan Mang Anda.
“Istigfar, Nda..” Bi Amah, Adik keempat Bapakku pun turut mencegah langkah Mang Anda.
“Tunggu dulu,  Kak Nda..” dan kali ini adalah Mang Usep, putera sulung dari Mak Yati.
“Huwaaaa....” dan ini adalah tangisan Lian yang semakin kencang mendapati bapaknya yang hendak pergi.
Di antara semua kepelikan suasana itu, aku kebingungan. Tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu.
“Yaudah! kalo lu mau pisah, gua terima!”
Suara tegas milik Bi Ambar itu bak seperti minyak bagi api yang sudah berkobar dalam diri Mang Anda. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Mang Anda yang sudah mau keluar dari rumah akhirnya berbalik dan kembali menghadap istrinya itu.
“Jadi itu yang kamu?! Oke. Kalo gitu anak-anak ikut sama saya! Ayo Lian, ikut ayah!”
Suasana menjadi kian tak tertahankan ketika Mang Anda menarik paksa Lian dari pelukan ibunya. Banyak hal terjadi secara bersamaan di detik berikutnya. Bapakku dan Abah Engkus yang mencoba menahan lengan Mang Anda. Bi Ambar yang semakin memeluk erat Lian. Alfi, Ipin, dan Aldi yang memegang kaki ayahnya yang sedang kalap sambil menangis sesenggukan.
“Anda! Sabar! Kasihan anak-anak! Kita bisa bicarakan ini baik-baik! Istighfar, Nda! Istighfar!”
Itu adalah suara  bapakku. Kali itu, Mang Anda mau berhenti. ia kemudian melihat ketiga putranya (Alfi, Ipin dan Aldi) yang menangis di kakinya. Ia juga melihat Lian, putri bungsunya yang masih menangis kencang di pelukan ibunya. Mang Anda mulai terdiam dan menepuk pelan kepala putra-putranya. Di waktu yang bersamaan, Bi Ambar pun mulai melonggarkan pelukannya terhadap Lian.
Suasana tampak lengang selama beberapa saat. Hanya terdengar isakan pelan dari Lian yang terlihat mulai kelelahan. Melihat putrinya mulai tenang, Bi Ambar memecah keheningan di ruang tamu itu dengan berucap lembut.
“Lian.. Lian ngantuk, bobo dulu ya?”
Kami semua menatap ibu dan anak itu dalam diam.
Masih sesenggukan, Lian bicara.
“hiks.. ayah.. hiks..mama.. udah... hiks... gak marah?”
Bi Ambar diam sejenak sebelum akhirnya tersenyum dan menggeleng.
“... ayah?.hiks.”
Kali ini Lian menggapaikan tangannya ke arah Mang Anda. Dan Mang Anda pun segera tersenyum dan meraih tangan Lian.
“Lian, bobonya sama Mak Yati dulu ya? Mama mau bikin susu dulu buat Lian.” Sambung Bi Ambar.
“Gak mau.. Sama mama aja.” Lian masih menolak bujukan ibunya.
“Sebentar aja kok, Lian. Mama bikinin susu cokelat kesukaan Lian dulu. Nanti mama bobo juga sama Lian.. ya?”
Dan di menit berikutnya, aku sudah berbaring di kamar bersama Mak Yati dan Lian di tengah kami. Lian masih sesenggukan ketika Mak Yati kipasi dan selalu menanyakan kapan ibunya datang. Sementara aku susah payah menguatkan hatiku untuk tidak menangis di hadapannya. Kuterka-terka apa yang sedang terjadi di ruang tamu yang baru saja kutinggalkan. Berharap segalanya terselesaikan dengan baik. Karena kusadari bahwa keputusan apa pun yang akan diambil oleh Bi Ambar dan Mang Anda malam ini, tentu akan memberikan dampak besar bagi kehidupan banyak jiwa. Terutama bocah perempuan yang terbaring di sampingku ini.
Duh.. Rabbi... desahku dalam hati.
Demi menghibur diriku sendiri, aku pun menyanyikan lagu nina bobo untuk Lian.
“Lian..  Teh Lia punya lagu bagus.. Teteh nyanyiin yaa...
Dedaunan di pohon
Dan angin yang menari
Aroma hujan semalam
Dan kubangan air....”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“ Teh Lia! Jiaah malah ngelamun!”
Aku tersentak dari lamunan panjangku. Suara Ipin dan tepukannya di pundakku itu menghentikanku dari mengingat malam pertengkaran Mang Anda dan Bi Ambar. Tentu saja. Saat ini aku memang berada di halaman rumah, tempat berlangsungnya peristiwa tak mengenakkan bagi keluarga besarku beberapa bulan yang lalu. Tapi saat ini aku tak lagi merasa gugup, cemas ataupun takut seperti yang kurasakan saat itu. Bahkan, baru saja aku asyik bergurau dengan Alfi, Ipin, dan Lian.
“Eh! Hehee.. sorry, Pin. Jadi, barusan suara apa?” tanyaku sembari tersenyum malu.
“Maaf ya Teh Li. Tadi Aldi nyenggol panci di meja. Berisik banget ya?”
Tiba-tiba saja kepala Aldi muncul di muka pintu untuk kemudian menghilang lagi ke dalam rumah. Aku sedikit terkejut.
“Woy, Di! Masak Mie-nya sekalian juga ya buat abang!” Ipin berteriak ke arah rumah.
“Eh, gua juga mau, Di!” kali ini Alfi ikut berteriak. Ia nampaknya sudah menyelesaikan reparasi motornya dan mulai beranjak merapihkan peralatan montir-nya.
“Bellian juga mau, Bang Di!” Ini adalah teriakan Berlian.
Tak lama, dari dalam rumah Aldi ikut berteriak.
“Pada bayar yaa!”
Aku, Alfi, Ipin dan Lian tertawa lepas.
“Teh Lia mau Mie juga gak?” tawar Alfi.
“Gak ah. Nanti disuruh bayar mahal lagi! Hahaha.. makasih, Fi. Tadi udah makan kok di rumah.”
“Bang Alfi, Ipin mandi duluan ya. Yuk, Teh Li.”
Aku mengangguk pelan ke arah Ipin yang melangkah masuk ke dalam rumah. Saat itu Lian mulai sibuk mengukir gambar di atas tanah. Entah apa maksudnya, yang jelas buatku itu kelihatan seperti kue kuping gajah. Sementara Alfi masih sibuk merapihkan peralatan montirnya.
Di menit berikutnya, entah karena angin apa tiba-tiba saja aku menanyakan kepada Alfi perihal ibunya.
“Fi, mama gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah sehat, Teh. Kemarin malam habis telpon. Katanya lebaran nanti gak bisa pulang”
“Ooh...”
Sudah. Aku tak lagi berani menanyakan perihal Bi Ambar lagi ke Alfi. Sudah cukup aku tahu bahwa Bi Ambar baik-baik saja bekerja di Arab Saudi. Aku juga kembali bersyukur bahwa Bi Ambar dan Mang Anda tak memutuskan untuk berpisah di malam pertengkaran itu. Demi anak. Begitulah kukira alasannya.
“Teh, Alfi ke dalam dulu ya naruh ini” ucap Alfi sembari menunjuk peralatan montir-nya.”
“Ya.”
Dan Alfi pun masuk ke dalam rumah meninggalkan aku berdua dengan Berlian.
 “dedaunan di pohon... dan angin yang menali.. aloma hujan semalam dan kubangan ail...”
Aku tersenyum mendengar lantunan suara cempreng milik Lian.
“Wahh.. Lian udah hapal lagunya ya?” tanyaku pada Lian.
“He. em. Lian udah hapal .” Lian mengangguk.
“Lian mandi dulu. Abang udah selesai mandinya.”
Tiba-tiba saja Ipin sudah berdiri di muka pintu dengan pakaian yang sudah diganti. Kemudian kuacak pelan rambut Lian sebelum akhirnya kuajak ia mandi.
“Pinterrr... sekarang, Lian mandi dulu yuk! Biar waa..ngii..”
Tanpa banyak kata, Lian mengangguk dan beranjak bangun. Sembari berjalan, kami menyenandungkan lagu ‘Senandung Pagi’ bersama-sama dengan riang. Sementara dalam hati, aku melirihkan doa khusus untuk Berlian, Aldi, Ipin, Alfi juga untuk semua anak lainnya yang sedang ataupun pernah bersedih dikarenakan pertengkaran orang tua.
 “Dedaunan di pohon    
Dan angin yang menari   
Aroma hujan semalam   
Dan kubangan air 

(Semoga setiap dari mereka bisa merajut dunia mereka sendiri tanpa dihantui oleh bayangan kelamnya masa lalu.)


Kecipak ikan-ikan    
Geliyat ulat daun
Aroma bunga taman
Dan jernihnya embun

(Dunia di mana mereka mampu mewujudkan setiap mimpi dan meraih kebanggaan atas diri sendiri. Dunia di mana kedamaian dalam hati bisa menjadi laksana udara yang bisa dihirup di mana saja.)


Siul burung-burung pipit
Bersahutan katak dan jangkrik
Dengungan para lebah madu
Di kepala putik
(Tak lagi merasa takut. Tak lagi perlu merasa cemas akan perpisahan.)

Langit biru awan putih
Berhiaskan lengkung pelangi

(Karena semuanya berbahagia dalam kebersamaan yang menentramkan.)

Cemerlangnya sinar mentari
Di senandung pagi”*
(Bersama keluarga terkasih.)



Ditulis dan diselesaikan pada,
Rabu, 8 Januari 2014
Di rumah putih.
Amaliyah.



* terjemah Q.S. Al- Insyiroh (94) ayat 5-6
* udah gerang = sudah besar
* lagu berjudul “Senandung Pagi” ini dikutip dari kumpulan lagu “Songs to Heaven” karya Mei.

Kamis, 09 Januari 2014

Cerpen, "Asing"

Aku berlari. Lurus melaju tanpa mengenal arah. Segala hal di sekitar kutinggalkan jauh di belakang. Sungai. Pegunungan. Juga hamparan ilalang selutut yang dijejak kakiku dengan penuh kecepatan. Hingga hanya menyisakan rasa peras di telapak kaki dan tangan.
Aku berlari. Terus melaju melawan angin. Wajahku mulai kebas karena tamparannya. Sementara benakku mulai bertanya. Angin milik musim apakah ini? Tak panas. Juga tak dingin. Terasa sejuk malah. Angin milik surga kah? Ah! Kembali kufokuskan  pandanganku ke hadapan. Tak akan kubiarkan sejuknya angin-entah-milik-musim-apa ini membuatku larut dalam hayalan. Karena aku harus terus berlari. Aku harus menjaga laju lariku. Aku harus.
Wush!
Aku sedikit membelokkan arah lariku ke sebelah kiri. Tiba-tiba saja angin dari belakang menebas sebarisan ilalang yang letaknya ada di jalur lariku sebelumnya. Selama sedetik aku terkesima melihat akibat dari tebasan angin itu. Sebarisan ilalang di kananku nampak rubuh hingga sepuluh meter ke depan jauhnya.
Huuuuuuuugg!
Sebuah suara menggema jauh di belakangku. Bulu remang di lenganku berdiri tanpa ku minta. Ada keinginan dalam hati untuk menoleh ke belakang. Memastikan apakah aku masih dalam pengejaran. Tapi tentu saja. Kuputuskan untuk mengembalikan laju lariku seperti semula. Karena dia yang sedang mengejarku, akan mampu menangkapku jika kubiarkan lajuku melambat terlalu lama.
Ada yang aneh. Sudah berapa jam kah lamanya kakiku berpacu? Aku tak tahu. Kesadaranku hanya mengatakan bahwa untuk waktu yang lama matahari tak berubah dari singgasananya. Terasa seperti jam delapan pagi. Dan kurasa aku sudah berlari berjam-jam lamanya. Tapi tunggu dulu! Di mana peluhku? Tidakkah seharusnya lelah itu ada? Mengapa pula tungkaiku masih mampu menahan laju larinya?
Tiba-tiba saja semburat warna merah muda muncul di kaki langit di hadapanku. Aku terkejut sekaligus merasa takjub. Laksana air laut yang menyapu pasir di pantai, semburat kemerahan di langit itu mulai merayap perlahan dan mengganti warna birunya. Dan aku menyaksikannya sambil terus berlari.
Huuuuuuuuuuugg!
Aku kembali disadarkan pada keadaanku saat ini. Gema suara milik dia yang sedang mengejarku telah membuat bulu remangku kembali berdiri. Tiba-tiba saja kecemasan melandaku. Sampai kapan aku bisa terus berlari? meski hingga saat ini aku tak juga lelah, tapi tentunya ada akhir dari pelarian ini bukan?
Pelarian. Pengejaran. Entah apalagi nama yang bisa kuberikan untuk peristiwa yang kualami saat ini. Yang jelas, karena peristiwa inilah kurasakan ketakutan tak berdasar terhadap dia yang kini kian mendekatiku dari belakang.
Aku tak mengenal dia. Aku bahkan tak mengetahui sosoknya. Aku hanya tahu bahwa dia memiliki kekuatan yang tak kumiliki. Bahwa dia adalah sosok asing yang menjadi horor bagi kehidupanku. Bahwa aku harus melarikan diri darinya. Karena aku tak mengenalnya.
Wush!
Aku kembali dikejutkan oleh tebasan angin dari belakang. Tebasan angin kali ini memiliki jarak imbas yang lebih jauh dari sebelumnya. Dan kali ini aku tak sempat menghindar. Beruntungnya tebasan itu hanya mengenai barisan ilalang yang terletak satu meter di sebelah kiriku. Masih sambil berlari, kuhembuskan nafas karena merasa lega.
Oh! Apa itu?!
Di daerah ilalang yang sudah rubuh karena tebasan angin sebelumnya, berterbangan kepingan benda seukuran butiran bola salju dan berwarna kekuningan. Ketika tanganku menyentuh benda itu, aku dikejutkan oleh sensasi yang kurasakan. Aku bahkan berhenti berlari dan mencoba menangkap benda kuning selembut kapas yang berterbangan itu.
Kurasa tak akan ada yang mempercayai apa yang kualami saat ini. Karena ketika kusentuh benda kuning itu, aku seperti mendapat penglihatan tentang kehidupan masa laluku. Ketika aku balita. Ketika aku belajar bersepeda. Ketika pertama kalinya aku melangkah ke sekolah. Dan ketika aku berkumpul bersama ibu, bapak, serta adikku, Fandi. Penglihatan tentang masa laluku itu membuatku tiba-tiba saja didera rasa rindu pada keluarga. Menyadari bahwa saat ini, di tempat ini, mereka tak ada bersamaku. Dan aku menangis.
Huuuuuuuuugg!
Aku tersentak dan sekejap saja semua penglihatanku tentang masa laluku itu menghilang. Kali ini tanpa kusadari kutengokkan kepalaku ke arah asalnya suara yang menggema di kejauhan itu. Dan aku semakin terkejut begitu kulihat sosok dia yang selama ini mengejarku. Jarak kami saat ini sekitar lima puluh meter. Meski begitu, mataku bisa melihat sosoknya dengan sangat jelas. Dia, yang selama ini telah mengancamku dengan rasa takut yang tak kumengerti sebabnya, bukanlah manusia.
Dia bukan manusia!
Dia bukanlah manusia.
Sosoknya  seperti kupu-kupu raksasa seukuran rumah. Jika selama ini kukira kupu-kupu adalah serangga yang paling mengagumkan, kurasa anggapanku telah berubah setelah melihat kupu-kupu raksasa di hadapanku ini. Ia bukan lagi serangga yang mengagumkan. Melainkan menakutkan!
Lari!
Lari lagi, Mel!
Peringatan yang datang dari alam bawah sadar itu membantuku mengumpulkan kesadaran. Perlahan kukuatkan kembali tungkai kakiku untuk kembali lari. Dan aku pun akhirnya kembali berlari. Meski dengan tertatih-tatih, aku terus berlari secepat yang kubisa. Aku tak ingin tertangkap oleh monster itu. Aku tak ingin tertangkap olehnya.
Kemudian, secara perlahan otakku memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
Bagaimana bisa aku di sini?!
Sebenarnya aku ada di mana?!
Aku manusia!
Aku tinggal di bumi!
Mengapa tak kudapati seorang pun manusia selainku?!
Ibuu…!   Bapaak…!       Fandi….!
Di mana kalian…?!
Tolong amell….!
Keterkejutanku nampaknya tak berakhir sampai ketika kulihat sosok monster kupu-kupu yang mengejarku. Karena aku dikejutkan lagi oleh kejadian aneh di sekitarku. Tiba-tiba saja muncul angin sejuk dari arah kiri yang menyapu pelan hamparan ilalang di sekitarku. Anehnya, entah bagaimana semua ilalang di hamparan daratan ini rubuh dan memunculkan kapas kekuningan seperti yang terjadi sebelumnya. Kapas-kapas itu berterbangan memenuhi semua daratan dan tiba-tiba terpecah menjadi serbuk kuning di udara. Serbuk kuning itu lalu mengembang hingga seukuran bola kasti untuk kemudian terbang menuju langit. Langit yang sudah cukup aneh karena warnanya yang berubah kemerahan pun menjadi lebih aneh dengan adanya bintik-bintik kekuningan. Sementara itu aku mencoba menghalau bola-bola yang mengganggu jalur lariku sambil terus berlari. Karena monster kupu-kupu di belakangku kini semakin dekat dan terus menerus menggemakan suaranya.
Huuuugg!!          Huuuugg!!
Argh!
Aku terjatuh. Tubuhku tersungkur di tanah bekas hamparan ilalang. Rasanya sakit. Pergelangan tanganku nampaknya terkilir karena posisi jatuhnya yang tak menguntungkan. Tiba-tiba pula tungkaiku lemas. Aku merasa tak lagi mampu berdiri apalagi tuk berlari. Akhirnya kuputuskan untuk menyerah. Aku mengalah.
Detik terus berganti. Sementara gema suara monster kupu-kupu kian mendekati. Di saat itulah, muncul ingatan tentang perbincangan terakhir dengan keluargaku.
“kamu mau cari yang bagaimana lagi to, Mel? Dia itu sarjana. Anak ulama pula. Orang terpandang di desa seberang. Penghasilannya juga tetap. Sudah pegawai negeri lo, Mel.”
Suara ibu terngiang kembali di benakku. Saat itu kami sedang duduk lesehan di teras rumah. Tak hanya berdua, melainkan juga ada bapak dan Fandi. Saat itu kami sedang berbincang tentang Mas Saka yang mengajukan lamarannya untukku. Sebenarnya aku tak terkejut ketika mendengar kabar lamaran ini dari ibu karena sudah tiga kali aku mengalami hal seperti ini. Dua lamaran sebelumnya sudah kutolak karena alasan ‘tak sreg’ di hati, di mana kedua lamaran sebelumnya itu berasal dari jenis pria yang sangat kuhindari. Yaitu pecinta rokok.
“Bang Saka gak ngerokok kok, Kak.” Fandi ikut membujukku.
Awalnya aku kesulitan untuk menjawab semua desakan keluargaku itu. Aku memahami maksud mereka. Aku sudah cukup umur untuk menikah. Usia dua puluh lima bagi seorang wanita jawa itu malah sudah dianggap tua. Tapi aku belum mau mengalah. Entah bagaimana caranya aku harus menemukan alasan untuk menolak lamaran Mas Saka ini. Kupandangi bapak yang biasanya selalu menjadi penyelamatku. Sayangnya kali itu harapanku padanya mesti pupus karena bapak ikutan seperti ibu yang menautkan kedua alisnya. Pertanda merasa heran  mengapa aku tak juga menerima lamaran itu.
Sebenarnya semua alasanku ketika menolak lamaran selama ini bukanlah alasan utama. Alasan utamaku menolak lamaran-lamaran itu lebih dikarenakan oleh ketakutanku yang tak berdasar terhadap pernikahan. Karena kebanyakan pernikahan orang-orang terdekatku selalu saja kudengar berita tak menyenangkannya. Entah itu pertengkaran, perselingkuhan, kekerasan, bahkan perceraian. Kedua orang tuaku pun sering kali kudapati sedang bertengkar, meski hanya untuk hal-hal sepele seperti tak meletakkan sepatu pada tempatnya. Aku takut bila kelak aku harus mengalami semua hal itu. Karena sejujurnya selama yang kutahu, aku selalu menghindari pertengkaran apalagi kekerasan.
Semua ketakutanku akan pernikahan itu kemudian memunculkan ketakutan lain yang semakin tak berdasar. Aku takut untuk mempercayai laki-laki. Untuk hal ini, aku pernah mengalaminya sendiri.
Aku memiliki seorang lelaki yang kukagumi. Dia adalah kawan seangkatan di kampusku. Saat itu kami sudah berada di semester terakhir dari masa perkuliahan kami. Dia seorang ketua dari salah satu organisasi di kampus. Dia sudah memiliki seorang istri yang sedang mengandung. Meski begitu, aku tetap tak bisa menghentikan rasa kagumku tumbuh terhadapnya. Kami seringkali dipertemukan dalam kegiatan rapat dan aksi di lapangan. Dan dari sana pula hubungan kami jadi semakin dekat. Aku sudah menganggapnya sebagai sahabat. Sayangnya, aku dikejutkannya ketika ia menyampaikan perasaannya yang lebih dari sekedar kepada sahabat terhadapku. Aku tahu bahwa tentu saat itu juga adalah saat yang terberat untuknya. Tapi tetap saja, aku sudah terlanjur merasa bersalah terhadap istrinya yang tak tahu apa-apa. Setelah itu aku mulai menghindarinya. Dan sejak saat itu pula aku mulai menjaga jarak dalam berteman dengan lelaki.
Itulah alasan terbesarku menolak semua lamaran selama ini. Sayangnya aku tak berani mengatakan alasanku ini kepada keluargaku. Hingga saat ini.
Blitz..
Pandanganku kembali ke daratan bekas hamparan ilalang yang telah menghilang. Kali ini aku menangis. Aku menangisi kebodohanku karena telah takut pada Mas Saka. Aku memang belum mengenalnya akrab. Aku tak tahu apakah dia seorang lelaki yang baik. Tapi aku juga tak bisa memastikan bahwa dia adalah orang yang buruk, bukan? Aku menangis. Menyesali kepengecutanku untuk mengenal Mas Saka dengan baik. Aku sungguh menyesal. Bisa saja dia adalah jodoh terbaik yang telah disiapkan oleh Allah untukku. Mengapa pula aku begitu sombong dan menolaknya dengan segala alasan remeh? Mengapa pula aku menakuti sesuatu yang tak kukenal? Bukankah seharusnya aku mencoba untuk mengenalnya terlebih dahulu baru kemudian memutuskan?
Tiba-tiba saja kekuatanku mulai kembali secara perlahan. Kekuatan itu mengaliri seluruh tubuh, tangan dan kakiku. Membuatku tak ingin menyerah pada keadaanku saat ini. Bahkan aku tak mau kalah pada monster kupu-kupu yang kini hanya berjarak 15 meter di belakangku. Dan aku pun akhirnya bangkit untuk kemudian berlari lagi.
Aku harus pergi dari dunia aneh ini. entah bagaimanapun caranya aku akan menemukannya. Aku ingin bertemu dengan keluargaku. Aku ingin mengenal Mas Saka. Aku ingin duniaku. Bahkan Sumi, rekan kerjaku yang menjengkelkan itu pun ingin kutemui. Aku akan bertahan!
Huuuuuugg!
Aku berlari. Berusaha menghindar dari sang monster. Berkelok-kelok jalan kuterobos. Tapi ia dengan sayapnya akhirnya mampu mengejar langkah pendekku. Di detik yang tak kuharapkan, ditangkapnya pundakku dalam cengkeraman kaki-kakinya yang berbulu. Usahaku yang meronta-ronta dari cengkeraman kakinya terasa tak berarti. Tapi kemudian ada hal aneh yang kurasakan. Cengkeraman itu tiba-tiba saja melemah dan pundakku yang dicengkeram kaki monster itu tak lagi terasa berat menahan beban kakinya. Kutengokkan wajahku ke kanan, ke atas pundakku. Sang monster yang sebelumnya berukuran sebesar rumah, kini seolah telah menyusut menjadi seukuran burung manyar.
Kini, kupu-kupu seukuran burung manyar lah yang bertengger dengan tenangnya di pundakku. Seketika itu pula rasa takutku menghilang. Tergantikan oleh rasa takjub akan rupanya. Kupu-kupu berwarna abu keperakan seukuran burung manyar. Dengan matanya yang kelabu, dikirimkannya kedamaian ke hatiku. Sekilas, entah bagaimana bisa kulihat ada senyum dan kehangatan yang terpancar di matanya. Dan perlahan kubalas balik senyumannya.
Crackk.. Crackk.. Crackk..
Tiba-tiba saja tanah di hadapanku retak. Aku meloncat ke samping kiri untuk menghindar agar tak terjatuh ke dalam retakan itu. Dari retakan itu kemudian muncul asap panas yang mengepul tiba-tiba. Tak hanya itu. Bola awan kuning di langit yang sempat kuabaikan kini mulai meletus satu persatu dan menurunkan hujan. Hujan yang juga aneh seperti bola awan kekuningan itu. Hujan ini menurunkan air yang tebasannya terasa seperti tusukan jarum. Aku kian terkejut begitu kupu-kupu cantik di pundakku ikut meletus begitu terkena tebasan hujan ini.
Pushh!
Begitulah bunyinya.
Dan giliranku yang merasa kesakitan begitu tetesan hujan itu mengenai tubuhku. Rasanya benar-benar seperti ditusuk jarum. Aku mencoba berlari dan mencari tempat untuk berteduh dari hujan aneh ini. Dan akhirnya….
“Aww!!” aku mengaduh.
Kemudian terkejut ketika mendapati ada jarum di dekat pipiku. Nampaknya jarum itu sedikit menusuk pipiku sehingga aku kesakitan. Dan tiba-tiba saja kubuka lebar kedua mataku. Menyadari di mana aku berada saat ini.
Atap putih. Lemari plastik. Rak buku.  Lalu kusentuh permukaan tempat ku berbaring. Kasur! Aku di kamarku!  AKU SELAMAT DARI DUNIA ANEH ITU!
Aku pun bangkit berdiri dan berteriak,
“Yeaah!”
Tak lama ada suara terdengar dari luar.
“Kenapa Mel? sudah bangun ya? Cepet angkat jemuran. Langitnya mendung. Ibu lagi cuci beras.”
Aku terhenyak.
“…?!! Mimpi?! Astagfirullaaahh…hhh.. mimpi aneh lagi. Udah umur segini masih aja mimpi kayak gitu. Pasti akibat tidur sore nih. Gak-gak lagi deh.”
Setelahnya, masih dengan sedikit linglung aku bergegas meraih bergo kuning yang ada di pinggiran kasurku untuk kemudian kukenakan. Kulihat di kasurku juga ada rok hitam yang baru kuingat sedang kujahit sebelum aku jatuh tertidur tadi. Jarum jahit itulah yang kukira sudah membangunkanku dari mimpi aneh di penghujung sore ini.
Setelahnya bisa kalian tebak. Kulakukan apa yang disuruhkan ibuku sebelumnya. Dan sembari mengangkat jemuran, kuazamkan dalam hati bahwa aku akan mengatakan kepada keluargaku tentang mempertimbangkan lamaran Mas Saka. Mungkin saja dia benar adalah lelaki yang baik.
Jadi, bagaimana menurut kalian? Keputusanku ini oke kan?. ^.^


Ditulis dan diselesaikan pada,
Kamis, 9 Januari 2014
Di Rumah Putih.

Amaliyah.


draft Cerpen bisa di download di sini! ^_^