Selasa, 19 Mei 2015

Cerpen - "Penguntit Ghaib"

Oleh : Mei
Genre : Horor
   Sabtu itu Aku tamasya bersama kawan sekelas. Tujuan wisata kami adalah sebuah tebing indah yang di bawahnya terdapat danau dengan bentuk melengkung.
   Sebelumnya, untuk sampai ke tebing itu aku berjalan seorang diri melewati sebuah gazebo memanjang yang membentuk jalan labirin. Di setiap jalanan gazebo itu disuguhi oleh lukisan-lukisan serta papan informasi tentang latar sejarah pembangunan tempat wisata itu. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan beberapa teman lainnya yang berjalan bergerombol. Tak hanya teman saja yang kutemui, melainkan juga rombongan wisatawan lainnya. Ada sepasang kakek-nenek, juga anak kecil yang tengah menangis karena terpisah dari orang tuanya.
   Aku terus berjalan melewati gazebo labirin itu. Sampai akhirnya tiba juga aku di atas tebing.
   Tebing itu berbentuk gelas yang pecah menjadi dua. Dengan beberapa undakan yang bentuknya melebar. Pada undakan ke tiga itulah aku bertemu dengan seorang sahabat dekatku.
    Setelahnya, kami pun berfoto-foto di tebing yang persis mengarah ke matahari yang mulai tenggelam. Panorama danau berwarna keunguan yang ada di bawah Kami memberikan warna indah tersendiri seolah berusaha menyaingi lembayung senja di barat langit.
    Aku asik berfoto-foto sampai kemudian kulihat seorang wanita yang berada sekitar 1 meter dariku Seperti oleng dan hendak jatuh melewati pagar pembatas tebing. Maka spontan saja, kuraih lengan wanita itu dan ia pun tak jadi jatuh ke danau yang terletak sekitar 20 meter di bawah kami. Wanita itu berterima kasih kepadaku. Ia membungkuk berkali-kali sampai membuatku jadi jengah hati. Saat menerima pelukan terima kasih dari wanita itulah aku melihat sesosok lelaki asing yang berdiri tak jauh dari kami tengah menatap tajam kepadaku. Tatapan tajam yang seolah menyimpan amarah menggunung dan itu ditujukan kepadaku, yang sama sekali tak mengenal siapa sosok lelaki itu.
   Usai berfoto-foto, rombongan wisataku pulang. Di perjalanan pulang, entah kenapa aku merasa ada yang selalu memperhatikan gerak-gerikku. Tapi setiap kali kutengokkan wajah ke arah yang kucurigai, aku tak mendapati siapa-siapa di sana.
~0~0~0~
    Berselang tak lama, sekitar paginya, saat aku baru sampai di rumah, aku singgah ke kompleks keluarga besar yang terletak sekitar 200 meter dari rumah. Di sana ternyata sedang diadakan sebuah hajatan keluarga. Entah persisnya hajatan apa aku tak tahu.
   Di sana aku menemui ua, bibi, juga sepupu-sepupuku. Semuanya sibuk dan ramai berhias diri untuk merayakan hajatan keluarga. Aku pun diminta oleh Ceu Euis untuk berhias juga. Mak Ida kemudian menawarkan sebuah kamar untuk tempatku berganti. Dan aku pun segera melangkah ke sana. Ke dalam kamar.
   Memasuki kamar seorang diri, entah kenapa aku merasa tak benar-benar seorang diri. Seketika pula kudukku berdiri. Membuatku langsung teringat pada sosok lelaki yang menatapku tajam di tebing beberapa waktu lalu. Refleks, kutengokkan pandangan ke segala sisi kamar. Kehampaan ruangan saja yang terekam di mata. Tapi kudukku tak kunjung mereda, justru kian menjadi-jadi. Maka segera, meski aku belum memakai kerudung, kubuka saja pintu kamar agar segera hengkang dari kesunyian mencekam ini. Tapi...
"Argh!"
   Sebuah tangan entah dari mana sepintas saja memeluk pinggangku saat langkahku belum sempurna keluar dari kamar itu. Aku pun berteriak. Mengagetkan saudara-saudaraku yang tengah menunggu di luar kamar. Mereka terkejut ketika mendapatiku keluar dari kamar dengan wajah pucat dan keringat dingin. Segera kupeluk Bi Ratna yang berdiri paling dekat denganku. Dan aku tak kuasa menahan tangis akibat dicekam horor beberapa saat lalu.
    Saat tangisku telah mereda, barulah Bi Ratna menanyakan hal apa yang sebenarnya telah terjadi padaku tadi.
  Dengan terbata-bata, di bawah pandangan beberapa pasang mata yang ingin mendengarkan penuturanku, aku pun menceritakan segalanya.
Bahwa aku merasakan horor dalam ruangan tadi.
   Selama sejenak, suasana hening. Semua pandangan mata mengarah lurus padaku. Mungkin ingin menanyakan kesungguhan ucapanku barusan. Aku pun mengangguk mantap. Bahkan tak kukedipkan mataku untuk meyakinkan mereka bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku barusan.
   Keheningan masih mengisi udara di sekitar kami. Sampai akhirnya pecahlah tawa garing dari mulut Mang Sarlan.
"Mel ngelindur ya? Capek habis tur kali, Mel?" ucapnya dengan nada garing.
   Aku sempat kesal karena dianggap melindur. Akhirnya kukatakanlah bahwa aku benar-benar merasakannya. Merasakan sebuah pelukan di pinggang kiri.
Mang Sarlan kembali menjawab ucapanku dengan guyonan.
" di kamar gak ada siapa-siapa, Mel.. Angin kali yang tadi meluk.... Nih lihat.. Tuh kan, gak ada orang kan?" ucap Mang Sarlan sembari membuka pintu kamar berhias.
Dan kami dapati ruangan tanpa seseorang pun di sana.
"Tuh kan.. Meli ngelindur itu.. Dah tidur aja dulu, Mel." ucap Mang Sarlan lagi.
"Enggak, Mang! Meli beneran ngerasa dipeluk tadi!" ucapku geram bercampur kesal.
"Coba, atuh lihat. Kali aja ada bekasnya, Mel".
   Kesal karena ketakutanku tak dianggap serius, aku pun langsung menyingkap bajuku sedikit ke atas untuk menunjukkan bagian pinggang yang kurasakan bekas horor tadi.
Dan semua orang yang berada di ruang tamu itu (bahkan termasuk juga aku sendiri) sangat terkejut ketika menyaksikan sebuah bekas pelukan tangan berwarna kehitaman berada di bagian pinggang yang kutunjukkan.
   Ya. Pelukan dari sosok ghaib itu memang benar adanya.
   Kini, semua mata mengarah kembali padaku. Kali ini,  kutemukan pula horor yang kurasakan telah membayang di setiap mata yang kutatap. Nampaknya semua orang  kini telah percaya pada ucapanku. Dan mereka kian percaya ketika sebuah ketukan terdengar di pintu kamar berhias yang tadi kami dapati tak ada orangnya.

"Tok! Tok!...
Tok! Tok!..."
Ditulis dan diselesaikan pada,
Selasa, 19 Mei 2015
Di Rumah Putih.

Senin, 18 Mei 2015

Cerpen - "Cakram Melayang"

Oleh : Mei
Genre : Famili, Fiksi Sains

Nura. Anak perempuan berusia tujuh tahun itu kini tengah merajuk pada Emak. Ia kesal karena Tio, adik bungsunya dibelikan sepatu baru sementara ia hanya mendapatkan sepatu bekas Kak Eci. Nura semakin tambah kesal ketika Kak Eci mengatakan padanya bahwa ia pun mendapatkan sepatu itu dari Kak Lili. Itu berarti usia sepatu itu kini sudah tiga generasi di tangan Nura. Entah jika sebelum Kak Lili pun ada orang lain yang sudah memakainya. Mungkin bisa empat, lima generasi atau lebih tua lagi usia sepatu itu.
‘uuuuuggghhh!!! Sebal!! Seball!’ begitu rutuk Nura dalam hati.
Kenapa hanya dalam hati? Karena Nura tak memiliki keberanian untuk terus terang menyatakan ketidaksukaannya pada sepatu butut itu. Bisa-bisa Emak akan memarahinya habis-habisan. Mengatakan bahwa ia tidak bersyukur-lah. Atau apa-lah. Padahal kan ia sudah mengucap 'alhamdulillah'. Coba kalau tidak bersyukur, sudah tentu sedari tadi sepatu butut itu akan dibuangnya jauh-jauh.
Kini Nura bergerak mendekati Emak. Ia memijit-mijit pelan pundak Emak yang saat itu tengah menguleni tepung untuk dijadikan kue Macho. Kue bulat berisi kacang hijau dan gula putih yang bagian luarnya ditaburi wijen. Di dekat Emak, terdapat tiga nampan kue macho yang siap untuk digoreng. Kue-kue macho itu rencananya akan Emak titipkan di kantin sekolah Kak Lili. Seperti biasanya.
Keluarga Nura memang terbilang keluarga SAS, kependekan dari keluarga sangat-Amat sederhana. Segala kebutuhan hidup tiga putri dan seorang putra di keluarga itu dipenuhi dari hasil berdagang kue-kue tradisional buatan Emak yang dititipkannya ke kantin SMP tempat Kak Lili sekolah. Bapak sudah lama wafat. Sekitar empat bulan setelah Tio lahir, pada enam tahun yang lalu.
Sungguh. Saat itu adalah masa-masa yang sulit bagi Emak. Ditinggal mati suami pada usia 26 tahun, dan sudah menjadi tulang punggung bagi empat orang anak yang masih kecil-kecil. Itu bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi saat itu Kak Lili sudah duduk di bangku sekolah kelas 2 SD. Hampir saja Kak Lili putus sekolah jika saja tak ada Koh Acan, tetangga Hokian yang tinggal di sebelah rumah mereka. Koh Acan mau berbaik hati membiayai sekolah Kak Lili yang memang dikenal di sekolah sebagai anak berprestasi. Itu pun dengan syarat, sepulang sekolah Kak Lili harus membantu berjualan di market kelontong Koh Acan. Biasanya Kak Lili yang saat itu berumur Tujuh tahun ditugaskan untuk menimbang dan membungkus tepung terigu menjadi kemasan perapatan. Sebuah pekerjaan yang cukup sulit untuk anak usia tujuh tahun. Tapi upah yang didapat oleh Kak Lili setiap bulannya pun terbilang cukup untuk membantu mengepulkan asap dapur sehari-hari. Padahal Koh Acan sudah begitu baik membiayai sekolahnya. Dan terkadang, ketika pekerjaannya telah selesai, Kak Lili pun dioleh-olehi sekilo tepung terigu dan seperapat gula untuk dibawa pulang ke rumah. Sungguh. Tetangga yang sangat baik.
Saat Kak Lili mulai bekerja, Kak Eci baru berumur lima tahun. Meski usianya terbilang muda, Kak Eci sudah ditugaskan Emak untuk menjaga Nura. Sementara Emak  membawa serta Tio, balita empat bulannya untuk kuli mencuci di rumah orang gedong.
Nura yang saat itu  berumur 1 setengah tahun terbilang adik yang cukup rewel. Kemana pun Eci pergi, Nura selalu ingin ikut. Bahkan untuk ke WC umum yang letaknya di atas sungai sekali pun, Nura juga ingin ikut. Berbeda sekali dengan Nura saat ini. Saat ini Nura selalu sebal dengan Kak Eci, lantaran ia sering dijahili oleh kakak perempuannya itu. Lihat saja saat ini. Ketika Nura tengah bersiap-siap untuk membujuk Emak agar membelikannya sepatu baru seperti  yang dibelikannya untuk Tio, Kak Eci malah iseng menjahilinya dengan berkata,
"Mak, Nura katanya mau bilang 'sesuatu'..." Kata Kak Eci dengan senyum jahilnya.
"mau bicara apa, Nura?" tanya Emak, dengan perhatian masih fokus pada menguleni tepung macho.
Nura yang ditanya tiba-tiba seperti itu akhirnya malah gelagapan.
"eh!  itu Mak... mmm..."
"apa?" tanya Emak lagi.
Kak Eci tersenyum lebar melihat ekspresi Nura. Nura sendiri merasa makin sebal pada kakaknya itu. Ia lalu memelototi Kak Eci, yang selanjutnya dibalas pula dengan pelototan.
Merasa pertanyaannya lama tak dijawab, Emak pun bertanya lagi.
"Ada apa Nura?"
"ii...itu Mak.. tentang... se.sepatu!"
"Sepatu? kenapa?"
"itu... mmm..."
Nura makin gelagapan. Dan ini membuat Kak Eci makin tersenyum lebar. Akhirnya Kak Eci pun tergerak untuk 'membantu' adiknya itu. Kak Eci berkata,
"Nura katanya mau bilang "makasih" Mak untuk sepatunya. Dia seneeeeeeeeeng banget dapet sepatu itu."
Nura melotot kaget ketika mendengar ucapan Kak Eci itu. Gagal sudah rencananya untuk membujuk Emak agar membelikannya sepatu baru. Gagal total. Tal. Tal. Tal.. Nura kemudian makin melotot ketika mendengar ucapan Kak Eci berikutnya,
"Katanya sepatu itu juga bikin dia inget selalu sama keluarga walaupun dia di sekolah, Mak. Jadi Nura bakal lebih semangat lagi belajarnya. Gitu kan, Dek?"
Kali ini Kak Eci sudah memancing emosi Nura ketika ia mengedipkan sebelah matanya. Seolah-olah kedipan itu mengatakan bahwa Kak Eci lagi-lagi 'menang' darinya.
"Begitu, Nura?" tanya Emak menegaskan.
Dan Nura yang tak punya keberanian untuk membantah pun akhirnya mengiyakan saja pertanyaan Emak. Dalam hatinya ia merasa geram sekali pada keisengan Kak Eci.
'Nyebelin! Nyebelin ! Nyebelin!' rutuk Nura, lagi-lagi hanya dalam hati. Ia kemudian masuk ke kamar untuk menyiapkan peralatan sekolah. Sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas, ia merutuki Kak Eci berkali-kali. Nura baru berhenti merutuk ketika Emak yang ada di dapur berteriak padanya.
"Nura, ayo bergegas berangkat. Sudah jam berapa ini?" ucap Emak tiba-tiba.
Nura kemudian melihat jam yang terpajang di dinding rumahnya. Ia kaget ketika melihat bahwa saat itu sudah hampir jam tujuh.
"Ah!! jam tujuh, Mak!" jerit Nura.
"Aiissshh! gak perlu teriak segala, Nur. berisik. Sudah cepat berangkat, sana!"
"Kak Eci mana, Mak?"
"Kak Eci sudah berangkat tadi."
"hah?!"
Nura pun bergegas mencium punggung tangan Emak lalu melangkah keluar rumah. Di samping pintu, sepatu 'butut' barunya sudah tergeletak rapih siap dipakai. Nura yang tak punya pilihan selain menggunakan sepatu itu, karena sepatu lamanya  hilang sebelah digondol tikus, akhirnya meraih sepatu itu untuk dipakainya. Dalam hatinya ia kembali ingat pada kekesalannya lantaran tak mendapat sepatu baru yang benar-benar baru. Ia harus bersyukur dengan hanya mendapat sepatu baru yang setelah diciumnya,
"uughh! bau kamper!!" Keluh Nura.
Dan Emak yang masih bisa mendengar keluhan Nura pun bertanya dari dalam rumah.
"Kenapa, Nur?"
"Gak apa-apa, Mak." Jawab Nura buru-buru.
Setelah kedua sepatu itu terpasang rapih di kakinya, Nura pun kemudian melangkah cepat-cepat menuju sekolah.
"Nura berangkat ya, Mak. Assalamu'alaikum!"
"wa'alaikum salam warahmatullah..."
Di dapur, ketika dirasa Nura sudah cukup jauh dari rumah, Emak menghentikan kegiatannya sejenak. Emak sebenarnya tahu bahwa tadi Nura ingin minta sepatu baru. Ibu mana yang tidak bisa membaca isyarat tubuh anaknya ketika menginginkan atau tidak menyukai sesuatu. Emak jelas tahu. Tapi, oleh karena keterbatasan uang selama semester akhir sekolah ini, juga karena meningkatnya kebutuhan hidup dengan Tio yang juga akan memasuki sekolah pada bulan depan, Emak pun akhirnya mesti menahan diri dan berpura-pura tak mengerti keinginan Nura. Emak sebenarnya sedih sekali tadi. Tapi Emak harus menegarkan dirinya untuk mendidik putra-putrinya agar bisa hidup hemat dan prihatin dengan kondisi keluarga.
Akhirnya, Emak kembali menekuni pekerjaannya membuat kue Macho. Ia harap, bulan depan ada uang lebih yang cukup untuk dibelikannya sepatu baru bagi Nura.
"Duh Gusti, mampukan hamba mengais rizki untuk anak-anak hamba. aamiin."

---0-0-0-0-0---
 Malam hari. Jarum jam menunjukkan pukul satu dini ketika Nura terbangun tiba-tiba. Mulanya Nura hanya ingin ke kamar mandi. Tapi selepas dari kamar mandi,  entah kenapa ia malah melangkah keluar dan duduk di bale belakang rumah.
Suasana malam itu masih sangat gelap sebenarnya. Tapi tak ada rasa takut yang menghampiri Nura. Ia justru lebih senang dengan suasana malam. Waktu dimana ia bisa bebas  dari mendengar suara menyebalkannya Kak Eci sekaligus juga bisa melihat hamparan bintang dan bulan di langit. Bukankah itu menyenangkan?
Seperti malam ini.
Nura duduk dengan posisi tangan memeluk kaki dan kepala ditengadahkan ke atas. Ia asyik menatapi titik-titik cahaya yang bertebaran cantik di langit sana. Ia pun menikmati dering merdu para jangkrik yang kini mungkin sedang bertengger pada  batang padi-padi di hadapannya.
ah ya! Rumah Nura memang diapit oleh dua bangunan alam. Dua bangunan alam itu antara lain area persawahan di belakang rumah serta sungai yang memisahkan rumah Nura dengan jalan besar di hadapan. Di samping kanan dan kiri rumahnya, berdiri rumah-rumah lainnya yang memanjang hingga 3 kilometer jauhnya. Rumah-rumah di pinggir kali itu memang termasuk bangunan ilegal. Meski begitu, sejauh ini belum ada aparat hukum yang bergerak untuk menertibkan lingkungan ilegal itu.
Kembali ke Nura yang kini tengah serius menatapi salah satu bintang. Bintang  yang diamati oleh Nura itu posisinya berada di sebelah tenggara dekat dengan posisi bulan  sabit di atas sana. Ia menilai, bintang itu adalah bintang yang paling sering berkedap-kedip. Nura pun menduga bahwa bintang itu berkedap-kedip untuknya. Seolah  bintang itu sedang menyapa ia yang saat itu masih kesal lantaran urusan 'sepatu butut'. Maka kemudian, Nura pun balas mengedap-ngedipkan matanya dengan serius. Kedap. kedip. Kedap. Kedip.
Jika saja Kak Eci melihat tingkahnya saat ini, bukannya tidak mungkin jika Kak Eci akan meledekinya 'anak aneh'. Dulu saja Kak Eci menjulukinya 'anak aneh' hanya karena mengajak bicara si Ono, kucing kampung belang hitam yang sering mampir ke rumah mereka. Saat itu Nura sangat kesal hingga kelepasan melemparkan sendal ke kakaknya. Sayangnya, kejadian itu dilihat Emak sehingga ia dan Kak Eci pun dihukum untuk memasak air bersama. Itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena berkali-kali mereka harus bolak-balik mengambil air dari kali ke dapur. Beruntung Nura hanya ditugaskan untuk menjaga api tungku saja agar tetap menyala. Walau begitu, tetap saja ia harus berpanas-panas ria di depan tungku jadinya.
Seperti itulah. Oleh karena itulah sekesal-kesalnya Nura pada Kak Eci, ia berjanji untuk tidak melemparkan benda apapun lagi. Karena jika Emak tahu, bisa-bisa ia akan dihukum berat lagi. Bersama Kak Eci pula! gak-gak lagi deh!.
Kembali ke Nura yang kini masih mengedip-kedipkan matanya ke bintang terang di atas langit. Kegiatan itu cukup membuatnya merasa mengantuk. Apalagi udara malam itu tak sedingin biasanya. Maka wajar saja jika beberapa menit kemudian Nura malah tertidur di bale. Lihat saja matanya yang kini mengedip lemah.
Dap...
Dip...
Dap...
...
Dip...
...
Dap...
....
...
Dip....
...
...
...
Dap...
...
...
......
Dip...
...
...
......
TUK.
Tetiba saja Nura merasa kesakitan setelah dirasanya kepalanya seperti dilempari sesuatu. Ia kemudian mendapati sebuah batu seukuran jempol yang berada tak jauh dari posisinya duduk. Ia pun mengambil batu itu. Setelah diamati baik-baik, batu itu ternyata memiliki garis berwarna merah yang membentuk simbol huruf "nun" Arab. Warna merah  pada simbol di batu itu nampak cemerlang di kegelapan malam. Sehingga Nura pun langsung mengagumi batu itu.
Kemudian, tetiba saja ia melihat kilasan cahaya yang berlalu cepat di jalan setapak sawah, sekitar 12 meter di depannya. Nura yakin bahwa tadi ada 'sesuatu' di jalan yang kini  kembali gelap dan sunyi. Maka demi mengentaskan rasa penasarannya, Nura pun berdiri dan mulai berjalan ke jalan setapak itu. Sebelumnya Nura menyimpan batu yang ditemukannya tadi ke dalam saku bajunya.
Dengan berani, Nura melangkah ke jalan setapak di sawah. Ia lalu mengikuti jalan setapak itu. Hingga kemudian dilihatnya sebuah cahaya berlalu di tikungan sebelah kanan ujung jalan setapak sana. Ia pun menggegaskan langkah. Penasaran pada apa sebenarnya cahaya yang dilihatnya itu.
Ketika Nura sudah sampai di tikungan kanan jalan, ia tak mendapati apapun di sana. Hanya ada jalan setapak lagi yang lurus membatasi dua area sawah. Di sekitar Nura hanya ada padi-padi setinggi pundaknya yang diam seolah sedang balik memperhatikan Nura. Nura kemudian melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Ia memperhatikan keadaan sekitarnya dengan cermat. Berharap cahaya tadi akan muncul kembali.
Harapan Nura terkabulkan. Ia kemudian melihat kembali cahaya itu muncul di tikungan sebelah kiri di hadapannya. Ia pun bergegas berlari untuk mengejar cahaya tersebut. Nura begitu ingin menangkap sumber cahaya yang sudah membuatnya sangat penasaran seperti ini.
Nura terus berlari dan berlari di jalan setapak area persawahan itu. Ia bahkan tak mempedulikan sudah berapa tikungan yang dilewatinya tadi. Kanan. Kiri. Kanan. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kiri. Kanan.. ah! sudah tak terhitung! Nura terus berlari dan berlari sampai akhirnya ia merasa letih juga. Ia hampir-hampir sudah tak mampu berlari lagi.
Nura pun kemudian berhenti berlari. Dengan posisi ruku ia mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ia menyesalkan karena ia tak membawa air minum. Lagipula, siapa pula yang akan menduga bahwa ia akan mengejar cahaya aneh hingga sejauh ini. Nura pun mengeluh ketika menyadari bahwa ia harus berjalan jauh lagi nanti ketika pulang. Dan itu tentulah akan sangat meletihkan. Nura pun menyalahkan cahaya yang sudah menyesatkannya hingga ke tempat ini. Jika bukan karena cahaya itu, sudah tentu Nura kini telah kembali ke kasurnya. Tidur lelap. Tapi coba lihat sekarang? Di area sawah mana pulaaaa kini dia berada?
Kemudian, Nura kembali berdiri tegak dan melihat sekeliling. Hanya sawah dan sawah saja lah yang dilihatnya sejauh ia melempar pandangan.
"Emak..." Nura memanggil Emak-nya. Tapi sunyi lah yang menjawab.
"Emaak...." Lagi. Kesunyian yang menjawab Nura.
"Emaakk...hiks." Nura kembali memanggil Emak. Kali ini diikuti oleh isakan tertahan.
Nura kemudian jongkok dan menangis. Mulai menggerung-gerung memanggil Emak-nya. Ia ingin pulang. Tapi ia tak tahu ke arah mana ia harus melangkah. Dan ia kian kencang menangis ketika menyadari bahwa ia hanya seorang diri di kegelapan ini. Hingga kemudian...
Cahaya yang tadi menarik Nura hingga ke tempat ini, tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Cahaya itu sebesar bola sepak yang berpendar-pendar dan melayang di atas tanah sekitar satu meter di hadapannya.
Pada mulanya Nura terkejut mendapati cahaya yang dicari-cari olehnya kini malah menampakkan diri. Tangis Nura pun berhenti dan kini ia tengah mengagumi kehangatan yang terpancar dari cahaya itu. Ia lalu berdiri dan ingin menggapai cahaya itu dengan tangan kanannya. Tapi kemudian ia dibuat terkejut ketika mendengar sebuah suara datang dari arah cahaya itu berada.
"maaf"
Butuh waktu beberapa detik lamanya untuk Nura menjawab ucapan itu. Baru ketika ia mulai sadar dari keterkejutannya, Nura pun membalas ucapan maaf itu dengan sebuah pertanyaan.
"apa?"
Pertanyaan Nura itu dijawab dengan ucapan singkat.
"ikuti aku!"
Lalu cahaya itu kembali bergerak. Dan Nura bergegas mengikutinya. Sekitar lima menit Nura berjalan, ia lalu berhenti ketika tiba di suatu area lapang dan terkejut melihat sesuatu yang sangat menakjubkan.
"itu..."
"Ott. Kendaraan yang membawaku ke sini." potong suara yang dikenali Nura sebagai suara cahaya tadi.
Nura masih takjub mengamati rupa kendaraan bernama Ott itu. Ott mirip seperti piring terbang milik alien yang digambarkan dalam film-film di televisi. Ukuran Ott sebesar rumah Nura.  Kira-kira berdiameter 8 meter. Bentuknya seperti cakram dengan cahaya yang memancar terang dari permukaan Ott itu. Nura tak menyangka bahwa ia bisa melihat benda menakjubkan ini.
Nura kemudian menyadari sesuatu. Bahwa pemilik Ott di hadapannya itu adalah makhluk asing. alien. Ia pun langsung menolehkan kepalanya ke kanan. Ke arah di mana cahaya tadi berada. Ia kembali terkejut ketika mendapati bahwa apa yang di sampingnya kini bukan lagi cahaya melayang. Melainkan sesosok makhluk kerdil mirip ghollum, manusia tanpa rambut dengan bola mata yang menonjol keluar serta kulit kebiru-biruan. Perbedaannya adalah makhluk itu seperti dilapisi oleh dinding cairan yang berpendar-pendar keperakan.
Anehnya, Rupa fisik makhluk di dekat Nura itu tak membuat ia merasa jijik atau ketakutan. Ia justru menganggap makhluk itu cantik sekali karena bisa memancarkan kilauan cahaya di tubuhnya. Selama beberapa saat, hanya ada keheningan yang mengisi kekosongan waktu di antara Nura dan makhluk cahaya. Tapi kemudian, dalam beberapa menit berikutnya, barulah muncul percakapan di antara keduanya. Seperti inilah percakapan dua makhluk beda rupa itu.
"kamu alien?"
Pertanyaan Nura dijawab cukup lama oleh makhluk itu.
"makhluk asing? ya. aku bukan dari bumi."
"lalu dari mana?" tanya Nura lagi.
Kembali. pertanyaan Nura dijawab dalam waktu yang cukup lama.
"Terra. Planet lain di galaksi seberang galaksi bimasakti"
Nura mengernyit untuk bisa memahami  kata-kata makhluk itu.
"itu jauh banget ya?" cecar Nura.
Lagi-lagi pertanyaan Nura dijawab dalam waktu yang lama.
"ya. sekitar 2,7 juta tahun cahaya dari bumi."
"apa??" Nura tak mengerti dengan maksud tahun cahaya itu. Tapi ia memilih untuk tidak menanyakan hal itu lagi agar ia tak perlu memusingkan kata-kata selanjutnya alien itu yang mungkin akan lebih memusingkan. Ia pun kembali bertanya.
"apa kamu mau menculikku?" tanya Nura takut-takut. Jawaban alien itu kembali lama.
"tidak. kenapa harus?"
"di tivi diceritain kalau alien menculik manusia..?" Nura kembali bertanya. Dan ia kembali pula harus menunggu lama jawaban alien itu.
"itu hanya karangan manusia"
"kenapa jawabanmu lama sekali. apa kamu kesulitan ngomong?"
Selama beberapa detik makhluk itu hanya diam menatap Nura. Seperti sedang mencerna makna ucapan Nura. Lalu tiba-tiba saja makhluk itu mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Nura. Pada mulanya Nura terkejut dan sedikit merasa takut karena tiba-tiba disentuh seperti itu. Tapi kemudian ia memahami maksud tindakan makhluk itu menyentuhnya tadi. Karena setelah itu, Nura mendengar  suara dalam pikirannya. Dan suara itu mirip seperti suara alien tadi.
"Jangan takut. Aku baru saja mensinkronkan gelombang pikiran kita. Jadi kamu bisa menangkap kata-kata di pikiranku yang ingin kukatakan padamu. Sebelumnya aku memang kesulitan memahami bahasa manusia. Terlebih lagi untuk menerjemahkan bahasaku ke dalam bahasa kalian. Jadi tadi aku menjawab cukup lama. Sekarang, kamu bisa mendengar suaraku kan?"
Ekspresi wajah Nura lucu sekali ketika ia mengangguk-angguk dengan mulut menganga. Ia lalu kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
"jadi kamu alien baik?" tanya Nura lagi.
"baik? kurasa kamu bisa menyebutku baik."
Nura pun mendesah lega. Menit selanjutnya, Nura tak lagi merasa segan untuk bertanya-tanya pada alien yang baru dijumpainya itu.
"Namaku Nura. siapa namamu?"
"Yon."
"apa Yon datang sendiri ke sini?"
"aku bersama orang tuaku ke bumi."
"oya??! mana mereka? mana???" tanya Nura sambil menengokkan kepalanya ke segala arah. Ia nampak semangat ingin menjumpai bapak ibu Yon.
"mereka sedang melaksanakan tugas."
"Tugas? seperti PR sekolah begitu? tugas apa?"
"bukan. orang tuaku seorang peneliti. Tugas mereka adalah meneliti objek-objek berbahaya di bumi."
"peneliti? seperti prosesor di tivi itu ya? yang kepalanya botak dan berkumis tebal?"
Yon nampak sedikit bingung dengan kosa kata Nura yang acak adut itu.
"Prosesor? aku tak tahu apa itu prosesor. Tapi semua Terrian di planet kami memang tak memiliki rambut."
" Terrian? ah! pantas saja..  Yon gak punya rambut. Nura kira Yon sengaja dipotong gundul. hehehe..." seloroh Nura.
Yon hanya berkedip melihat Nura. Mungkin tidak paham dengan bahasa "tertawa". Kemudian Nura kembali bertanya.
"Yon, cairan apa itu yang membungkus badanmu?"
"ini plasma. cairan kehidupan bagi para Terrian. Ini seperti udara untuk bernapas bagi manusia."
"Oohh.. cantik ya. Berkilau-kilau."
"ya...Nura, bisa tolong kamu kembalikan Arc milikku?"
"Ak apa?"
"Arc. batu kelahiranku."
Mulanya Nura masih bingung dengan batu yang dimaksud oleh Yon. Tapi kemudian ia menyadari bahwa batu yang dimaksud mungkin adalah batu yang kini berada dalam saku bajunya. Ia pun segera mengeluarkan batu itu dan menunjukkannya kepada Yon.
"maksudmu batu ini, Yon?"
"Ya!"
"oohh! Jadi Yon ya yang tadi melempari Nur dengan batu ini? Kepala Nura sakit, tau." gerutu Nura.
"Maaf. Tadi itu tak disengaja. Aku sedang bermain lempar dan tak sengaja melemparnya terlalu jauh. Itu mengenai kepalamu? maaf ya."
"yah. gak apa apa deh. eh, terus kenapa tadi Yon lari? cahaya tadi itu Yon kan??"
"sebenarnya aku seharusnya tak menampakkan diri. Karena hukum terrian melarang kami menunjukkan wujud asli di hadapan manusia. Karenanya tadi aku menggunakan mode cahaya. Papa mengajariku, katanya penyamaran yang paling baik adalah mode cahaya. karena manusia akan takut dan mengira kami sebagai hantu atau apapun itu. tapi,  aku heran. kenapa kamu tidak takut?"
"Nura sih bukan penakut!" sombong Nura.
"lalu, kenapa tadi kamu menangis?" bukankah manusia menangis ketika sedih atau takut?"
"i..ituuu... emmm.. Ak… Akting!" Jawab Nura dengan gugup. Kemudian, buru-buru Nura mengalihkan pembicaraan.
"Oya, tadi kamu menyebut batu ini apa, Yon?"
"Batu Arc. Batu kelahiran."
"Kenapa dinamain begitu?"
"Karena batu ini lahir bersamaan denganku. Karenanya dinamakan Batu Kelahiran"
"Ohh... begitu. Yon, gimana kalau batu Ak ini buat Nura?" Pinta Nura.
Yon tak langsung mengiyakan permintaan Nura. Ia nampak kesulitan menjawab dan ini cukup disadari Nura.
"Kalo gak boleh juga gak papa kok Yon. ini...Nur kembaliin." Seru Nura.
"bukan begitu.. Nura boleh memilikinya kok."
"Beneran?"
Dengan ragu-ragu Yon menjawab,
"Ya.."
Nura langsung  girang dan mencium batu bermotif huruf "nun" Arab itu. Selanjutnya Nura memasukkan batu itu ke dalam saku. Mulanya ia masih tersenyum senang karena bisa memiliki batu unik itu. Tapi ketika dilihatnya Yon nampak sedih. Nura pun berkata lagi.
"Yon, kalo kamu berat tuk ngasih batu ini gak papa deh, Nura gak punya juga. nih Nur kembaliin."
Melihat Nura yang hendak mengambil kembali batu Arc di sakunya, Yon pun buru-buru berkata,
"tak apa-apa Nura. aku hanya merasa sedikit sedih saja. Batu itu sudah menemaniku hingga selama ini. Batu itu pula yang sudah memberikan energi plasma kepadaku. Jadi wajar jika--"
"energi apa?" sergah Nura memotong ucapan Yon.
"Energi plasma. energi yang tersimpan dalam setiap batu Arc yang baru dilahirkan. Energi itu kemudian akan ditransfer kepada Terrian yang menjadi teman lahir batu itu."
"ehmm.. Jadi, maksud Yon, batu ini tadinya punya kekuatan? Terus sekarang udah gak punya gitu?"
"Ya."
"Terus kekuatan itu sekarang kemana?" tanya Nura lagi.
"sudah ada padaku."
"Beneran?! kekuatan apa Yon??!" tanya Nura berapi-api.
"seperti ini.."
Detik berikutnya Nura dibuat terkejut ketika mendapati bahwa sekarang Yon sudah berdiri 5 meter jauhnya darinya.
"wah! kereeennn...!! Lagi!! Lagi!!" Seru Nura berapi-api.
Dan selama beberapa waktu ke depan, Nura teriak-teriak histeris karena takjub dengan kemampuan Yon berteleportasi. Swing di sana. swing di sini. swang. swing. swung di mana-mana.
Setelah berseru-seruan selama beberapa waktu, Yon pun kemudian berhenti dan muncul di samping Kanan Nura.
"Kekuatan apa lagi yang kamu punya, Yon?! aku mau lihat! ayo tunjukin!"
"Maaf, Nura. aku tak bisa menunjukkannya saat ini. Energiku tak cukup untuk menunjukkan kemampuanku lainnya."
Mendengar ucapan Yon itu, Nura jadi sedikit kecewa. Tapi ia segera berseru lagi.
"Kalau begitu, kamu bisa menceritakannya padaku, Yon. itu gak apa-apa kan?"
"ya. itu tak apa-apa."
"lalu, boleh Nura main ke pesawat Yon?" pinta Nura lagi.
"Ah.. maaf, Nura. kurasa aku tak bisa membiarkanmu masuk ke dalam Ott."
"Kenapa?" tanya Nura dengan ekspresi kecewa.
"Karena di dalam Ott dipenuhi oleh plasma. Jadi kupikir kamu tak akan bisa bernapas jika masuk ke sana."
"Ooh... gituu...hmm.."
"Bagaimana kalau kita berselancar saja, Nura?"
"apa?selancar? aku gak bisa selancar, Yon. Berenang aja Nura bisanya gaya kodok. Dan lagi... selancar malam-malam begini? ke laut?"
"Bukan ke laut, Nura. kita berselancar di langit."
"Hah?! di langit???"
"Ya. di langit. Tunggu sebentar."
Belum hilang keheranan Nura terkait ajakan Yon untuk berselancar di langit, Nura semakin heran+takjub ketika melihat Yon mengutak-atik sesuatu yang mirip jam di tangan kirinya.
"itu apaa....?"
Pertanyaan yang dilontarkan Nura barusan terjawab oleh kedatangan dua buah papan selancar berbentuk oval memanjang. Panjang papan itu sekitar 45 cm dengan lebar sekitar 25 cm. Papan itu berwarna silver dengan tiga tombol berwarna merah, kuning dan biru di bagian ujungnya.
Selanjutnya, Nura menerima sebuah papan selancar. Ia asik menyentuh dan mengamati papan yang kini dipegangnya. Lalu didengarnya Yon menjelaskan cara memakai papan itu.
"Pertama letakkan papan ini di bawah. Lalu naiki sampai batas garis ini. Lalu injak tombol merah untuk melayangkan papan."
Nura terkesima ketika dilihatnya Yon kini melayang bersama papan itu sekitar 20 cm di atas tanah. Lalu Yon melanjutkan kembali penjelasannya.
"jangan sekali-kali menginjak tombol merah ketika kamu masih di udara. karena itu akan mematikan mesin. Lalu ada tombol kuning  untuk memunculkan tongkat navigasi."
Detik berikutnya muncul sebuah tongkat dengan gagangnya di papan selancar Yon.
"biasanya tongkat navigasi ini sangat berguna untuk pemula. Jadi nanti jika ingin ke arah kanan, kamu cukup memiringkan tongkat ini ke kanan. ke kiri atau berbalik pun bisa dengan tongkat ini. jika  ingin naik, arahkan tongkatnya ke arah badanmu. dan jika ingin turun, arahkan menjauh darimu. seperti itu. Bisa dipahami, Nura?"
"mm.. ya. Lalu, tombol biru itu untuk apa?"
"Tombol biru ini untuk memunculkan pelindung. Jadi ketika kamu menginjaknya, maka--"
zlab.
Tetiba saja Yon dan papannya menghilang.
"Yon!"
"Aku masih di sini, Nura. aku hanya tak tampak saja. Tapi kamu bisa melihat cahaya yang berkedip-kedip di bawahku bukan?"
Nura segera melihat ke bawah tempat tadi Yon berada. Ya. sekitar 20 cm di atas tanah kini Nura melihat cahaya merah, kuning, dan cahaya biru yang berkedap-kedip.
"Whoah...!!! kereeeennn!!" Seru Nura.
"sekarang, giliranmu." ajak Yon.
Nura pun segera naik ke papan selancarnya. Ia lalu mulai menginjak tombol merah. Perlahan-lahan ia merasakan papan membawa tubuhnya melayang. Rasanya menakjubkan. Tak jauh berbeda rasanya ketika kaki sedang berpijak di tanah. Tapi kita tahu bahwa kita sebenarnya sedang melayang.
"waaahhh! keren!!" seru Nura berapi-api.
Selanjutnya ia menginjak tombol kuning. dan tak lama sebuah tongkat pun muncul dekat di depan kakinya. ia lalu memegang gagang tongkatnya dan sedikit menarik gagang itu ke arahnya, serta merta papan pun membawanya melayang lebih tinggi. Dan Nura kembali tersenyum lebar. Ia lalu menginjak tombol biru. Dan kini ia bisa melihat, sebuah pelindung berbentuk lingkaran telah muncul mengelilinginya. Nura pun kini bisa melihat Yon. Yon berada sekitar setengah meter di bawahnya dengan lingkaran pelindung pula yang mengelilinginya.
"aku bisa melihatmu, Yon!" seru Nura.
"Aku juga, Nura. inilah keistimewaan pelindung papan ini. ia mampu melindungi penumpangnya dari penglihatan objek lain. Sementara ia bisa memperlihatkan  penumpangnya ataupun melihat penumpang dari papan selancar lainnya."
"iya! keren!!"
"sekarang, kita berselancar?" ajak Yon.
"ayo! tapi tunggu dulu, Yon. Kamu gak pegang gagang tongkat? gak takut jatuh kah?" Tanya Nura. Ketika dilihatnya gagang tongkat di papan selancar Yon sudah tak ada.
"tenang saja, Nura. papan ini dirancang khusus dengan gravitasi tersendiri. Jadi benda apapun yang sudah menempel padanya maka tak akan jatuh walau papannya dibalikkan sekalipun. mau coba?"
"Gak deh!! gak! aku mau pegang tongkat aja. biar lebih nyaman."
"baiklah. sekarang, kita jalan-jalan?"
"a..yo!!"
Detik berikutnya, Yon asyik berselancar di langit. Nura sendiri yang mulanya masih canggung dengan papan nya, akhirnya perlahan-lahan mulai terbiasa dan menikmati jalan-jalannya. Tapi karena Nura menggunakan gagang tongkat, daripada berselancar, Nura lebih seperti sedang naik skuter terbang. Sementara Yon terlihat lihai dan keren dengan papan selancarnya.
Kembali ke Nura yang kini tengah kagum pada pemandangan yang dilihatnya. Dari ketinggian 400 kaki di atas tanah, Nura menyaksikan betapa dunia di bawahnya terlihat kecil. Ia hanya bisa melihat ribuan cahaya lampu berserakan tak beraturan di bawah sana. Pemandangan seperti ketika ia melihat hamparan bintang di langit di atasnya. Bahkan jembatan penyeberangan yang biasa dilewatinya ketika sekolah pun kini hanya nampak seperti sebuah garis yang tak berarti. Nura pun menduga-duga, apakah bintang-bintang yang selama ini dilihatnya hanya sebagai titik cahaya sebenarnya adalah planet besar yang memiliki pancaran cahaya menakjubkan hingga bisa terlihat sampai ke bumi? Jangan-jangan pula segala yang selama ini terlihat kecil dan sepele di mata Nura sebenarnya adalah "hal besar" yang belum diketahui ke-besar-annya?
Melihat gedung-gedung tinggi di bawahnya, Nura juga memikirkan. Bahwa bisa jadi di planet Terra ada gedung lain yang lebih tinggi dan lebih menakjubkan lagi. Apa yang selama ini dianggapnya sudah paling besar, ternyata kalah oleh keberadaan benda lain yang lebih besar dan canggih. Seperti skuter, eh papan yang dikendarainya sekarang ini.
Nura tak tahu kapan manusia bisa menciptakan skuter, eh papan terbang seperti ini. Tapi Nura berharap, semoga ia bisa menjadi saksi perubahan zaman canggih itu. Ya. Semoga.
Nura pun kemudian bersyukur berkali-kali dalam hati. Tak menyangka bahwa ia berkesempatan untuk mengalami dan menyaksikan semua pemandangan indah ini.
Saat ini Nura dan Yon sedang duduk di atas papan masing-masing. Papan mereka sudah diatur autopilot sehingga bisa mengemudi sendiri sampai tujuan dengan kecepatan 15 km/jam. Kecepatan yang cukup aman. Mereka kini melayang menyusuri sungai menuju rumah Nura.
Mereka lalu berbincang santai sembari menikmati pemandangan sungai di malam hari.
"Yon, berapa umurmu?" tanya Nura.
"3 tori."
"apa?"
"3 tori.Itu sekitar 5-6 tahun usia manusia bumi."
"beneran? tapi kok kamu kayak kakakku ya. Kak Lili. gaya ngomongmu mirip kayak dia."
"..."
"terus, pakaianmu warnanya perak semua kayak yang kamu pakai sekarang gak?"
"kostum yang kupakai ini hanya digunakan untuk Terrian Nul."
"apaan tuh?"
"Terrian nul adalah tingkatan terrian yang belum diketahui jelas jantan atau betina-nya."
"jantan-betina?? maksudmu laki-laki dan perempuan Yon? memangnya Yon belum tahu jenis kelamin Yon apa?? kok bisa gitu?"
"ya. Usiaku belum cukup untuk menumbuhkan Flow atau.. Tenta."
"Nur gak paham.." keluh Nura.
"Flow dan Tenta itu seperti kelamin manusia. Jika betina maka terrian akan menumbuhkan flow. sementara jika jantan maka ia akan memunculkan Tenta."
"di mana tumbuhnya Flow dan Tenta itu, Yon?"
Yon nampak terkejut dengan pertanyaan Nura ini. Dan perlahan-lahan seluruh plasma yang menyelimuti tubuh Yon pun berubah warnanya menjadi agak kemerahan.
"Yon! plasmamu!!" seru Nura.
"Tak apa-apa, Nura. ini alami terjadi."
"beneran gak apa-apa??"
"ya."
"kamu lucu, Yon. jadi pink gitu. eh ya, jadi Flow dan Tenta itu tumbuhnya di mana?" Tanya Nura lagi.
"itu... kurasa.. maaf. aku tak bisa mengatakan tentang itu lebih lanjut." ucap Yon pelan-pelan.
Dan ketika Yon mengatakannya, warna plasmanya menjadi semakin merah. Hal ini membuat Nura menyadari sesuatu.
"Yon, apa jangan-jangan kamu merasa malu? makanya plasmamu jadi merah? kamu malu kita ngomongin soal Flow dan Tenta?"
Yon yang ditanya hanya diam dan nampak menunduk. Ekspresi wajahnya memang tak berubah tapi warna plasmanya semakin merah. Ini membuat Nura yang melihatnya jadi tertawa terbahak-bahak. Dan terbersit lah sesuatu hal di benak Nura perihal apa jenis kelamin Yon nantinya.
Perjalanan terus berlanjut. Setelah Nura selesai tertawa, dan warna plasma Yon kembali keperakan, giliran Nura kini yang bercerita tentang keluarganya.
"aku punya dua kakak betina, eh perempuan, juga satu adik lelaki..emm.. maksudku adik jantan. Kakak pertamaku namanya Kak Lili. orangnya pintar, rajin dan baik hati. Kak Lili juga cantik. Tapi lebih cantikan Nura sih.." sombong Nura.
"kakak keduaku namanya Kak Eci. Dia itu orang paling nyebelin sedunia! jelek, cerewet, jahil,.........."
Dan Nura terus membicarakan hal jelek tentang kak Eci pada Yon. Sampai kemudian ia berhenti lalu memukul mulutnya sendiri.
"astagfirullaahh... maaf ya Allah. gak sengaja kelepasan ngomong. Yon, yang tadi kuucapin itu kamu lupain ya. Nura gak sengaja. baru inget, kata Emak kita gak boleh ngejelek-jelekin orang lain. Walau itu memang faktanya siih.."
Yon nampak masih serius mendengarkan Nura.
"ah! udah ah! kita lanjut ke adikku aja ya. Namanya Tio. Dia benernya lucu sih. penurut juga. tapi Nura juga lagi sebel sama Tio. habisnya dia dibeliin sepatu baru. Sementara Nura malah dapet yang bekas. hu uh!"
"Mama-Papa?" tanya Yon.
"Emak cantik, baik, hebat, rajin, hemat, dan... mm.. agak serem kalo lagi marah."
Ucap Nura dengan berbisik.
"Kalo bapak, udah lama meninggal. Kuburannya di Muara Angke, di rumah Bu De Narno."
 Keduanya lalu sampai di sungai depan rumah Nura. Sekarang keduanya tak lagi bicara. Walau wujud mereka tak terlihat karena ditutupi oleh pelindung, tapi suara mereka bisa terdengar. Karenanya, Yon pun mengajak Nura untuk berselancar lagi melewati atas rumah Nura hingga tiba di jalan setapak sawah dekat rumahnya.
Nura pun menginjak semua tombol di papan. Ia lalu turun dan menyerahkan papan itu kepada Yon. Nura menyadari, bahwa tak lama lagi mereka harus berpisah. Keduanya sempat diam sebentar. Sebelum akhirnya Nura mulai bicara.
"Makasih, Yon. sudah mengajakku jalan-jalan. Tadi itu beneran seru banget!"
"sama-sama."
"mm... Yon. Nura mau tanya satu hal. Boleh?"
"apa?"
"Nur penasaran... hal bahaya apa yang lagi dipelajari bapak-ibu Yon di bumi?"
"itu...aku juga tak tahu pasti, Nura. maaf. yang kutahu, saat ini planet mu sedang dalam situasi darurat,"
"bumi?"
"ya. bumi. planet ini sudah sangat tua. sehingga energi yang dimilikinya tinggal sedikit saja. Sayangnya beberapa manusia malah menciptakan hal-hal berbahaya yang membuat energi inti bumi jadi tak stabil dan lebih cepat habisnya. Terutama sejak diletuskannya bom nuklir bertahun-tahun yang lalu. Kejadian buruk di bumi itu memberikan dampak ke seluruh planet di jagad raya. Oleh karenanya beberapa makhluk di planet kami pun datang ke bumi dengan maksud untuk mengawasi segala ciptaan manusia. Beberapa hal berbahaya bisa kami cegah dan musnahkan diam-diam. Tapi masih banyak pula hal berbahaya lainnya yang tak bisa kami hentikan. Apalagi saat ini teknologi di bumi semakin canggih. Ini menyebabkan keberadaan kami di bumi jadi semakin mudah dideteksi. Padahal kami harus berhati-hati agar tidak tertangkap oleh manusia."
"ooo.. hmmm... Yon, kita berteman kan?"
"ya. tentu."
"makasih."
"sama-sama."
"oya, satu pertanyaan lagi. Boleh ya?"
"baiklah. apa, Nura?"
"sampai usia berapa terrian bisa tahu jenis kelaminnya?"
"17 tori. itu sekitar 35 tahun usia bumi."
"wah. . masih lama ya."
"...."
"Yon, aku yakin. Yon pasti akan jadi Terrian....betina yang cantik."
Perlahan-lahan plasma Yon kembali berubah merah. Nura sempat diam melihat Yon yang kini tengah malu. Tapi kemudian dilanjutkannya lagi ucapannya.
"saat Yon jadi terrian dewasa nanti, kuharap kita bisa berjumpa lagi. kita berteman sampai nanti ya, Yon!" Ucap Nura dengan pandangan mata sedikit berair. Ia mulai ingin menangis.
Yon yang tadinya ber-plasma merah, kini berubah menjadi ber-plasma oranye keemasan. Sebuah perubahan warna plasma yang dipahami Nura sebagai perasaan yang sama seperti yang dirasakan juga olehnya saat ini.
"Kalau begitu, kita berpisah di sini, Nura."
"Ya. Nura.. pulang duluan ya. Dadah Yon!"
Dan Nura pun bergegas kembali ke rumahnya. Ia berusaha menahan tangis yang mulai menjebol matanya. Hingga akhirnya ketika sudah sampai di bale, ia pun menangis.
Kemudian Nura berbalik mengarah ke persawahan yang barusan ditinggalkannya. Ia berdiri di sana dalam waktu yang cukup lama. Sampai kemudian dilihatnya sebuah bintang jatuh meluncur turun dari arah tenggara langit. Terbayang kembali ingatannya pada percakapannya dengan Yon ketika mereka masih berselancar di langit.
---0-0-0-0-0---
"Nura, kamu pernah lihat bintang jatuh?"
"pernah. Kenapa, Yon?"
"sebenarnya bintang jatuh adalah kesempatan bagi para terrian di bumi untuk pulang ke planet Terra."
"kok bisa?"
"agak sulit untuk menjelaskannya secara rinci. Tapi yang pasti, meteor membentur bumi hingga memunculkan pijaran cahaya yang disebut bintang jatuh. Seringkali benturan antara meteor dan atmosfer bumi itu akan menghasilkan irisan Morf. Irisan inilah yang menjadi pembuka jalan untuk berteleportasi ke gerbang galaksi bima sakti."
"ahh.. itu memang cukup rumit untuk dimengerti. Tapi intinya, Yon akan pulang kalau ada bintang jatuh?" tanya Nura.
"Ya. seperti itu."
"...hmm.. "
"... Nura..?"
"Ya, Yon?"
"Kita masih bisa bertemu lagi."
"sungguh?"
"Ya. Kamu tahu. Tadi ketika baru sampai di bumi, aku tak sengaja menangkap citramu. Kamu sedang mengedap-kedipkan matamu ke arah langit."
"Apa tadi? menangkap citra?? maksudnya Yon bisa melihat Nur dari jarak jauh??"
"ya. itu kekuatanku lainnya. teleportasi. menangkap citra berjarak 50 yard. menggerakkan benda."
"aaahh..kereeenn...!!!"
"Nura...terima kasih sudah mau berteman dengan ku. Kamu tahu? kamu adalah teman manusia pertamaku. Dan kamu adalah temanku yang paling ajaib."
"ajaib?"
"ya. ajaib. wajahmu cepat berubah-ubah. wajah berbinar. wajah tawa. wajah marah. wajah ingin tahu.."
"wajah cantik juga, Yon!" potong Nura.
"Cantik? kurasa tidak.."
Mendengar itu Nura langsung cemberut. sampai...
"yang kulihat adalah wajah cute. dan aku ingin memiliki wajah -wajah sepertimu."
Kali ini, giliran wajah Nura yang bersemu merah. Sementara Yon serius menyaksikan wajah baru Nura itu. Wajah malu.
---0-0-0-0-0---
Nura masih memandangi langit yang barusan dihiasi bintang jatuh. Ia menduga bahwa Yon dan keluarganya mungkin sudah pulang saat ini. Bersama para Terrian lain di bumi. Memikirkan hal itu Nura langsung lemas. Ia pun kemudian duduk di bale. Kembali dipeluknya kedua kakinya dengan tangan. Dan ditopangkannya dagunya ke atas lutut. Sembari melihat bintang yang berkedap-kedip seperti di awal mula tadi sebelum ia bertemu Yon. Nura kemudian mengedap-kedipkan matanya. Berharap, semoga dengan melakukan hal itu Yon akan kembali menghampirinya dalam bentuk cahaya melayang. Seperti tadi.
Dap...
Dip...
Dap...
...
Dip...
...
Dap...
...
....
Dip....
....
....
Dap...
....
....
...
Dip....
...
....
Zzzt...
---0-0-0-0-0---
Ketika Nura kembali membuka matanya, ia sudah tak lagi berada di bale belakang rumah. Saat ini ia telah berada di atas kasur. Dengan bantal dan selimut samping batik kesayangannya. Tetiba saja Nura ingin menangis. Menyadari bahwa kini ia telah berpisah dengan Yon, teman alien-nya.
Nura pun kemudian menangis. Tangisannya cukup kencang hingga membangunkan orang-orang seisi rumah. Kak Lili, Kak Eci, Tio, bahkan juga Emak ikut terbangun. Dan ketika seluruh keluarganya sudah duduk mengelilinginya, Nura masih terus menangis dan menyebut nama Yon.
"Yon.. Yon.. Yon.. huuu....."
--o-o-o-o--
Beberapa hari kemudian Nura tak lagi terlihat menangis. Ia sudah kembali menjadi dirinya yang lama. Ceria dan gemar terlibat perselisihan dengan Kak Eci. Kali ini penyebab perselisihan keduanya adalah perihal keberadaan Yon. Apakah benar malam itu Nura bertemu dengan alien bernama Yon atau itu hanya mimpi saja. Nura yakin bahwa ia benar telah bertemu dengan Yon, si alien. Tapi Kak Eci juga yang lain menganggap bahwa itu hanya mimpi saja.
Nura ngotot menceritakan perihal papan selancar yang melayangkannya hingga ke langit, juga menceritakan kemampuan teleportasi Yon. Tapi tak ada yang menghiraukan ceritanya itu. Terlebih Kak Eci malah semakin iseng menjahilinya dengan bersikap seperti alien di televisi. Membuat Nura jadi tambah kesal saja.
Ketika Kak Eci meminta bukti pada Nura, Nura sebenarnya hendak menunjukkan batu Arc yang seingatnya disimpan di saku bajunya. Tapi ketika dirogohnya saku baju, Nura tak menemukan apapun di sana. Makin tambah senang lagi lah Kak Eci meledek Nura. Dan makin meragu pula lah Nura pada dirinya sendiri. Ia pun jadi bertanya-tanya, mungkinkah apa yang dialaminya tentang Yon itu hanya mimpi belaka? hmm...
Setelah selama beberapa hari suasana rumah selalu bising oleh perselisihan perihal "Yon", akhirnya Emak tak bisa tahan lagi. Dan suatu sore Emak habis-habisan memarahi Nura dan Kak Eci. Mereka dihukum memasak air lagi. Lagi-lagi bersama. Sungguh. Itu adalah hukuman terburuk bagi Nura.
Berminggu-minggu setelahnya, Nura mulai lupa dengan keributan  perihal "Yon" itu. Ia sudah naik kelas tiga SD. Dan ada cukup banyak PR yang menantinya sepulang sekolah. Kak Eci pun sudah masuk SMP, sehingga mereka mulai jarang bertengkar karena tak lagi satu sekolah. Kak Lili pun sudah duduk di bangku tingkat akhir SMP-nya. Tahun depan ia akan berganti seragam jadi abu-abu. Dan Tio, ah... adik Nura itu pun mulai masuk SD tahun ini. Dan nampaknya Tio akan tumbuh menjadi anak cerdas seperti Kak Lili. Lalu Emak, Emak masih tetap menjual kue-kue tradisional. Kue-kue yang kini mulai dititipkannya pula ke warung malam Mak Acih di seberang jalan.
Kehidupan keluarga kecil itu terus berlanjut. Menghadapi setiap harinya dengan segala rasa hidup yang bisa dinikmati. Entah itu tawa. Tangis. Luka. Gembira. Getir. Prihatin. Bahagia. Semua hal itu dilalui mereka dalam kebersamaan yang nyata.
Seperti sungai di depan rumah yang tak henti mengalirkan airnya. Menuju muara yang menjadi akhir sekaligus juga menjadi sebuah perjumpaan. Perjumpaan dengan air dari seluruh daratan di dunia untuk bersama-sama menguap menuju langit yang kuasa. Melebur dan kembali bersama-sama turun ke bumi. Menjelma dalam wujud hujan.
--o-o-o-o--
 Epilog
Di pinggiran sungai yang sama. Berjarak tiga kilometer dari tempat rumah keluarga Nura berada. Sekelompok anak usia belasan tahun tengah berkumpul dan membincangkan sesuatu.
"ini gimana, Ru?" tanya seorang anak berperawakan kurus pada orang di sampingnya, Heru.
"ya itu." jawab Heru.
"Kalo ini?" tanya seorang yang lain pada Heru kembali.
"wah!! Bakal jadi Panca warna tuh. dimana dapetnya?" Tanya Heru.
"tuh deket Getek sono" tunjuk Isman ke arah Getek di pinggir sungai.
"besok nyari lagi lah ke sono." ucap Heru sambil memandang ke arah Getek.
Lalu seorang anak kembali bertanya pada Heru.
"Yang ini Batu mulia juga bukan?"
Heru mengamati batu yang kini ada di genggaman Acung.
"Bukan itu, mah. udah. buang."
Dan Acung pun membuang batu itu ke arah sungai. Setelahnya, anak-anak itu bergegas melangkah pulang karena hari mulai gelap. Langit di sebelah barat sana memang menunjukkan matahari yang hendak kembali ke peraduannya. Meninggalkan kilau emas dan kemerahan di kanvas langit yang mulai kelabu.
Sementara itu di pinggir sungai. Sebuah cahaya merah nampak berkilau. Cahaya merah itu berasal dari batu yang tadi dilempar oleh anak bernama Acung ke pinggir sungai. Cahaya merah di batu itu membentuk simbol huruf "nun" Arab yang sangat jelas terlihat. Sebelum akhirnya seekor katak tak sengaja menyenggolnya hingga membuat batu itu tergelincir jatuh ke dalam sungai dan tenggelam hingga ke dasarnya. Menyisakan samar-samar kilau merah di permukaan air sungai. Yang beradu dengan cahaya bulan yang terpantul tak jauh dari kilau merah itu berada.

TAMAT

Ditulis dan diselesaikan pada,
Senin, 11 Mei 2015
Di Rumah putih