Selasa, 19 Mei 2015

Cerpen - "Penguntit Ghaib"

Oleh : Mei
Genre : Horor
   Sabtu itu Aku tamasya bersama kawan sekelas. Tujuan wisata kami adalah sebuah tebing indah yang di bawahnya terdapat danau dengan bentuk melengkung.
   Sebelumnya, untuk sampai ke tebing itu aku berjalan seorang diri melewati sebuah gazebo memanjang yang membentuk jalan labirin. Di setiap jalanan gazebo itu disuguhi oleh lukisan-lukisan serta papan informasi tentang latar sejarah pembangunan tempat wisata itu. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan beberapa teman lainnya yang berjalan bergerombol. Tak hanya teman saja yang kutemui, melainkan juga rombongan wisatawan lainnya. Ada sepasang kakek-nenek, juga anak kecil yang tengah menangis karena terpisah dari orang tuanya.
   Aku terus berjalan melewati gazebo labirin itu. Sampai akhirnya tiba juga aku di atas tebing.
   Tebing itu berbentuk gelas yang pecah menjadi dua. Dengan beberapa undakan yang bentuknya melebar. Pada undakan ke tiga itulah aku bertemu dengan seorang sahabat dekatku.
    Setelahnya, kami pun berfoto-foto di tebing yang persis mengarah ke matahari yang mulai tenggelam. Panorama danau berwarna keunguan yang ada di bawah Kami memberikan warna indah tersendiri seolah berusaha menyaingi lembayung senja di barat langit.
    Aku asik berfoto-foto sampai kemudian kulihat seorang wanita yang berada sekitar 1 meter dariku Seperti oleng dan hendak jatuh melewati pagar pembatas tebing. Maka spontan saja, kuraih lengan wanita itu dan ia pun tak jadi jatuh ke danau yang terletak sekitar 20 meter di bawah kami. Wanita itu berterima kasih kepadaku. Ia membungkuk berkali-kali sampai membuatku jadi jengah hati. Saat menerima pelukan terima kasih dari wanita itulah aku melihat sesosok lelaki asing yang berdiri tak jauh dari kami tengah menatap tajam kepadaku. Tatapan tajam yang seolah menyimpan amarah menggunung dan itu ditujukan kepadaku, yang sama sekali tak mengenal siapa sosok lelaki itu.
   Usai berfoto-foto, rombongan wisataku pulang. Di perjalanan pulang, entah kenapa aku merasa ada yang selalu memperhatikan gerak-gerikku. Tapi setiap kali kutengokkan wajah ke arah yang kucurigai, aku tak mendapati siapa-siapa di sana.
~0~0~0~
    Berselang tak lama, sekitar paginya, saat aku baru sampai di rumah, aku singgah ke kompleks keluarga besar yang terletak sekitar 200 meter dari rumah. Di sana ternyata sedang diadakan sebuah hajatan keluarga. Entah persisnya hajatan apa aku tak tahu.
   Di sana aku menemui ua, bibi, juga sepupu-sepupuku. Semuanya sibuk dan ramai berhias diri untuk merayakan hajatan keluarga. Aku pun diminta oleh Ceu Euis untuk berhias juga. Mak Ida kemudian menawarkan sebuah kamar untuk tempatku berganti. Dan aku pun segera melangkah ke sana. Ke dalam kamar.
   Memasuki kamar seorang diri, entah kenapa aku merasa tak benar-benar seorang diri. Seketika pula kudukku berdiri. Membuatku langsung teringat pada sosok lelaki yang menatapku tajam di tebing beberapa waktu lalu. Refleks, kutengokkan pandangan ke segala sisi kamar. Kehampaan ruangan saja yang terekam di mata. Tapi kudukku tak kunjung mereda, justru kian menjadi-jadi. Maka segera, meski aku belum memakai kerudung, kubuka saja pintu kamar agar segera hengkang dari kesunyian mencekam ini. Tapi...
"Argh!"
   Sebuah tangan entah dari mana sepintas saja memeluk pinggangku saat langkahku belum sempurna keluar dari kamar itu. Aku pun berteriak. Mengagetkan saudara-saudaraku yang tengah menunggu di luar kamar. Mereka terkejut ketika mendapatiku keluar dari kamar dengan wajah pucat dan keringat dingin. Segera kupeluk Bi Ratna yang berdiri paling dekat denganku. Dan aku tak kuasa menahan tangis akibat dicekam horor beberapa saat lalu.
    Saat tangisku telah mereda, barulah Bi Ratna menanyakan hal apa yang sebenarnya telah terjadi padaku tadi.
  Dengan terbata-bata, di bawah pandangan beberapa pasang mata yang ingin mendengarkan penuturanku, aku pun menceritakan segalanya.
Bahwa aku merasakan horor dalam ruangan tadi.
   Selama sejenak, suasana hening. Semua pandangan mata mengarah lurus padaku. Mungkin ingin menanyakan kesungguhan ucapanku barusan. Aku pun mengangguk mantap. Bahkan tak kukedipkan mataku untuk meyakinkan mereka bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku barusan.
   Keheningan masih mengisi udara di sekitar kami. Sampai akhirnya pecahlah tawa garing dari mulut Mang Sarlan.
"Mel ngelindur ya? Capek habis tur kali, Mel?" ucapnya dengan nada garing.
   Aku sempat kesal karena dianggap melindur. Akhirnya kukatakanlah bahwa aku benar-benar merasakannya. Merasakan sebuah pelukan di pinggang kiri.
Mang Sarlan kembali menjawab ucapanku dengan guyonan.
" di kamar gak ada siapa-siapa, Mel.. Angin kali yang tadi meluk.... Nih lihat.. Tuh kan, gak ada orang kan?" ucap Mang Sarlan sembari membuka pintu kamar berhias.
Dan kami dapati ruangan tanpa seseorang pun di sana.
"Tuh kan.. Meli ngelindur itu.. Dah tidur aja dulu, Mel." ucap Mang Sarlan lagi.
"Enggak, Mang! Meli beneran ngerasa dipeluk tadi!" ucapku geram bercampur kesal.
"Coba, atuh lihat. Kali aja ada bekasnya, Mel".
   Kesal karena ketakutanku tak dianggap serius, aku pun langsung menyingkap bajuku sedikit ke atas untuk menunjukkan bagian pinggang yang kurasakan bekas horor tadi.
Dan semua orang yang berada di ruang tamu itu (bahkan termasuk juga aku sendiri) sangat terkejut ketika menyaksikan sebuah bekas pelukan tangan berwarna kehitaman berada di bagian pinggang yang kutunjukkan.
   Ya. Pelukan dari sosok ghaib itu memang benar adanya.
   Kini, semua mata mengarah kembali padaku. Kali ini,  kutemukan pula horor yang kurasakan telah membayang di setiap mata yang kutatap. Nampaknya semua orang  kini telah percaya pada ucapanku. Dan mereka kian percaya ketika sebuah ketukan terdengar di pintu kamar berhias yang tadi kami dapati tak ada orangnya.

"Tok! Tok!...
Tok! Tok!..."
Ditulis dan diselesaikan pada,
Selasa, 19 Mei 2015
Di Rumah Putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar