Oleh
: Mei
Genre : Famili,
Drama
"Ka,
mama lama.."
Nina,
bocah perempuan berusia tiga setengah tahun itu tengah merajuk pada Yuna, sang kakak.
Telah hampir setengah jam Nina menunggu di halte berdua dengan Yuna. Dan dari
setengah jam itu, sudah sepuluh menit terakhir Nina mengucapkan keluhan yang
sama berkali-kali. Syukurlah Yuna masih cukup sabar menghadapi rajukan dan
keluhan Nina. Bukannya kenapa. Tapi tingkah Nina yang tengah merajuk memang
cukup menggelikan untuk dilihat. Simak saja tingkah Nina saat ini.
Nina
tengah berdiri sembari menyenderkan tubuhnya pada tiang halte. Sementara dua
meter darinya, sang kakak, Yuna terus mengawasinya dari bangku halte. Tubuh
gembul, Mulut manyun, pipi chubby
yang belepotan oleh sisa-sisa cokelat, serta kerudung biru yang sudah
miring-miring tak karuan lantaran sering digaruk. Begitulah penampilan Nina.
Belum lagi sudah berkali-kali pula Nina merubah posisi senderannya. Dari
berdiri, bungkuk, jongkok, hingga duduk deprok di lantai halte, sudah
dilakukannya. Mungkin kesal menunggu atau memang camilannya yang sudah habis
sejak sepuluh menit lalu sehingga Nina mulai merajuk pada kakaknya.
Lucunya,
rajukan Nina seringkali diselingi oleh celotehannya tentang benda-benda yang
ada di sekitar halte. Entah itu burung, truk yang melintas lewat, ataupun
capung yang hinggap di bunga bougenville yang ada di samping halte.
"Ka
Una! Ada bulung!"
"Ka
Una! Mobilnya gedee.."
"aah..
capung, Ka! Capung!!"
Begitulah.
Syukurlah sejauh ini Yuna bisa sabar menghadapi tingkah adik satu-satunya itu.
Walau mesti diakui, rasa malu tetap saja ada. Bagaimana tidak? Jika orang-orang
di halte terus memandangi duo kakak beradik itu. Duh. Duh. Duuh..
"Nina..
Jangan deprok dong. Nanti kotor bajunya.."
Kembali
Yuna mengingatkan Nina untuk ke sekian kalinya. Sayangnya yang diingatkan hanya
menyahut 'ya' pelan dan tetap asik duduk selonjoran di lantai halte. Akhirnya
Yuna pun beranjak berdiri sembari membenarkan posisi tali ranselnya di pundak.
Ia kemudian mendekati Nina yang terlihat mengantuk. Dalam hatinya Yuna merasa
geli ketika melihat Nina yang berkali-kali mengantuk-antukkan kepalanya.
'ngantuk berat ya, dek? hihihiii...'
Belum
sampai Yuna ke sisi Nina, tiba-tiba saja Nina yang sudah mengantuk berat malah oleng dan jatuh
ke lantai. Dan entah karena kaget atau memang merasa sakit usai kepalanya
terbentur, Nina pun menangis. Sontak saja halte pun menjadi riuh oleh suara
tangisan Nina.
"huwaaaaa..aaaa.aaa...kakaa..."
Segera
saja Yuna meraih dan menggendong Nina.
"cup
cup.cup...
ya Nina.. gak papa.. kakak di sini.. cup
.cup.cup.cup.."
Yuna
kemudian kembali duduk di bangku halte dengan Nina di pangkuannya. Ia pun
kembali mencoba menenangkan Nina yang masih juga menangis.
"mana
yang sakit, dek? Sini coba kakak sembuhin.."
"sakit, kaa
huuu.." keluh Nina sembari
memegang bagian kepalanya yang dirasa sakit.
Mengetahui
keluhan Nina, Yuna pun mengusap-usap pelan kepala adiknya itu. Kemudian Yuna
membacakan doa dan mengecup pelan kepala Nina.
"ooh..
ini toh yang sakit. Nih.. kaka kasih doa ya.. bismillahirrahmaanirrahiiiimm..
mmm..muah. dah. Insya Allah sembuh!"
Seolah
menganggap kakaknya sebagai dokter ahli, si kecil Nina pun percaya pada ucapan
Yuna. Dan secara perlahan, ia mulai berhenti menangis. Hingga tak sampai
semenit kemudian, hanya terdengar isakan pelan dari mulut mungilnya.
Di
samping Yuna duduk, seorang ibu paruh baya terusik mendengar isakan Nina. Ibu
itu menawarkan sebungkus roti kepada Nina. Nina yang memang mudah terbujuk oleh
makanan akhirnya benar-benar berhenti dari isaknya dan menerima roti pemberian
ibu itu. Usai menerima roti pemberian ibu paruh baya, Nina menengokkan
kepalanya ke atas, ke arah kakaknya. Dengan pandangan memohon, Nina meminta
ijin Yuna untuk memakan roti itu.
"boleh,
ka
?" pinta Nina.
Yuna
berdecak pelan. Antara merasa geli dan kesal melihat tingkah adiknya kali ini.
"ya.
Boleh.. lagian rotinya udah Nina pegang, kan.. masa mau dibalikin lagi.. eh,
bilang makasih dulu ke ibu, Niin.." Ucap Yuna sembari tersenyum ke ibu
paruh baya itu.
"hee..
iya. Makasih.. ibuu.." ucap Nina dengan riang.
"sama-sama
Nina.." balas sang ibu.
Mendengar
balasan ucapan dari ibu di sampingnya, Nina malah urung memakan roti di
tangannya itu. Nina merasa heran.
"ibu!
Kenall.. Nina ya? Ko. Kenall..emm.. namaa.. deee..de?" Tanya Nina dengan
logat bicara terpatah-patah.
Lagi-lagi
Yuna berdecak pelan. Kali ini lebih ke rasa gemas karena adiknya itu begitu
mudah mengajak orang asing mengobrol. Dicubitnya dengan pelan pipi tembem Nina
sembari berkata,
"ya
tahu lah. Niin.. kan dari tadi kaka panggil nama Ninaa.."ucap Yuna.
"mmm.."
seloroh Nina sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Selanjutnya,
Nina kembali memakan roti pemberian ibu paruh baya itu. Sembari menujukan
pandangannya ke arah lalu lalang orang yang hendak menaiki bus dan angkot yang
berhenti di depan halte. Tapi itu dilakukan Nina hanya sebentar saja. Karena
tak lama kemudian
"ibu!
Dede.. belum.. kenall..nama ibu." Ucap Nina tiba-tiba. Yuna dan sang ibu
sempat kaget dengan celotehan Nina itu.
"maksudnya,
Nina belum tahu nama ibu..?" ucap Yuna mengoreksi kalimat Nina.
"..iiya."
"ya
ajak kenalan dong sama Nina. Tanya.. ibu...saya
Nina. Nama ibu siapa ya?. Gitu, Nin.." ajar Yuna.
"he.emm..
ibu siapa?" Tanya Nina pada ibu di sampingnya. Yuna kembali berdecak
kesal. Karena kalimat perkenalan ajarannya malah dipangkas oleh Nina menjadi hanya dua kata. Ibu siapa?. Haih..haih..
Sang
ibu kembali tersenyum menyaksikan percakapan duo kakak beradik di sampingnya
itu. Dan kemudian, ia pun mengenalkan diri.
--0--0--0--
Percakapan
antara Nina dan Bu Jaja (ibu paruh baya yang memberikan Nina sebungkus roti)
terus berlanjut hingga beberapa menit lamanya. Sementara itu, Yuna memilih
untuk menjadi pendengar saja. Hanya sesekali Yuna ikut menanyakan perihal
kegiatan Bu Jaja yang menurut pengakuannya adalah seorang guru TK. Nina lah yang
aktif bertanya tentang ini-itu pada Bu Jaja. Pertanyaan remeh sebenarnya.
Tapi karena ditanyakan Nina dengan ekspresi serius, akhirnya Bu Jaja pun
berusaha menjawab pertanyaan Nina dengan sabar. Yuna yang melihatnya jadi
sedikit tak enak hati. Khawatir Ibu Jaja merasa risih karena ditanya-tanya oleh
adiknya. Tapi melihat senyuman yang diberikan Bu Jaja pada mereka berdua,
membuat Yuna merasa lega. Dalam hatinya Yuna bergumam,
'untung ketemu sama guru TK.
Coba kalo dosen. Bisa-bisa malah dapet kuliah umum, kita..'
Percakapan
antara Nina dan Bu Jaja terus berlanjut, dengan Yuna sebagai penyimak obrolan.
Sampai akhirnya Yuna tersentak ketika mendengar Bu Jaja menanyakan sesuatu pada
Nina.
"Mama
Nina di mana?"
DEG.
Mama. Di mana. Dua kata itu cukup
membuat Yuna gelisah. Nina sendiri yang ditanya langsung menjawab,
"mama..
ke antaliksa, ibu Ja..."
Yuna
tergugu mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Nina. Jawaban yang juga selalu
diberikannya kepada Nina setiap kali adik kesayangannya itu bertanya tentang
mama.
"antariksa
yang di langit sana itu, Nin?" kata bu Jaja lagi.
"iya!
Di langit itu. Tuh!" seru Nina sembari menunjuk ke arah matahari biasa
terbit.
Bu
Jaja melihat arah telunjuk Nina dengan senyuman di bibir. Sementara saat itu
Yuna masih tergugu mendengar perbincangan 'mama' itu.
"berarti
mama Nina antariksawan ya?" Tanya Bu Jaja lagi.
"..?
ap..ppa Bu Ja? Taliksawang?" ucap Nina terbata-bata. Mendengar ucapan Nina
ini Bu Jaja sempat melebarkan senyumnya. Beliau menyadari betapa lucunya adik
Yuna itu. Sayangnya Yuna masih tergugu dan tak mendengarkan celotehan lucu
Nina.
"iya.
An-ta-rik-sa-wan, Nin. Orang yang pekerjaannya naik pesawat di antariksa."
Tutur Bu Jaja lagi.
"gitu
Kak..?" Tanya Nina tiba-tiba pada Yuna.
Yuna
terkejut ketika tetiba saja menjadi perhatian dua pasang mata milik Nina dan Bu
Jaja.
"eh..
Maaf Nin? Apa ya?"
"iihh..
kakak kok bengung. Kata Bu Ja, Mama antalik..mm..antalik..sawan? iya Kak?"
Yuna
masih gugup sendiri karena ketahuan sedang melamun. Ia lalu tersenyum tipis
sebelum akhirnya berkata,
"mama..."
--0--0--0--
Flash
back empat tahun lalu.
Sebuah
rumah bercat putih. Dengan tiga ruang tidur, satu ruang tamu, serta dapur yang
menyatu dengan kamar mandi. Rumah itu memiliki teras berukuran 2x4 meter.
Berlantaikan plesteran semen yang nampak mulai rusak hingga memperlihatkan
lubang-lubang semen dan gerusan kasar pasir di beberapa bagian lantai. Di
halaman rumah sebelah kiri, tertata dengan rapi beberapa pohon seperti jambu
dan jeruk nipis. Dan seolah untuk mempercantik halaman, berjajar pula dengan
rapih tanaman bunga kertas berwarna merah dan putih di sisi kanan halaman.
Rumah teduh nan sederhana itu dihuni oleh keluarga Atmaja.
Memasuki
rumah, lebih persisnya adalah ke dalam ruang dapur yang terletak di bagian
belakang rumah, sebuah isakan terdengar samar. Isakan dari seorang gadis 11
tahun yang kini tengah meringkuk di bawah meja makan. Gadis itu berusaha
menutup mulutnya rapat-rapat agar suara isaknya tak terdengar. Segala ketakutan
dan horror telah mencekam benak dan pikirannya saat itu. Horror yang membuat
jantungnya berdegup teramat kencang dan tangannya mendingin tak wajar. Horror
yang sudah mengancam gadis itu sejak setengah jam yang lalu. Gadis itu. Yuna.
"Yuunaaa
ayo keluar, sayang.."
Sebuah
suara bas tetiba saja memecah kesunyian yang berbalut horror di ruangan dapur
itu. Mendengar suara itu memanggil namanya, Yuna langsung menjerit tertahan. Ia
kian bergidik ngeri. Takut jika-jika tempat persembunyiannya akan terbongkar
oleh sosok yang memanggilnya itu. Dan Yuna mulai komat-kamit menyebut asma
Allah. Ia memohon pertolongan agar siapapun seseorang dapat menyelamatkannya
saat ini.
'Allah..Mama..
mama..mama..mama..tolong Yuna...' begitu kata-kata yang dikomat-kamitkan
oleh Yuna.
"Yuunaaa..
ayo keluar! Kita pergi ke kebun binatang.."
Kembali.
Suara itu memanggil Yuna. Yuna semakin ketakutan ketika ia melihat sebuah kaki
yang datang mendekat ke meja tempatnya bersembunyi.
"Mama! Mama! Mama!" Kembali Yuna
memanggil mamanya dalam hati. Ia pun semakin mengeratkan pelukan tangannya di
lutut. Dingin yang tadinya hanya dirasakannya pada tangan dan kaki, kini mulai
merambah ke tengkuk juga punggungnya. Pertanda rasa takut yang kian kejam
mengancamnya.
Yuna
berharap seseorang segera datang menyelamatkannya. Menjauhkannya dari pemilik
suara bass yang kini sudah berjarak sekitar lima langkah darinya.
"BRUAK!!PRANG
Pyang
pyang..pyang..pyang
pyang.."
Yuna melotot. Hampir saja ia berteriak
karena terkejut mendengar suara jatuhnya mangkuk stainless steel ke lantai. Ia semakin dalam meringkuk di bawah meja.
Bahkan kini matanya sudah mulai dipejamkannya rapat-rapat.
"YUNA!!
KELUAR!! KELUAR SEKARANG JUGA!!!" teriak lelaki itu.
"Mama..! Mama..! Mama..!"
Yuna
kembali menjerit dalam hati. Kini ia ikut menutup kupingnya rapat-rapat. Tak
ingin mendengar teriakan lelaki yang selama ini begitu dekat dengannya itu.
"Yuna!!!
KELUAR!! PAPA BILANG, KELUAR SEKARANG JUGA!!!" teriak lelaki itu lagi.
'Papa..!' isak Yuna dalam
hati.
Ya.
Lelaki yang selama satu jam ini menjadi horror bagi Yuna memang adalah papa.
Ayah kandung Yuna sendiri.
"
DI SITU KAU RUPANYA!"
Tetiba
saja wajah Atmaja, ayah Yuna menengok ke bawah meja. Yuna yang semula
memejamkan mata menjadi kaget dengan suara papa yang terasa dekat sekali
dengannya. Ia bahkan spontan membuka matanya. Yuna pun terkejut ketika
mendapati bahwa papa sudah mengetahui tempat persembunyiannya ini. Dalam
hitungan detik, tangan Yuna ditarik paksa oleh Papa hingga ia keluar dari bawah
meja. Yuna berusaha berontak dan melepaskan diri, tapi Papa kemudian malah
semakin kuat menariknya. Ia berusaha menggigit tangan Papa, tapi setelahnya
malah sebuah tamparan yang didapat oleh pipinya. Kepala Yuna pun terasa pusing
usai ditampar. Dan ia tak lagi kuasa menolak tarikan paksa Papanya.
Sungguh
hal yang memiriskan hati. Bagaimana bisa seorang Ayah yang seharusnya
melindungi putri semata wayangnya, kini justru menciptakan horror terburuk?
Berteriak. Mencaci. Memaksa. Dan bahkan memukul. Bagaimana bisa?? Bagaimana
sebenarnya semua ini bermula?...
--0--0--0--
Ayah
Yuna yang dikenal sebagai Pak Atmaja oleh para tetangga dulunya adalah seorang
yang baik. Ia merupakan karyawan di sebuah pabrik swasta yang berada di
pinggiran kota Tangerang. Ia dikenal sebagai pribadi yang kurang bergaul dengan
tetangga sekitarnya. Atmaja memang cenderung seorang yang pendiam. Meski
begitu, ia tetap menyayangi Yuna sebagaimana lazimnya seorang Ayah. Sampai
akhirnya sebuah krisis menimpa pabrik tempat Atmaja bekerja. Ia termasuk dalam
1500 karyawan yang terancam di PHK.
Ancaman
PHK itu kemudian menjadi nyata. Sejak 10 bulan lalu itulah Atmaja resmi menjadi
pengangguran. Syukurlah Atmaja memiliki istri dan putri yang setia memberikan
semangat untuknya. Ia diminta untuk berbesar hati dan tetap gigih mencari loker
di tempat lain. Hampir setiap hari Atmaja selalu merasakan panas teriknya
matahari di jalanan beraspal. Dari satu pabrik ke pabrik lainnya selalu
didatanginya dengan penuh semangat. Hingga akhirnya sampai juga ia pada titik
jenuh.
Desakan
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi serta sulitnya mendapatkan jalan nafkah
baru pun perlahan-lahan membuat Atmaja mulai berubah. Ia jadi lebih sering mengeluh.
Sering pula marah-marah. Terlebih ketika Sundari, istrinya, turun serta
membantu perekonomian keluarga. Sundari ikut melamar kerja ke beberapa pabrik
dan dalam waktu sebulan mencari, ia berhasil diterima di sebuah pabrik
konveksi. Sisi lelaki Atmaja merasa terusik karena kini ia harus bergantung
hidup pada upah kerja istrinya. Bagaimanalah? Terkadang hidup memang tak bisa
diminta semau yang kita inginkan.
Sejak
lima bulan inilah Atmaja mulai sering marah. Beberapa barang pecah belah pun
tak urung menjadi korban kemarahan Atmaja. Hanya karena hal sepele, ia memukul
Yuna. Hanya karena ditanya tetangga udah
ngelamar di mana? ia tak segan-segan berkelahi. Ia, yang dulu seorang
penyayang, kini tak lebih dari seorang pengangguran pemarah.
Sejak
empat bulan ini pula Atmaja mulai gandrung dengan permainan kartu. Permainan
yang menempatkan uang sebagai taruhan ini lambat laun pun menjadikan Atmaja
jadi salah satu pecandunya. Setiap awal bulan, ia selalu mengambil paksa uang
gajian Sundari untuk dipakainya berjudi. Dan setiap perjudian yang dilakukannya
itu selalu berakhir pada kekalahan.
Meski
sering kalah, Atmaja tetap setia mendatangi bar judi setiap malamnya. Ketika
sudah tak ada lagi uang di sakunya, Atmaja tak segan berhutang pada rentenir.
Hutang yang terus membengkak hingga mencapai puluhan juta rupiah. Parah.
Sungguh parah...
Lalu
bagaimana dengan Sundari? Sang istri?...
Menghadapi
suami yang kini menjadi pecandu judi, Sundari menguatkan dirinya untuk
menyabarkan diri. Bagaimanalah? Segala nasihatnya kepada sang suami tak juga
sedia didengarnya. Segala keluh kesahnya justru menjadi alasan bagi Atmaja
untuk memukulnya. Salah-salah malah Yuna, putrinya, kadang bisa jua menjadi
sasaran pukulan. Akhirnya Sundari memilih untuk membiarkan saja suaminya
berlaku apa. Asalkan tidak melukai Yuna, putri terkasihnya.
Pada
mulanya Sundari tak tahu bahwa Atmaja meminjam uang ke rentenir. Ia mengira
uang gajinya yang diminta Atmaja cukup untuk dipakai berjudi. Uang yang diminta
suaminya itu memang hanya separuh gajinya. Karena sebelum sampai rumah, ia
selalu menabungkan sebagian gajinya untuk kebutuhan keluarga. Meski hanya
separuh, tapi uang tersebut terbilang cukup besar. Jadi, jelas saja Sundari
terkejut ketika tetiba saja di suatu sore Atmaja meminta uang 45 juta padanya.
Ia semakin dibuat terkejut ketika tahu bahwa uang itu untuk membayar hutang ke
rentenir.
Spontan
saja Sundari marah pada suaminya. Di bawah tekanan rasa letih sepulang
kerja, dan kini ia dimintai uang untuk
membayar hutang yang tak sedikit jumlahnya. Sundari tak lagi mampu menahan
kekesalan juga kecewa akan perilaku suaminya itu. Sampai kemudian, terjadilah
pertengkaran besar di waktu sore menjelang magrib pada hari itu.
Pertengkaran
kali ini tak seperti malam-malam sebelumnya yang bisa mereda dalam hitungan
menit. Pertengkaran ini justru lebih parah karena Sundari tak lagi menahan diri
untuk tidak melemparkan benda apapun ke arah suaminya. Tas, sepatu, bantal,
buku, sukses mendarat di tubuh Atmaja. Hal yang membuat Atmaja semakin emosi
dan mulai melayangkan tamparan dan umpatan kasar pada Sundari, istrinya
sendiri.
Saat
peristiwa itu terjadi, Yuna belum pulang dari kegiatan ekskulnya. Maka ketika
Yuna tiba di halaman rumah, ia pun terkejut ketika mendengar teriakan-teriakan
kasar dari dalam rumah. Mulanya ia ragu untuk melangkah masuk. Tapi begitu
dilihatnya beberapa tetangga rumah mulai keluar dan melihat ke arahnya, Yuna
pun bergegas masuk.
Di
ruang tv Yuna melihat Mama tengah duduk bersandar ke tembok. Terlihat olehnya
darah di ujung kiri bibir mamanya. Kemudian Yuna melihat ke Papa yang kini
masih berdiri dengan penuh amarah tak jauh di dekat Mama-nya.
"Mama!
Papa..." Sergah Yuna.
Atmaja
kemudian menoleh ke arah putrinya. Dan tetiba saja ia mendapatkan sebuah
pemikiran.
"Yuna...
kamu sudah tumbuh cantik!" seloroh Atmaja sambil terkekeh pelan. Yuna tak
paham dengan ucapan Papanya yang tiba-tiba itu. Maka perlahan ia coba mendekati kedua orang tuanya. Sampai
kemudian...
"Yuna
lari! sembunyi nak! sembunyi!" teriak Mama tiba-tiba.
Yuna
terkejut dan semakin terkejut ketika Papa kemudian membenturkan kepala mama ke
tembok.
"Diam
kau, j****g! biar saja Yuna kujual! kita bisa bebas dari rentenir pembunuh itu,
g****k!"
Yuna
tersentak kaget. Tak percaya dengan ucapan sang Papa. Perlahan ia pun mulai berlari
ke arah pintu. Tapi Papa segera bisa meraih tangannya. Ia pun dibawa masuk
kembali ke dalam rumah. Ia hampir hendak dikunci dalam kamar jika saja ia tak
menggigit lengan Papanya. Atmaja yang kesakitan cukup memberikan waktu untuk
Yuna melepaskan diri. Yuna pun segera pergi ke tempat Mama tergeletak tadi.
Saat
Yuna sudah di sisi Mama, ia segera mengoyang-goyangkan lengan mama-nya. Dan
ketika Sundari telah sadar, ia pun segera meminta Yuna untuk sembunyi dahulu.
Sesegera mungkin.
Pada
mulanya Yuna enggan meninggalkan mama-nya sendiri di sana. Terlebih lagi ketika
ia mendapati kepala sang mama berdarah. Tapi begitu didengarnya suara papa
mulai mendekat, ia pun segera pergi ke arah dapur untuk bersembunyi. Dan
kembalilah kita ke kejadian seperti yang telah dijelaskan di pertengahan cerita
tadi. Karena pada akhirnya, Atmaja mampu menemukan Yuna yang bersembunyi di
bawah meja.
--0--0--0--
Kejadian
berikutnya adalah Atmaja yang menyeret paksa Yuna untuk menguncinya di dalam
kamar. Yuna yang sudah dikunci mulai menggedor-gedor pintu dan meminta Papa
untuk membukanya. Ia menangis, meratap, dan memohon Papa untuk tidak
menjualnya. "Yuna salah apa?!" begitu
yang selalu diucapkannya.
Atmaja
tak bergeming mendengar ratapan putri kandungnya itu. Ia lalu menelpon
seseorang. Saat ia menelpon, ia membelakangi pintu kamar tempat ia mengurung
Yuna. Sehingga ia tak melihat Sundari yang berusaha membuka kunci pintu kamar
itu. Maka ketika dilihatnya Yuna yang sudah keluar kamar dan hendak pergi
bersama Sundari, ia pun segera meraih tangan Yuna dan menariknya kembali masuk
kamar. Yuna berusaha berontak. Dan Atmaja yang sudah geram akhirnya menampar
pipi putrinya itu. Sundari yang melihat putrinya dilukai pun geram. Ia kalap
mata dan segera meraih patung pajangan yang ada di dekat tempat telpon. Patung
pajangan itu kemudian dipukulkannya ke kepala Atmaja hingga suaminya itu
tergeletak dengan darah yang mengucur deras di kepalanya.
Selama
beberapa detik, Yuna dan Sundari diam terpaku menatap tubuh Atmaja yang diam
tergeletak. Lalu keduanya bertatapan dan menangis bersamaan.
"Mama..."
"Yuna..."
Ucap
mereka bersamaan.
--0--0--0--
Malam
itu adalah malam terburuk dalam hidup Yuna juga Sundari. Karena peristiwa itu,
Sundari divonis empat tahun penjara. Sebuah keputusan hakim yang dirasa berat
bagi Yuna juga Sundari. Atmaja sendiri terbaring koma di rumah sakit. Ia kini
dirawat oleh lembaga masyarakat, mengingat sikapnya pada Yuna di malam naas itu
yang terbilang sangat berbahaya. Oleh karenanya Yuna kini tinggal bersama
bibinya, adik dari Mama.
Selama
bulan-bulan pertama, Yuna belum bisa pulih dari shock yang dialaminya pada malam naas itu. Ia tak mau keluar kamar.
Takut disentuh. Takut melihat warna merah. Seperti itulah. Kondisi Yuna mulai
membaik ketika suatu hari bibinya menunjukkan sesuatu padanya.
Sesosok
bayi yang kulitnya masih merah menangis kencang dalam video di handphone yang
dipegang oleh Bi Rahma. Kemudian layar hendphone menampakkan wajah Mama yang
ternyata sedang menggendong bayi yang tadi terlihat di layar. Mama nampak
tersenyum ke arah layar. Berkebalikan dengan sang bayi yang justru masih
menangis kencang. Entah kenapa ketika mendengar suara tangis bayi itu Yuna jadi
ikut menangis. Bi Rahma yang melihatnya pun nampak berkaca-kaca. Yuna serta
merta bergerak mendekati layar handphone. Dengan lembut disentuhnya layar
handphone yang kini menampilkan kembali wajah sang bayi.
“Itu
adikmu, Yuna. Dia lahir tiga hari lalu. Di bui.”
Yuna
tercengang mendengar penjelasan Bi Rahma. Ternyata pada malam naas itu terjadi,
Sundari tengah hamil. Fakta kehamilan itu baru diketahuinya saat ia masuk ke
dalam bui. Dimana saat itu diadakan pemeriksaan fisik dan kesehatan pada setiap
tahanan yang baru datang. Maka taka pelak, ketika diketahuinya bahwa ia sedang
mengandung, ia pun segera menabahkan dirinya. Tak ingin berlarut-larut dalam
duka yang tengah melingkupinya. Hanya ada kekhawatiran perihal keaadan putri
sulungnya, Yuna di luar sana.
Kembali
ke Yuna yang kini ikut menangis ketika sang adik masih menangis dengan
kencangnya. Ia pun kemudian menunduk takzim ketika Bi Rahma menasihatinya untuk
kembali ‘hidup’. Kembali bangkit. Karena ia kini sudah menjadi seorang kakak.
Adiknya itu saat ini akan diasuh oleh Mama di bui sampai usia 6 bulan. Dan
setelahnya, ia-lah yang diminta oleh Mama untuk menjaga sang adik.
Yuna
diam tergugu. Ketika mengawasi sang adik yang terlihat begitu rapuh di matanya,
Yuna merasa seolah terlahir kembali. Ia menyadari bahwa ia tidak sendiri.
Karena kini ia memiliki seorang adik yang harus dijaganya. Sampai Mama keluar
dari penjara. Sampai Mama kembali kepada mereka.
Maka
sejak hari itu, Yuna pun kembali melanjutkan sekolahnya. Ia kembali ceria. Terlebih
ketika satu setengah tahun kemudian ia mengasuh adiknya yang diberinya nama
Nina. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan selalu melimpahi
adiknya dengan kasih sayang yang tak terbatas. Tulus menjaga dan mendidik adiknya
sampai Mama mereka pulang kembali ke sisi mereka.
Seperti
itulah hari-hari Yuna dan Nina terus berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian…
--0--0--0--
Sebuah
bus berhenti di depan halte. Menghentikan Yuna yang hendak menjawab pertanyaan
Nina padanya. Nina pun teralihkan perhatiannya dan kini malah asik
memperhatikan satu persatu penumpang yang baru turun dari bus itu. Bu Jaja pun
turut mengikuti arah pandang Nina. Sementara Yuna menghela nafas pelan. Ia bersyukur
karena tak perlu menjelaskan perihal kondisi Mama-nya pada Nina juga Bu Jaja.
Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa sebenarnya Mama mereka bukan seorang
antariksawan, melainkan seorang tahanan penjara?
Kini
Yuna asik melihat debu-debu yang bertebangan di pinggir jalan sembari meremas
lembut tangan Nina yang masih dipangkunya. Diam-diam dalam hati ia mengharapkan
sesuatu hal yang akan terjadi pada siang ini. Harapan yang sebenarnya sudah
dipupuknya sejak empat tahun lalu. Harapan yang selalu dibisikkannya di
penghujung doa seusai shalatnya. Harapan untuk Mama.
Keasikan
Yuna melihat debu terhenti oleh tangan Nina yang balik meremas tangannya dengan
cukup kuat. Ia pun melihat Nina yang kini beranjak turun dari pangkuannya. Ia
merasa heran mendapati sebuah ekspresi di wajah chubby adiknya itu. Ekspresi asing yang belum pernah dilihatnya
sebelumnya. Rasa heran Yuna itu kemudian terjawab ketika ia mendengar sebuah
panggilan.
"Yuna!"
Seketika
itu juga Yuna mengangkat wajahnya. Ia mengenal suara yang barusan memanggilnya
itu. Ia jelas-jelas sangat mengenalnya.
"Mama.." lirih Yuna dalam hati.
Ya. Kini, persis tujuh langkah di hadapan Yuna,
Sundari berdiri dengan tangan mengepal kuat pada tali tas gendong yang
tersampir di bahu kanannya. Ia mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang
dipadu dengan rok bermotif bunga-bunga berwarna biru. Ia tak lagi membiarkan
rambut hitamnya tergerai lurus sebahu. Karena kini, mahkota hitamnya itu telah
rapih tertutupi kerudung polos berwarna senada dengan roknya.
"Yuna.."
Sundari kembali memanggil Yuna. Kali ini dengan
nada lebih lembut. Ia hampir-hampir tak mampu melangkah untuk mendekati
putrinya itu. Dan ketika dilihatnya Yuna pun seperti dirinya, ia pun menguatkan
diri untuk mengambil langkah awal untuk mendekati belahan jiwa yang sudah
bertahun-tahun tak ditemuinya itu.
Sundari kemudian menyadari keberadaan seorang anak
perempuan yang berdiri di depan Yuna. Anak perempuan itu nampak lucu dengan
pipi chubby-nya. Tapi Sundari tak
bisa tertawa melihat kelucuan rupa menggemaskan bocah yang ditaksirnya berusia
tiga tahun itu. Ia tergugu ketika mendapati sebuah ekspresi di wajah bulat anak
yang terlihat bergenggaman tangan dengan Yuna itu. Sundari seolah bisa
mendengar pertanyaan inikah Mama? ketika
menatap langsung ke bola mata anak itu. Dengan yakinnya ia berucap,
"Nina
ini Mama, nak"
Kedua tangan kini telah direntangkan. Sundari
menatap harap pada kedua putrinya yang sudah lama tak dipeluknya. Sembari
melangkah, ia tetap merentangkan tangannya. Beberapa detik dalam sunyi pun kemudian
pecah oleh isakan pelan Yuna ketika Yuna bergegas menghampiri dan memeluknya.
Sundari menerima luapan rindu yang dimiliki oleh putri sulungnya terhadapnya.
Ia pun memiliki rindu yang jauh berkali lipat besarnya untuk putri-putrinya
itu. Ia kemudian menepuk-nepuk pelan punggung Yuna. Lewat tepukan itu Sundari
berharap cukup mampu meredakan luapan rindu Yuna selama beberapa jenak.
Setelah beberapa waktu, Yuna memang berhenti
menangis. Nampaknya ia baru tersadar bahwa mereka kini ada di halte, tempat orang-orang
ramai berlalu lalang. Dengan sedikit malu, ia hapus bekas tangisannya tadi.
Lalu berkata,
"Nina, ini Mama. Yo, ucap salam."
Nina nampak canggung ketika diminta kakaknya untuk
memberi salam pada Mama, wanita yang baru pertama kali ditemuinya ini. Maka ia
pun memberi salam dengan gaya lucu, mirip seperti robot. Kaku sekali. Nina
menarik tangan Sundari lalu cepat-cepat mencium punggung tangan Mama-nya.
Setelah itu, ia buru-buru bersembunyi di belakang sang kakak, Yuna.
Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Nina ini
tersenyum geli. Yuna pun sebenarnya merasa geli. Ia mungkin akan habis-habisan
menggoda adiknya itu, jika saja saat ini bukan perjumpaan mengharukan dengan
mama-nya. Jadi Yuna kemudian menarik lengan Nina dengan lembut lalu
mendorongnya ke arah Mama. Dan selagi dilihatnya Mama kini memeluk Nina, Yuna
pun berbisik pelan dalam hati.
"Yaa
Rabb.. terima kasih untuk perjumpaan ini. Terima kasih untuk mengembalikan Mama
kepada kami. Terima kasih untuk waktu yang terlampau indah ini. Terima kasih,
Yaa Rabb.. terima kasih
dan kumohon, kekalkan kami dalam kebahagiaan ini.
Kekalkan kami dalam rasa syukur akan kebersamaan ini. Kekalkan kami dalam
senyum yang bertabur keikhlasan hingga kelak kami tiba menghadap pada-Mu nanti. Kekalkan kami, Yaa
Rabb
terima kasih..."
Ditulis dan
diselesaikan pada,
Jumat, 8 Mei
2015
Di Rumah putih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar