Minggu, 17 Mei 2015

Cerpen - "Mama"

Oleh : Mei
Genre : Famili, Drama
"Ka, mama lama.."
       Nina, bocah perempuan berusia tiga  setengah tahun itu tengah merajuk pada Yuna, sang kakak. Telah hampir setengah jam Nina menunggu di halte berdua dengan Yuna. Dan dari setengah jam itu, sudah sepuluh menit terakhir Nina mengucapkan keluhan yang sama berkali-kali. Syukurlah Yuna masih cukup sabar menghadapi rajukan dan keluhan Nina. Bukannya kenapa. Tapi tingkah Nina yang tengah merajuk memang cukup menggelikan untuk dilihat. Simak saja tingkah Nina saat ini.
         Nina tengah berdiri sembari menyenderkan tubuhnya pada tiang halte. Sementara dua meter darinya, sang kakak, Yuna terus mengawasinya dari bangku halte. Tubuh gembul, Mulut manyun, pipi chubby yang belepotan oleh sisa-sisa cokelat, serta kerudung biru yang sudah miring-miring tak karuan lantaran sering digaruk. Begitulah penampilan Nina. Belum lagi sudah berkali-kali pula Nina merubah posisi senderannya. Dari berdiri, bungkuk, jongkok, hingga duduk deprok di lantai halte, sudah dilakukannya. Mungkin kesal menunggu atau memang camilannya yang sudah habis sejak sepuluh menit lalu sehingga Nina mulai merajuk pada kakaknya.
        Lucunya, rajukan Nina seringkali diselingi oleh celotehannya tentang benda-benda yang ada di sekitar halte. Entah itu burung, truk yang melintas lewat, ataupun capung yang hinggap di bunga bougenville yang ada di samping halte.
"Ka Una! Ada bulung!"
"Ka Una! Mobilnya gedee.."
"aah.. capung, Ka! Capung!!"
        Begitulah. Syukurlah sejauh ini Yuna bisa sabar menghadapi tingkah adik satu-satunya itu. Walau mesti diakui, rasa malu tetap saja ada. Bagaimana tidak? Jika orang-orang di halte terus memandangi duo kakak beradik itu. Duh. Duh. Duuh..
"Nina.. Jangan deprok dong. Nanti kotor bajunya.."
      Kembali Yuna mengingatkan Nina untuk ke sekian kalinya. Sayangnya yang diingatkan hanya menyahut ‘'ya'’ pelan dan tetap asik duduk selonjoran di lantai halte. Akhirnya Yuna pun beranjak berdiri sembari membenarkan posisi tali ranselnya di pundak. Ia kemudian mendekati Nina yang terlihat mengantuk. Dalam hatinya Yuna merasa geli ketika melihat Nina yang berkali-kali mengantuk-antukkan kepalanya.
'ngantuk berat ya, dek? hihihiii...'
         Belum sampai Yuna ke sisi Nina, tiba-tiba saja Nina yang  sudah mengantuk berat malah oleng dan jatuh ke lantai. Dan entah karena kaget atau memang merasa sakit usai kepalanya terbentur, Nina pun menangis. Sontak saja halte pun menjadi riuh oleh suara tangisan Nina.
"huwaaaaa..aaaa.aaa...kakaa..."
Segera saja Yuna meraih dan menggendong Nina.
"cup…cup.cup... ya Nina.. gak papa.. kakak di sini.. cup….cup.cup.cup.."
     Yuna kemudian kembali duduk di bangku halte dengan Nina di pangkuannya. Ia pun kembali mencoba menenangkan Nina yang masih juga menangis.
"mana yang sakit, dek? Sini coba kakak sembuhin.."
"sakit, kaa… huuu.." keluh Nina sembari memegang bagian kepalanya yang dirasa sakit.
        Mengetahui keluhan Nina, Yuna pun mengusap-usap pelan kepala adiknya itu. Kemudian Yuna membacakan doa dan mengecup pelan kepala Nina.
"ooh.. ini toh yang sakit. Nih.. kaka kasih doa ya.. bismillahirrahmaanirrahiiiimm.. mmm..muah. dah. Insya Allah sembuh!"
     Seolah menganggap kakaknya sebagai dokter ahli, si kecil Nina pun percaya pada ucapan Yuna. Dan secara perlahan, ia mulai berhenti menangis. Hingga tak sampai semenit kemudian, hanya terdengar isakan pelan dari mulut mungilnya.
     Di samping Yuna duduk, seorang ibu paruh baya terusik mendengar isakan Nina. Ibu itu menawarkan sebungkus roti kepada Nina. Nina yang memang mudah terbujuk oleh makanan akhirnya benar-benar berhenti dari isaknya dan menerima roti pemberian ibu itu. Usai menerima roti pemberian ibu paruh baya, Nina menengokkan kepalanya ke atas, ke arah kakaknya. Dengan pandangan memohon, Nina meminta ijin Yuna untuk memakan roti itu.
"boleh, ka…?" pinta Nina.
     Yuna berdecak pelan. Antara merasa geli dan kesal melihat tingkah adiknya kali ini.
"ya. Boleh.. lagian rotinya udah Nina pegang, kan.. masa mau dibalikin lagi.. eh, bilang makasih dulu ke ibu, Niin.." Ucap Yuna sembari tersenyum ke ibu paruh baya itu.
"hee.. iya. Makasih.. ibuu.." ucap Nina dengan riang.
"sama-sama Nina.." balas sang ibu.
      Mendengar balasan ucapan dari ibu di sampingnya, Nina malah urung memakan roti di tangannya itu. Nina merasa heran.
"ibu! Kenall.. Nina ya? Ko. Kenall..emm.. namaa.. deee..de?" Tanya Nina dengan logat bicara terpatah-patah.
      Lagi-lagi Yuna berdecak pelan. Kali ini lebih ke rasa gemas karena adiknya itu begitu mudah mengajak orang asing mengobrol. Dicubitnya dengan pelan pipi tembem Nina sembari berkata,
"ya tahu lah. Niin.. kan dari tadi kaka panggil nama Ninaa.."ucap Yuna.
"mmm.." seloroh Nina sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
      Selanjutnya, Nina kembali memakan roti pemberian ibu paruh baya itu. Sembari menujukan pandangannya ke arah lalu lalang orang yang hendak menaiki bus dan angkot yang berhenti di depan halte. Tapi itu dilakukan Nina hanya sebentar saja. Karena tak lama kemudian…
"ibu! Dede.. belum.. kenall..nama ibu." Ucap Nina tiba-tiba. Yuna dan sang ibu sempat kaget dengan celotehan Nina itu.
"maksudnya, Nina belum tahu nama ibu..?" ucap Yuna mengoreksi kalimat Nina.
"..iiya."
"ya ajak kenalan dong sama Nina. Tanya.. ibu...saya Nina. Nama ibu siapa ya?. Gitu, Nin.." ajar Yuna.
"he.emm.. ibu siapa?" Tanya Nina pada ibu di sampingnya. Yuna kembali berdecak kesal. Karena kalimat perkenalan ajarannya malah dipangkas oleh Nina menjadi hanya dua kata. Ibu siapa?. Haih..haih..
      Sang ibu kembali tersenyum menyaksikan percakapan duo kakak beradik di sampingnya itu. Dan kemudian, ia pun mengenalkan diri.
--0--0--0--
      Percakapan antara Nina dan Bu Jaja (ibu paruh baya yang memberikan Nina sebungkus roti) terus berlanjut hingga beberapa menit lamanya. Sementara itu, Yuna memilih untuk menjadi pendengar saja. Hanya sesekali Yuna ikut menanyakan perihal kegiatan Bu Jaja yang menurut pengakuannya adalah seorang guru TK. Nina lah yang aktif bertanya tentang ‘ini-itu’ pada Bu Jaja. Pertanyaan remeh sebenarnya. Tapi karena ditanyakan Nina dengan ekspresi serius, akhirnya Bu Jaja pun berusaha menjawab pertanyaan Nina dengan sabar. Yuna yang melihatnya jadi sedikit tak enak hati. Khawatir Ibu Jaja merasa risih karena ditanya-tanya oleh adiknya. Tapi melihat senyuman yang diberikan Bu Jaja pada mereka berdua, membuat Yuna merasa lega. Dalam hatinya Yuna bergumam,
'untung ketemu sama guru TK. Coba kalo dosen. Bisa-bisa malah dapet kuliah umum, kita..'
      Percakapan antara Nina dan Bu Jaja terus berlanjut, dengan Yuna sebagai penyimak obrolan. Sampai akhirnya Yuna tersentak ketika mendengar Bu Jaja menanyakan sesuatu pada Nina.
"Mama Nina di mana?"
      DEG. Mama. Di mana. Dua kata itu cukup membuat Yuna gelisah. Nina sendiri yang ditanya langsung menjawab,
"mama.. ke antaliksa, ibu Ja..."
     Yuna tergugu mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Nina. Jawaban yang juga selalu diberikannya kepada Nina setiap kali adik kesayangannya itu bertanya tentang mama.
"antariksa yang di langit sana itu, Nin?" kata bu Jaja lagi.
"iya! Di langit itu. Tuh!" seru Nina sembari menunjuk ke arah matahari biasa terbit.
      Bu Jaja melihat arah telunjuk Nina dengan senyuman di bibir. Sementara saat itu Yuna masih tergugu mendengar perbincangan ‘'mama'’ itu.
"berarti mama Nina antariksawan ya?" Tanya Bu Jaja lagi.
"..? ap..ppa Bu Ja? Taliksawang?" ucap Nina terbata-bata. Mendengar ucapan Nina ini Bu Jaja sempat melebarkan senyumnya. Beliau menyadari betapa lucunya adik Yuna itu. Sayangnya Yuna masih tergugu dan tak mendengarkan celotehan lucu Nina.
"iya. An-ta-rik-sa-wan, Nin. Orang yang pekerjaannya naik pesawat di antariksa." Tutur Bu Jaja lagi.
"gitu Kak..?" Tanya Nina tiba-tiba pada Yuna.
Yuna terkejut ketika tetiba saja menjadi perhatian dua pasang mata milik Nina dan Bu Jaja.
"eh.. Maaf Nin? Apa ya?"
"iihh.. kakak kok bengung. Kata Bu Ja, Mama antalik..mm..antalik..sawan? iya Kak?"
     Yuna masih gugup sendiri karena ketahuan sedang melamun. Ia lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya berkata,
"mama..."
--0--0--0--
Flash back empat tahun lalu.
      Sebuah rumah bercat putih. Dengan tiga ruang tidur, satu ruang tamu, serta dapur yang menyatu dengan kamar mandi. Rumah itu memiliki teras berukuran 2x4 meter. Berlantaikan plesteran semen yang nampak mulai rusak hingga memperlihatkan lubang-lubang semen dan gerusan kasar pasir di beberapa bagian lantai. Di halaman rumah sebelah kiri, tertata dengan rapi beberapa pohon seperti jambu dan jeruk nipis. Dan seolah untuk mempercantik halaman, berjajar pula dengan rapih tanaman bunga kertas berwarna merah dan putih di sisi kanan halaman. Rumah teduh nan sederhana itu dihuni oleh keluarga Atmaja.
      Memasuki rumah, lebih persisnya adalah ke dalam ruang dapur yang terletak di bagian belakang rumah, sebuah isakan terdengar samar. Isakan dari seorang gadis 11 tahun yang kini tengah meringkuk di bawah meja makan. Gadis itu berusaha menutup mulutnya rapat-rapat agar suara isaknya tak terdengar. Segala ketakutan dan horror telah mencekam benak dan pikirannya saat itu. Horror yang membuat jantungnya berdegup teramat kencang dan tangannya mendingin tak wajar. Horror yang sudah mengancam gadis itu sejak setengah jam yang lalu. Gadis itu. Yuna.
"Yuunaaa… ayo keluar, sayang.."
      Sebuah suara bas tetiba saja memecah kesunyian yang berbalut horror di ruangan dapur itu. Mendengar suara itu memanggil namanya, Yuna langsung menjerit tertahan. Ia kian bergidik ngeri. Takut jika-jika tempat persembunyiannya akan terbongkar oleh sosok yang memanggilnya itu. Dan Yuna mulai komat-kamit menyebut asma Allah. Ia memohon pertolongan agar siapapun seseorang dapat menyelamatkannya saat ini.
'Allah..Mama.. mama..mama..mama..tolong Yuna...' begitu kata-kata yang dikomat-kamitkan oleh Yuna.
"Yuunaaa.. ayo keluar! Kita pergi ke kebun binatang.."
      Kembali. Suara itu memanggil Yuna. Yuna semakin ketakutan ketika ia melihat sebuah kaki yang datang mendekat ke meja tempatnya bersembunyi.
"Mama! Mama! Mama!" Kembali Yuna memanggil mamanya dalam hati. Ia pun semakin mengeratkan pelukan tangannya di lutut. Dingin yang tadinya hanya dirasakannya pada tangan dan kaki, kini mulai merambah ke tengkuk juga punggungnya. Pertanda rasa takut yang kian kejam mengancamnya.
     Yuna berharap seseorang segera datang menyelamatkannya. Menjauhkannya dari pemilik suara bass yang kini sudah berjarak sekitar lima langkah darinya.
"BRUAK!!PRANG…Pyang…pyang..pyang..pyang…pyang.."                                             
    Yuna melotot. Hampir saja ia berteriak karena terkejut mendengar suara jatuhnya mangkuk stainless steel ke lantai. Ia semakin dalam meringkuk di bawah meja. Bahkan kini matanya sudah mulai dipejamkannya rapat-rapat.
"YUNA!! KELUAR!! KELUAR SEKARANG JUGA!!!"” teriak lelaki itu.
"Mama..! Mama..! Mama..!" Yuna kembali menjerit dalam hati. Kini ia ikut menutup kupingnya rapat-rapat. Tak ingin mendengar teriakan lelaki yang selama ini begitu dekat dengannya itu.
“"Yuna!!! KELUAR!! PAPA BILANG, KELUAR SEKARANG JUGA!!!"” teriak lelaki itu lagi.
'Papa..!' isak Yuna dalam hati.
     Ya. Lelaki yang selama satu jam ini menjadi horror bagi Yuna memang adalah papa. Ayah kandung Yuna sendiri.
" DI SITU KAU RUPANYA!"
      Tetiba saja wajah Atmaja, ayah Yuna menengok ke bawah meja. Yuna yang semula memejamkan mata menjadi kaget dengan suara papa yang terasa dekat sekali dengannya. Ia bahkan spontan membuka matanya. Yuna pun terkejut ketika mendapati bahwa papa sudah mengetahui tempat persembunyiannya ini. Dalam hitungan detik, tangan Yuna ditarik paksa oleh Papa hingga ia keluar dari bawah meja. Yuna berusaha berontak dan melepaskan diri, tapi Papa kemudian malah semakin kuat menariknya. Ia berusaha menggigit tangan Papa, tapi setelahnya malah sebuah tamparan yang didapat oleh pipinya. Kepala Yuna pun terasa pusing usai ditampar. Dan ia tak lagi kuasa menolak tarikan paksa Papanya.
      Sungguh hal yang memiriskan hati. Bagaimana bisa seorang ‘Ayah’ yang seharusnya melindungi putri semata wayangnya, kini justru menciptakan horror terburuk? Berteriak. Mencaci. Memaksa. Dan bahkan memukul. Bagaimana bisa?? Bagaimana sebenarnya semua ini bermula?...
--0--0--0--
      Ayah Yuna yang dikenal sebagai Pak Atmaja oleh para tetangga dulunya adalah seorang yang baik. Ia merupakan karyawan di sebuah pabrik swasta yang berada di pinggiran kota Tangerang. Ia dikenal sebagai pribadi yang kurang bergaul dengan tetangga sekitarnya. Atmaja memang cenderung seorang yang pendiam. Meski begitu, ia tetap menyayangi Yuna sebagaimana lazimnya seorang Ayah. Sampai akhirnya sebuah krisis menimpa pabrik tempat Atmaja bekerja. Ia termasuk dalam 1500 karyawan yang terancam di PHK.
      Ancaman PHK itu kemudian menjadi nyata. Sejak 10 bulan lalu itulah Atmaja resmi menjadi pengangguran. Syukurlah Atmaja memiliki istri dan putri yang setia memberikan semangat untuknya. Ia diminta untuk berbesar hati dan tetap gigih mencari loker di tempat lain. Hampir setiap hari Atmaja selalu merasakan panas teriknya matahari di jalanan beraspal. Dari satu pabrik ke pabrik lainnya selalu didatanginya dengan penuh semangat. Hingga akhirnya sampai juga ia pada titik jenuh.
Desakan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi serta sulitnya mendapatkan jalan nafkah baru pun perlahan-lahan membuat Atmaja mulai berubah. Ia jadi lebih sering mengeluh. Sering pula marah-marah. Terlebih ketika Sundari, istrinya, turun serta membantu perekonomian keluarga. Sundari ikut melamar kerja ke beberapa pabrik dan dalam waktu sebulan mencari, ia berhasil diterima di sebuah pabrik konveksi. Sisi lelaki Atmaja merasa terusik karena kini ia harus bergantung hidup pada upah kerja istrinya. Bagaimanalah? Terkadang hidup memang tak bisa diminta semau yang kita inginkan.
       Sejak lima bulan inilah Atmaja mulai sering marah. Beberapa barang pecah belah pun tak urung menjadi korban kemarahan Atmaja. Hanya karena hal sepele, ia memukul Yuna. Hanya karena ditanya tetangga ‘udah ngelamar di mana?’ ia tak segan-segan berkelahi. Ia, yang dulu seorang penyayang, kini tak lebih dari seorang pengangguran pemarah.
      Sejak empat bulan ini pula Atmaja mulai gandrung dengan permainan kartu. Permainan yang menempatkan uang sebagai taruhan ini lambat laun pun menjadikan Atmaja jadi salah satu pecandunya. Setiap awal bulan, ia selalu mengambil paksa uang gajian Sundari untuk dipakainya berjudi. Dan setiap perjudian yang dilakukannya itu selalu berakhir pada kekalahan.
      Meski sering kalah, Atmaja tetap setia mendatangi bar judi setiap malamnya. Ketika sudah tak ada lagi uang di sakunya, Atmaja tak segan berhutang pada rentenir. Hutang yang terus membengkak hingga mencapai puluhan juta rupiah. Parah. Sungguh parah...
Lalu bagaimana dengan Sundari? Sang istri?...
     Menghadapi suami yang kini menjadi pecandu judi, Sundari menguatkan dirinya untuk menyabarkan diri. Bagaimanalah? Segala nasihatnya kepada sang suami tak juga sedia didengarnya. Segala keluh kesahnya justru menjadi alasan bagi Atmaja untuk memukulnya. Salah-salah malah Yuna, putrinya, kadang bisa jua menjadi sasaran pukulan. Akhirnya Sundari memilih untuk membiarkan saja suaminya berlaku apa. Asalkan tidak melukai Yuna, putri terkasihnya.
     Pada mulanya Sundari tak tahu bahwa Atmaja meminjam uang ke rentenir. Ia mengira uang gajinya yang diminta Atmaja cukup untuk dipakai berjudi. Uang yang diminta suaminya itu memang hanya separuh gajinya. Karena sebelum sampai rumah, ia selalu menabungkan sebagian gajinya untuk kebutuhan keluarga. Meski hanya separuh, tapi uang tersebut terbilang cukup besar. Jadi, jelas saja Sundari terkejut ketika tetiba saja di suatu sore Atmaja meminta uang 45 juta padanya. Ia semakin dibuat terkejut ketika tahu bahwa uang itu untuk membayar hutang ke rentenir.
      Spontan saja Sundari marah pada suaminya. Di bawah tekanan rasa letih sepulang kerja,  dan kini ia dimintai uang untuk membayar hutang yang tak sedikit jumlahnya. Sundari tak lagi mampu menahan kekesalan juga kecewa akan perilaku suaminya itu. Sampai kemudian, terjadilah pertengkaran besar di waktu sore menjelang magrib pada hari itu.
      Pertengkaran kali ini tak seperti malam-malam sebelumnya yang bisa mereda dalam hitungan menit. Pertengkaran ini justru lebih parah karena Sundari tak lagi menahan diri untuk tidak melemparkan benda apapun ke arah suaminya. Tas, sepatu, bantal, buku, sukses mendarat di tubuh Atmaja. Hal yang membuat Atmaja semakin emosi dan mulai melayangkan tamparan dan umpatan kasar pada Sundari, istrinya sendiri.
      Saat peristiwa itu terjadi, Yuna belum pulang dari kegiatan ekskulnya. Maka ketika Yuna tiba di halaman rumah, ia pun terkejut ketika mendengar teriakan-teriakan kasar dari dalam rumah. Mulanya ia ragu untuk melangkah masuk. Tapi begitu dilihatnya beberapa tetangga rumah mulai keluar dan melihat ke arahnya, Yuna pun bergegas masuk.
      Di ruang tv Yuna melihat Mama tengah duduk bersandar ke tembok. Terlihat olehnya darah di ujung kiri bibir mamanya. Kemudian Yuna melihat ke Papa yang kini masih berdiri dengan penuh amarah tak jauh di dekat Mama-nya.
"Mama! Papa..." Sergah Yuna.
Atmaja kemudian menoleh ke arah putrinya. Dan tetiba saja ia mendapatkan sebuah pemikiran.
"Yuna... kamu sudah tumbuh cantik!" seloroh Atmaja sambil terkekeh pelan. Yuna tak paham dengan ucapan Papanya yang tiba-tiba itu. Maka perlahan  ia coba mendekati kedua orang tuanya. Sampai kemudian...
"Yuna lari! sembunyi nak! sembunyi!" teriak Mama tiba-tiba.
Yuna terkejut dan semakin terkejut ketika Papa kemudian membenturkan kepala mama ke tembok.
"Diam kau, j****g! biar saja Yuna kujual! kita bisa bebas dari rentenir pembunuh itu, g****k!"
      Yuna tersentak kaget. Tak percaya dengan ucapan sang Papa. Perlahan ia pun mulai berlari ke arah pintu. Tapi Papa segera bisa meraih tangannya. Ia pun dibawa masuk kembali ke dalam rumah. Ia hampir hendak dikunci dalam kamar jika saja ia tak menggigit lengan Papanya. Atmaja yang kesakitan cukup memberikan waktu untuk Yuna melepaskan diri. Yuna pun segera pergi ke tempat Mama tergeletak tadi.
      Saat Yuna sudah di sisi Mama, ia segera mengoyang-goyangkan lengan mama-nya. Dan ketika Sundari telah sadar, ia pun segera meminta Yuna untuk sembunyi dahulu. Sesegera mungkin.
      Pada mulanya Yuna enggan meninggalkan mama-nya sendiri di sana. Terlebih lagi ketika ia mendapati kepala sang mama berdarah. Tapi begitu didengarnya suara papa mulai mendekat, ia pun segera pergi ke arah dapur untuk bersembunyi. Dan kembalilah kita ke kejadian seperti yang telah dijelaskan di pertengahan cerita tadi. Karena pada akhirnya, Atmaja mampu menemukan Yuna yang bersembunyi di bawah meja.
--0--0--0--
      Kejadian berikutnya adalah Atmaja yang menyeret paksa Yuna untuk menguncinya di dalam kamar. Yuna yang sudah dikunci mulai menggedor-gedor pintu dan meminta Papa untuk membukanya. Ia menangis, meratap, dan memohon Papa untuk tidak menjualnya. "Yuna salah apa?!" begitu yang selalu diucapkannya.
      Atmaja tak bergeming mendengar ratapan putri kandungnya itu. Ia lalu menelpon seseorang. Saat ia menelpon, ia membelakangi pintu kamar tempat ia mengurung Yuna. Sehingga ia tak melihat Sundari yang berusaha membuka kunci pintu kamar itu. Maka ketika dilihatnya Yuna yang sudah keluar kamar dan hendak pergi bersama Sundari, ia pun segera meraih tangan Yuna dan menariknya kembali masuk kamar. Yuna berusaha berontak. Dan Atmaja yang sudah geram akhirnya menampar pipi putrinya itu. Sundari yang melihat putrinya dilukai pun geram. Ia kalap mata dan segera meraih patung pajangan yang ada di dekat tempat telpon. Patung pajangan itu kemudian dipukulkannya ke kepala Atmaja hingga suaminya itu tergeletak dengan darah yang mengucur deras di kepalanya.
      Selama beberapa detik, Yuna dan Sundari diam terpaku menatap tubuh Atmaja yang diam tergeletak. Lalu keduanya bertatapan dan menangis bersamaan.
"Mama..."
"Yuna..."
Ucap mereka bersamaan.
--0--0--0--
      Malam itu adalah malam terburuk dalam hidup Yuna juga Sundari. Karena peristiwa itu, Sundari divonis empat tahun penjara. Sebuah keputusan hakim yang dirasa berat bagi Yuna juga Sundari. Atmaja sendiri terbaring koma di rumah sakit. Ia kini dirawat oleh lembaga masyarakat, mengingat sikapnya pada Yuna di malam naas itu yang terbilang sangat berbahaya. Oleh karenanya Yuna kini tinggal bersama bibinya, adik dari Mama.
      Selama bulan-bulan pertama, Yuna belum bisa pulih dari shock yang dialaminya pada malam naas itu. Ia tak mau keluar kamar. Takut disentuh. Takut melihat warna merah. Seperti itulah. Kondisi Yuna mulai membaik ketika suatu hari bibinya menunjukkan sesuatu padanya.
      Sesosok bayi yang kulitnya masih merah menangis kencang dalam video di handphone yang dipegang oleh Bi Rahma. Kemudian layar hendphone menampakkan wajah Mama yang ternyata sedang menggendong bayi yang tadi terlihat di layar. Mama nampak tersenyum ke arah layar. Berkebalikan dengan sang bayi yang justru masih menangis kencang. Entah kenapa ketika mendengar suara tangis bayi itu Yuna jadi ikut menangis. Bi Rahma yang melihatnya pun nampak berkaca-kaca. Yuna serta merta bergerak mendekati layar handphone. Dengan lembut disentuhnya layar handphone yang kini menampilkan kembali wajah sang bayi.
“Itu adikmu, Yuna. Dia lahir tiga hari lalu. Di bui.”
       Yuna tercengang mendengar penjelasan Bi Rahma. Ternyata pada malam naas itu terjadi, Sundari tengah hamil. Fakta kehamilan itu baru diketahuinya saat ia masuk ke dalam bui. Dimana saat itu diadakan pemeriksaan fisik dan kesehatan pada setiap tahanan yang baru datang. Maka taka pelak, ketika diketahuinya bahwa ia sedang mengandung, ia pun segera menabahkan dirinya. Tak ingin berlarut-larut dalam duka yang tengah melingkupinya. Hanya ada kekhawatiran perihal keaadan putri sulungnya, Yuna di luar sana.
      Kembali ke Yuna yang kini ikut menangis ketika sang adik masih menangis dengan kencangnya. Ia pun kemudian menunduk takzim ketika Bi Rahma menasihatinya untuk kembali ‘hidup’. Kembali bangkit. Karena ia kini sudah menjadi seorang kakak. Adiknya itu saat ini akan diasuh oleh Mama di bui sampai usia 6 bulan. Dan setelahnya, ia-lah yang diminta oleh Mama untuk menjaga sang adik.
      Yuna diam tergugu. Ketika mengawasi sang adik yang terlihat begitu rapuh di matanya, Yuna merasa seolah terlahir kembali. Ia menyadari bahwa ia tidak sendiri. Karena kini ia memiliki seorang adik yang harus dijaganya. Sampai Mama keluar dari penjara. Sampai Mama kembali kepada mereka.
      Maka sejak hari itu, Yuna pun kembali melanjutkan sekolahnya. Ia kembali ceria. Terlebih ketika satu setengah tahun kemudian ia mengasuh adiknya yang diberinya nama Nina. Ia telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan selalu melimpahi adiknya dengan kasih sayang yang tak terbatas. Tulus menjaga dan mendidik adiknya sampai Mama mereka pulang kembali ke sisi mereka.
Seperti itulah hari-hari Yuna dan Nina terus berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian……
--0--0--0--
      Sebuah bus berhenti di depan halte. Menghentikan Yuna yang hendak menjawab pertanyaan Nina padanya. Nina pun teralihkan perhatiannya dan kini malah asik memperhatikan satu persatu penumpang yang baru turun dari bus itu. Bu Jaja pun turut mengikuti arah pandang Nina. Sementara Yuna menghela nafas pelan. Ia bersyukur karena tak perlu menjelaskan perihal kondisi Mama-nya pada Nina juga Bu Jaja. Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa sebenarnya Mama mereka bukan seorang antariksawan, melainkan seorang tahanan penjara?
      Kini Yuna asik melihat debu-debu yang bertebangan di pinggir jalan sembari meremas lembut tangan Nina yang masih dipangkunya. Diam-diam dalam hati ia mengharapkan sesuatu hal yang akan terjadi pada siang ini. Harapan yang sebenarnya sudah dipupuknya sejak empat tahun lalu. Harapan yang selalu dibisikkannya di penghujung doa seusai shalatnya. Harapan untuk Mama.
      Keasikan Yuna melihat debu terhenti oleh tangan Nina yang balik meremas tangannya dengan cukup kuat. Ia pun melihat Nina yang kini beranjak turun dari pangkuannya. Ia merasa heran mendapati sebuah ekspresi di wajah chubby adiknya itu. Ekspresi asing yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Rasa heran Yuna itu kemudian terjawab ketika ia mendengar sebuah panggilan.
"Yuna!"
      Seketika itu juga Yuna mengangkat wajahnya. Ia mengenal suara yang barusan memanggilnya itu. Ia jelas-jelas sangat mengenalnya.
"Mama.."  lirih Yuna dalam hati.
      Ya. Kini, persis tujuh langkah di hadapan Yuna, Sundari berdiri dengan tangan mengepal kuat pada tali tas gendong yang tersampir di bahu kanannya. Ia mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang dipadu dengan rok bermotif bunga-bunga berwarna biru. Ia tak lagi membiarkan rambut hitamnya tergerai lurus sebahu. Karena kini, mahkota hitamnya itu telah rapih tertutupi kerudung polos berwarna senada dengan roknya.
"Yuna.."
      Sundari kembali memanggil Yuna. Kali ini dengan nada lebih lembut. Ia hampir-hampir tak mampu melangkah untuk mendekati putrinya itu. Dan ketika dilihatnya Yuna pun seperti dirinya, ia pun menguatkan diri untuk mengambil langkah awal untuk mendekati belahan jiwa yang sudah bertahun-tahun tak ditemuinya itu.
      Sundari kemudian menyadari keberadaan seorang anak perempuan yang berdiri di depan Yuna. Anak perempuan itu nampak lucu dengan pipi chubby-nya. Tapi Sundari tak bisa tertawa melihat kelucuan rupa menggemaskan bocah yang ditaksirnya berusia tiga tahun itu. Ia tergugu ketika mendapati sebuah ekspresi di wajah bulat anak yang terlihat bergenggaman tangan dengan Yuna itu. Sundari seolah bisa mendengar pertanyaan ‘inikah Mama?’ ketika menatap langsung ke bola mata anak itu. Dengan yakinnya ia berucap,
"Nina… ini Mama, nak"
      Kedua tangan kini telah direntangkan. Sundari menatap harap pada kedua putrinya yang sudah lama tak dipeluknya. Sembari melangkah, ia tetap merentangkan tangannya. Beberapa detik dalam sunyi pun kemudian pecah oleh isakan pelan Yuna ketika Yuna bergegas menghampiri dan memeluknya. Sundari menerima luapan rindu yang dimiliki oleh putri sulungnya terhadapnya. Ia pun memiliki rindu yang jauh berkali lipat besarnya untuk putri-putrinya itu. Ia kemudian menepuk-nepuk pelan punggung Yuna. Lewat tepukan itu Sundari berharap cukup mampu meredakan luapan rindu Yuna selama beberapa jenak.
      Setelah beberapa waktu, Yuna memang berhenti menangis. Nampaknya ia baru tersadar bahwa mereka kini ada di halte, tempat orang-orang ramai berlalu lalang. Dengan sedikit malu, ia hapus bekas tangisannya tadi. Lalu berkata,
"Nina, ini Mama. Yo, ucap salam."
      Nina nampak canggung ketika diminta kakaknya untuk memberi salam pada Mama, wanita yang baru pertama kali ditemuinya ini. Maka ia pun memberi salam dengan gaya lucu, mirip seperti robot. Kaku sekali. Nina menarik tangan Sundari lalu cepat-cepat mencium punggung tangan Mama-nya. Setelah itu, ia buru-buru bersembunyi di belakang sang kakak, Yuna.
      Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Nina ini tersenyum geli. Yuna pun sebenarnya merasa geli. Ia mungkin akan habis-habisan menggoda adiknya itu, jika saja saat ini bukan perjumpaan mengharukan dengan mama-nya. Jadi Yuna kemudian menarik lengan Nina dengan lembut lalu mendorongnya ke arah Mama. Dan selagi dilihatnya Mama kini memeluk Nina, Yuna pun berbisik pelan dalam hati.
"Yaa Rabb.. terima kasih untuk perjumpaan ini. Terima kasih untuk mengembalikan Mama kepada kami. Terima kasih untuk waktu yang terlampau indah ini. Terima kasih, Yaa Rabb.. terima kasih…dan kumohon, kekalkan kami dalam kebahagiaan ini. Kekalkan kami dalam rasa syukur akan kebersamaan ini. Kekalkan kami dalam senyum yang bertabur keikhlasan hingga kelak kami tiba  menghadap pada-Mu nanti. Kekalkan kami, Yaa Rabb… terima kasih..."

Ditulis dan diselesaikan pada,
Jum’at, 8 Mei 2015
Di Rumah putih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar