Rabu, 21 Agustus 2013

My Avilla

Novel oleh Ifa Avianty.

"Pernahkah kamu merasakan kagum yang sangat kepada seseorang? Kagum yang tak pernah sanggup kamu ungkapkan, karena orang yang kamu kagumi itu justru pesaingmu sendiri?
Ya, Trudy begitu terpesona kepada Margriet. Sang kakak itu, seperti diciptakan untuk sebuah kesempurnaan. Kecantikannya, kelembutannya, kecemerlangan hatinya, selalu membuat ia merasa menjadi sosok terburuk, terkasar, dan terjahat sedunia, saat bersanding dengannya.
Dengan apa yang dimiliki, lelaki terhebat di dunia pun mungkin akan bangga bersanding dengan Margriet. Tetapi, mengapa justru dengan sang kakak ia harus terlibat cinta segitiga?
Ia sungguh tak sanggup melihat Fajar, lelaki yang ia cintai, sering dengan begitu mesra memanggil Sang Margriet dengan sebutan “My Avilla”.
Nyata-nyatanya, Margriet ternyata lebih memilih lelaki bule mualaf, Phill. Lelaki tampan yang periang dan terpelajar, yang juga telah menyemaikan benih kasih-sayang di hati Margriet, sang istri.
Namun, Trudy tahu, alunan cinta di jiwa Fajar, tak lekang karena pernikahan itu .... Bahkan, ketika akhirnya ia dan Fajar telah nyaris sejengkal memasuki gerbang pernikahan, mendadak ia menyadari, bahwa ia tak memiliki kelembutan jiwa setara Margriet, yang akan mampu dengan ikhlas menerima Fajar yang menjadi cacat itu apa adanya."

Novel ini adalah drama cinta nan romantis. Tentu saja cinta yang memberikan lautan inspirasi. Namun, tentu saja tak sekadar jalinan cinta yang ditengahkan. Pencarian Phill dan Fajar akan Tuhan, telah membuat novel ini dengan sendirinya mengusung pencerahan. Phill yang sebelumnya non muslim,dan Fajar yang bersekolah teologi di Roma. Mereka, sama-sama menemukan cahaya. Sama-sama menemukan Tuhannya.
Secara pribadi, aku senang dengan karya-karya Mbak Ifa. Beberapa karya lainnya yang sudah kubaca adalah novel "jodoh dari surga" dan "novel alena". Kedua novel itu 100% membuatku bergidik berkali-kali. Kedua novel itu juga termasuk bacaan yang telah mengenalkanku pada hakikat cinta yang paling luhur, yakni cinta kepada-Nya. dan novel ketiga karya Mbak Ifa yang kubaca ini (My Avilla), juga adalah novel yang membantuku untuk kian semangat untuk mendekati-Nya. Untuk mengenal-Nya. Semoga, kawan-kawan juga bisa mendapatkan pengalaman yang serupa.

^_^.


Kalimat terakhirku untuk novel My Avilla ini adalah:
"ini adalah bacaan yang menarik untuk siapapun yang ingin lebih mengenal-Nya."
(silahkan cari di toko-toko buku terdekat di kota Anda. ^o^ )

Senin, 05 Agustus 2013

Cerbung - "H-1 Epik 2/3. Inikah Jodohku?"

Oleh : Mei
“whoaaaa...subhanallaaahh...”aku berseru dan tanpa malu-malu menunjukkan rasa penasaranku terhadap cerita Ika. Sementara Ika tersenyum geli melihat tingkah bocahku.
Sudah 10 menit berlalu sejak Ika memulai ceritanya tentang kisah nyata yang dialami oleh orang-orang tarbiyah. Pada mulanya mungkin aku sangsi dan tak terlalu tertarik untuk mendengarkan cerita Ika, tetapi sesudah sepertiga cerita berlalu aku mulai tertarik dan penasaran dengan apa yang akhirnya terjadi pada orang-orang tarbiyah tersebut.
“terus ka, Ustadznya jadi poligami? Istrinya beneran ngerelain suaminya nikah lagi gitu??”
“sabar napa, Mei.. makanya dengerin dulu cerita ika baik-baik! Belum juga selesai udah dikomen duluan. Payah nih!”
“hehehee..:D maaf kaa.. maaf.. habis penasaran sih. Masalahnya, ini tuh “poligami” lho! Po-li-ga-mi! Kalo o-ri-ga-mi sih iya asyik. Nah,, ini mah poligami. Subhanallah banget ya Mbak-nya bisa ngerelain diri tuk minta suaminya nikah lagi. Walau emang bahagia juga sih klo surga jadi ganjarannya...”
“iya..iya..jadi,, lanjut gak nih ceritanya??”
Ika nampak sudah tak sabaran dengan instrupsiku yang berkali-kali. Maka setelahnya aku pun mengunci mulutku rapat-rapat sembari mengangguk-angguk sebagai permintaanku agar ika melanjutkan kembali ceritanya. Dan untuk menit-menit berikutnya aku pun mesti menahan diri dari keinginan untuk menginstrupsi cerita Ika. Alhasil, aku hanya diperbolehkan menggigit si Boni, boneka beruang cokelat pemberian adikku Herdi sebagai ganti untuk tidak menginstrupsi cerita Ika lagi. Dan Ika pun akhirnya mau melanjutkan kembali ceritanya hingga akhir.
“Jadi...”
---
Di suatu jalan kecil tak jauh dari rumah keluarga Toha, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun berjalan sembari menyenandungkan shalawat dalam hatinya. Ia memanggul ransel yang meski bersih tapi nampak sudah cukup tua. Langkahnya yang bermula dari Depok hingga ke tempat ini adalah demi menjumpai seorang ustadz yang sangat dihormatinya. Ustadz Toha namanya.
“Assalamu’alaikum!” sapa Adam, nama lelaki itu.
Dua detik hingga lima detik ditunggunya dalam diam jawaban salam dari sang pemilik rumah. Sayangnya sepi lah yang menyambutnya.
Kemudian Adam mencoba mengucap salam lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras.
“Assalamu’alaikum!!” dibenahinya letak peci yang terasa tak nyaman di kepalanya. Sementara beberapa detik kembali berlalu dan masih sunyilah yang menjawab salamnya.
Kemudian Adam meniatkan lagi untuk mengucapkan salam. Jika masih juga sunyi yang menjawabnya, ia memutuskan untuk berbalik dan pulang ke rumah saja. Karena memang begitulah adab bertamu yang seharusnya seperti yang telah diajarkan oleh baginda Rasul yang mulia. Jika tiga kali mengucapkan salam dan tidak ada tanda-tanda keberadaan pemilik rumah, maka sang tamu sebaiknya pulang dan kembali datang di lain waktu.
Adam mengumpulkan nafasnya dalam satu waktu dan menghembuskannya bersamaan dengan suara lantangnya ketika mengucapkan salam ke tiganya.
“Assalamu’alaikum!!”
Harapan Adam berbuah manis. Berselang dua detik, terdengar suara seorang wanita menjawab salamnya dari dalam rumah.
“Wa’alaikumsalamwarahmatullah!”
Alhamdulillah... syukur Adam dalam hati ketika mendapati salamnya bersambut salam. Tak lama pintu kayu Mahoni di hadapannya terbuka dan Adam segera menundukkan pandangan ketika ia mengetahui bahwa yang membukakan pintu untuknya adalah Ummi Ros, istri dari Ustadz Toha. Perlahan kemudian disampaikannya maksud kedatangannya ke rumah itu.
“Maaf Ummi, saya Adam. Apakah Ustadz Toha ada di rumah? Saya hendak mengembalikan laptop miliknya yang saya pinjam sebulan lalu.”
“ya ada. Hayya, tadkhul*. Tunggu di sini. Saya panggilkan ustadz dahulu.”
Adam mengikuti arahan Ummi Ros untuk duduk di salah satu sofa terdekat dan menunggu.
Tak butuh waktu sampai satu menit, ustadz Toha muncul dan Adam segera bangkit berdiri untuk bersalaman dan memeluk ustadz muda itu.
“Assalamua’alaikum, akhi Adam!”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah. Tadz! Alhamdulillah bikhair. Ustadz juga apa kabar? Sepertinya makin cerah saja nih wajah ustadz. Sedang berbahagia dalam rangka apakah?”
Adam mencoba berkelakar. Ia sudah hampir tertawa lepas ketika dilihatnya wajah Ustadz di hadapannya itu malah tampak murung. Ia beristighfar dalam hati. Khawatir ucapannya tak patut untuk kondisi ustadz Toha saat ini.
“yah..sedang cukup genting nih, Akh. Bingung saya!”
Terlihat oleh Adam betapa kuyu ustadz Toha ketika ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Gestur tubuh ustadz muda itu menunjukkan betapa gentingnya permasalahan yang tengah dihadapi olehnya.
“maaf tadz, jika diperkenankan untuk tahu, bisakah ustadz menceritakannya? Insyaallah jika saya mampu, saya akan berusaha membantu semampunya.” Ucap Adam sungguh-sungguh.
Selanjutnya ustadz Toha tampak tepekur dan memandang Adam cukup lama. Sampai akhirnya tiba-tiba saja ustadz Toha menegakkan dudukannya di sofa dan maju condong ke arah Adam.
“Akhi, apakah akhi mau menikah dengan seorang muslimah shalihah?” tanya ustadz Toha kepada Adam.
Adam agak terkejut dengan perubahan topik pembicaraan yang langsung serius. Sehingga spontan saja ia menjawab pertanyaan ustadz Toha dengan tersenyum.
“ya maulah, Tadz!”
Sebuah senyum terbit di bibir ustadz Toha. Dan Adam ikut tersenyum.
“jika menikahnya besok hari, apakah akhi siap juga?”
Kali ini Adam terdiam dulu hampir setengah menit lamanya sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan ke dua itu.
“jika menurut ustadz, muslimah itu adalah muslimah shalihah. Maka tak ada harta karun lain yang lebih berharga dari wanita shalihah, dan bisa memilikinya adalah kesempatan langka yang sudah seharusnya saya ambil.”
Ustadz Toha kian melebarkan senyumnya.
“Akhi Adam, saat ini ada seorang muslimah shalihah yang tengah terancam rusak jiwanya. Dia ditinggal pergi oleh calon suaminya tepat sehari sebelum akad nikah yang akan dilangsungkan esok pagi. calon suaminya itu hanya mengirimkan pesan singkat via sms tanpa ada keterangan lebih jelas dan kini entah berada di mana. Kini, ane tawarkan muslimah tersebut untuk Akhi nikahi. Ane mohon maaf karena tidak bisa menunjukkan biodata muslimah itu lantaran biodatanya dibawa pergi pula oleh ikhwan b*ngs*t itu! astaghfirullah.. maaf Akhi. Ane tidak bisa menahan kekecewaan ane ke ikhwan itu. Akad nikahnya besok jam 9 pagi. Apakah akhi mau?”
Adam terdiam tak bisa memberikan jawaban. Kemudian ustadz Toha berkata lagi dengan sedikit menggebu-gebu.
“Yakin Akhi, ini jodoh antum!”
Adam cukup terhenyak mendengarnya. Tertegun hatinya manakala mendengar kata “jodoh” itu. Ia pun paham dengan duduk perkara yang dihadapi oleh ustadz Toha. Ini memang perkara yang sangat genting karena menyangkut jiwa murni seorang muslimah. Meski begitu, ada rasa sangsi yang dirasakan Adam dalam hatinya. Ia merasa sangsi apakah ia benar-benar siap untuk menikahi wanita entah siapa itu. oleh sebabnya Adam mohon waktu sebentar untuk keluar rumah dan berpikir sejenak.
Adam keluar rumah dan berdiri di beranda rumah ustadz Toha. Ia melihat ke arah langit. Ada cukup banyak gemintang di atas sana. Agak heran juga sebenarnya karena ia masih bisa melihat taburan bintang di langit malam Jakarta yang notabene langitnya sudah tercemar oleh asap-asap tebal kendaraan. Jadi seharusnya dan seperti biasanya langit malam Jakarta hanya berupa langit kelabu atau merah tua, atau jika beruntung ya berupa langit biru pekat dengan kemunculan beberapa bintang yang bisa dihitung jari. Tapi saat itu, bintang-bintang bak pasir yang bertaburan di langit malam yang biru pekat. Terlihat pula sinar bulan yang separuh bercahaya di ufuk tenggara.
Adam pun tak kuasa tuk tidak  bertasbih memuji Penciptanya.
Allah Maha Berkehendak.
Allah Maha Mengindahkan ciptaan-Nya.
Allah Maha Pengasih kepada para hamba-Nya.
Dan laksana panah yang melesat cepat menuju bidikannya, begitulah kiranya perubahan pikiran Adam terkait proposal pernikahan itu. Ia sudah memiliki keputusan. Selanjutnya ia bersegera masuk kembali ke dalam rumah untuk menyampaikannya kepada ustadz Toha.
“Ustadz! Dengan bismillah, saya siap untuk menikah besok!”
“Alhamdulillah...!!”
Lafadz hamdalah menggema tak hanya dari mulut ustadz Toha. Saat itu samar-samar terdengar pula di telinga Adam suara Ummi Ross yang nampaknya sedari awal turut mendengarkan perbincangan mereka berdua di ruangan sebelah.
“insyaallah dia jodoh antum, akhi! Dia jodoh antum!”
Kembali ustadz Toha meyakinkan Adam. Dan mendengarnya membuat Adam tersenyum seraya mengaminkannya dalam hati. Meski begitu, ada sesuatu yang sedikit mengganjal hatinya. Maka dengan sedikit malu ia mencoba mengutarakannya kepada ustadz Toha.
“ustadz, sebenarnya ane agak kepikiran sama biaya pernikahannya. Jujur, saat ini ane gak megang uang yang banyak untuk itu.”
Ustadz Toha tersenyum memaklumi sebelum akhirnya berkata.
“semua biaya pernikahan sudah disiapkan, akhi. Biar ane bantu antum kali ini. Antum hanya perlu menyiapkan maharnya saja. Apa saja harta yang antum bawa saat ini?”
“saya memiliki satu mushaf al quran dan uang sebesar 300 ribu, tadz.”
“sudah. Itu saja cukup. Sekarang, antum langsung berangkat ke rumah muslimah itu. antum pergi ke stasiun pondok Ranji sekarang juga. Nanti Ane kirimkan rute lengkapnya via sms. Ayo!”
Ustadz Toha bangkit berdiri. Dan Adam mengikuti.
“oya tadz, hampir saya khilaf. Ini saya kembalikan lap topnya. Terima kasih banyak ustadz. Sekarang saya akan bersegera ke sana. Doakan saya, tadz.” Ucap Adam sambil menyerahkan laptop kepada ustadz Toha.
Ustadz Toha menerimanya dan menaruhnya di atas meja. Kemudian mereka berdua berjalan bersisian ke luar rumah. Di depan pintu, ustadz Toha kembali menggebukan azzam Adam dengan berkata,
“yakin akhi, dia jodoh antum!”
Adam tersenyum dan meyakinkan ucapan ustadz di hadapannya dengan mengangguk. Kemudian ia pamit diri dan mulai melangkah menembus gelapnya malam untuk melalui perjalanan menuju muara hatinya saat ini.  Menjemput jodoh yang tak dikenal rupanya namun diyakini kebaikan akhlaknya oleh hatinya.
Bismillahirrahmaanirrahiim...
---
Di rumahnya, ustadz Toha tengah melakukan sujud syukur bersama istrinya, Ummi Ross. Mereka mengucap syukur berkali-kali karena Yang Maha Rahman telah menunjukkan sosok muslim yang kuat yaitu Adam di tengah perkara pelik yang mereka hadapi. Tak jauh dari mereka, Shania tertidur pulas. Ia kelelahan seusai menangis cukup lama. Putri mereka itu langsung memeluk umminya dalam satu rangkulan besar ketika Ummi Ross memberitahukan putrinya bahwa sang abi tak akan menikah lagi. Shania lega karena ia tak jadi memiliki ibu tiri.  Saat ini Shania bolehlah berpikiran dangkal tentang perkara ibu tiri yang jahat. Tapi di masa mendatang, Shania akan memahami bahwa tak semua ibu tiri adalah sosok yang jahat. Ia sungguh akan memahami itu.
Tak lama dari pelukan yang diberikannya kepada Ummi, Shania tertidur. Dalam tidurnya ia tersenyum. Senyuman yang turut menarik bibir ummi abinya yang melihatnya tuk turut tersenyum.
Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga mereka mendengar kabar bahagia dari keluarga Farah esok hari. Semoga saja Adam benar adalah jodoh terbaik yang telah disiapkan Allah untuknya. Semoga akad pernikahan besok dilancarkan. Semoga Farah tak lagi bersedih seperti apa yang dirasakannya di kali awal ia mendapatkan pengkhianatan dari Farid. Dan semoga-semoga lainnya yang dilirihkan Ummi Ross dan Toha seusai shalat hajat yang mereka dirikan bersama.
Akumulasi dari semua “semoga.. semoga..” itu bermuara dalam satu kalimat ampuh.
“Amiinn...Allahumma Amiin Ya Rabb..”
Diselesaikan pada,
Senin, 05 Agustus 2013
Di Rumah Ke Lima, Gintung

(bersambung ke H-1. epik 3. “Separuh Diin-ku ada Bersamanya”)


* hayya, tadkhul = silahkan masuk

Kamis, 01 Agustus 2013

Cerbung - "H-1 Epik 1/3. Bayang-Bayang Poligami"

Oleh : Mei
 Pagi ini angin dingin menelisik melewati teralis jendela kamar kosanku. Membuatku cukup enggan untuk beranjak dari kasur dan selimut yang hangat dan lebih memilih untuk menggelungkan diri dalam hayalan bebas tentang mimpi-mimpiku. Perpus kecamatan. Mekkah. Jepang. Lima orang putra dan putri yang sehat dan ceria..dan beberapa mimpi lainnya.
 Ika pun masih berada di kosan. Kawan sekamarku ini biasanya sudah berangkat ke Bekasi,tempat kerjanya selama lima bulan ini, setiap jam enam pagi. Tapi hingga jarum jam menunjukkan pukul 06.30 wib ika masih saja berkutat di depan laptopku untuk membuat laporan pekerjaannya di new file dari Excel. Sesekali dari bawah selimut aku tersenyum geli manakala kulirik wajah seriusnya ketika membuat laporan.
 Aku hampir-hampir saja terlelap kembali ketika kemudian Ika meminta bantuanku tentang pembuatan grafik di excel. Kubantu ia dan setelahnya mataku nampak sudah terlalu segar untuk kembali ke bawah lindungan selimut. Alhasil, setelahnya aku hanya berlagak tidur-tiduran demi menghindar dari kisikan angin dingin yang berlalu lalang di kamar kosan kami.
---
Jam menunjukkan pukul 07.50 ketika Ika selesai membuat laporannya. Saat itu aku juga sudah beranjak bangun dari lagak tidur-tiduranku dan mulai merapihkan kamar. Ika kemudian merebahkan badannya kembali ke kasur dan membuatku tak bisa menahan cengiranku ketika menyaksikan betapa ‘bersahabat’nya ia dengan si kasur. Ia melihat cengiranku. Alhasil setelahnya kami pun sibuk melontar ledekan ke satu sama lain. Sampai kemudian ia berhenti dan berkata setengah serius.
 “Ika punya cerita mei. Cerita ini kisah nyata dan kayaknya bakal bagus banget kalo dibuat novel.”
 Aku menaikkan sebelah alisku sebagai pertanda menyangsikan ucapannya.
 “Serius!” ia mendelikkan matanya ketika  mendapati cibiran bibirku yang menyangsikan ucapannya.
 “masaa??..coba ceritain!” Tantangku dengan senyum lebar.
“iya! Ini tuh kisah nyata tentang dua orang anak tarbiyah Mei..”
 Dan setelahnya, selama hampir setengah jam berikutnya aku dibuat takjub, sedih, salting, dan seabrek perasaan lainnya ketika mendengarkan Ika menuturkan ceritanya. Cerita itu selanjutnya kubagikan pula kepadamu Dee dalam tulisan ini. 
Jadi,,begini ceritanya...
------------------------------ooo-----------------------------------------000-----------------------
 “Abi gak boleh nikah!! Abi gak boleh nikah lagi!! Huu..u..uu..”
 Shania memukul-mukul paha Toha dengan kepalan tangan mungilnya. Gadis berusia tujuh tahun itu sudah 20 menitan ini menangis dan tak mau menjauhkan dirinya dari abinya itu. Sebenarnya Shania  merasa malu karena sejauh yang diingatnya ia selalu berusaha menyembunyikan tangisnya dari Abi kebanggaannya. Shania adalah anak yang tangguh! Begitu selalu yang dibanggakan Abi tentangnya.
 Shania tak menangis ketika ia terjatuh dari pohon mangga Mak Ida yang cukup tinggi. Ia juga tak menangis ketika melihat darah merah yang mengalir dari lengan kanannya ketika terjatuh itu. Ia menahan pedih dan tangisnya seorang diri dan hanya diam dalam gendongan Abi menuju rumah sakit yang saat itu juga bersikap tenang, tak seperti Umminya yang sudah banjir air mata dan malah hampir pingsan.
Dan tak hanya itu saja. Di antara teman-temannya di SD, Shania bahkan sudah mendapatkan jabatan sebagai pemimpin kelas. Ini lantaran ia yang hampir selalu ‘sibuk’ memberikan perintah dan mengingatkan teman-temannya ketika terjadi kesalahan. Terlepas dari betapa menjengkelkannya ia ketika bersikap sebagai bos cilik dihadapan teman-temannya, Shania tetaplah seorang pemimpin kelas yang tangguh dan bisa diandalkan.
Tapi saat ini, Shania merasa tak bisa bersikap tenang. Berkebalikan dengan Ummi-nya yang malah sibuk berusaha menenangkannya. Shania heran sekali. Mengapa Umminya bisa menyuruh Abinya menikah lagi? Shania tak ingin mempunyai ibu tiri. Ummi saja sudah sangat baik untuk Shania. Shania takut akan disiksa oleh ibu tiri seperti yang diceritakan dalam filem-filem di televisi itu. Shania takut. Sungguh takut!
Dan lihatlah. Abinya saja terlihat enggan untuk menikah lagi. Abi hanya diam ketika Ummi memintanya untuk menikahi perempuan entah siapa yang tak dikenal Shania. Jadi kenapa Ummi tega meminta Ibu tiri untuknya? Shania tak mau! Sungguh-sungguh tak mau! Titik.
Maka,  meski sebenarnya Shania letih juga karena lama menangis, ia membiarkan saja matanya membengkak karena tangisnya. Ia biarkan Ummi Abinya melihat tangisnya. Biar saja mereka tahu bahwa Shania sungguh tak menginginkan ibu tiri. Shania tak ingin dijahati oleh ibu tiri.
Dan kini, Shania sangat mengharapkan bisa menjadi manusia jenius yang bisa membaca pikiran orang lain. Ia ingin sekali membaca pikiran umminya saat itu jua. Shania ingin mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh Umminya sehingga harus meminta Abi untuk menikah lagi.
Kenapa, Ummi... ? kenapa...?
-----------------------------------ooo-----------------------ooo------------------------------------
Aku tak mau dipoligami selama aku masih hidup dan bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri.
Itulah salah satu pintaku pada mas Toha sewaktu ia mengkhitbahku sekitar delapan tahun yang lalu. Bukan karena membenci poligami. Tapi lebih dikarenakan aku yang merasa tak akan pernah ridha jika harus diduakan dengan wanita lain. Membayangkan bagaimana aku harus berbagi hari dengan wanita lain dan membiarkan bahu Mas Toha disandari olehnya saja sudah cukup membuat dadaku sesak. Apalagi jika benar-benar harus melalui malam-malam tertentu dalam kesendirian manakala Mas Toha tengah berada di rumah “madu”ku. Ya Rabbi..jika diperkenankan,  Aku sungguh hanya menginginkan keluarga sederhana dan bahagia tanpa ada kehadiran pihak ke tiga di antara kami.. amiin...
Mengizinkan suami berpoligami memang merupakan salah satu jalan bagi seorang istri untuk mendapatkan surga. Tapi, jika dalam izin itu tak ada ridha di dalamnya, itu hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Malah hanya akan menyakiti diri sendiri saja. Dan aku sungguh merasa tak akan bisa meridhai suamiku untuk berpoligami.Tak akan.
Tapi saat ini kami dihadapkan pada situasi yang sangat pelik.
Ada seorang muslimah yang jiwanya terancam rusak dan aku turut andil terhadap apa yang tengah dihadapi muslimah ini. Muslimah ini adalah salah seorang mentiku. Namanya Farah. Sudah tiga tahun aku membimbingnya dalam jalan tarbiyah. Dan aku bisa menyimpulkan bahwa ia adalah muslimah yang baik selain juga diberkahi dengan rupa yang cantik ala Arab-Indonesia.
Farah sudah berusia 22 tahun ketika ia memintaku untuk mencarikannya seorang pendamping hidup. Tak sulit juga kriteria yang diajukannya padaku. Seperti umumnya muslimah lain, Farah juga mengharapkan seorang muslim tarbiyah pula untuk menjadi imam hidupnya. Selain juga faktor kemapanan untuk menafkahi kehidupan keluarga barunya kelak.
Awal Muharram lalu aku coba menanyakan kepada suamiku, Mas Toha tentang calon suami untuk mentiku, Farah. Dan alhamdulillah, Mas Toha memberikanku beberapa alternatif nama. Setelah diskusi berdua dengannya, kami mendapatkan Farid sebagai pilihan kami untuk Farah.
Farid adalah rekan bisnis Mas Toha di bidang travelling. Menurut Mas Toha Farid adalah bisnisman muda yang tak hanya rupawan namun juga cukup aktif di bidang pengembangan imtaq para pemuda di kota Bekasi. Ia juga adalah menti dari Kiai Basyar, yakni paman Mas Toha.
Demi menyegerakan hal baik ini (read: pernikahan), maka kuserahkanlah biodata Farah kepada Mas Toha untuk diberikan kepada Farid. Dan tak lama Farid pun memberikan sinyal positif terhadap rencana ini dan turut memberikan biodatanya kepada MasToha untuk kemudian dititipkan kepadaku dan kuserahkan kepada Farah. Sinyal positif pun ditunjukkan oleh Farah dan tiga hari setelah ia memberikan jawabannya kepadaku, acara khitbah pun dilangsungkan.
Saat khitbah dilangsungkan, kakak Sulung Farah bertindak sebagai wali. Ini dikarenakan Farah berasal dari Kediri dan ayahnya saat itu sedang sakit sehingga didatangkanlah kakaknya sebagai wali pengganti.
Dalam acara khitbah itu, ditentukan bahwa akad nikah akan dilangsungkan berbarengan dengan walimahannya pada awal Rabiul Awal atau bertepatan juga pada bulan November nanti. Walimahan akan berlokasi di rumah mempelai wanita yakni di Kediri, Jawa Timur.
Sejak prosesi khitbah itu, Farah diminta pulang oleh keluarganya untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tentunya kepulangan Farah ini adalah setelah ia menyelesaikan tugas-tugasnya di Jakarta. Entah itu tugas kuliah, pekerjaannya sebagai Apoteker, serta amanah-amanahnya yang lain. Sejak kepulangannya ke Kediri itulah, kami jadi lebih sering berkontakan via handphone.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya bulan Safar tinggal tersisa beberapa hari lagi. Hari kian mendekati tanggal resepsi pernikahan Farah dan Farid. Segala persiapan hampir rampung semua. Undangan sudah disebar. Catering sudah dipesan. Baju sudah difiksasikan. Dan urusan administrasi di KUA pun sudah diurus. Begitulah yang kudengar dari cerita Farah ketika ia menelponku kemarin malam.
Akan tetapi, suatu fitnah mengguncang rencana pernikahan Farid dan Farah di H-1 dari hari walimahan yang telah ditentukan. Sebuah berita mengejutkan aku dan MasToha di sore H-1 itu. Jayadi, kakak sulung Farah yang dulu menjadi wali di prosesi khitbah adiknya itu menelpon suamiku dan mengabarkan bahwa Farid mengirimkan sebuah pesan singkat kepada adiknya. Itu bukanlah sms biasa. Kuketahui isinya setelah Jayadi mem-forward sms yang dikirimkan Farid itu kepada suamiku. Isi dalam pesan singkatnya itu menyatakan bahwa ia (Farid) memohon maaf karena tidak bisa melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Aku terkejut. Sangat. Pun jua suamiku.
Kemudian Mas Toha menanyakan kepada Jayadi kebenaran isi sms itu apakah benar berasal dari Farid. Dan Jayadi menceritakan bahwa ia pun awalnya sangsi dengan keabsahan asal pengirim pesan mengejutkan itu. Tapi setelah ia mencoba menghubungi nomor telpon Farid, ia selalu tersambung ke mail box. Kemudian kutuntut suamiku untuk menanyakan padanya apakah ia sudah menghubungi keluarga Farid. Jayadi kembali mengiyakan dan menceritakan bahwa orang tua Farid pun sangat terkejut ketika tiba-tiba mendapat telpon dari putra mereka terkait batalnya pernikahan antara putranya dan Farah. Padahal saat itu kedua orang tua Farid sudah ada di perjalanan menuju Kediri. Sehingga kemudian mereka berbalik pulang kembali ke Jakarta. Berharap bisa menjumpai putra mereka di rumah, sayangnya mereka tak mendapati Farid di manapun dan tak bisa pula mengontak nomor telpon putranya. Bagai ditelan bumi, Farid menghilang entah ke mana. Ia menyisakan tanda tanya beserta luka di hati Farah dan keluarganya sekaligus juga ancaman hancurnya masa depan Farah sebagai seorang wanita yang memimpikan kehidupan berumah tangga.
Terbayang olehku bagaimana rupa rasa Farah saat ini. Di hari yang seharusnya mengantarkannya ke pintu kebahagiaan pada akad nikah esok hari, ia malah mendapatkan kabar menyakitkan tentang batalnya pernikahan secara sepihak oleh Farid. Bingungnya lagi adalah tak ada keterangan yang jelas terkait hal ini. Jikalah bisa memilih, mungkin saja saat ini Farah akan memilih menjadi bagian dari ketiadaan agar ia tak perlu merasakan sakit dan perihnya sebuah pengkhianatan.
Oleh sebab itulah aku merasa bersalah kepada Farah dan keluarganya karena darikulah ia bisa mengenal Farid. Suamiku pun sebenarnya merasa bersalah sekali karena ialah yang kali pertama mengusulkan nama Farid kepadaku. Meski begitu, ia berusaha menenangkanku agar tak terlalu menyalahkan diri. Mas Toha malah mengajakku untuk bersegera mencari solusi dari permasalahan ini. Di saat aku masih terlalu gagu untuk mengucapkan apa pun, Mas Toha sudah sibuk menelpon menti-menti ataupun ikhwan shaleh yang dikenalnya dan menawarkan kursi calon mempelai pria untuk akad pernikahan di hari besok.
Mustahil?
Ya. Awalnya aku pun berpikir begitu. Tentunya sangat sulit untuk mendapatkan seorang ikhwan yang mau menikah mendadak di akad nikah yang hanya tinggal bersisa waktu satu hari saja. Terlebih lagi Mas Toha tak bisa mengirimkan biodata Farah lantaran biodatanya dibawa pergi oleh Farid entah ke mana sementara aku sendiri tak memiliki data yang cukup tentang Farah. Tapi janji Allah menjadi pegangan kami berdua saat itu. Bahwa ada rencana terbaik untuk Farah dan masing-masing kami.
Usaha suamiku menelpon ikhwan-ikhwan shaleh yang dikenalnya itu terus berlanjut hingga adzan maghrib berkumandang. Sayangnya belum ada satu pun ikhwan yang bersedia untuk menikah mendadak di hari esok. Ketenangan yang sempat ditunjukkan oleh suamiku di awal-awal tadi mulai meluntur. Dan ia mulai sama paniknya sepertiku. Selanjutnya, setelah terdengar iqomah dari masjid di kejauhan, kami pun shalat magrib berjamaah bertiga dengan Shania, putri kami.
Saat itulah. Ketika kumunajatkan kepada Allah segala kesulitan yang kami hadapi saat ini, benakku merasakan setitik ketenangan dan terpikirkan satu solusi yang mungkin paling tepat untuk kondisi kami saat ini.
Setelah bertahun-tahun lamanya berkubang dalam prinsip tak ingin dipoligami, usai shalat magrib  itu aku malah meminta suamiku untuk menikah lagi.
Saat kuucapkan permintaanku itu, Shania sedang mengaji di ruang depan sementara MasToha kembali menyibukkan dirinya menelpon ikhwan-ikhwan yang dikenalnya. Aku sendiri saat itu masih mengenakan mukenah putihku dan khusyu’ menatap suamiku. Ketika kuperhatikan dengan seksama betapa rupawannya wajah suamiku, dan teringat kembali kenanganku selama delapan tahun hidup bersamanya, bahwa aku bahagia selama delapan tahun menjadi istrinya, akhirnya kudapatkan sebuah keyakinan dalam hati. Bahwa aku siap untuk menerima Farah sebagai adikku. Kuterima ia sebagai maduku. Dan aku rela jika Farah memiliki cinta Mas Toha bersama denganku. Aku akan ikhlas..
Ya Rabb,, kumohon kuatkan hamba..bismillah...
Sayangnya, ketika kuutarakan kerelaanku untuk dimadu dengan Farah, Mas Toha langsung menolaknya. Ia sangat terkejut dengan permintaanku itu. Ia bahkan membutuhkan waktu cukup lama dalam diam ketika aku terus memintanya untuk mengabulkan permintaanku itu. Hingga kemudian ia tak lagi bisa bersabar dengan pintaanku yang terus menerus, ia pun sedikit berteriak ketika mengucapkan,
“Saya gak siap menikah lagi, Ros!”
Aku tercengang ketika mendengar namaku keluar dari mulutnya. Sepanjang aku mengenalnya, Mas Toha hanya menyebut namaku manakala ia sedang sangat marah kepadaku. Segera saja kukunci mulutku dan menunduk sebelum akhirnya aku meminta maaf padanya. Merasa menyesal karena telah membentakku, Mas Toha menggenggam jemariku dan berkata dengan suara lembut.
“maaf, Dik.. saya sudah janji sama kamu untuk gak akan poligami di awal saya mengkhitbah kamu, Dik. Bahkan hingga takdir-Nya memisahkan saya dari kamu pun saya sudah berjanji untuk tetap menjaga pernikahan kita agar tetap utuh.
“... Kamu adalah bulan bagi semesta malam saya. Dan bagi malam, hanya ada satu bulan yang bisa memilikinya. Itu kamu... Jadi saya mohon, yakinlah bersama saya bahwa kita bisa menemukan jodoh yang baik bagi Farah dan dia bukanlah saya. Saya mohon...”
Hatiku bergetar ketika kudengarkan ucapan Mas Toha di hadapanku. Kuangkat wajahku dan kutatap matanya. Ada kesungguhan sekaligus juga permohonan mendalam yang kutemukan di matanya. Hampir saja air mata lolos dari mataku. Sebelum akhirnya kukuatkan diriku untuk kembali berucap,
“Terimakasih Ka.. Adik sangat bahagia mengetahui komitmen Kaka untuk mengutuhkan pernikahan kita ini. Meski begitu, jikalah usaha kita untuk menemukan ikhwan yang baik untuk Farah belum jua mendapatkan hasil, Adik akan ikhlas untuk menerima Farah sebagai saudari Adik di rumah ini. Menikahlah dengan Farah, Ka..”
Mas Toha kembali terkejut dan membeku dalam diam. Ucapanku ini belum juga mendapat balasan ketika Shania mengejutkan kami berdua dengan teriakannya. Di detik berikutnya Shania sudah merangsek maju memukuli paha ayahnya dan menyatakan ketidaksetujuannya perihal ayahnya harus menikah lagi. Mas Toha terdiam tak tahu harus berkata apa sementara aku berusaha menenangkan Shania. Sayangnya Shania bertahan cukup lama dalam tangisnya dan membuatku cukup khawatir dengan terus berlalunya waktu yang mulai beranjak malam. Saat itu kami belum menemukan calon suami  pengganti untuk Farah dan hatiku mulai kembali sesak ketika memikirkan bahwa besar kemungkinan aku benar-benar akan dimadu.
Ya Rabb...

Diselesaikan pada,
Kamis, 01 Agustus 2013
Di Rumah ke lima, Gintung.