Kamis, 01 Agustus 2013

Cerbung - "H-1 Epik 1/3. Bayang-Bayang Poligami"

Oleh : Mei
 Pagi ini angin dingin menelisik melewati teralis jendela kamar kosanku. Membuatku cukup enggan untuk beranjak dari kasur dan selimut yang hangat dan lebih memilih untuk menggelungkan diri dalam hayalan bebas tentang mimpi-mimpiku. Perpus kecamatan. Mekkah. Jepang. Lima orang putra dan putri yang sehat dan ceria..dan beberapa mimpi lainnya.
 Ika pun masih berada di kosan. Kawan sekamarku ini biasanya sudah berangkat ke Bekasi,tempat kerjanya selama lima bulan ini, setiap jam enam pagi. Tapi hingga jarum jam menunjukkan pukul 06.30 wib ika masih saja berkutat di depan laptopku untuk membuat laporan pekerjaannya di new file dari Excel. Sesekali dari bawah selimut aku tersenyum geli manakala kulirik wajah seriusnya ketika membuat laporan.
 Aku hampir-hampir saja terlelap kembali ketika kemudian Ika meminta bantuanku tentang pembuatan grafik di excel. Kubantu ia dan setelahnya mataku nampak sudah terlalu segar untuk kembali ke bawah lindungan selimut. Alhasil, setelahnya aku hanya berlagak tidur-tiduran demi menghindar dari kisikan angin dingin yang berlalu lalang di kamar kosan kami.
---
Jam menunjukkan pukul 07.50 ketika Ika selesai membuat laporannya. Saat itu aku juga sudah beranjak bangun dari lagak tidur-tiduranku dan mulai merapihkan kamar. Ika kemudian merebahkan badannya kembali ke kasur dan membuatku tak bisa menahan cengiranku ketika menyaksikan betapa ‘bersahabat’nya ia dengan si kasur. Ia melihat cengiranku. Alhasil setelahnya kami pun sibuk melontar ledekan ke satu sama lain. Sampai kemudian ia berhenti dan berkata setengah serius.
 “Ika punya cerita mei. Cerita ini kisah nyata dan kayaknya bakal bagus banget kalo dibuat novel.”
 Aku menaikkan sebelah alisku sebagai pertanda menyangsikan ucapannya.
 “Serius!” ia mendelikkan matanya ketika  mendapati cibiran bibirku yang menyangsikan ucapannya.
 “masaa??..coba ceritain!” Tantangku dengan senyum lebar.
“iya! Ini tuh kisah nyata tentang dua orang anak tarbiyah Mei..”
 Dan setelahnya, selama hampir setengah jam berikutnya aku dibuat takjub, sedih, salting, dan seabrek perasaan lainnya ketika mendengarkan Ika menuturkan ceritanya. Cerita itu selanjutnya kubagikan pula kepadamu Dee dalam tulisan ini. 
Jadi,,begini ceritanya...
------------------------------ooo-----------------------------------------000-----------------------
 “Abi gak boleh nikah!! Abi gak boleh nikah lagi!! Huu..u..uu..”
 Shania memukul-mukul paha Toha dengan kepalan tangan mungilnya. Gadis berusia tujuh tahun itu sudah 20 menitan ini menangis dan tak mau menjauhkan dirinya dari abinya itu. Sebenarnya Shania  merasa malu karena sejauh yang diingatnya ia selalu berusaha menyembunyikan tangisnya dari Abi kebanggaannya. Shania adalah anak yang tangguh! Begitu selalu yang dibanggakan Abi tentangnya.
 Shania tak menangis ketika ia terjatuh dari pohon mangga Mak Ida yang cukup tinggi. Ia juga tak menangis ketika melihat darah merah yang mengalir dari lengan kanannya ketika terjatuh itu. Ia menahan pedih dan tangisnya seorang diri dan hanya diam dalam gendongan Abi menuju rumah sakit yang saat itu juga bersikap tenang, tak seperti Umminya yang sudah banjir air mata dan malah hampir pingsan.
Dan tak hanya itu saja. Di antara teman-temannya di SD, Shania bahkan sudah mendapatkan jabatan sebagai pemimpin kelas. Ini lantaran ia yang hampir selalu ‘sibuk’ memberikan perintah dan mengingatkan teman-temannya ketika terjadi kesalahan. Terlepas dari betapa menjengkelkannya ia ketika bersikap sebagai bos cilik dihadapan teman-temannya, Shania tetaplah seorang pemimpin kelas yang tangguh dan bisa diandalkan.
Tapi saat ini, Shania merasa tak bisa bersikap tenang. Berkebalikan dengan Ummi-nya yang malah sibuk berusaha menenangkannya. Shania heran sekali. Mengapa Umminya bisa menyuruh Abinya menikah lagi? Shania tak ingin mempunyai ibu tiri. Ummi saja sudah sangat baik untuk Shania. Shania takut akan disiksa oleh ibu tiri seperti yang diceritakan dalam filem-filem di televisi itu. Shania takut. Sungguh takut!
Dan lihatlah. Abinya saja terlihat enggan untuk menikah lagi. Abi hanya diam ketika Ummi memintanya untuk menikahi perempuan entah siapa yang tak dikenal Shania. Jadi kenapa Ummi tega meminta Ibu tiri untuknya? Shania tak mau! Sungguh-sungguh tak mau! Titik.
Maka,  meski sebenarnya Shania letih juga karena lama menangis, ia membiarkan saja matanya membengkak karena tangisnya. Ia biarkan Ummi Abinya melihat tangisnya. Biar saja mereka tahu bahwa Shania sungguh tak menginginkan ibu tiri. Shania tak ingin dijahati oleh ibu tiri.
Dan kini, Shania sangat mengharapkan bisa menjadi manusia jenius yang bisa membaca pikiran orang lain. Ia ingin sekali membaca pikiran umminya saat itu jua. Shania ingin mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh Umminya sehingga harus meminta Abi untuk menikah lagi.
Kenapa, Ummi... ? kenapa...?
-----------------------------------ooo-----------------------ooo------------------------------------
Aku tak mau dipoligami selama aku masih hidup dan bisa menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri.
Itulah salah satu pintaku pada mas Toha sewaktu ia mengkhitbahku sekitar delapan tahun yang lalu. Bukan karena membenci poligami. Tapi lebih dikarenakan aku yang merasa tak akan pernah ridha jika harus diduakan dengan wanita lain. Membayangkan bagaimana aku harus berbagi hari dengan wanita lain dan membiarkan bahu Mas Toha disandari olehnya saja sudah cukup membuat dadaku sesak. Apalagi jika benar-benar harus melalui malam-malam tertentu dalam kesendirian manakala Mas Toha tengah berada di rumah “madu”ku. Ya Rabbi..jika diperkenankan,  Aku sungguh hanya menginginkan keluarga sederhana dan bahagia tanpa ada kehadiran pihak ke tiga di antara kami.. amiin...
Mengizinkan suami berpoligami memang merupakan salah satu jalan bagi seorang istri untuk mendapatkan surga. Tapi, jika dalam izin itu tak ada ridha di dalamnya, itu hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Malah hanya akan menyakiti diri sendiri saja. Dan aku sungguh merasa tak akan bisa meridhai suamiku untuk berpoligami.Tak akan.
Tapi saat ini kami dihadapkan pada situasi yang sangat pelik.
Ada seorang muslimah yang jiwanya terancam rusak dan aku turut andil terhadap apa yang tengah dihadapi muslimah ini. Muslimah ini adalah salah seorang mentiku. Namanya Farah. Sudah tiga tahun aku membimbingnya dalam jalan tarbiyah. Dan aku bisa menyimpulkan bahwa ia adalah muslimah yang baik selain juga diberkahi dengan rupa yang cantik ala Arab-Indonesia.
Farah sudah berusia 22 tahun ketika ia memintaku untuk mencarikannya seorang pendamping hidup. Tak sulit juga kriteria yang diajukannya padaku. Seperti umumnya muslimah lain, Farah juga mengharapkan seorang muslim tarbiyah pula untuk menjadi imam hidupnya. Selain juga faktor kemapanan untuk menafkahi kehidupan keluarga barunya kelak.
Awal Muharram lalu aku coba menanyakan kepada suamiku, Mas Toha tentang calon suami untuk mentiku, Farah. Dan alhamdulillah, Mas Toha memberikanku beberapa alternatif nama. Setelah diskusi berdua dengannya, kami mendapatkan Farid sebagai pilihan kami untuk Farah.
Farid adalah rekan bisnis Mas Toha di bidang travelling. Menurut Mas Toha Farid adalah bisnisman muda yang tak hanya rupawan namun juga cukup aktif di bidang pengembangan imtaq para pemuda di kota Bekasi. Ia juga adalah menti dari Kiai Basyar, yakni paman Mas Toha.
Demi menyegerakan hal baik ini (read: pernikahan), maka kuserahkanlah biodata Farah kepada Mas Toha untuk diberikan kepada Farid. Dan tak lama Farid pun memberikan sinyal positif terhadap rencana ini dan turut memberikan biodatanya kepada MasToha untuk kemudian dititipkan kepadaku dan kuserahkan kepada Farah. Sinyal positif pun ditunjukkan oleh Farah dan tiga hari setelah ia memberikan jawabannya kepadaku, acara khitbah pun dilangsungkan.
Saat khitbah dilangsungkan, kakak Sulung Farah bertindak sebagai wali. Ini dikarenakan Farah berasal dari Kediri dan ayahnya saat itu sedang sakit sehingga didatangkanlah kakaknya sebagai wali pengganti.
Dalam acara khitbah itu, ditentukan bahwa akad nikah akan dilangsungkan berbarengan dengan walimahannya pada awal Rabiul Awal atau bertepatan juga pada bulan November nanti. Walimahan akan berlokasi di rumah mempelai wanita yakni di Kediri, Jawa Timur.
Sejak prosesi khitbah itu, Farah diminta pulang oleh keluarganya untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tentunya kepulangan Farah ini adalah setelah ia menyelesaikan tugas-tugasnya di Jakarta. Entah itu tugas kuliah, pekerjaannya sebagai Apoteker, serta amanah-amanahnya yang lain. Sejak kepulangannya ke Kediri itulah, kami jadi lebih sering berkontakan via handphone.
Waktu terus berlalu hingga akhirnya bulan Safar tinggal tersisa beberapa hari lagi. Hari kian mendekati tanggal resepsi pernikahan Farah dan Farid. Segala persiapan hampir rampung semua. Undangan sudah disebar. Catering sudah dipesan. Baju sudah difiksasikan. Dan urusan administrasi di KUA pun sudah diurus. Begitulah yang kudengar dari cerita Farah ketika ia menelponku kemarin malam.
Akan tetapi, suatu fitnah mengguncang rencana pernikahan Farid dan Farah di H-1 dari hari walimahan yang telah ditentukan. Sebuah berita mengejutkan aku dan MasToha di sore H-1 itu. Jayadi, kakak sulung Farah yang dulu menjadi wali di prosesi khitbah adiknya itu menelpon suamiku dan mengabarkan bahwa Farid mengirimkan sebuah pesan singkat kepada adiknya. Itu bukanlah sms biasa. Kuketahui isinya setelah Jayadi mem-forward sms yang dikirimkan Farid itu kepada suamiku. Isi dalam pesan singkatnya itu menyatakan bahwa ia (Farid) memohon maaf karena tidak bisa melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Aku terkejut. Sangat. Pun jua suamiku.
Kemudian Mas Toha menanyakan kepada Jayadi kebenaran isi sms itu apakah benar berasal dari Farid. Dan Jayadi menceritakan bahwa ia pun awalnya sangsi dengan keabsahan asal pengirim pesan mengejutkan itu. Tapi setelah ia mencoba menghubungi nomor telpon Farid, ia selalu tersambung ke mail box. Kemudian kutuntut suamiku untuk menanyakan padanya apakah ia sudah menghubungi keluarga Farid. Jayadi kembali mengiyakan dan menceritakan bahwa orang tua Farid pun sangat terkejut ketika tiba-tiba mendapat telpon dari putra mereka terkait batalnya pernikahan antara putranya dan Farah. Padahal saat itu kedua orang tua Farid sudah ada di perjalanan menuju Kediri. Sehingga kemudian mereka berbalik pulang kembali ke Jakarta. Berharap bisa menjumpai putra mereka di rumah, sayangnya mereka tak mendapati Farid di manapun dan tak bisa pula mengontak nomor telpon putranya. Bagai ditelan bumi, Farid menghilang entah ke mana. Ia menyisakan tanda tanya beserta luka di hati Farah dan keluarganya sekaligus juga ancaman hancurnya masa depan Farah sebagai seorang wanita yang memimpikan kehidupan berumah tangga.
Terbayang olehku bagaimana rupa rasa Farah saat ini. Di hari yang seharusnya mengantarkannya ke pintu kebahagiaan pada akad nikah esok hari, ia malah mendapatkan kabar menyakitkan tentang batalnya pernikahan secara sepihak oleh Farid. Bingungnya lagi adalah tak ada keterangan yang jelas terkait hal ini. Jikalah bisa memilih, mungkin saja saat ini Farah akan memilih menjadi bagian dari ketiadaan agar ia tak perlu merasakan sakit dan perihnya sebuah pengkhianatan.
Oleh sebab itulah aku merasa bersalah kepada Farah dan keluarganya karena darikulah ia bisa mengenal Farid. Suamiku pun sebenarnya merasa bersalah sekali karena ialah yang kali pertama mengusulkan nama Farid kepadaku. Meski begitu, ia berusaha menenangkanku agar tak terlalu menyalahkan diri. Mas Toha malah mengajakku untuk bersegera mencari solusi dari permasalahan ini. Di saat aku masih terlalu gagu untuk mengucapkan apa pun, Mas Toha sudah sibuk menelpon menti-menti ataupun ikhwan shaleh yang dikenalnya dan menawarkan kursi calon mempelai pria untuk akad pernikahan di hari besok.
Mustahil?
Ya. Awalnya aku pun berpikir begitu. Tentunya sangat sulit untuk mendapatkan seorang ikhwan yang mau menikah mendadak di akad nikah yang hanya tinggal bersisa waktu satu hari saja. Terlebih lagi Mas Toha tak bisa mengirimkan biodata Farah lantaran biodatanya dibawa pergi oleh Farid entah ke mana sementara aku sendiri tak memiliki data yang cukup tentang Farah. Tapi janji Allah menjadi pegangan kami berdua saat itu. Bahwa ada rencana terbaik untuk Farah dan masing-masing kami.
Usaha suamiku menelpon ikhwan-ikhwan shaleh yang dikenalnya itu terus berlanjut hingga adzan maghrib berkumandang. Sayangnya belum ada satu pun ikhwan yang bersedia untuk menikah mendadak di hari esok. Ketenangan yang sempat ditunjukkan oleh suamiku di awal-awal tadi mulai meluntur. Dan ia mulai sama paniknya sepertiku. Selanjutnya, setelah terdengar iqomah dari masjid di kejauhan, kami pun shalat magrib berjamaah bertiga dengan Shania, putri kami.
Saat itulah. Ketika kumunajatkan kepada Allah segala kesulitan yang kami hadapi saat ini, benakku merasakan setitik ketenangan dan terpikirkan satu solusi yang mungkin paling tepat untuk kondisi kami saat ini.
Setelah bertahun-tahun lamanya berkubang dalam prinsip tak ingin dipoligami, usai shalat magrib  itu aku malah meminta suamiku untuk menikah lagi.
Saat kuucapkan permintaanku itu, Shania sedang mengaji di ruang depan sementara MasToha kembali menyibukkan dirinya menelpon ikhwan-ikhwan yang dikenalnya. Aku sendiri saat itu masih mengenakan mukenah putihku dan khusyu’ menatap suamiku. Ketika kuperhatikan dengan seksama betapa rupawannya wajah suamiku, dan teringat kembali kenanganku selama delapan tahun hidup bersamanya, bahwa aku bahagia selama delapan tahun menjadi istrinya, akhirnya kudapatkan sebuah keyakinan dalam hati. Bahwa aku siap untuk menerima Farah sebagai adikku. Kuterima ia sebagai maduku. Dan aku rela jika Farah memiliki cinta Mas Toha bersama denganku. Aku akan ikhlas..
Ya Rabb,, kumohon kuatkan hamba..bismillah...
Sayangnya, ketika kuutarakan kerelaanku untuk dimadu dengan Farah, Mas Toha langsung menolaknya. Ia sangat terkejut dengan permintaanku itu. Ia bahkan membutuhkan waktu cukup lama dalam diam ketika aku terus memintanya untuk mengabulkan permintaanku itu. Hingga kemudian ia tak lagi bisa bersabar dengan pintaanku yang terus menerus, ia pun sedikit berteriak ketika mengucapkan,
“Saya gak siap menikah lagi, Ros!”
Aku tercengang ketika mendengar namaku keluar dari mulutnya. Sepanjang aku mengenalnya, Mas Toha hanya menyebut namaku manakala ia sedang sangat marah kepadaku. Segera saja kukunci mulutku dan menunduk sebelum akhirnya aku meminta maaf padanya. Merasa menyesal karena telah membentakku, Mas Toha menggenggam jemariku dan berkata dengan suara lembut.
“maaf, Dik.. saya sudah janji sama kamu untuk gak akan poligami di awal saya mengkhitbah kamu, Dik. Bahkan hingga takdir-Nya memisahkan saya dari kamu pun saya sudah berjanji untuk tetap menjaga pernikahan kita agar tetap utuh.
“... Kamu adalah bulan bagi semesta malam saya. Dan bagi malam, hanya ada satu bulan yang bisa memilikinya. Itu kamu... Jadi saya mohon, yakinlah bersama saya bahwa kita bisa menemukan jodoh yang baik bagi Farah dan dia bukanlah saya. Saya mohon...”
Hatiku bergetar ketika kudengarkan ucapan Mas Toha di hadapanku. Kuangkat wajahku dan kutatap matanya. Ada kesungguhan sekaligus juga permohonan mendalam yang kutemukan di matanya. Hampir saja air mata lolos dari mataku. Sebelum akhirnya kukuatkan diriku untuk kembali berucap,
“Terimakasih Ka.. Adik sangat bahagia mengetahui komitmen Kaka untuk mengutuhkan pernikahan kita ini. Meski begitu, jikalah usaha kita untuk menemukan ikhwan yang baik untuk Farah belum jua mendapatkan hasil, Adik akan ikhlas untuk menerima Farah sebagai saudari Adik di rumah ini. Menikahlah dengan Farah, Ka..”
Mas Toha kembali terkejut dan membeku dalam diam. Ucapanku ini belum juga mendapat balasan ketika Shania mengejutkan kami berdua dengan teriakannya. Di detik berikutnya Shania sudah merangsek maju memukuli paha ayahnya dan menyatakan ketidaksetujuannya perihal ayahnya harus menikah lagi. Mas Toha terdiam tak tahu harus berkata apa sementara aku berusaha menenangkan Shania. Sayangnya Shania bertahan cukup lama dalam tangisnya dan membuatku cukup khawatir dengan terus berlalunya waktu yang mulai beranjak malam. Saat itu kami belum menemukan calon suami  pengganti untuk Farah dan hatiku mulai kembali sesak ketika memikirkan bahwa besar kemungkinan aku benar-benar akan dimadu.
Ya Rabb...

Diselesaikan pada,
Kamis, 01 Agustus 2013
Di Rumah ke lima, Gintung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar