Oleh : Mei
“whoaaaa...subhanallaaahh...”aku
berseru dan tanpa malu-malu menunjukkan rasa penasaranku terhadap cerita Ika.
Sementara Ika tersenyum geli melihat tingkah bocahku.
Sudah 10 menit berlalu
sejak Ika memulai ceritanya tentang kisah nyata yang dialami oleh orang-orang
tarbiyah. Pada mulanya mungkin aku sangsi dan tak terlalu tertarik untuk
mendengarkan cerita Ika, tetapi sesudah sepertiga cerita berlalu aku mulai
tertarik dan penasaran dengan apa yang akhirnya terjadi pada orang-orang
tarbiyah tersebut.
“terus ka, Ustadznya
jadi poligami? Istrinya beneran ngerelain suaminya nikah lagi gitu??”
“sabar napa, Mei..
makanya dengerin dulu cerita ika baik-baik! Belum juga selesai udah dikomen
duluan. Payah nih!”
“hehehee..:D maaf kaa..
maaf.. habis penasaran sih. Masalahnya, ini tuh “poligami” lho! Po-li-ga-mi!
Kalo o-ri-ga-mi sih iya asyik. Nah,, ini mah poligami. Subhanallah banget ya
Mbak-nya bisa ngerelain diri tuk minta suaminya nikah lagi. Walau emang bahagia
juga sih klo surga jadi ganjarannya...”
“iya..iya..jadi,,
lanjut gak nih ceritanya??”
Ika nampak sudah tak
sabaran dengan instrupsiku yang berkali-kali. Maka setelahnya aku pun mengunci
mulutku rapat-rapat sembari mengangguk-angguk sebagai permintaanku agar ika
melanjutkan kembali ceritanya. Dan untuk menit-menit berikutnya aku pun mesti
menahan diri dari keinginan untuk menginstrupsi cerita Ika. Alhasil, aku hanya
diperbolehkan menggigit si Boni, boneka beruang cokelat pemberian adikku Herdi
sebagai ganti untuk tidak menginstrupsi cerita Ika lagi. Dan Ika pun akhirnya
mau melanjutkan kembali ceritanya hingga akhir.
“Jadi...”
---
Di
suatu jalan kecil tak jauh dari rumah keluarga Toha, seorang pemuda berusia
sekitar dua puluh enam tahun berjalan sembari menyenandungkan shalawat dalam
hatinya. Ia memanggul ransel yang meski bersih tapi nampak sudah cukup tua.
Langkahnya yang bermula dari Depok hingga ke tempat ini adalah demi menjumpai
seorang ustadz yang sangat dihormatinya. Ustadz Toha namanya.
“Assalamu’alaikum!”
sapa Adam, nama lelaki itu.
Dua
detik hingga lima detik ditunggunya dalam diam jawaban salam dari sang pemilik
rumah. Sayangnya sepi lah yang menyambutnya.
Kemudian
Adam mencoba mengucap salam lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit lebih
keras.
“Assalamu’alaikum!!”
dibenahinya letak peci yang terasa tak nyaman di kepalanya. Sementara beberapa
detik kembali berlalu dan masih sunyilah yang menjawab salamnya.
Kemudian
Adam meniatkan lagi untuk mengucapkan salam. Jika masih juga sunyi yang
menjawabnya, ia memutuskan untuk berbalik dan pulang ke rumah saja. Karena
memang begitulah adab bertamu yang seharusnya seperti yang telah diajarkan oleh
baginda Rasul yang mulia. Jika tiga kali mengucapkan salam dan tidak ada
tanda-tanda keberadaan pemilik rumah, maka sang tamu sebaiknya pulang dan
kembali datang di lain waktu.
Adam
mengumpulkan nafasnya dalam satu waktu dan menghembuskannya bersamaan dengan
suara lantangnya ketika mengucapkan salam ke tiganya.
“Assalamu’alaikum!!”
Harapan
Adam berbuah manis. Berselang dua detik, terdengar suara seorang wanita
menjawab salamnya dari dalam rumah.
“Wa’alaikumsalamwarahmatullah!”
Alhamdulillah...
syukur Adam dalam hati ketika mendapati salamnya bersambut salam. Tak lama
pintu kayu Mahoni di hadapannya terbuka dan Adam segera menundukkan pandangan
ketika ia mengetahui bahwa yang membukakan pintu untuknya adalah Ummi Ros,
istri dari Ustadz Toha. Perlahan kemudian disampaikannya maksud kedatangannya
ke rumah itu.
“Maaf
Ummi, saya Adam. Apakah Ustadz Toha ada di rumah? Saya hendak mengembalikan laptop
miliknya yang saya pinjam sebulan lalu.”
Adam
mengikuti arahan Ummi Ros untuk duduk di salah satu sofa terdekat dan menunggu.
Tak
butuh waktu sampai satu menit, ustadz Toha muncul dan Adam segera bangkit
berdiri untuk bersalaman dan memeluk ustadz muda itu.
“Assalamua’alaikum,
akhi Adam!”
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah. Tadz! Alhamdulillah bikhair. Ustadz juga apa kabar? Sepertinya
makin cerah saja nih wajah ustadz. Sedang berbahagia dalam rangka apakah?”
Adam
mencoba berkelakar. Ia sudah hampir tertawa lepas ketika dilihatnya wajah
Ustadz di hadapannya itu malah tampak murung. Ia beristighfar dalam hati.
Khawatir ucapannya tak patut untuk kondisi ustadz Toha saat ini.
“yah..sedang
cukup genting nih, Akh. Bingung saya!”
Terlihat
oleh Adam betapa kuyu ustadz Toha ketika ia menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Gestur tubuh ustadz muda itu menunjukkan betapa gentingnya permasalahan yang
tengah dihadapi olehnya.
“maaf
tadz, jika diperkenankan untuk tahu, bisakah ustadz menceritakannya? Insyaallah
jika saya mampu, saya akan berusaha membantu semampunya.” Ucap Adam
sungguh-sungguh.
Selanjutnya
ustadz Toha tampak tepekur dan memandang Adam cukup lama. Sampai akhirnya
tiba-tiba saja ustadz Toha menegakkan dudukannya di sofa dan maju condong ke
arah Adam.
“Akhi,
apakah akhi mau menikah dengan seorang muslimah shalihah?” tanya ustadz Toha
kepada Adam.
Adam
agak terkejut dengan perubahan topik pembicaraan yang langsung serius. Sehingga
spontan saja ia menjawab pertanyaan ustadz Toha dengan tersenyum.
“ya
maulah, Tadz!”
Sebuah
senyum terbit di bibir ustadz Toha. Dan Adam ikut tersenyum.
“jika
menikahnya besok hari, apakah akhi siap juga?”
Kali
ini Adam terdiam dulu hampir setengah menit lamanya sebelum akhirnya ia
menjawab pertanyaan ke dua itu.
“jika
menurut ustadz, muslimah itu adalah muslimah shalihah. Maka tak ada harta karun
lain yang lebih berharga dari wanita shalihah, dan bisa memilikinya adalah
kesempatan langka yang sudah seharusnya saya ambil.”
Ustadz
Toha kian melebarkan senyumnya.
“Akhi
Adam, saat ini ada seorang muslimah shalihah yang tengah terancam rusak
jiwanya. Dia ditinggal pergi oleh calon suaminya tepat sehari sebelum akad
nikah yang akan dilangsungkan esok pagi. calon suaminya itu hanya mengirimkan
pesan singkat via sms tanpa ada keterangan lebih jelas dan kini entah berada di
mana. Kini, ane tawarkan muslimah tersebut untuk Akhi nikahi. Ane mohon maaf
karena tidak bisa menunjukkan biodata muslimah itu lantaran biodatanya dibawa
pergi pula oleh ikhwan b*ngs*t itu! astaghfirullah.. maaf Akhi. Ane tidak bisa
menahan kekecewaan ane ke ikhwan itu. Akad nikahnya besok jam 9 pagi. Apakah
akhi mau?”
Adam
terdiam tak bisa memberikan jawaban. Kemudian ustadz Toha berkata lagi dengan
sedikit menggebu-gebu.
“Yakin
Akhi, ini jodoh antum!”
Adam
cukup terhenyak mendengarnya. Tertegun hatinya manakala mendengar kata “jodoh”
itu. Ia pun paham dengan duduk perkara yang dihadapi oleh ustadz Toha. Ini
memang perkara yang sangat genting karena menyangkut jiwa murni seorang
muslimah. Meski begitu, ada rasa sangsi yang dirasakan Adam dalam hatinya. Ia
merasa sangsi apakah ia benar-benar siap untuk menikahi wanita entah siapa itu.
oleh sebabnya Adam mohon waktu sebentar untuk keluar rumah dan berpikir sejenak.
Adam
keluar rumah dan berdiri di beranda rumah ustadz Toha. Ia melihat ke arah
langit. Ada cukup banyak gemintang di atas sana. Agak heran juga sebenarnya
karena ia masih bisa melihat taburan bintang di langit malam Jakarta yang
notabene langitnya sudah tercemar oleh asap-asap tebal kendaraan. Jadi
seharusnya dan seperti biasanya langit malam Jakarta hanya berupa langit kelabu
atau merah tua, atau jika beruntung ya berupa langit biru pekat dengan
kemunculan beberapa bintang yang bisa dihitung jari. Tapi saat itu,
bintang-bintang bak pasir yang bertaburan di langit malam yang biru pekat. Terlihat
pula sinar bulan yang separuh bercahaya di ufuk tenggara.
Adam
pun tak kuasa tuk tidak bertasbih memuji Penciptanya.
Allah
Maha Berkehendak.
Allah
Maha Mengindahkan ciptaan-Nya.
Allah
Maha Pengasih kepada para hamba-Nya.
Dan
laksana panah yang melesat cepat menuju bidikannya, begitulah kiranya perubahan
pikiran Adam terkait proposal pernikahan itu. Ia sudah memiliki keputusan.
Selanjutnya ia bersegera masuk kembali ke dalam rumah untuk menyampaikannya
kepada ustadz Toha.
“Ustadz!
Dengan bismillah, saya siap untuk menikah besok!”
“Alhamdulillah...!!”
Lafadz
hamdalah menggema tak hanya dari mulut ustadz Toha. Saat itu samar-samar
terdengar pula di telinga Adam suara Ummi Ross yang nampaknya sedari awal turut
mendengarkan perbincangan mereka berdua di ruangan sebelah.
“insyaallah
dia jodoh antum, akhi! Dia jodoh antum!”
Kembali
ustadz Toha meyakinkan Adam. Dan mendengarnya membuat Adam tersenyum seraya
mengaminkannya dalam hati. Meski begitu, ada sesuatu yang sedikit mengganjal
hatinya. Maka dengan sedikit malu ia mencoba mengutarakannya kepada ustadz Toha.
“ustadz,
sebenarnya ane agak kepikiran sama biaya pernikahannya. Jujur, saat ini ane gak
megang uang yang banyak untuk itu.”
Ustadz
Toha tersenyum memaklumi sebelum akhirnya berkata.
“semua
biaya pernikahan sudah disiapkan, akhi. Biar ane bantu antum kali ini. Antum
hanya perlu menyiapkan maharnya saja. Apa saja harta yang antum bawa saat ini?”
“saya
memiliki satu mushaf al quran dan uang sebesar 300 ribu, tadz.”
“sudah.
Itu saja cukup. Sekarang, antum langsung berangkat ke rumah muslimah itu. antum
pergi ke stasiun pondok Ranji sekarang juga. Nanti Ane kirimkan rute lengkapnya
via sms. Ayo!”
Ustadz
Toha bangkit berdiri. Dan Adam mengikuti.
“oya
tadz, hampir saya khilaf. Ini saya kembalikan lap topnya. Terima kasih banyak
ustadz. Sekarang saya akan bersegera ke sana. Doakan saya, tadz.” Ucap Adam
sambil menyerahkan laptop kepada ustadz Toha.
Ustadz
Toha menerimanya dan menaruhnya di atas meja. Kemudian mereka berdua berjalan
bersisian ke luar rumah. Di depan pintu, ustadz Toha kembali menggebukan azzam
Adam dengan berkata,
“yakin
akhi, dia jodoh antum!”
Adam
tersenyum dan meyakinkan ucapan ustadz di hadapannya dengan mengangguk.
Kemudian ia pamit diri dan mulai melangkah menembus gelapnya malam untuk melalui
perjalanan menuju muara hatinya saat ini. Menjemput jodoh yang tak
dikenal rupanya namun diyakini kebaikan akhlaknya oleh hatinya.
Bismillahirrahmaanirrahiim...
---
Di
rumahnya, ustadz Toha tengah melakukan sujud syukur bersama istrinya, Ummi
Ross. Mereka mengucap syukur berkali-kali karena Yang Maha Rahman telah
menunjukkan sosok muslim yang kuat yaitu Adam di tengah perkara pelik yang
mereka hadapi. Tak jauh dari mereka, Shania tertidur pulas. Ia kelelahan seusai
menangis cukup lama. Putri mereka itu langsung memeluk umminya dalam satu
rangkulan besar ketika Ummi Ross memberitahukan putrinya bahwa sang abi tak
akan menikah lagi. Shania lega karena ia tak jadi memiliki ibu tiri. Saat
ini Shania bolehlah berpikiran dangkal tentang perkara ibu tiri yang jahat.
Tapi di masa mendatang, Shania akan memahami bahwa tak semua ibu tiri adalah
sosok yang jahat. Ia sungguh akan memahami itu.
Tak
lama dari pelukan yang diberikannya kepada Ummi, Shania tertidur. Dalam
tidurnya ia tersenyum. Senyuman yang turut menarik bibir ummi abinya yang
melihatnya tuk turut tersenyum.
Kini
hanya tinggal menunggu waktu hingga mereka mendengar kabar bahagia dari
keluarga Farah esok hari. Semoga saja Adam benar adalah jodoh terbaik yang
telah disiapkan Allah untuknya. Semoga akad pernikahan besok dilancarkan.
Semoga Farah tak lagi bersedih seperti apa yang dirasakannya di kali awal ia
mendapatkan pengkhianatan dari Farid. Dan semoga-semoga lainnya yang dilirihkan
Ummi Ross dan Toha seusai shalat hajat yang mereka dirikan bersama.
Akumulasi
dari semua “semoga.. semoga..” itu bermuara dalam satu kalimat ampuh.
“Amiinn...Allahumma
Amiin Ya Rabb..”
Diselesaikan pada,
Senin, 05 Agustus 2013
Di Rumah Ke Lima, Gintung
(bersambung ke H-1. epik 3. “Separuh Diin-ku ada
Bersamanya”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar