Senin, 05 Agustus 2013

Cerbung - "H-1 Epik 2/3. Inikah Jodohku?"

Oleh : Mei
“whoaaaa...subhanallaaahh...”aku berseru dan tanpa malu-malu menunjukkan rasa penasaranku terhadap cerita Ika. Sementara Ika tersenyum geli melihat tingkah bocahku.
Sudah 10 menit berlalu sejak Ika memulai ceritanya tentang kisah nyata yang dialami oleh orang-orang tarbiyah. Pada mulanya mungkin aku sangsi dan tak terlalu tertarik untuk mendengarkan cerita Ika, tetapi sesudah sepertiga cerita berlalu aku mulai tertarik dan penasaran dengan apa yang akhirnya terjadi pada orang-orang tarbiyah tersebut.
“terus ka, Ustadznya jadi poligami? Istrinya beneran ngerelain suaminya nikah lagi gitu??”
“sabar napa, Mei.. makanya dengerin dulu cerita ika baik-baik! Belum juga selesai udah dikomen duluan. Payah nih!”
“hehehee..:D maaf kaa.. maaf.. habis penasaran sih. Masalahnya, ini tuh “poligami” lho! Po-li-ga-mi! Kalo o-ri-ga-mi sih iya asyik. Nah,, ini mah poligami. Subhanallah banget ya Mbak-nya bisa ngerelain diri tuk minta suaminya nikah lagi. Walau emang bahagia juga sih klo surga jadi ganjarannya...”
“iya..iya..jadi,, lanjut gak nih ceritanya??”
Ika nampak sudah tak sabaran dengan instrupsiku yang berkali-kali. Maka setelahnya aku pun mengunci mulutku rapat-rapat sembari mengangguk-angguk sebagai permintaanku agar ika melanjutkan kembali ceritanya. Dan untuk menit-menit berikutnya aku pun mesti menahan diri dari keinginan untuk menginstrupsi cerita Ika. Alhasil, aku hanya diperbolehkan menggigit si Boni, boneka beruang cokelat pemberian adikku Herdi sebagai ganti untuk tidak menginstrupsi cerita Ika lagi. Dan Ika pun akhirnya mau melanjutkan kembali ceritanya hingga akhir.
“Jadi...”
---
Di suatu jalan kecil tak jauh dari rumah keluarga Toha, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh enam tahun berjalan sembari menyenandungkan shalawat dalam hatinya. Ia memanggul ransel yang meski bersih tapi nampak sudah cukup tua. Langkahnya yang bermula dari Depok hingga ke tempat ini adalah demi menjumpai seorang ustadz yang sangat dihormatinya. Ustadz Toha namanya.
“Assalamu’alaikum!” sapa Adam, nama lelaki itu.
Dua detik hingga lima detik ditunggunya dalam diam jawaban salam dari sang pemilik rumah. Sayangnya sepi lah yang menyambutnya.
Kemudian Adam mencoba mengucap salam lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit lebih keras.
“Assalamu’alaikum!!” dibenahinya letak peci yang terasa tak nyaman di kepalanya. Sementara beberapa detik kembali berlalu dan masih sunyilah yang menjawab salamnya.
Kemudian Adam meniatkan lagi untuk mengucapkan salam. Jika masih juga sunyi yang menjawabnya, ia memutuskan untuk berbalik dan pulang ke rumah saja. Karena memang begitulah adab bertamu yang seharusnya seperti yang telah diajarkan oleh baginda Rasul yang mulia. Jika tiga kali mengucapkan salam dan tidak ada tanda-tanda keberadaan pemilik rumah, maka sang tamu sebaiknya pulang dan kembali datang di lain waktu.
Adam mengumpulkan nafasnya dalam satu waktu dan menghembuskannya bersamaan dengan suara lantangnya ketika mengucapkan salam ke tiganya.
“Assalamu’alaikum!!”
Harapan Adam berbuah manis. Berselang dua detik, terdengar suara seorang wanita menjawab salamnya dari dalam rumah.
“Wa’alaikumsalamwarahmatullah!”
Alhamdulillah... syukur Adam dalam hati ketika mendapati salamnya bersambut salam. Tak lama pintu kayu Mahoni di hadapannya terbuka dan Adam segera menundukkan pandangan ketika ia mengetahui bahwa yang membukakan pintu untuknya adalah Ummi Ros, istri dari Ustadz Toha. Perlahan kemudian disampaikannya maksud kedatangannya ke rumah itu.
“Maaf Ummi, saya Adam. Apakah Ustadz Toha ada di rumah? Saya hendak mengembalikan laptop miliknya yang saya pinjam sebulan lalu.”
“ya ada. Hayya, tadkhul*. Tunggu di sini. Saya panggilkan ustadz dahulu.”
Adam mengikuti arahan Ummi Ros untuk duduk di salah satu sofa terdekat dan menunggu.
Tak butuh waktu sampai satu menit, ustadz Toha muncul dan Adam segera bangkit berdiri untuk bersalaman dan memeluk ustadz muda itu.
“Assalamua’alaikum, akhi Adam!”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah. Tadz! Alhamdulillah bikhair. Ustadz juga apa kabar? Sepertinya makin cerah saja nih wajah ustadz. Sedang berbahagia dalam rangka apakah?”
Adam mencoba berkelakar. Ia sudah hampir tertawa lepas ketika dilihatnya wajah Ustadz di hadapannya itu malah tampak murung. Ia beristighfar dalam hati. Khawatir ucapannya tak patut untuk kondisi ustadz Toha saat ini.
“yah..sedang cukup genting nih, Akh. Bingung saya!”
Terlihat oleh Adam betapa kuyu ustadz Toha ketika ia menyandarkan tubuhnya ke sofa. Gestur tubuh ustadz muda itu menunjukkan betapa gentingnya permasalahan yang tengah dihadapi olehnya.
“maaf tadz, jika diperkenankan untuk tahu, bisakah ustadz menceritakannya? Insyaallah jika saya mampu, saya akan berusaha membantu semampunya.” Ucap Adam sungguh-sungguh.
Selanjutnya ustadz Toha tampak tepekur dan memandang Adam cukup lama. Sampai akhirnya tiba-tiba saja ustadz Toha menegakkan dudukannya di sofa dan maju condong ke arah Adam.
“Akhi, apakah akhi mau menikah dengan seorang muslimah shalihah?” tanya ustadz Toha kepada Adam.
Adam agak terkejut dengan perubahan topik pembicaraan yang langsung serius. Sehingga spontan saja ia menjawab pertanyaan ustadz Toha dengan tersenyum.
“ya maulah, Tadz!”
Sebuah senyum terbit di bibir ustadz Toha. Dan Adam ikut tersenyum.
“jika menikahnya besok hari, apakah akhi siap juga?”
Kali ini Adam terdiam dulu hampir setengah menit lamanya sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan ke dua itu.
“jika menurut ustadz, muslimah itu adalah muslimah shalihah. Maka tak ada harta karun lain yang lebih berharga dari wanita shalihah, dan bisa memilikinya adalah kesempatan langka yang sudah seharusnya saya ambil.”
Ustadz Toha kian melebarkan senyumnya.
“Akhi Adam, saat ini ada seorang muslimah shalihah yang tengah terancam rusak jiwanya. Dia ditinggal pergi oleh calon suaminya tepat sehari sebelum akad nikah yang akan dilangsungkan esok pagi. calon suaminya itu hanya mengirimkan pesan singkat via sms tanpa ada keterangan lebih jelas dan kini entah berada di mana. Kini, ane tawarkan muslimah tersebut untuk Akhi nikahi. Ane mohon maaf karena tidak bisa menunjukkan biodata muslimah itu lantaran biodatanya dibawa pergi pula oleh ikhwan b*ngs*t itu! astaghfirullah.. maaf Akhi. Ane tidak bisa menahan kekecewaan ane ke ikhwan itu. Akad nikahnya besok jam 9 pagi. Apakah akhi mau?”
Adam terdiam tak bisa memberikan jawaban. Kemudian ustadz Toha berkata lagi dengan sedikit menggebu-gebu.
“Yakin Akhi, ini jodoh antum!”
Adam cukup terhenyak mendengarnya. Tertegun hatinya manakala mendengar kata “jodoh” itu. Ia pun paham dengan duduk perkara yang dihadapi oleh ustadz Toha. Ini memang perkara yang sangat genting karena menyangkut jiwa murni seorang muslimah. Meski begitu, ada rasa sangsi yang dirasakan Adam dalam hatinya. Ia merasa sangsi apakah ia benar-benar siap untuk menikahi wanita entah siapa itu. oleh sebabnya Adam mohon waktu sebentar untuk keluar rumah dan berpikir sejenak.
Adam keluar rumah dan berdiri di beranda rumah ustadz Toha. Ia melihat ke arah langit. Ada cukup banyak gemintang di atas sana. Agak heran juga sebenarnya karena ia masih bisa melihat taburan bintang di langit malam Jakarta yang notabene langitnya sudah tercemar oleh asap-asap tebal kendaraan. Jadi seharusnya dan seperti biasanya langit malam Jakarta hanya berupa langit kelabu atau merah tua, atau jika beruntung ya berupa langit biru pekat dengan kemunculan beberapa bintang yang bisa dihitung jari. Tapi saat itu, bintang-bintang bak pasir yang bertaburan di langit malam yang biru pekat. Terlihat pula sinar bulan yang separuh bercahaya di ufuk tenggara.
Adam pun tak kuasa tuk tidak  bertasbih memuji Penciptanya.
Allah Maha Berkehendak.
Allah Maha Mengindahkan ciptaan-Nya.
Allah Maha Pengasih kepada para hamba-Nya.
Dan laksana panah yang melesat cepat menuju bidikannya, begitulah kiranya perubahan pikiran Adam terkait proposal pernikahan itu. Ia sudah memiliki keputusan. Selanjutnya ia bersegera masuk kembali ke dalam rumah untuk menyampaikannya kepada ustadz Toha.
“Ustadz! Dengan bismillah, saya siap untuk menikah besok!”
“Alhamdulillah...!!”
Lafadz hamdalah menggema tak hanya dari mulut ustadz Toha. Saat itu samar-samar terdengar pula di telinga Adam suara Ummi Ross yang nampaknya sedari awal turut mendengarkan perbincangan mereka berdua di ruangan sebelah.
“insyaallah dia jodoh antum, akhi! Dia jodoh antum!”
Kembali ustadz Toha meyakinkan Adam. Dan mendengarnya membuat Adam tersenyum seraya mengaminkannya dalam hati. Meski begitu, ada sesuatu yang sedikit mengganjal hatinya. Maka dengan sedikit malu ia mencoba mengutarakannya kepada ustadz Toha.
“ustadz, sebenarnya ane agak kepikiran sama biaya pernikahannya. Jujur, saat ini ane gak megang uang yang banyak untuk itu.”
Ustadz Toha tersenyum memaklumi sebelum akhirnya berkata.
“semua biaya pernikahan sudah disiapkan, akhi. Biar ane bantu antum kali ini. Antum hanya perlu menyiapkan maharnya saja. Apa saja harta yang antum bawa saat ini?”
“saya memiliki satu mushaf al quran dan uang sebesar 300 ribu, tadz.”
“sudah. Itu saja cukup. Sekarang, antum langsung berangkat ke rumah muslimah itu. antum pergi ke stasiun pondok Ranji sekarang juga. Nanti Ane kirimkan rute lengkapnya via sms. Ayo!”
Ustadz Toha bangkit berdiri. Dan Adam mengikuti.
“oya tadz, hampir saya khilaf. Ini saya kembalikan lap topnya. Terima kasih banyak ustadz. Sekarang saya akan bersegera ke sana. Doakan saya, tadz.” Ucap Adam sambil menyerahkan laptop kepada ustadz Toha.
Ustadz Toha menerimanya dan menaruhnya di atas meja. Kemudian mereka berdua berjalan bersisian ke luar rumah. Di depan pintu, ustadz Toha kembali menggebukan azzam Adam dengan berkata,
“yakin akhi, dia jodoh antum!”
Adam tersenyum dan meyakinkan ucapan ustadz di hadapannya dengan mengangguk. Kemudian ia pamit diri dan mulai melangkah menembus gelapnya malam untuk melalui perjalanan menuju muara hatinya saat ini.  Menjemput jodoh yang tak dikenal rupanya namun diyakini kebaikan akhlaknya oleh hatinya.
Bismillahirrahmaanirrahiim...
---
Di rumahnya, ustadz Toha tengah melakukan sujud syukur bersama istrinya, Ummi Ross. Mereka mengucap syukur berkali-kali karena Yang Maha Rahman telah menunjukkan sosok muslim yang kuat yaitu Adam di tengah perkara pelik yang mereka hadapi. Tak jauh dari mereka, Shania tertidur pulas. Ia kelelahan seusai menangis cukup lama. Putri mereka itu langsung memeluk umminya dalam satu rangkulan besar ketika Ummi Ross memberitahukan putrinya bahwa sang abi tak akan menikah lagi. Shania lega karena ia tak jadi memiliki ibu tiri.  Saat ini Shania bolehlah berpikiran dangkal tentang perkara ibu tiri yang jahat. Tapi di masa mendatang, Shania akan memahami bahwa tak semua ibu tiri adalah sosok yang jahat. Ia sungguh akan memahami itu.
Tak lama dari pelukan yang diberikannya kepada Ummi, Shania tertidur. Dalam tidurnya ia tersenyum. Senyuman yang turut menarik bibir ummi abinya yang melihatnya tuk turut tersenyum.
Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga mereka mendengar kabar bahagia dari keluarga Farah esok hari. Semoga saja Adam benar adalah jodoh terbaik yang telah disiapkan Allah untuknya. Semoga akad pernikahan besok dilancarkan. Semoga Farah tak lagi bersedih seperti apa yang dirasakannya di kali awal ia mendapatkan pengkhianatan dari Farid. Dan semoga-semoga lainnya yang dilirihkan Ummi Ross dan Toha seusai shalat hajat yang mereka dirikan bersama.
Akumulasi dari semua “semoga.. semoga..” itu bermuara dalam satu kalimat ampuh.
“Amiinn...Allahumma Amiin Ya Rabb..”
Diselesaikan pada,
Senin, 05 Agustus 2013
Di Rumah Ke Lima, Gintung

(bersambung ke H-1. epik 3. “Separuh Diin-ku ada Bersamanya”)


* hayya, tadkhul = silahkan masuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar