Jumat, 28 Februari 2014

Cerpen - "Rania, Pin Lea"



# Rania, Pin Lea

Awal Oktober 2013.
Langit sudah tampak kelabu saat kubuka jendela kamarku. Agaknya hari ini akan kembali hujan seperti kemarin.
Terimakasih Yesus. Semoga hari ini benar-benar hujan.
Aku berharap pelan sembari mengintip ke luar jendela kamar. Aku memang suka hujan. Dan berharap sekali agar hari ini hujan. Karena itu berarti aku tak perlu pergi ke mana-mana hari ini. Termasuk pergi ke rumah Lea untuk mengerjakan tugas kelompok Seni Budaya sekaligus mengembalikan Jaket putihnya yang tertinggal di rumahku.
“sayang, ayo turun! Sarapan dulu!” Suara Nenek Aida terdengar cukup lantang di telingaku.
Dengan bersegera kuambil ikat rambut yang tergeletak di atas meja belajar dan melangkah keluar kamar sembari mengikat rambutku. Butuh waktu sekitar satu menit lamanya untuk keluar dari kamarku dan menuruni tangga menuju ruang makan, di mana nenek Aida sudah duduk rapih dan tersenyum hangat ke arahku.
“maaf ya nek. Rania bangunnya kesiangan. Semalem Nia susah tidur..” Ucapku cukup keras saat kudekati meja makan. Kulihat wajah nenek dan tampak di sana ada kerutan baru yang muncul selain beberapa kerutan keriput yang sudah lama dimilikinya.
“ada yang kamu pikirkan, sayang?” Nenek tersenyum cemas.
Kutarik kursi yang terbuat dari kayu jati dan kemudian duduk di atasnya menghadap nenek Aida, seperti biasanya. Selanjutnya aku menggeleng pelan sebagai jawaban dari pertanyaan nenek tadi sembari mencoba tersenyum sewajarnya.
“gak nek. Cuma stress sedikit menjelang Ujian aja. Agak gugup karena tahun depan Nia udah mau jadi kelas 2.”
Nenek Aida tersenyum bijak sembari menaruh dua centong nasi goreng ke satu piring dan menyerahkan piring itu kepadaku. Kuterima piring berisi nasi itu dan mengambil kerupuk bawang di stoples kaleng berwarna merah.
“tak perlu dipikirkan sulit-sulit, sayang. Setiap hal punya waktunya masing-masing. Senang. Sulit. Ujian. Sakit. Sukses... Kita hanya perlu fokus sama apa yang bisa kita hadapi saat ini. Tak usah berpikir terlalu jauh. Ok?”
Lagi-lagi ucapan Nenek menghentakkan titik sadarku. Di usianya yang menginjak 62 tahun ini, nenek adalah sosok terbijaksana dalam hidupku. Kata-katanya selalu saja memberikan solusi atau menjadi motivasi. Kehidupan kami di rumah ini yang hanya berdua saja sudah sangat cukup bagiku.
“iya nek..” aku menjawab pelan dan melanjutkan sarapan dalam diam.
---
Selesai sarapan, seperti biasanya aku langsung mencuci piring sementara nenek Aida kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap pergi kebaktian mingguan. Selesai mencuci piring aku pun bergegas mandi dan bersiap untuk pergi juga.
“Rania, ayo sayang! Sudah jam 9.”
Suara nenek terdengar lantang memanggilku dari lantai bawah. Saat itu aku tengah menyisir rambutku. Kali ini aku membiarkan rambut lurusku tergerai begitu saja menutupi bahu. Dan poniku yang sedikit kepanjangan sengaja kujepit agar tidak mengganggu penglihatanku. Kemudian setelah kurasa penampilanku cukup oke, kucangklongkan tas ke bahu dan berjalan keluar kamar.
Di ruang tamu, sudah kudapati nenek Aida dengan penampilannya yang elegan. Rok polos berwarna biru langit dan kaus putih yang ditutupi sweater hitam buatannya sendiri. Sebuah payung bergelayut di lengan kirinya sementara tangan kanannya memegang tas jalannya yang berwarna biru dongker. Aku tersenyum padanya dan memuji penampilannya.
“nenek cantik!”
Nenek Aida tersenyum lembut dan balik memujiku.
“lebih cantik lagi cucu nenek ini. Padahal hari ini mendung. Tapi melihat kamu yang serba pink, membuat nenek sedikit ragu apakah hari ini pantas untuk turun hujan?”
Aku tersipu malu. Dalam segi apapun, aku hampir selalu kalah oleh ucapan-ucapan nenek. Oleh karenanya  segera saja kuhampiri nenek dan kuraih lengan kirinya yang sedikit bebas untuk bergegas mengajaknya berangkat.
Di luar, langit masih tampak kelabu. Nampaknya, harapanku tentang hujan tidak akan terjadi tepat sesuai dengan waktu yang kuharapkan.

---

“rumah Lea di Pondok Cabe kan, sayang?” nenek Aida bertanya.
Saat itu kami berdua tengah menunggu angkot di halte. Kuperhatikan jumlah orang di halte mawar saat ini tidak seramai biasanya. Mungkin karena ini adalah hari minggu. Jadi tak banyak orang yang memilih untuk melalui waktu liburnya di luar rumah.
“iya, Nek. Deket kampus UT. Nenek gak papa pergi kebaktian sendiri?”
“iya gak papa, sayang. Udah kamu belajar aja. Kabari nenek ya kalau sudah sampai di sana?”
“iya, nek.”
Kemudian mataku melihat mobil S11 menuju arah kami.
“itu dia nek!” seruku sambil menunjuk ke arah mobil kijang berwarna merah.
“oh ya. Itu dia mobilnya. Kalau begitu nenek pergi dulu ya, Nia. Hati-hati!”
Segera setelahnya nenek Aida menaiki angkot S11  yang akan mengantarkannya menuju Pasar Minggu. Kemudian aku menyeberang dan menaiki angkot yang sama yang akan mengantarkanku ke pasar jumat. Dari pasar jumat, aku menaiki angkot kijang D.02 sampai BBS dan di sana sudah ada Dito dengan motor Blade-nya menungguku.
Dari BBS, aku berboncengan sepeda motor dengan Dito. Dia juga adalah seorang kawan di kelasku dan kebetulan kami ada dalam satu kelompok untuk tugas akhir Seni dan Budaya yang akan kami kerjakan bersama di rumah Lea hari ini. Dito adalah seorang yang cukup pendiam. Alhasil sepanjang perjalanan kami menuju rumah Lea, kami tak berbincang panjang.
---
Sesampai di rumah Lea, gerimis segera turun bak menyambut kedatangan aku dan Dito. Dito sedang memarkir motornya di halaman depan ketika kutekan bel rumah Lea. Tak sampai satu menit, Lea sudah muncul dalam kerudung praktisnya yang berwarna pink dan tersenyum hangat menyambut kami.
“hai! Ayo masuk! Dito, motornya agak ke terasin aja. Khawatir hujannya deras, sering sawer. Yuk, Nia!” ucap Lea cukup cepat.
“oh, iya Lea! Ini jaket kamu yang ketinggalan kemarin di rumahku”
Kuserahkan paper bag yang berisi jaket Lea kepadanya. Ia berterima kasih dan menerima paper bag dari tanganku dan kemudian menarik tanganku memasuki rumah. Tak lama Dito mengikuti kami di belakang. Lea menuntun kami melewati ruang tamu dan memasuki kedalaman rumahnya hingga akhirnya kami tiba di sebuah ruangan seukuran 6 x 6 meter yang berisi dua rak. Satu rak besar berisi buku-buku dan satu rak kecil berisi susunan kain-kain berwarna warni. Entah kain apa, aku tak tahu. Aku tak sempat menanyakannya kepada Lea karena perhatianku sudah terkunci pada pemandangan menakjubkan di luar ruangan ini.
Melewati dinding kaca yang membatasi ruangan ini  dengan area belakang rumah, tampak gerimis di awal tadi mulai menderas dan tetesan airnya membasahi area taman bunga Mawar.
“cantik ya?” suara Lea telah membuyarkan anganku yang sesaat tadi sempat teringat pada satu kenangan lama tentang mamaku.
 “ehm!” Aku tersenyum kepadanya dan mengangguk.
Selama hampir semenit aku dan Lea larut dalam keheningan ketika menikmati pemandangan di hadapan kami. Samar, terdengar pula suara adzan di kejauhan.
“Lea, ikut shalat ya.”
Aku dan Lea menoleh ke sumber suara. Di belakang kami Dito sedang menggulung celana panjangnya. Aku mengalihkan pandanganku dan kembali menikmati pemandangan tetesan air di kelopak mawar.
“iya. Jamaahan yuk. Kamar mandinya udah tahu kan, Dit?” jawab Lea.
“iya.”
Samar-samar terdengar olehku langkah kaki Dito menginjak lantai biru muda di ruangan ini dan akhirnya menghilang ke luar ruangan.
“Nia makan cake-nya dulu aja. Lea yang bikin lho! Kita shalat dulu ya. Gak papa kan Nia?” tanya Lea perlahan padaku.
Aku mengangguk sebelum akhirnya berkata,
“iya gak papa. Makasih ya..”
Dan kemudian Lea ikut menghilang ke luar ruangan. Kemudian aku teringat untuk mengirim pesan singkat ke nenekku dan mengabarinya bahwa aku sudah sampai di rumah Lea. Setelah pesanku terkirim, aku kembali menikmati panorama mawar, hujan, dan dengungan suara adzan yang saling bersahutan di kejauhan.

---

“Assalamu’alaikum warahmatullaah... Assalamu’alaikum warahmatullaah..”
Suara salam milik Dito mengakhiri prosesi shalat Dito dan Lea. Dari posisi dudukku saat ini, aku melirik sebentar ke arah Lea. Aku tersenyum malu. Beberapa menit yang lalu aku baru mengetahui kain apa sebenarnya yang tersusun rapih di lemari kecil di ruangan ini. Ternyata itu adalah mukenah. Pakaian shalat untuk wanita muslimah.
Ketika Lea melipat kembali mukenah yang dipakainya, ia melihat senyumanku.
“kenapa Nia?” tanya Lea.
“ooh.. gak papa Lea. Kamu cantik dengan mukena krem itu.” Elakku halus.
Lea tersenyum dan kemudian menghampiriku. Dito yang selesai berdoa dan melipat sajadah pun turut menghampiri.
“maaf.. kalo boleh tahu, kamu kristen katolik atau protestan, Nia?” lamat-lamat Lea bertanya. Dito ikut mendengarkan. Aku menjawab dengan jawaban protokol seperti puluhan jawaban sama yang pernah kukatakan kepada orang-orang yang penasaran dengan keyakinan agamaku.
“katolik” jawabku dengan senyum simpul.
“oo.. hmm.. eh, ya! kita makan siang dulu aja yuk! Udah jam setengah satu nih.” Ajak Lea tiba-tiba dengan penuh semangat.
Aku berpandangan mata sebentar dengan Dito. Melihatnya mengangguk, aku pun ikut mengangguk. Maka setelahnya kami pun makan siang bersama. Kami hanya bertiga. Karena saat itu orang tua Lea sedang menghadiri undangan pernikahan rekan bisnis papanya.
Usai makan, kami kembali menuju ruangan semula dan mulai mengerjakan tugas Seni Budaya kami. Butuh waktu hingga jam empat sore sampai tugas kami bisa selesai. Saat itu hujan masih turun cukup deras. Sehingga membuat aku dan Dito harus menunda kepulangan kami. Alhasil, Dito memilih untuk mengambil sebuah buku di lemari besar di ruangan ini dan membacanya. Kubaca sekilas judulnya, The Whole Brain Solution. Nampak bagiku itu adalah bacaan yang cukup berat. Dilihat dari judul, ukuran serta ketebalan buku itu yang mungkin cukup memberikan efek sakit bila dijadikan sebagai alat lempar. Sementara Lea mengundangku untuk memasuki kamar tidurnya.
---
Kamar tidur Lea tak jauh beda seperti yang sudah kuduga.
Ornamen serta segala pernak-pernik kamar yang berwarna biru mendominasi ruangan berukuran 4 x 4 meter ini. Kamar Lea sama seperti kamar perempuan pada umumnya. Rapih. Wangi. Dan berisi sebuah tempat tidur ukuran sedang, lemari pakaian berwarna putih, serta sebuah meja belajar.
Di detik pertama langkahku memasuki kamar Lea itu, aku sudah langsung merasa nyaman.
“kamar kamu rapih banget, Lea. Jauh lebih rapih dari kamarku.” Pujiku padanya.
Lea hanya tersenyum biasa dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tangan kanannya berayun pelan, mengajakku serta untuk ikut merebahkan badan. Dan aku menurut pada ajakannya.
“aku hiasin kamar ini berdua dengan mamaku, lho. Mamaku seneng banget dekor kamar. Dia terobsesi sama segala hal yang warnanya biru,”
“dan kutebak obsesi itu turun ke kamu juga?” ucapku memotong cerita Lea. Ia tersenyum lepas dan kemudian kembali melanjutkan ceritanya.
“yah. Gitu deh. Aku ikutan jadi biruholic. Hehehe.. oya, gimana dengan mamamu, Nia?” pertanyaan Lea yang tiba-tiba itu membuatku sempat terhenyak. Tiba-tiba pula aku merasa ada sebongkah batu besar yang dijejalkan ke tenggorokanku dan membuat dadaku sesak tak jelas. Sedikit ragu kubiarkan muncul dalam jawabanku.
“mm.. mamaku udah pergi.”
Aku memandang langit kamar Lea  yang biru ketika kurasa ia melihat wajahku. Ada kegetiran mungkin yang bisa diihatnya di wajahku hingga sedetik kemudian ia meminta maaf.
“maaf..”
“gak papa. Udah lama juga kok kejadiannya. Lima tahun lalu mungkin. Lagian sekarang aku udah seneng kok tinggal sama nenekku. Tiga tahun lalu aku masih tinggal berdua sama mendiang ayahku dan di masa-masa itu rasanya memang sulit banget tuk relain kepergian mama..” jelasku cukup panjang.
Pembicaraan kami sempat terhenti sebentar. Lea nampak berhati-hati untuk berkata lagi. Agaknya ia tak ingin membuatku mengingat hal yang tak menyenangkan. Ini membuatku cukup senang. Tapi aku tak ingin membuat Lea bersusah payah membuatku nyaman. Oleh karenanya aku kembali bicara.
“menyesali dan membenci perpisahan gak akan membawa kita pada kebaikan. Itu yang nenekku ajarkan.” Aku berhenti sejenak.
“menangis dan meratap lama-lama pun gak ada gunanya. Malah Cuma bikin mataku jadi bengkak parah. Dan aku udah pernah ngalamin itu. Sumpah deh, Lea! Aku gak mau lagi bengkakin mataku!” mendengar candaanku ini Lea tertawa pelan. Aku lega sudah membuat suasana pembicaraan kami jadi tidak intens lagi.
“berarti Nia kuat ya!” Lea memujiku.
Untuk kali ini aku beranikan diri untuk menoleh dan menatap lurus mata Lea saat berkata,
“bukan aku yang kuat. Yang kuat adalah nenekku dan orang-orang di sekitarku. Keberadaan mereka adalah sumber kekuatanku. Tanpa mereka, aku mungkin gak akan setegar ini. Trust me!
Lea tersenyum mendengar penuturanku. Aku kembali melihat langit putih kamarnya. Tiba-tiba saja aku teringat tentang suatu hal.
“ngomong-ngomong, Dito gak papa kita tinggalin sendiri di luar?”
“ah.. biarin aja, Nia. Justru Dito seneng kalo gak ada yang gangguin dia pas lagi baca buku.”
Kulihat Lea tampak tersenyum jahil. Mau tak mau aku ikut tersenyum sepertinya. Selanjutnya benakku membuat asumsi baru.
“sepertinya kamu dan Dito akrab ya, Lea? ehh, maaf. Kalo asumsiku ini menyinggungmu.”
“hahaha. Take it easy, Nia. Udah banyak kok yang comblangin aku dan Dito. Aku sih fine-fine aja. Mereka gak tahu aja kalo kami tuh punya hubungan paman dan keponakan.”
Aku terkejut. Dan Lea melihat keterkejutanku ini. Tanpa kuminta, di detik berikutnya Lea menjelaskan hubungannya dengan Dito kepadaku.
“kaget kan? Jadi, Dito itu adik tiri paling bungsu dari mamaku. Yah. Itu berarti, Dito itu pamanku! Sulit dipercaya bukan?”
Lea terlihat puas sekali setelah melihat keterkejutan masih bercokol di wajahku. Tapi ekspresi kepuasan itu tak bertahan lama di wajahnya, ketika terdengar suara Dito yang memanggil dari luar.
“Lea, hujannya reda. Nia mau pulang bareng gak?”
Bergegas kami berdua bangkit berdiri. Lea membenarkan kembali kerudungnya sambil bertanya kepadaku.
“pulang sekarang, Nia?”
Aku mengangguk. Selanjutnya  kami melangkah keluar kamar. Kulihat Dito sudah siap dengan ranselnya. Ketika aku sedang mengenakan tas cangklongku, Dito bicara.
“bahan madingnya kamu aja yang bawa ya, Le. Inget. Hari Senin. Jangan lupa.”
“iyaa, bos! Btw, namaku tuh Lea Filintani. Bukan ‘Le’. Kebiasaan deh suka panggil orang seenaknya sendiri. Huh.”
Kulirik Dito yang tampak tak terganggu dengan protesnya Lea. Justeru ia malah kembali meledeknya.
“lagian punya nama kok aneh bener. Filintani. Apaan tuh!”
Kali ini, Lea tak lagi menjawab ledekan Dito. Dengan cemberut, Lea menarik lenganku ke luar rumah sambil sedikit berteriak.
“Niaaa.. yuk kita keluar duluan. Biarin aja uncle Toto ngomong sendirian. Eh, yang kita obrolin di kamar tadi tuh boleh kamu sebarin deh. Gak usah dirahasiain.”
Setengah bingung, aku melangkah keluar rumah. Aku tak tahu apa yang dimaksud oleh Lea tentang obrolan rahasia. Tapi jelas, aku cukup terkejut ketika mendengar Lea menyebut Dito dengan panggilan ‘uncle Toto’.
Aku berusaha cukup keras untuk tidak tertawa ketika kulihat wajah Dito memerah. Entah karena malu ataukah marah. Yang jelas setelah kami bertiga sudah ada di teras, kusaksikan Dito memelototi Lea dengan garang. Sementara yang dipelototi malah mengerucutkan bibirnya sebagai pertanda balas menantang. Lagi-lagi aku cukup terkejut. Aku terkejut karena sejauh ini aku mengenal Dito sebagai kawan kelasku yang jarang menampakkan ekspresi. Nampaknya kedatanganku ke rumah Lea hari ini telah memberiku kesempatan untuk mengenal lebih dekat tentang kawan-kawan kelasku ini.
Wajah Dito masih cukup merah ketika ia memberikan helm kepadaku. Sementara itu Lea nampak puas sekali menggoda paman mudanya ini. Lea tersenyum lebar sekali kepadaku sambil melambaikan tangannya dengan semangat berlebih. Di suatu waktu ketika Dito baru menstarter motornya, Lea menatapku dan mengerling ke arah Dito. Kali itu aku hampir saja ikut tertawa jika saja Dito tidak menggas motornya dengan deruman yang kelewat berlebih. Nampak sekali ia menunjukkan kekesalannya pada Lea.
“Hati-hati ya Bang Dito.. maaaf. Lea Cuma becanda doang, Bang. Bonceng Nia-nya pelan-pelan aja yaa.. Sampai jumpa hari senin, Niaa!” teriak Lea mengantarkan kepergianku dan Dito.
Perjalanan pulangku ternyata cukup rikuh juga. Sepanjang jalan Dito sama sekali tak mengucapkan apapun. Bahkan hingga Dito menurunkanku di Pasar Jumat dan menungguku naik angkot ke arah Pasar Minggu pun, kami tetap berdiam diri. Aku pribadi sebenarnya juga lebih memilih untuk tak bicara. Tapi dalam hati aku membuat janji pada diriku sendiri. Bahwa malam nanti aku akan menelpon Lea agar ia meminta maaf pada Dito. Ya. Begitulah janjiku.
Sekitar jam tujuh kurang aku tiba di rumah. Saat itu Nenek Aida sedang berbincang dengan Bu Ratih, tetangga sebelah rumah kami. Aku menyapa singkat keduanya dan kemudian bersegera menuju kamarku. Butuh waktu sekitar lima belas menit untukku mandi dan merapihkan diri dan akhirnya bisa merebahkan badanku ke atas kasur. Kemudian aku teringat pada janjiku untuk menelpon Lea. Alhasil kuraih tas cangklongku dan kurogohkan tanganku ke dalamnya. Setelah tanganku mendapatkan handphoneku, kutariklah benda itu keluar. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh gemericik suara benda yang terjatuh.
“Krincing..cing..cing..cing.cing..”
Kuambil apa yang barusan menimbulkan suara gemerincing itu dari lantai dan kuamati.
Oh.. pin dari Lea.
Pin yang tadi terjatuh itu seukuran bulatan dua jari telunjuk dan ibu jari yang disatukan. Pin itu terbuat dari kaleng bekas. Di bagian depannya terdapat tulisan mini bertuliskan,
Manfaatkan modal hidupmu untuk hal yg baik.
Karena modal itu gak akan kamu miliki lagi.
Pin itu adalah salah satu karya tangan Lea dalam acara keputrian di sekolah. Aku ingat menerima pin itu darinya tiga hari yang lalu ketika Lea berkunjung ke rumahku untuk meminjam buku Geografi. Saat itu ketika hendak pamit Lea memberikan pin itu kepadaku sambil berkata,
“Nia coba tebak. Apa itu modal hidup kita yang gak akan bisa kita miliki lagi? Kalo kamu bisa jawab, nanti kukasih hot-hot pop deh”
Aku yang saat itu tak terlalu serius ingin menjawab pertanyaan Lea akhirnya malah mencandai pertanyaannya. Meski begitu, ekspresi Lea saat itu membuatku cukup terkesan. Karena Lea menampakkan wajah seriusnya. Sebelum benar-benar pamit, Lea kembali memintaku untuk mencari jawaban dari pertanyaannya itu.
Selama dua hari ini aku sudah mencari jawaban dari apa yang ditanyakan Lea itu kepadaku. Aku sudah menanyakannya kepada nenek Aida. Juga ke beberapa orang yang kupikir tahu. Sayangnya aku belum menemukannya. Tapi kemudian tiba-tiba saja aku teringat beberapa hal yang terjadi di rumah Lea pada hari ini. Dan ingatan itulah yang memberiku ilham tentang jawaban dari pertanyaan Lea terkait kata-kata dalam pin itu. Maka segera saja, kuraih handphone yang tadi kuletakkan di atas kasur dan ku-dial nomor kontak Lea. Setelah kulewati tiga dering, terdengar suara Lea dari lubang speaker handphoneku.
“malem, Nia.. udah sampe rumah ya? Ada apa, Ya?”
Sebelum menjawab sapaan Lea, bibirku telah menarik senyuman tipis tanpa kuminta.
“malem juga, Lea. Iya. Aku udah sampe rumah.” Selama sekitar dua detik aku terdiam dan teringat pada hal lain. Dan kemudian aku kembali bicara.
“Lea, sepanjang jalan tadi Dito diem aja. Aku harap, kamu minta maaf secepatnya ke Dito, oke?”
“hahaha.. gitu ya? Maaf ya, Nia. Tenang aja. Barusan sebelum kamu telpon Dito udah telpon duluan. Lea udah minta maaf juga kok. Jadi calm down, oke?
Aku menghembuskan nafas lega. Kemudian aku lanjut bicara.
“syukurlah kalau begitu. Oya, Lea. Aku udah dapet jawaban untuk pertanyaan dari Pin yang kamu kasih tiga hari lalu.”
“oh ya? Apa jawabannya, Nia?” kudengar suara Lea cukup antusias untuk mendengar ucapanku berikutnya.
“jadi, modal hidup yang gak akan bisa kita miliki lagi itu adalah.... waktu. Gimana?”
Selama hampir lima detik lamanya orang di seberang telepon tak menyahut. Tapi kemudian aku sedikit dikejutkan oleh desahan Lea.
“haaahh.. kayaknya Lea mesti siapin cha-cha nih. Nia bener. Jawabannya emang waktu.” Aku tersenyum merasa puas.
“eh, kok bisa dapet jawabannya sih? Nia dapet ilham dari mana?”
“ahh.. gak dari siapa-siapa juga kok. Aku tiba-tiba aja inget sama kegiatan kita hari ini.”
Aku sengaja menunggu Lea mengucapkan sesuatu.
“kok bisa?”
“jadi, aku inget sama apa aja yang kita lakukan hari ini. Kamu mungkin gak sadar, kalau hari ini adalah pertama kalinya aku main ke rumah kamu. Juga pertama kalinya aku masuk ke kamar kamu. Tadi juga aku pertama kalinya tahu tentang rahasia hubungan kamu dan Dito. Juga pertama kalinya aku lihat Dito bisa ekspresif. Mengingat semua kejadian itu telah membuatku sadar, Lea. Bahwa semua pengalaman pertamaku dalam banyak kejadian di hari ini gak akan bisa kumiliki lagi. Aku hanya berkemungkinan untuk memiliki pengalaman ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Tapi tidak untuk yang pertama lagi. Karena waktu gak akan bisa diulang lagi. Gitu deh.”
“hahaha.. iya. Kamu bener, Nia. Waktu gak akan bisa kita ulang lagi. Mau hal baik atau hal buruk yang udah kita lakuin dalam mengisi waktu, kita akan terus melangkah maju dan ninggalin masa lalu. Hari besok akan jadi hari ini. Hari ini akan jadi hari kemarin. Itulah modal penting dalam hidup kita yang gak akan bisa kita miliki lagi.”
“iya, Lea..”
Sejenak aku dan Lea menikmati waktu dalam keheningan. Kami hanyut dalam pikiran kami masing-masing berkenaan dengan apa yang kami perbincangkan. Tentang waktu. Tapi tak lama. Karena kemudian aku diingatkan oleh bunyi pesan masuk ke handphone-ku.
“ehh. Bunyi apaan tuh tadi? Pulsanya mau habis ya non?”
Aku tersenyum mendengar candaan Lea.
“ada pesan masuk, nih. Oke deh. Kalo gitu kita jumpa di hari senin ya. Tolong bawa bahan madingnya ya, Lea. Sama.... cha-cha-nya juga, Oke?”
“hahaha.. oke boss.. see you, Nia!”
See yaa.”
Hubungan telepon pun berakhir ketika jam di dindingku menunjukkan pukul setengah delapan. Kemudian kubuka inbox di handphone. Memang benar ada pesan masuk. Kubaca,
From: Mom Britani
Time: 19:27 pm. 04 October 2013
Rania sayang, mama harap Qt bisa bertemu hari Jumat nanti. Kalo Nia mau, mama akan jemput Nia sepulang sekolah. Gmn sayang?
Butuh beberapa menit untukku menenangkan diri usai membaca pesan singkat di handphoneku itu. Bukan isinya yang membuat jantungku berdegup tak tenang. Melainkan nama pengirimnyalah yang membuatku mesti membaca pesan itu sampai dua kali.
Mama..
Menyebut nama itu dalam hati saja sudah membuatku ingin menangis. Memang sudah lima tahun lebih Mama pergi dari rumah ini. Kepergiannya yang  mendadak di suatu malam telah menciptakan kehilangan besar bagi ayah dan juga aku. Mama pergi setelah mengakui bahwa ia telah berpindah agama menjadi seorang muslimah. Dan Papa tak menerima keputusan itu. Akhirnya perpisahan pun menjadi pilihan kedua insan yang sebenarnya sangat saling mencintai itu. Aku, saat itu hanya bisa menangis.
Dan kemudian, beberapa hari yang lalu mama datang ke rumah dan mengatakan kepadaku dan Nenek bahwa ia ingin membesarkanku. Aku, saat itu tak bisa menahan amarahku dan langsung pergi meninggalkan ruangan tempat mama dan Nenek masih berbincang. Setelah mama pulang, Nenek menasihatiku dan memintaku untuk mempertimbangkan ajakan mamaku kembali. Aku kemudian terpaksa mengangguk. Tapi dalam hati jelas tak ingin menerima ajakan mamaku. Karena aku tak ingin meninggalkan nenek hidup sendiri.
Tes!
Aku terkejut mendapati air mataku menitik. Segera saja kuhalau air mataku yang mulai tumpah dan kukuatkan tekad hatiku. Aku telah membuat keputusan. Dan kuketikkan balasan pesanku untuk Mama.
Ya, Ma. Ketemu di kantin aja. Met malam.
Sudah. Segera setelah pesanku terkirim, kunonaktifkan handphoneku dan merebahkan badan di kasur. Aku sudah membuat keputusan. Bahwa aku akan menghadapi apapun yang akan terjadi hari jumat nanti. Satu hal yang akan kupastikan dalam keputusanku ini adalah bahwa aku tak akan menyesali apa yang sudah kuputuskan berkenaan dengan ajakan mamaku untuk hidup bersamanya.
Tiba-tiba saja kalimat Lea di telepon sebelumnya kembali terbayang di benakku.
Hari besok akan jadi hari ini. Hari ini akan jadi hari kemarin.
Mengingat kalimat ini telah membuat tekadku semakin kuat. Keputusanku untuk menghadapi apapun yang ada di hari esok  dengan berani tak akan berubah. Karena aku ingin membuat hari ini menjadi masa lalu yang indah. Jadi, kuputuskan untuk terus melangkah.
Kusentuh lagi pin kaleng yang Lea berikan kepadaku beberapa hari lalu. Kembali kubaca kalimat yang tertera di sana. Kali ini dengan tekad baru yang membara di jiwa.
Manfaatkan modal hidupmu untuk hal yg baik.
Karena modal itu gak akan kamu miliki lagi.
Aku tersenyum membaca kalimat itu. Setiap kata-katanya perlahan meresap ke hati dan pikiranku. Setelah beberapa lama, akhirnya kuletakkan pin Lea di atas meja lampu di samping kasur. Kuraih selimut hingga menutupi separuh badan dan kuucapkan sebaris doa.
“Yesus. Kumohon kasih-Mu melimpahiku dan nenek. Untuk besok dan selamanya. Amin.”
Tak lama kupejamkan kedua mataku. Dan dunia pun menggelap.

###

Diselesaikan pada,
Jum’at, 24 Januari 2014
Di Rumah Putih.



Cerpen - "Rania, Kembalinya Bri"

Oleh : Mei

Aku masih di sini. Bersama dengan Rania di sudut kantin sekolah. Tampak sekali sekitar kami sudah sepi. Yang memastikan bahwa hampir semua siswa SMA Pramudya Aksara sudah pulang ke rumah.
"Aku tak bisa, Dai."
Itu adalah ucapan Rania yang sudah dikatakannya lebih dari lima kali sepanjang kami berbincang sejak bel pulang berbunyi tadi.
Kenapa? aku membatin.
"Kenapa?" aku bertanya hati-hati.
Kuamati lagi gadis yang duduk gelisah di hadapanku ini. Tak mengerti dengan jalan pikirannya yang selalu berbelit-belit. Apa sebenarnya dasar logis yang dimiliki Rania sehingga ia menolak kedatangan cinta yang sudah lama diharapkannya?
"Aku tahu kamu sangat mencintainya, Rania. Terlampau mencintai, malah. Jadi apa alasannya kamu menolaknya? dia sudah datang untukmu!"
Hampir-hampir saja aku tak bisa menahan amarahku. Syukurlah ada angin yang berhembus melewati kami dan membuat kekesalanku sedikit berkurang..
Duh.. Rania sungguh keras kepala! umpatku dalam diam.
"Aku... Aku tak bisa, Dai.. Dan kamu tahu sebabnya kenapa."
Ah... Aku terhenyak ketika kudapati buliran kristal cair itu luruh dari kedua mata Rania.  Ia menangis...
Habis sudah keberanianku untuk mendesak Rania yang keras kepala. Aku pun menunduk memandangi es kelapa di gelas Rania yang tinggal setengahnya. Memikirkan apa yang seharusnya kuucapkan lagi agar Rania merasa lebih baik.
Rania mungkin saja benar. Dengan mengatakan bahwa aku tahu sebab dari pilihannya itu. Kenapa ia menolak kedatangan Bri dan malah memilih untuk menjauh darinya. Kukira sebabnya adalah karena Rania merasa ia tak berhak untuk memiliki kebersamaan dengan Bri..
Bri sudah memiliki Syifa. Dan Rania tak ingin merusak keharmonisan Bri dan keluarga barunya.. Dan lagi,, ada neneknya yang tinggal seorang diri di rumah mendiang ayahnya. Bagaimana mungkin Rania tega meninggalkannya sendiri? Akhirnya, Rania pun memilih menolak permintaan Bri yang mengajaknya tinggal bersama. Aku tahu, Rania mencoba untuk mengalah (lagi). tapi tetap saja...
"Dai,, aku tak apa-apa. Aku akan baik-baik saja."
Rania tersenyum lemah. Mendengarnya berkata begitu, masih tak cukup meyakinkan diriku bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Aku tahu hatinya pasti sedih sekali. Tapi apa yang bisa kulakukan lagi untuknya? aku hanya sahabat yang hanya bisa mendengarkan. Tak bisa lebih dari itu!
Akhirnya aku pasrah. Biarlah Rania dengan keputusannya itu. Hanya saja kuharap, ia bisa kembali ceria seperti Rania yang kukenal dulu.
^_^
"Rania..."
Aku terkejut ketika mendapati Bri yang tengah berjalan ke arah kami. Rania spontan menoleh ke belakang. Butuh beberapa detik untuknya sebelum ia bisa menyahut panggilan Bri kepadanya.
"Ibu..."
Bri tersenyum lembut mendengar suara Rania. Sedikit ayunan angin di jilbab putihnya membuat Bri tampak cantik sekali. Sementara di sampingnya, Syifa berjalan perlahan mengikuti Bri dan menatapku.
Aku diam. Tiba-tiba saja merasa tak pantas berada di sini. Tapi aku tak bisa ke mana-mana dikarenakan Rania tadi segera memegangku erat-erat. Akhirnya kuputuskan untuk diam saja.
"Pulanglah bersama ibu, nak. ayo."
Rania tampak akan menangis lagi. Kali itu, Bri sudah duduk di sampingnya. Tangan kirinya masih memegang tangan Syifa agar tak pergi ke mana-mana. Dan Syifa masih menatapku penasaran. Aku masih tetap memilih diam.
"Rania pulang ke rumah nenek saja, bu.. Tak apa-apa."
Bri tersenyum sebentar sebelum akhirnya kembali bicara,
"Maafkan ibu, Nia. Maafkan ibu karena sudah meninggalkanmu bersama ayah. Maafkan ibu karena lebih memilih islam dibandingkan kalian, keluarga yang juga sangat ibu cintai. ..." Bri berhenti berucap. Terlihat matanya mulai memanas dan berkaca-kaca. Lalu, lanjutnya lagi..
"Tapi... ibu tak pernah menyesal dengan keputusan ibu lima tahun lalu itu, nak.. Yang ibu sesalkan adalah ibu tak bisa membawamu serta bersama ibu. Saat itu ayah tak mengizinkan ibu untuk membawamu.. Ia tak mau kamu meninggalkan cinta kepada Yesus.. Dan ibu tak berdaya..."
Rania tak bisa menahan buliran air matanya. Ia menatap Bri dengan pandangan penuh cinta. Ia tahu pasti bagaimana kesusahan yang dialami ibunya ketika dulu memilih berpisah dari ayahnya. Ibunya jatuh cinta kepada Islam. Yang akhirnya membuat pernikahan mereka harus diakhiri. Meski mereka masih sama-sama mencintai..
"Tapi sekarang.." lanjut Bri berkata.
"Kini ayah sudah meninggal. Kamu bisa ikut dengan ibu, Nia.. Kita kembali bersama sebagai satu keluarga. Meski..." Bri melirik sekilas ke arah Syifa. Balita empat tahun itu tampak asyik melihatku. Dan ini membuatku sedikit jengah.
" ...Meski kini ibu sudah memiliki keluarga baru. Tapi ibu tetap mencintaimu, Rania.. Tinggallah dengan ibu.. ibu mohon..."
Bri pun tampak tak lagi bisa menahan airmatanya. Ibu dan anak itu saling menatap dengan tangisan di pipinya. Saling memandang. Mengharapkan satu sama lain untuk saling memiliki. Sementara aku?
Hampir saja aku menangis. Tapi tidak! Aku tak bisa menangis... Aku masih bergumul dalam haru dan kediamanku saat ini.
"Ibu..." Rania akhirnya berucap juga.
"Rania sudah memaafkan ibu. Rania mengerti dengan pilihan ibu. Rania pun sangat mencintai ibu. Tapi..." Rania diam sejenak. "...Rania harus bersama nenek. kasihan nenek. Ia hanya tinggal seorang diri."
'Hancur' mungkin adalah kata yang tepat untuk menjelaskan hati Bri saat mendengar penuturan Rania itu. Sedikit banyaknya aku tahu, Bri berharap Rania, puterinya mau ikut tinggal bersamanya dan juga mau menerima Islam seperti dirinya.. Tapi apalah daya. Rania sudah sangat keras kepala (meneguhkan hatinya) untuk mengambil pilihan ini. Saat itu,
Syifa masih menatapku penasaran. Tapi aku mengacuhkannya.
"Baiklah... Ibu mau menerima keputusanmu, nak.. Tapi ibu sangat berharap Nia kelak bisa tinggal bersama ibu."
Rania melihat mendung dan kecewa itu di mata Bri. Kami sama-sama melihatnya. Aku tahu, Rania pasti merasa sangat bersedih juga dengan keputusannya ini. Sehingga sejenak kemudian, dalam tempo yang cukup lambat, ia kembali berkata.
"Meski Nia tidak tinggal bersama ibu..." Rania terdiam lagi dan terlihat seperti meneguhkan hatinya untuk bisa melanjutkan ucapannya
"...Nia bersyukur karena Nia juga bisa jatuh cinta pada pilihan ibu lima tahun lalu."
Bri terpana. Aku juga. Syifa tampak kebingungan menatap ke ibunya dan Rania.
"Alhamdulillah..." ucap syukur Bri saat memeluk Rania.
"Alhamdulillah..." ucap Rania untuk semua kebaikan yang dialaminya di hari itu.
Aku terharu. Aku berharap bisa menangis bersama ibu dan anak itu. Mensyukuri lahirnya keimanan baru yang merengkuh kehidupan baru Rania. Merubah segalanya jadi indah pada akhirnya. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa diam.
"Kak Rania.." Suara mungil Syifa terdengar lembut. Bri dan Rania melepas pelukannya dan beralih melihat Syifa.
"Boneka beruangnya lucu. Namanya siapa? Buat Syifa ya?"
Aku beralih menatap Rania. Ia tersenyum mengangguk dan kemudian berkata dengan senyum penuh di wajahnya. Membuatku tak kuasa menahan senyumku juga..
"Namanya Dai... Dan kamu bisa memilikinya. Dai adalah sahabat yang sangat baik. Mama Britani yang kasih Dai buat kakak.."
Aku tersenyum.. Kubagi pula senyuman itu untuk ketiga orang perempuan di hadapanku. Perlahan Rania melepas pegangan tangannya dariku dan tiba-tiba saja aku sudah ada dalam pelukan tangan mungil Syifa.
Saat itu,, kurasakan bahagia yang tak ada kiranya. Dan aku tahu pasti, ini semua disebabkan oleh satu hal.
Cinta Keluarga.
^_^...

>>>sedikit quote tambahan dariku: mom's love always around u. (senyum lagi ah...)^_^.

(ini semua tentangmu, "ibu")... 
Oya, untuk draf cerpennya bisa didownload di sini, kawan! ^_^

Sabtu, 22 Februari 2014

My 15th Song - "Bersamamu"


Yuhuu!!
Apakabar kawan? Semoga selalu dalam keadaan sehat yaa.. ^.^
Berikut ini adalah salah satu laguku yang terbilang cukup singkat. Cuma sebait boo.. ^-^
Latar belakang penciptaan lagu ini adalah saat aku sedang nonton bola bersama Emak di ruang tamu. Menyenangkan rasanya melihat Emak begitu khusyu’ melihat pertandingan bola di tv. Rame! ^.^
Moment-moment seperti inilah yang membuatku sangat nyaman. Bersama Emak… di rumah…
Oke, ini dia laguku…

Bersamamu
Oleh : Mei
Bersamamu hatiku tenang
Tiada rasa untuk membenci
Meski hanya ruang yang selalu
Menghantui mimpi indahku

Dan berikut ini adalah piku not-not nada untuk lagu ke 15-ku..