# Rania, Pin Lea
Awal Oktober 2013.
Langit sudah
tampak kelabu saat kubuka jendela kamarku. Agaknya hari ini akan kembali hujan
seperti kemarin.
Terimakasih Yesus. Semoga hari ini benar-benar hujan.
Aku berharap
pelan sembari mengintip ke luar jendela kamar. Aku memang suka hujan. Dan
berharap sekali agar hari ini hujan. Karena itu berarti aku tak perlu pergi ke mana-mana
hari ini. Termasuk pergi ke rumah Lea untuk mengerjakan tugas kelompok Seni
Budaya sekaligus mengembalikan Jaket putihnya yang tertinggal di rumahku.
“sayang, ayo
turun! Sarapan dulu!” Suara Nenek Aida terdengar cukup lantang di telingaku.
Dengan bersegera
kuambil ikat rambut yang tergeletak di atas meja belajar dan melangkah keluar
kamar sembari mengikat rambutku. Butuh waktu sekitar satu menit lamanya untuk
keluar dari kamarku dan menuruni tangga menuju ruang makan, di mana nenek Aida
sudah duduk rapih dan tersenyum hangat ke arahku.
“maaf ya nek.
Rania bangunnya kesiangan. Semalem Nia susah tidur..” Ucapku cukup keras saat
kudekati meja makan. Kulihat wajah nenek dan tampak di sana ada kerutan baru
yang muncul selain beberapa kerutan keriput yang sudah lama dimilikinya.
“ada yang kamu
pikirkan, sayang?” Nenek tersenyum cemas.
Kutarik kursi
yang terbuat dari kayu jati dan kemudian duduk di atasnya menghadap nenek Aida,
seperti biasanya. Selanjutnya aku menggeleng pelan sebagai jawaban dari
pertanyaan nenek tadi sembari mencoba tersenyum sewajarnya.
“gak nek. Cuma
stress sedikit menjelang Ujian aja. Agak gugup karena tahun depan Nia udah mau
jadi kelas 2.”
Nenek Aida
tersenyum bijak sembari menaruh dua centong nasi goreng ke satu piring dan
menyerahkan piring itu kepadaku. Kuterima piring berisi nasi itu dan mengambil
kerupuk bawang di stoples kaleng berwarna merah.
“tak perlu
dipikirkan sulit-sulit, sayang. Setiap hal punya waktunya masing-masing.
Senang. Sulit. Ujian. Sakit. Sukses... Kita hanya perlu fokus sama apa yang
bisa kita hadapi saat ini. Tak usah berpikir terlalu jauh. Ok?”
Lagi-lagi ucapan
Nenek menghentakkan titik sadarku. Di usianya yang menginjak 62 tahun ini,
nenek adalah sosok terbijaksana dalam hidupku. Kata-katanya selalu saja
memberikan solusi atau menjadi motivasi. Kehidupan kami di rumah ini yang hanya
berdua saja sudah sangat cukup bagiku.
“iya nek..” aku
menjawab pelan dan melanjutkan sarapan dalam diam.
---
Selesai sarapan,
seperti biasanya aku langsung mencuci piring sementara nenek Aida kembali ke
kamarnya untuk bersiap-siap pergi kebaktian mingguan. Selesai mencuci piring
aku pun bergegas mandi dan bersiap untuk pergi juga.
“Rania, ayo
sayang! Sudah jam 9.”
Suara nenek
terdengar lantang memanggilku dari lantai bawah. Saat itu aku tengah menyisir
rambutku. Kali ini aku membiarkan rambut lurusku tergerai begitu saja menutupi
bahu. Dan poniku yang sedikit kepanjangan sengaja kujepit agar tidak mengganggu
penglihatanku. Kemudian setelah kurasa penampilanku cukup oke, kucangklongkan
tas ke bahu dan berjalan keluar kamar.
Di ruang tamu,
sudah kudapati nenek Aida dengan penampilannya yang elegan. Rok polos berwarna
biru langit dan kaus putih yang ditutupi sweater
hitam buatannya sendiri. Sebuah payung bergelayut di lengan kirinya sementara
tangan kanannya memegang tas jalannya yang berwarna biru dongker. Aku tersenyum
padanya dan memuji penampilannya.
“nenek cantik!”
Nenek Aida
tersenyum lembut dan balik memujiku.
“lebih cantik
lagi cucu nenek ini. Padahal hari ini mendung. Tapi melihat kamu yang serba
pink, membuat nenek sedikit ragu apakah hari ini pantas untuk turun hujan?”
Aku tersipu
malu. Dalam segi apapun, aku hampir selalu kalah oleh ucapan-ucapan nenek. Oleh
karenanya segera saja kuhampiri nenek
dan kuraih lengan kirinya yang sedikit bebas untuk bergegas mengajaknya
berangkat.
Di luar, langit
masih tampak kelabu. Nampaknya, harapanku tentang hujan tidak akan terjadi
tepat sesuai dengan waktu yang kuharapkan.
---
“rumah Lea di
Pondok Cabe kan, sayang?” nenek Aida bertanya.
Saat itu kami
berdua tengah menunggu angkot di halte. Kuperhatikan jumlah orang di halte
mawar saat ini tidak seramai biasanya. Mungkin karena ini adalah hari minggu.
Jadi tak banyak orang yang memilih untuk melalui waktu liburnya di luar rumah.
“iya, Nek. Deket
kampus UT. Nenek gak papa pergi kebaktian sendiri?”
“iya gak papa,
sayang. Udah kamu belajar aja. Kabari nenek ya kalau sudah sampai di sana?”
“iya, nek.”
Kemudian mataku
melihat mobil S11 menuju arah kami.
“itu dia nek!”
seruku sambil menunjuk ke arah mobil kijang berwarna merah.
“oh ya. Itu dia
mobilnya. Kalau begitu nenek pergi dulu ya, Nia. Hati-hati!”
Segera
setelahnya nenek Aida menaiki angkot S11
yang akan mengantarkannya menuju Pasar Minggu. Kemudian aku menyeberang
dan menaiki angkot yang sama yang akan mengantarkanku ke pasar jumat. Dari
pasar jumat, aku menaiki angkot kijang D.02 sampai BBS dan di sana sudah ada
Dito dengan motor Blade-nya menungguku.
Dari BBS, aku
berboncengan sepeda motor dengan Dito. Dia juga adalah seorang kawan di kelasku
dan kebetulan kami ada dalam satu kelompok untuk tugas akhir Seni dan Budaya
yang akan kami kerjakan bersama di rumah Lea hari ini. Dito adalah seorang yang
cukup pendiam. Alhasil sepanjang perjalanan kami menuju rumah Lea, kami tak
berbincang panjang.
---
Sesampai di
rumah Lea, gerimis segera turun bak menyambut kedatangan aku dan Dito. Dito sedang
memarkir motornya di halaman depan ketika kutekan bel rumah Lea. Tak sampai
satu menit, Lea sudah muncul dalam kerudung praktisnya yang berwarna pink dan
tersenyum hangat menyambut kami.
“hai! Ayo masuk!
Dito, motornya agak ke terasin aja. Khawatir hujannya deras, sering sawer. Yuk,
Nia!” ucap Lea cukup cepat.
“oh, iya Lea!
Ini jaket kamu yang ketinggalan kemarin di rumahku”
Kuserahkan paper bag yang berisi jaket Lea
kepadanya. Ia berterima kasih dan menerima paper
bag dari tanganku dan kemudian menarik tanganku memasuki rumah. Tak lama
Dito mengikuti kami di belakang. Lea menuntun kami melewati ruang tamu dan
memasuki kedalaman rumahnya hingga akhirnya kami tiba di sebuah ruangan
seukuran 6 x 6 meter yang berisi dua rak. Satu rak besar berisi buku-buku dan
satu rak kecil berisi susunan kain-kain berwarna warni. Entah kain apa, aku tak
tahu. Aku tak sempat menanyakannya kepada Lea karena perhatianku sudah terkunci
pada pemandangan menakjubkan di luar ruangan ini.
Melewati dinding
kaca yang membatasi ruangan ini dengan
area belakang rumah, tampak gerimis di awal tadi mulai menderas dan tetesan
airnya membasahi area taman bunga Mawar.
“cantik ya?”
suara Lea telah membuyarkan anganku yang sesaat tadi sempat teringat pada satu
kenangan lama tentang mamaku.
“ehm!” Aku tersenyum kepadanya dan mengangguk.
Selama hampir
semenit aku dan Lea larut dalam keheningan ketika menikmati pemandangan di
hadapan kami. Samar, terdengar pula suara adzan di kejauhan.
“Lea, ikut
shalat ya.”
Aku dan Lea
menoleh ke sumber suara. Di belakang kami Dito sedang menggulung celana panjangnya.
Aku mengalihkan pandanganku dan kembali menikmati pemandangan tetesan air di
kelopak mawar.
“iya. Jamaahan
yuk. Kamar mandinya udah tahu kan, Dit?” jawab Lea.
“iya.”
Samar-samar
terdengar olehku langkah kaki Dito menginjak lantai biru muda di ruangan ini
dan akhirnya menghilang ke luar ruangan.
“Nia makan
cake-nya dulu aja. Lea yang bikin lho! Kita shalat dulu ya. Gak papa kan Nia?”
tanya Lea perlahan padaku.
Aku mengangguk
sebelum akhirnya berkata,
“iya gak papa.
Makasih ya..”
Dan kemudian Lea
ikut menghilang ke luar ruangan. Kemudian aku teringat untuk mengirim pesan
singkat ke nenekku dan mengabarinya bahwa aku sudah sampai di rumah Lea.
Setelah pesanku terkirim, aku kembali menikmati panorama mawar, hujan, dan
dengungan suara adzan yang saling bersahutan di kejauhan.
---
“Assalamu’alaikum
warahmatullaah... Assalamu’alaikum warahmatullaah..”
Suara salam
milik Dito mengakhiri prosesi shalat Dito dan Lea. Dari posisi dudukku saat
ini, aku melirik sebentar ke arah Lea. Aku tersenyum malu. Beberapa menit yang
lalu aku baru mengetahui kain apa sebenarnya yang tersusun rapih di lemari
kecil di ruangan ini. Ternyata itu adalah mukenah. Pakaian shalat untuk wanita
muslimah.
Ketika Lea
melipat kembali mukenah yang dipakainya, ia melihat senyumanku.
“kenapa Nia?”
tanya Lea.
“ooh.. gak papa
Lea. Kamu cantik dengan mukena krem itu.” Elakku halus.
Lea tersenyum
dan kemudian menghampiriku. Dito yang selesai berdoa dan melipat sajadah pun
turut menghampiri.
“maaf.. kalo
boleh tahu, kamu kristen katolik atau protestan, Nia?” lamat-lamat Lea
bertanya. Dito ikut mendengarkan. Aku menjawab dengan jawaban protokol seperti
puluhan jawaban sama yang pernah kukatakan kepada orang-orang yang penasaran
dengan keyakinan agamaku.
“katolik”
jawabku dengan senyum simpul.
“oo.. hmm.. eh,
ya! kita makan siang dulu aja yuk! Udah jam setengah satu nih.” Ajak Lea
tiba-tiba dengan penuh semangat.
Aku berpandangan
mata sebentar dengan Dito. Melihatnya mengangguk, aku pun ikut mengangguk. Maka
setelahnya kami pun makan siang bersama. Kami hanya bertiga. Karena saat itu
orang tua Lea sedang menghadiri undangan pernikahan rekan bisnis papanya.
Usai makan, kami
kembali menuju ruangan semula dan mulai mengerjakan tugas Seni Budaya kami.
Butuh waktu hingga jam empat sore sampai tugas kami bisa selesai. Saat itu
hujan masih turun cukup deras. Sehingga membuat aku dan Dito harus menunda
kepulangan kami. Alhasil, Dito memilih untuk mengambil sebuah buku di lemari
besar di ruangan ini dan membacanya. Kubaca sekilas judulnya, The Whole Brain Solution. Nampak bagiku
itu adalah bacaan yang cukup berat. Dilihat dari judul, ukuran serta ketebalan
buku itu yang mungkin cukup memberikan efek sakit bila dijadikan sebagai alat
lempar. Sementara Lea mengundangku untuk memasuki kamar tidurnya.
---
Kamar tidur Lea
tak jauh beda seperti yang sudah kuduga.
Ornamen serta
segala pernak-pernik kamar yang berwarna biru mendominasi ruangan berukuran 4 x
4 meter ini. Kamar Lea sama seperti kamar perempuan pada umumnya. Rapih. Wangi.
Dan berisi sebuah tempat tidur ukuran sedang, lemari pakaian berwarna putih,
serta sebuah meja belajar.
Di detik pertama
langkahku memasuki kamar Lea itu, aku sudah langsung merasa nyaman.
“kamar kamu
rapih banget, Lea. Jauh lebih rapih dari kamarku.” Pujiku padanya.
Lea hanya
tersenyum biasa dan merebahkan tubuhnya di kasur. Tangan kanannya berayun
pelan, mengajakku serta untuk ikut merebahkan badan. Dan aku menurut pada
ajakannya.
“aku hiasin kamar ini berdua dengan mamaku,
lho. Mamaku seneng banget dekor kamar. Dia terobsesi sama segala
hal yang warnanya biru,”
“dan kutebak
obsesi itu turun ke kamu juga?” ucapku memotong cerita Lea. Ia tersenyum lepas
dan kemudian kembali melanjutkan ceritanya.
“yah. Gitu deh.
Aku ikutan jadi biruholic. Hehehe..
oya, gimana dengan mamamu, Nia?” pertanyaan Lea yang tiba-tiba itu membuatku
sempat terhenyak. Tiba-tiba pula aku merasa ada sebongkah batu besar yang
dijejalkan ke tenggorokanku dan membuat dadaku sesak tak jelas. Sedikit ragu
kubiarkan muncul dalam jawabanku.
“mm.. mamaku
udah pergi.”
Aku memandang
langit kamar Lea yang biru ketika kurasa
ia melihat wajahku. Ada kegetiran mungkin yang bisa diihatnya di wajahku hingga
sedetik kemudian ia meminta maaf.
“maaf..”
“gak papa. Udah
lama juga kok kejadiannya. Lima tahun lalu mungkin. Lagian sekarang aku udah
seneng kok tinggal sama nenekku. Tiga tahun lalu aku masih tinggal berdua sama mendiang
ayahku dan di masa-masa itu rasanya memang sulit banget tuk relain kepergian
mama..” jelasku cukup panjang.
Pembicaraan kami
sempat terhenti sebentar. Lea nampak berhati-hati untuk berkata lagi. Agaknya
ia tak ingin membuatku mengingat hal yang tak menyenangkan. Ini membuatku cukup
senang. Tapi aku tak ingin membuat Lea bersusah payah membuatku nyaman. Oleh
karenanya aku kembali bicara.
“menyesali dan
membenci perpisahan gak akan membawa kita pada kebaikan. Itu yang nenekku
ajarkan.” Aku berhenti sejenak.
“menangis dan
meratap lama-lama pun gak ada gunanya. Malah Cuma bikin mataku jadi bengkak
parah. Dan aku udah pernah ngalamin itu. Sumpah deh, Lea! Aku gak mau lagi
bengkakin mataku!” mendengar candaanku ini Lea tertawa pelan. Aku lega sudah
membuat suasana pembicaraan kami jadi tidak intens lagi.
“berarti Nia
kuat ya!” Lea memujiku.
Untuk kali ini
aku beranikan diri untuk menoleh dan menatap lurus mata Lea saat berkata,
“bukan aku yang
kuat. Yang kuat adalah nenekku dan orang-orang di sekitarku. Keberadaan mereka
adalah sumber kekuatanku. Tanpa mereka, aku mungkin gak akan setegar ini. Trust me!”
Lea tersenyum
mendengar penuturanku. Aku kembali melihat langit putih kamarnya. Tiba-tiba
saja aku teringat tentang suatu hal.
“ngomong-ngomong,
Dito gak papa kita tinggalin sendiri di luar?”
“ah.. biarin
aja, Nia. Justru Dito seneng kalo gak ada yang gangguin dia pas lagi baca buku.”
Kulihat Lea
tampak tersenyum jahil. Mau tak mau aku ikut tersenyum sepertinya. Selanjutnya
benakku membuat asumsi baru.
“sepertinya kamu
dan Dito akrab ya, Lea? ehh, maaf. Kalo asumsiku ini menyinggungmu.”
“hahaha. Take it easy, Nia. Udah banyak kok yang
comblangin aku dan Dito. Aku sih fine-fine
aja. Mereka gak tahu aja kalo kami tuh punya hubungan paman dan keponakan.”
Aku terkejut.
Dan Lea melihat keterkejutanku ini. Tanpa kuminta, di detik berikutnya Lea
menjelaskan hubungannya dengan Dito kepadaku.
“kaget kan?
Jadi, Dito itu adik tiri paling bungsu dari mamaku. Yah. Itu berarti, Dito itu
pamanku! Sulit dipercaya bukan?”
Lea terlihat
puas sekali setelah melihat keterkejutan masih bercokol di wajahku. Tapi
ekspresi kepuasan itu tak bertahan lama di wajahnya, ketika terdengar suara
Dito yang memanggil dari luar.
“Lea, hujannya reda.
Nia mau pulang bareng gak?”
Bergegas kami
berdua bangkit berdiri. Lea membenarkan kembali kerudungnya sambil bertanya
kepadaku.
“pulang
sekarang, Nia?”
Aku mengangguk. Selanjutnya
kami melangkah keluar kamar. Kulihat
Dito sudah siap dengan ranselnya. Ketika aku sedang mengenakan tas cangklongku,
Dito bicara.
“bahan madingnya
kamu aja yang bawa ya, Le. Inget. Hari Senin. Jangan lupa.”
“iyaa, bos! Btw, namaku tuh Lea Filintani. Bukan ‘Le’. Kebiasaan deh suka panggil orang
seenaknya sendiri. Huh.”
Kulirik Dito
yang tampak tak terganggu dengan protesnya Lea. Justeru ia malah kembali meledeknya.
“lagian punya
nama kok aneh bener. Filintani. Apaan tuh!”
Kali ini, Lea
tak lagi menjawab ledekan Dito. Dengan cemberut, Lea menarik lenganku ke luar
rumah sambil sedikit berteriak.
“Niaaa.. yuk
kita keluar duluan. Biarin aja uncle
Toto ngomong sendirian. Eh, yang kita obrolin di kamar tadi tuh boleh kamu
sebarin deh. Gak usah dirahasiain.”
Setengah
bingung, aku melangkah keluar rumah. Aku tak tahu apa yang dimaksud oleh Lea
tentang obrolan rahasia. Tapi jelas, aku cukup terkejut ketika mendengar Lea
menyebut Dito dengan panggilan ‘uncle
Toto’.
Aku berusaha
cukup keras untuk tidak tertawa ketika kulihat wajah Dito memerah. Entah karena
malu ataukah marah. Yang jelas setelah kami bertiga sudah ada di teras,
kusaksikan Dito memelototi Lea dengan garang. Sementara yang dipelototi malah
mengerucutkan bibirnya sebagai pertanda balas menantang. Lagi-lagi aku cukup
terkejut. Aku terkejut karena sejauh ini aku mengenal Dito sebagai kawan
kelasku yang jarang menampakkan ekspresi. Nampaknya kedatanganku ke rumah Lea hari
ini telah memberiku kesempatan untuk mengenal lebih dekat tentang kawan-kawan
kelasku ini.
Wajah Dito masih
cukup merah ketika ia memberikan helm kepadaku. Sementara itu Lea nampak puas
sekali menggoda paman mudanya ini. Lea tersenyum lebar sekali kepadaku sambil
melambaikan tangannya dengan semangat berlebih. Di suatu waktu ketika Dito baru
menstarter motornya, Lea menatapku dan mengerling ke arah Dito. Kali itu aku
hampir saja ikut tertawa jika saja Dito tidak menggas motornya dengan deruman
yang kelewat berlebih. Nampak sekali ia menunjukkan kekesalannya pada Lea.
“Hati-hati ya
Bang Dito.. maaaf. Lea Cuma becanda doang, Bang. Bonceng Nia-nya pelan-pelan
aja yaa.. Sampai jumpa hari senin, Niaa!” teriak Lea mengantarkan kepergianku
dan Dito.
Perjalanan
pulangku ternyata cukup rikuh juga. Sepanjang jalan Dito sama sekali tak
mengucapkan apapun. Bahkan hingga Dito menurunkanku di Pasar Jumat dan
menungguku naik angkot ke arah Pasar Minggu pun, kami tetap berdiam diri. Aku
pribadi sebenarnya juga lebih memilih untuk tak bicara. Tapi dalam hati aku membuat
janji pada diriku sendiri. Bahwa malam nanti aku akan menelpon Lea agar ia
meminta maaf pada Dito. Ya. Begitulah janjiku.
Sekitar jam tujuh
kurang aku tiba di rumah. Saat itu Nenek Aida sedang berbincang dengan Bu
Ratih, tetangga sebelah rumah kami. Aku menyapa singkat keduanya dan kemudian
bersegera menuju kamarku. Butuh waktu sekitar lima belas menit untukku mandi
dan merapihkan diri dan akhirnya bisa merebahkan badanku ke atas kasur.
Kemudian aku teringat pada janjiku untuk menelpon Lea. Alhasil kuraih tas
cangklongku dan kurogohkan tanganku ke dalamnya. Setelah tanganku mendapatkan
handphoneku, kutariklah benda itu keluar. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh
gemericik suara benda yang terjatuh.
“Krincing..cing..cing..cing.cing..”
Kuambil apa yang
barusan menimbulkan suara gemerincing itu dari lantai dan kuamati.
Oh.. pin dari Lea.
Pin yang tadi
terjatuh itu seukuran bulatan dua jari telunjuk dan ibu jari yang disatukan.
Pin itu terbuat dari kaleng bekas. Di bagian depannya terdapat tulisan mini
bertuliskan,
Manfaatkan modal hidupmu untuk hal yg baik.
Karena modal itu gak akan kamu miliki lagi.
Pin itu adalah
salah satu karya tangan Lea dalam acara keputrian di sekolah. Aku ingat
menerima pin itu darinya tiga hari yang lalu ketika Lea berkunjung ke rumahku
untuk meminjam buku Geografi. Saat itu ketika hendak pamit Lea memberikan pin
itu kepadaku sambil berkata,
“Nia coba tebak. Apa itu modal hidup kita yang gak
akan bisa kita miliki lagi? Kalo kamu bisa jawab, nanti kukasih hot-hot pop
deh”
Aku yang saat
itu tak terlalu serius ingin menjawab pertanyaan Lea akhirnya malah mencandai
pertanyaannya. Meski begitu, ekspresi Lea saat itu membuatku cukup terkesan.
Karena Lea menampakkan wajah seriusnya. Sebelum benar-benar pamit, Lea kembali
memintaku untuk mencari jawaban dari pertanyaannya itu.
Selama dua hari
ini aku sudah mencari jawaban dari apa yang ditanyakan Lea itu kepadaku. Aku
sudah menanyakannya kepada nenek Aida. Juga ke beberapa orang yang kupikir
tahu. Sayangnya aku belum menemukannya. Tapi kemudian tiba-tiba saja aku
teringat beberapa hal yang terjadi di rumah Lea pada hari ini. Dan ingatan
itulah yang memberiku ilham tentang jawaban dari pertanyaan Lea terkait
kata-kata dalam pin itu. Maka segera saja, kuraih handphone yang tadi
kuletakkan di atas kasur dan ku-dial
nomor kontak Lea. Setelah kulewati tiga dering, terdengar suara Lea dari lubang
speaker handphoneku.
“malem, Nia..
udah sampe rumah ya? Ada apa, Ya?”
Sebelum menjawab
sapaan Lea, bibirku telah menarik senyuman tipis tanpa kuminta.
“malem juga,
Lea. Iya. Aku udah sampe rumah.” Selama sekitar dua detik aku terdiam dan
teringat pada hal lain. Dan kemudian aku kembali bicara.
“Lea, sepanjang
jalan tadi Dito diem aja. Aku harap, kamu minta maaf secepatnya ke Dito, oke?”
“hahaha.. gitu
ya? Maaf ya, Nia. Tenang aja. Barusan sebelum kamu telpon Dito udah telpon
duluan. Lea udah minta maaf juga kok. Jadi calm
down, oke?”
Aku
menghembuskan nafas lega. Kemudian aku lanjut bicara.
“syukurlah kalau
begitu. Oya, Lea. Aku udah dapet jawaban untuk pertanyaan dari Pin yang kamu
kasih tiga hari lalu.”
“oh ya? Apa
jawabannya, Nia?” kudengar suara Lea cukup antusias untuk mendengar ucapanku
berikutnya.
“jadi, modal
hidup yang gak akan bisa kita miliki lagi itu adalah.... waktu. Gimana?”
Selama hampir
lima detik lamanya orang di seberang telepon tak menyahut. Tapi kemudian aku
sedikit dikejutkan oleh desahan Lea.
“haaahh..
kayaknya Lea mesti siapin cha-cha nih. Nia bener. Jawabannya emang waktu.” Aku
tersenyum merasa puas.
“eh, kok bisa
dapet jawabannya sih? Nia dapet ilham dari mana?”
“ahh.. gak dari
siapa-siapa juga kok. Aku tiba-tiba aja inget sama kegiatan kita hari ini.”
Aku sengaja
menunggu Lea mengucapkan sesuatu.
“kok bisa?”
“jadi, aku inget
sama apa aja yang kita lakukan hari ini. Kamu mungkin gak sadar, kalau hari ini
adalah pertama kalinya aku main ke rumah kamu. Juga pertama kalinya aku masuk
ke kamar kamu. Tadi juga aku pertama kalinya tahu tentang rahasia hubungan kamu
dan Dito. Juga pertama kalinya aku lihat Dito bisa ekspresif. Mengingat semua
kejadian itu telah membuatku sadar, Lea. Bahwa semua pengalaman pertamaku dalam
banyak kejadian di hari ini gak akan bisa kumiliki lagi. Aku hanya berkemungkinan
untuk memiliki pengalaman ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Tapi tidak untuk
yang pertama lagi. Karena waktu gak akan bisa diulang lagi. Gitu deh.”
“hahaha.. iya.
Kamu bener, Nia. Waktu gak akan bisa kita ulang lagi. Mau hal baik atau hal
buruk yang udah kita lakuin dalam mengisi waktu, kita akan terus melangkah maju
dan ninggalin masa lalu. Hari besok akan jadi hari ini. Hari ini akan jadi hari
kemarin. Itulah modal penting dalam hidup kita yang gak akan bisa kita miliki
lagi.”
“iya, Lea..”
Sejenak aku dan
Lea menikmati waktu dalam keheningan. Kami hanyut dalam pikiran kami
masing-masing berkenaan dengan apa yang kami perbincangkan. Tentang waktu. Tapi
tak lama. Karena kemudian aku diingatkan oleh bunyi pesan masuk ke
handphone-ku.
“ehh. Bunyi
apaan tuh tadi? Pulsanya mau habis ya non?”
Aku tersenyum
mendengar candaan Lea.
“ada pesan
masuk, nih. Oke deh. Kalo gitu kita jumpa di hari senin ya. Tolong bawa bahan
madingnya ya, Lea. Sama.... cha-cha-nya juga, Oke?”
“hahaha.. oke
boss.. see you, Nia!”
“See yaa.”
Hubungan telepon
pun berakhir ketika jam di dindingku menunjukkan pukul setengah delapan.
Kemudian kubuka inbox di handphone. Memang benar ada pesan masuk. Kubaca,
From: Mom
Britani
Time: 19:27 pm.
04 October 2013
Rania
sayang, mama harap Qt bisa bertemu hari Jumat nanti. Kalo Nia mau, mama akan
jemput Nia sepulang sekolah. Gmn sayang?
Butuh beberapa menit
untukku menenangkan diri usai membaca pesan singkat di handphoneku itu. Bukan
isinya yang membuat jantungku berdegup tak tenang. Melainkan nama
pengirimnyalah yang membuatku mesti membaca pesan itu sampai dua kali.
Mama..
Menyebut nama
itu dalam hati saja sudah membuatku ingin menangis. Memang sudah lima tahun
lebih Mama pergi dari rumah ini. Kepergiannya yang mendadak di suatu malam telah menciptakan kehilangan
besar bagi ayah dan juga aku. Mama pergi setelah mengakui bahwa ia telah
berpindah agama menjadi seorang muslimah. Dan Papa tak menerima keputusan itu.
Akhirnya perpisahan pun menjadi pilihan kedua insan yang sebenarnya sangat
saling mencintai itu. Aku, saat itu hanya bisa menangis.
Dan kemudian,
beberapa hari yang lalu mama datang ke rumah dan mengatakan kepadaku dan Nenek
bahwa ia ingin membesarkanku. Aku, saat itu tak bisa menahan amarahku dan
langsung pergi meninggalkan ruangan tempat mama dan Nenek masih berbincang.
Setelah mama pulang, Nenek menasihatiku dan memintaku untuk mempertimbangkan
ajakan mamaku kembali. Aku kemudian terpaksa mengangguk. Tapi dalam hati jelas
tak ingin menerima ajakan mamaku. Karena aku tak ingin meninggalkan nenek hidup
sendiri.
Tes!
Aku terkejut
mendapati air mataku menitik. Segera saja kuhalau air mataku yang mulai tumpah
dan kukuatkan tekad hatiku. Aku telah membuat keputusan. Dan kuketikkan balasan
pesanku untuk Mama.
Ya, Ma. Ketemu di kantin aja. Met malam.
Sudah. Segera
setelah pesanku terkirim, kunonaktifkan handphoneku dan merebahkan badan di
kasur. Aku sudah membuat keputusan. Bahwa aku akan menghadapi apapun yang akan
terjadi hari jumat nanti. Satu hal yang akan kupastikan dalam keputusanku ini
adalah bahwa aku tak akan menyesali apa yang sudah kuputuskan berkenaan dengan
ajakan mamaku untuk hidup bersamanya.
Tiba-tiba saja kalimat
Lea di telepon sebelumnya kembali terbayang di benakku.
Hari besok akan jadi hari ini. Hari ini akan jadi
hari kemarin.
Mengingat
kalimat ini telah membuat tekadku semakin kuat. Keputusanku untuk menghadapi
apapun yang ada di hari esok dengan
berani tak akan berubah. Karena aku ingin membuat hari ini menjadi masa lalu
yang indah. Jadi, kuputuskan untuk terus melangkah.
Kusentuh lagi
pin kaleng yang Lea berikan kepadaku beberapa hari lalu. Kembali kubaca kalimat
yang tertera di sana. Kali ini dengan tekad baru yang membara di jiwa.
Manfaatkan modal hidupmu untuk hal yg baik.
Karena modal itu gak akan kamu miliki lagi.
Aku tersenyum
membaca kalimat itu. Setiap kata-katanya perlahan meresap ke hati dan
pikiranku. Setelah beberapa lama, akhirnya kuletakkan pin Lea di atas meja
lampu di samping kasur. Kuraih selimut hingga menutupi separuh badan dan
kuucapkan sebaris doa.
“Yesus. Kumohon
kasih-Mu melimpahiku dan nenek. Untuk besok dan selamanya. Amin.”
Tak lama
kupejamkan kedua mataku. Dan dunia pun menggelap.
###
Diselesaikan pada,
Jum’at, 24 Januari 2014
Di Rumah Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar