Minggu, 20 Juli 2014

Tentang Sekitar



22 Ramadhan 1435 H.
Ahad, dalam pelukan malam.
Singkat saja. ± sudah ada 350 orang yang menjadi korban kebrutalan serangan udara yang diluncurkan oleh militer Israil ke wilayah Gaza, Palestina. Semua korban itu merupakan warga sipil kota Gaza, di mana mayoritas di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Sementara itu, di pihak Israel sendiri ada 3 orang warga sipil yang menjadi korban rudal Hamas, penguasa wilayah Gaza.
Pertanyaanku: Perlu berapa korban jiwa lagi yang harus tumpah, agar Netanyahu (PM. Israil) merasa muak dengan peperangan?
Terkait MH-17. Dari 298 orang korban jatuhnya pesawat Malaysia di Donetsk, Ukraina, 17 Juli lalu, 12 orang di antaranya diketahui berkewarganegaraan Indonesia (WNI, Warga Negara Indonesia). Meski tiga hari telah berlalu, belum ada pengevakuasian jenazah yang dilakukan oleh pihak mana pun. Bahkan yang lebih miris lagi, dikabarkan bahwa ada sekitar 38 jasad yang telah dipindahkan dari TKP oleh para pemberontak UK (Ukraina)-pro Rusia entah ke mana.
            Pertanyaanku: jasad-jasad sebanyak itu mau diapain ya? Kenapa gak langsung dikasih ke pemerintah setempat?
Tentang Hafiz Indonesia. Hari ini Syaikh Rasyid (7th) tereliminasi dari ajang Hafiz Indonesia yang diselenggarakan oleh salah satu televisi swasta selama bulan Ramadhan ini. Rasyid berada di posisi dua terbawah bersama Abiw (5th), hafiz asal Ciamis. Hari ini Abiw memang sedang flue-batuk, karenanya kurang bisa menampilkan performa terbaiknya, seperti biasanya. Tapi ternyata Abiw-lah yang berhasil lolos dan masuk ke lima besar Hafiz Indonesia 2014. Bersama Fu’adi (7th), Denissa (5th), Aza (7th), serta jagoanku-Musa (5,5th), Abiw kembali belajar di sanggar Hafiz Indonesia. Hebat! Semua anak-anak ini sungguh hebat! ^_^
            Komentarku: semoga kelak, aku pun bisa turut menjadi penjaga al Qur’an, sama seperti para hafiz cilik itu. Karena aku pun ingin disambut sebagai keluarganya Allah kelak, di yaumil akhir nanti. Amin.
Tentang Dimas. Sepupuku yang belum lama ini menggenapkan usianya di angka 3th ini sungguh menggemaskan. Tapi akhir-akhir ini aku mendapati adanya perubahan dalam kepribadiannya. Dari mulanya Bengal, menjadi lebih mau mendengarkan. Aku juga dibuatnya kagum dengan tindakan anehnya beberapa hari ini. Tindakan apakah?...
            Jadi, akhir-akhir ini Dimas seringkali membuka pintu kamarku, menyingkap tirai yang membuka ke dalam kamar warung, lalu (dengan masih berdiri di dekat pintu) ia melongok ke dalam warung. Jelas-jelas Dimas sudah tahu bahwa di warung sedang tak ada orang. Tapi Dimas selalu melakukan tindakan aneh itu beberapa kali dalam setiap kesempatannya. Diam-diam aku paham sendiri dengan tindakan aneh Dimas itu. Setelah kulihat ekspresi aneh yang sekilas muncul di wajah Dimas usai melakukan tindakan aneh itu. Dan kukira, penyebabnya, tak perlu lah kutuliskan di sini. Kucatat dalam hati saja, tak apa-apa ya.. ^_^
Tentang Aceh. Kemarin, Bill Clinton (mantan presiden AS, Amerika Serikat) berkunjung ke Bireun, Aceh Besar. Agendanya sih untuk melihat perkembangan Aceh setelah mengalami tragedi Tsunami pada bulan Desember, 10 tahun yang lalu.
Komentarku: Kedatangan Bapak Bill ini atas nama siapa ya? a/n negaranya-kah? Atau mungkin kunjungan pribadi? Hmm… Cuma pingin tahu saja. ^.^
Tentang Sam Bimbo. Aku gak kenal dan gak begitu inget sama profil beliau. Tapi hari ini (dan juga kemarin) aku sering senandungin salah satu lagu religi miliknya. Itu loh… yang liriknya begini: “bermata tapi tak melihat… bertelinga tapi tak mendengar…” dst. Lagunya bagus. Aku suka. ^_^.
Tentangku. Hari ini aku mengalami pengalaman baru. Apa itu? Ke salon, buu.. ^_^. Herdi narikin aku tuk pergi ke Salon. Alhamdulillah ada salon yang baru dibuka di dekat rumah. Punya Bu Haji Om. Jadi, di-facial deh aku. Makasih ya Die.. ^_^
Komentarku: Gak tahu apa akunya yang sensitif, tapi beneran! Di=facial tuh rasanya geli banget. Hahaha.
Tentang ending tulisan ini. Sudah dulu ya. Insya Allah akan ada kesempatan untuk bercerita lagi.
Komentarku: See Yaa! ^_^.

Senin, 14 Juli 2014

"Ia" adalah...

7 Desember 2006. Perjumpaan pertamaku dengan ia di rumah, pada suatu sore yang cerah. Ia datang bersama seorang sahabatku, Sho. Berdua, mereka memberikanku sebuah hadiah untuk usia 16-ku. Sebuah Kumcer (kumpulan Cerpen) dengan judul ’17 Tahun’. Sedikit berguyon, kugoda mereka.
“umur mei kan baru 16. Kok dikasih buku yang judulnya 17 tahun sih?”
Sho dan ia tersenyum menanggapi guyonanku. Dalam hati, kudo’akan kebaikan yang lebih baik untuk mereka. Sho dan Ia. Amin.
24 Februari 2007. Ia mengirim pesan singkat aneh yang berisi kata-kata, “mei… te amor”. Aku tak mengerti makna pesan singkat itu. Dan, oleh karena saat itu pun aku tak memiliki pulsa, akhirnya aku hanya mengingatkan diri sendiri untuk menanyakan maksud pesannya itu, kelak. Segera setelah kuisi pulsaku. Sayang disayang, ingatanku itu terlalu lemah dan harus mengalah pada khilaf dan lupa.
Pertengahan April 2007. Kunjungan pertamaku ke rumahnya. Ini sangat berkesan. Karena selain teduh, rumahnya juga dihiasi oleh taman yang cantik. Keterpanaanku pada taman di rumahnya telah membuatku lupa pada fakta bahwa itu juga merupakan kali pertama kunjunganku ke rumah seorang pria.
11 Nopember 2007. Ia memberiku sebuah frame foto cantik berwarna pink sebagai hadiah usia 17 tahunku. Aku menyukai pemberiannya itu. Sama sukanya dengan boneka lumba-lumba berwarna pink, pemberian Sho. Juga sama sukanya dengan kejutan siram yang direncanakan oleh Vio, seorang karib di SMA. Kukatakan kepadanya ucapan haruku atas pemberiannya. Dan ia tersenyum malu-malu. Saat itu, aku merahasiakan darinya, bahwa aku senang melihat senyum malu-malunya itu.
02 Juli 2008. Kami dalam suatu rombongan berangkat bersama untuk pendaftaran tes masuk suatu perguruan tinggi negeri di Ciputat. Saat itu, benakku sedang teralihkan dengan kehadiran pria lain. Entah kenapa aku yakin bahwa ia mengetahui rona hati yang kutujukan pada pria lain (meski aku sendiri tak sadar dengan rona hatiku sendiri). Tapi entahlah. Yang jelas, mulai sejak itulah kurasakan perubahan sikapnya terhadapku. Ia tak lagi murah senyum ketika melihatku. Aku tak lagi mendapatkan pandangan malu-malu di matanya yang bening. Sayang, aku tak terlalu memperhatikan perubahan itu.
28 September 2008. Hari pertama puasa. Kembali pula kunjunganku ke rumahnya bersama Sho, untuk ke sekian kalinya. Saat itu, kami sudah tahu bahwa hanya aku yang berhasil masuk ke perguruan tinggi yang kami tuju. Sho kemudian memilih perguruan tinggi lain. Dan ia, ia memilih untuk di rumah dahulu. Tak ada yang berubah dari hubungan kami bertiga. Kecuali saat itu aku mulai menyadari ada yang berbeda dari senyumannya. Tapi bukan oleh alasan karena ketidaklulusannya di perguruan tinggi tempatku lulus, melainkan entah karena apa.
Pertengahan Februari 2009. Aku kembali berkunjung ke rumahnya. Bersama Sho tentunya. Tapi, aku semakin yakin bahwa senyumannya telah berubah. Meski aku masih tetap belum menyadari apa penyebabnya.
20 Januari 2010. Ada sms masuk darinya ke inbox, saat aku masih di perjalanan pulang dari mengajar les di Cipete. Isinya tanya kabar. Maka jadilah akhirnya sepanjang perjalanan pulang itu kami ber-sms-an. Sangat akrab!
Awal Mei 2010 yang melelahkan. Aku baru pulang dari perkuliahan sore. Dengan santai kukirim sebuah sms padanya. Menanyakan arti ‘te amor’ yang baru kuingat dulu pernah dikirimkannya padaku. Kenapa aku ingat? Karena kebetulan saja ada seorang teman yang mendapatkan surat berisi kata-kata serupa. Dan temanku itu menanyakannya kepadaku. Sms balasannya muncul, tapi di dalamnya ia tak langsung membalas pertanyaanku. Ia malah bertanya,
‘emang kenapa, Mei?’
Kuberitahu saja padanya bahwa ada temanku yang menanyakannya. Tapi lagi-lagi ia tak langsung membalas pertanyaanku. Ia malah kembali bertanya.
‘knp baru skrg nanyany? Knp g dr dulu?’
Kembali kuberitahu ia bahwa dulu, saat ia mengirimiku sms ‘te amor’ itu, aku sedang tak ada pulsa dan kemudian malah terlanjur lupa untuk menanyakan artinya saat aku mempunyai pulsa. Ia kemudian membalas lagi.
‘coba cri za di google.. ok! Dah.. ^o^’
Ugh.. aku sebal. Ku sms saja ia seperti ini,
‘knp g mw ngsih tw c?! mang dah lupa y arti’y apa?’
Ia tak membalas. Maka kubiarkan saja kemauannya itu. Aku langsung searching di google melaui handphone-ku. Dan ternyata, barulah kuketahui arti kalimat ‘te amor’ itu. Bahwa artinya adalah,
‘aku cinta padamu’
DEG. Aku kaget. Megap-megap kugapai udara di sekitarku. Agak terkejut mengetahui arti kalimat itu, pikiranku malah berkelana dan mengantarkanku pada satu kesimpulan yang membuatku merasa bersalah. Tapi kemudian kerasionalan pikiranku kembali menyadarkanku pada keadaan. Dan aku disuruhnya untuk mengkonfirmasikan kebenaran arti kalimat ‘te amor’ itu, dengan menanyakannya kepada ia. Maka kemudian kususunlah kata-kata untuknya.
‘hei.. te amor tu artinya ‘aku cinta padamu’ y? bener g c? dan.., klo mang tu arti’y, wakt dlu… serius g ngirim’y?’
Aku menunggu balasan pesannya. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Belum ada pesan darinya yang masuk ke inbox-ku. Sepuluh menit. Setengah jam. Akhirnya aku mulai merasa geram. Aku pun sampai pada satu kesimpulan bahwa ia tak akan membalas pesanku karena ia tak ingin membalasnya. Kenapa aku tidak berpikir bahwa ia mungkin memiliki udzur yang membuatnya tak bisa membalas pesanku? Karena aku tahu, ia sedang tak ada udzur pekerjaan untuk tidak membalas sms-ku saat itu. Akhirnya, aku segera bangkit dan memilih untuk melanjutkan aktivitas sore. Aku juga memilih untuk percaya pada alasan lemah pikiranku bahwa ia mungkin memang sedang tak bisa membalas pesanku sore itu. Jadi aku akan menunggu balasan sms-nya. Mungkin nanti malam atau besok pagi sms darinya baru akan datang.
Sayang. Hinggo esok hari menjelang malam, aku tak mendapat balasan sms darinya. Akhirnya dengan pahit aku menerima kesimpulan awal yang sempat terbetik di pikiranku. Bahwa arti kalimat ‘te amor’ memang adalah ‘aku cinta padamu’. Dan itu berarti dulu ia pernah mencintaiku. Sementara aku tak tahu dan mengacuhkan perasaannya dengan dalih tak ada pulsa untuk bertanya dan parahnya malah terlanjur lupa untuk menanyakan artinya. Aku telah mengacuhkan perasaannya.. “maaf, ia…”
03 Agustus 2010. Bersama Sho, aku kembali berkunjung ke rumahnya. Tapi, kunjungan kami kali ini memiliki alasan yang kurang menyenangkan. Karena ia saat itu sedang dalam kondisi sakit. Perasaan cemas mulai merajam hatiku tentang kondisinya. Dan usai melihat keadaannya saat itu, aku dan Sho tahu, kondisinya sangat-sangat parah. Sepulang dari rumahnya aku dilingkupi kecemasan yang tak berujung.
04 Agustus 2010. Malam terang tanpa gemintang. Aku tak bisa lelap tidur. Hal ini bagiku sungguhlah aneh. Karena tak biasanya aku merasa sulit tidur. Tiba-tiba saja kecemasan tentangnya kembali menyergapku, setelah aku mulai merasa tenang usai mendoakannya dalam shalat isya. Ah! Buru-buru kuusir rasa cemas itu dengan mengambil wudlu dan shalat witir. Selesai shalat aku berdo’a. Dalam do’aku itu aku meminta.
“Yaa Rabb… berikanlah kesembuhan baginya. Kesembuhan yang tiada lagi penyakit sesudahnya. Kesembuhan yang akan semakin mendekatkan dirinya kepada-Mu. Kesembuhan yang akan membuatnya mampu merengkuh keindahan cinta-Mu. Amin.”
Saat itu aku tak tahu bahwa Allah akan mengabulkan do’aku keesokan paginya… dalam jalan lain dari maksud do’aku.
05 Agustus 2010.
Pagi buta pukul 03.00 aku terbangun. Makan, lantas menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke Ciputat. Selesai itu, jam 4-nya aku turut menumpang angkot Mang Sarlan yang akan mengantarkanku hingga terminal Kalideres. Dari Kalideres, aku singgah dulu ke masjid untuk shalat. Lalu aku teringat, bahwa aku belum berniat untuk puasa sunnah hari kamis. Kemudian, setelah meniatkan diri puasa, berangkatlah aku dengan menaiki bus way menuju Ciputat.
Entah kenapa. Sepanjang perjalanan itu aku selalu teringat ia. Bahkan aku cukup gila untuk berbincang-bincang sendiri dalam hati. Mengandaikan aku sedang berbincang dengannya di bus way itu. Gila. Sungguh gila.
Setelah lewat beberapa menit dari jam 5, aku mendapat ilham kata-kata cantik yang ingin sekali kukirimkan ke banyak orang, terutama kepada ia. Bahkan dengan yakinnya, ia adalah orang pertama yang kukirimkan kata-kata cantik itu. Isi sms-ku seperti ini,
“Salam., slmt pagi wahai pjuang khdupan!
Sudahkah senyum syukurmu mhiasi awal pagi ini?
Jk blum, tsnyumlah!
Tsnyumlah bsm alam yg trus bertasbih mngagungkan Dia Yang Maha Kudus..
Tsnyumlah bsm sapaan angin yg bhmbus syahdu, sbg tanda ia tundk pd ketetapan-Nya tuk menyejukkan alam & seisi’y..
Tsnyumlah..
Tsnyumlah kawan,
Tsnyumlah…
Krn snyummu,
Bgtu indh d mata dunia.
Wahamdulillaahirabbil ‘alamiin.”
Send. Zzztt…
-----
Lagi-lagi entah kenapa. Aku merasa ada perasaan aneh yang menghampiriku. Saat itu, usai mengirimkan pesan singkat itu ke nomornya juga ke beberapa nomor temanku lainnya, aku merasa lega luar biasa. Kelegaan itu datangnya tiba-tiba tanpa kutahu sebabnya apa.
Sampai di Lebak Bulus, di dalam angkutan D.02, kelegaanku pecah dan terganti oleh keterkejutan dan rasa sedih ketika Sho mengabarkanku sebuah berita lewat telepon. Dengan suara berat dan lirih, Sho mengantarkan berita duka ke telingaku.
“Meii.. Ia udah gak ada…”
Sudah. Itu saja ucapan Sho yang terdengar di telingaku. Cukup singkat, memang. Meski begitu, hatiku bak digodam oleh palu berduri. Kaget? Tentu. Sedih? Sangat.. tapi saat itu aku masih cukup rasional untuk mengajak Sho pergi ke rumahnya. Kami harus mengunjunginya. Dan jadilah akhirnya aku yang baru tiba di Ciputat, berbalik arah dan kembali menempuh perjalanan bersama Sho. Menuju pulang.
Sepanjang perjalanan, Sho dan aku tak henti-hentinya menangis. Tak perduli penumpang bus way yang berdesakan, melihat tangis kami. Terkadang Sho, dengan suara lirihnya menceritakan beberapa kenangannya bersama ia. Kadang cerita lucu. Meski kami sama-sama tidak bisa tertawa. Justru rasa perih lah yang mengisi hati kami saat itu. Saat kami saling bergantian bercerita tentangnya.
Setelah agak lama menangis dan saling membagi cerita tentangnya, kami memilih untuk berdiam diri. Sho sibuk dengan hp-nya, memberitahu orang-orang tentang kabar pedih itu. Dan aku, memilih untuk memutar kembali memori kenangan milikku tentangnya. Sembari melihat gerimis yang membasahi jalanan yang kami tinggalkan jauh di belakang bus way.
Sampai di rumah ia, keramaian dari para pelayat telah menyambut kedatanganku dan Sho. Kudapati di beranda rumahnya sudah ada Cha-Cha, Mimin, Imas, Dewi, juga banyak para pelayat yang tak kukenal.
Dewi… aku yakin. Mungkin di antara para pelayat yang hadir itu, Dewi lah yang paling kehilangan ia. Karena seperti yang sudah diketahui oleh orang terdekat ia, Dewi adalah pacarnya. Ya. Dia adalah pacar ia selama ± 8 bulan ini.
Aku mencoba tersenyum pada Dewi. Meski sebenarnya aku pun memiliki kehilangan yang sama. Bedanya, Dewi kehilangan seorang pacar. Sementara aku? aku kehilangan seorang sahabat. Ia. Sahabat yang sangat baik. Dewi hanya menatapku sesaat, tak membalas senyumku. Kuterka kepedihan ini terlalu pekat bagi hatinya hingga membuatnya tak mampu menarik senyuman. Dewi kemudian mengembalikan tatapannya ke tanah. Dan aku mencoba untuk memafhumkannya.
Kemudian, kualihkan pandanganku ke dalam rumah. Lebih tepatnya adalah ke ruang tamu rumah ia. Di sana, keberadaan sebuah keranda yang ditutupi kain hijau berlafazhkan ‘Laa Ilaa ha illallaah’ serta merta melipatgandakan kepedihan yang kurasakan. Aku bahkan tak kuasa menahan gerimis yang hendak turun dari sudut mataku.
Kucoba tersenyum, bisa. Mengandaikan bahwa ia ada di ruang tamu itu dan mengharapkan aku bisa tersenyum untuknya.  Lalu kudekati keranda itu. Kusentuh pegangannya, dingin. Tapi aku tahu. Di dalam keranda itu sedang terbaring jasad seorang dengan kepribadian yang telah menghangatkan hati orang-orang yang dikenalnya. Termasuk aku.
Setelah termenung cukup lama, aku kembali berdiri. Kutitipkan tas-ku pada Tjokro, adik ia, yang kemudian ditaruhnya di dekat TV dalam ruangan yang lain. Kuperhatikan Tjokro, ia tersenyum tipis padaku. Jika aku tak mengenal Tjokro dengan baik, aku mungkin akan mengira ia tak merasa sedih atas kehilangan ‘kakak semata wayangnya’ itu. Tapi aku, jelas sudah tahu. Tjokro menyimpan kesedihannya di ke-aku-an lelakiannya. Tjokro tak bisa menangis di depan umum seperti lelaki kebanyakan. Melihatnya, aku jadi sedikit lebih tegar.
Selanjutnya, kucari ibu ia. Kudapati beliau ada di dapur, sedang menyiapkan makanan ringan untuk para tamu. Kuhampiri ibu, menyapanya dan kemudian memeluknya. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh apa yang tampak di mataku. Aku melihat ketegaran dan kepasrahan dalam keseluruhan diri ibu ia. Di matanya yang teduh. Di bibirnya yang tersenyum pasrah. Juga di rengkuhan lengannya, yang balik memelukku hangat. Uhft… aku jadi merasa malu. Lebih malu lagi, setelah ibu ia menyabarkan hatiku dengan kata-katanya.
“ini musibah, Mel.. mesti ikhlas.. ikhlas, ya. Insya allah ia juga ikhlas..”
Kemudian, setelah cukup lama memeluk ibu, aku kembali ke ruang tamu. Alunan surat Yaa Siin sudah terdengar. Kulihat Sho duduk menatap keranda ia. Tamu bulanan menghalangi Sho untuk ikut mengaji. Syukurlah, aku sedang dalam masa suci. Maka segera, kulangkahkan kakiku ke sumur di belakang rumah. Kepada ibu ia aku ijin mengambil wudlu. Setelah berwudlu, kuambil posisi duduk di bagian kepala keranda. Lalu aku hening menghayati suaraku yang turut melantunkan surat Yaa Siin bersama pelayat lainnya.
“A’uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim… bismillaahirrahmaanirrahiiim.. alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.. arrahmaanirrahiim… maaliki yaumiddiin… iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.. ihdinashshiraathal mustaqiim.. shiraathalladziina an ‘amta ‘alaihim. Ghairil maghdhuubi ‘alaihim. Waladhdhaaalliiin.. (aamiiiin).. bismillaahirrahmaanirrahiim… Yaa Siin… wal Qur’aanil kariim.. innakalaminal mursalin… ‘alaa shiraathimmustaqiim..” dst.. dst..
……
Sepanjang mengaji, aku tak kuasa menahan haru. Aku merasa seolah-olah ia berada di dekatku dan berkata,
             ‘jangan sedih ya.. semuanya bakal baik-baik aja..’
Dan dengan konyolnya, aku turut membalas ucapan gaib yang datangnya dari benakku sendiri itu.
             ‘gimana gak sedih, ia. Mei belum sempet minta maaf ke ia.. maaf, kalo dulu mei pernah gak sengaja ngegantungin perasaan ia. Maaf, karena mei gak sepeka yang mei kira, sampe gak sadar sama semua sikap hangat ia ke mei. Mei kira ia juga anggep Mei sebagai sahabat. Maaf ya, ia.. beneran maaf..’
Sudah. Sampai di situ saja suara batinku bicara. Sayangnya, tak ada lagi ucapan gaib yang muncul di benakku. Aku masih khusyu’ dengan lantunan surat Yaa Siin. Namun hatiku tak lagi gerimis karena rasa sedih, melainkan sudah banjir. Banjir oleh rasa sedih juga rasa bersalah yang bercampur jadi satu rasa yang…. Entahlah..
---
Sekian kenanganku tentang ia.
Hampir empat tahun telah berlalu dari hari wafatnya ia, sahabatku yang baik. Di hari itu, 5 Agustus 2010, aku memilih untuk tidak mengantarkan ia sampai ke kuburnya. Alasannya klise. Aku belum bisa melepas kepergiannya saat itu. Ada beban rasa bersalah yang kumiliki terhadapnya saat itu. Rasa bersalah yang terkadang masih juga kurasakan hingga kini, setiap kali aku mengingat kenangan tentang ia. Meski begitu, aku sudah belajar pada sang waktu. Selama tiga tahun lalu aku mencoba untuk memaafkan khilafku. Kutegaskan dalam hati bahwa kekhilafanku adalah hal yang lumrah. Dan tak sepatutnya aku terlalu membesar-besarkan rasa bersalah itu. Manusia berbuat salah itu lumrah. Yang menjadi masalah adalah jika manusia sudah melumrahkan diri untuk berbuat salah. Itu jelas salah. Jadi.., gitu lah.
Sekitar pertengahan tahun 2012 lalu, aku  (akhirnya) mengunjungi makam ia bersama Sho. Di momen itu, aku akhirnya bisa melepaskan beban yang kusimpan selama masa sebelumnya. Di samping Sho, aku bicara. Kata-kataku saat itu kutujukan untuk ia. Inti dari ucapanku saat itu adalah tentang permohonan maafku kepada ia. Dan Sho, yang juga turut mendengarkan ucapanku akhirnya membagikan beberapa cerita tentang ia. Alhamdulillaah… Cerita Sho itu bisa turut membantuku merasa lega. Yah. Begitu lah..
Itulah ceritaku tentang ia, sahabatku. Ia, sahabat baikku. Harapku untuknya, semoga ia berbahagia pula di surga sana. Amin. Allahumma amin. ^_^
Btw, aku belum menuliskan nama ia yang sebenarnya ya?
He.. he.. he.. maaf.. kesengajaan yang kusengaja, sih. ^_^
Jadi, salah satu sahabat baikku di dunia ini yang kujadikan madona dalam ceritaku kali ini adalah ia. Yang akrab kusapa dengan panggilan ‘Jo’. Joko Syahridlo, nama lengkapnya. Kembali kuharapkan sebaris do’a untuk ia. Untuk Jo,
‘Semoga Jo bisa berkumpul bersama hamba-hamba yang dicintai-Nya di surga sana.” Amin.
---
Rancabango,
Joko Syahridlo.
Lahir tgl. 4 Oktober 1989
Wafat pada Kamis, 5 Agustus 2010

Jumat, 11 Juli 2014

Entah dan Gaza



13 Ramadhan 1435 H.
Jum’at Berkah, Langit Cerah, Hati Resah
09.45 wib
Dadaku berdegup kencang. Lebih kencang dari biasanya. Sebuah perasaan aneh menghinggapi benakku. Déjà vu. Perasaan mengenal pengalaman seperti ini. Perasaan yang pernah muncul tiba-tiba, seperti malam sebelum Jo wafat dulu, bertahun-tahun yang lalu.
[Jo adalah salah seorang sahabatku. Ia termasuk ke dalam spesies langka dari sederetan makhluk yang hadir di hidupku. ^_^ hehehe.. maksudku, Jo itu termasuk ke dalam bagian dari sangat sedikitnya lelaki yang bisa akrab denganku. Ya. Kuakui, aku memang tidak bisa mengakrabkan diriku dengan kaum adam. Sedari kecil aku sudah membatasi pergaulanku lebih kepada kaum hawa. Sementara kepada kaum adam, aku sering merasa risih juga malu, meski hanya untuk menatap mata terlalu lama. Sebab musababnya, insya Allah akan kuceritakan di kesempatan mendatang. Pun jua dengan cerita perkawananku dan Jo. Butuh waktu tersendiri untuk menceritakan kisah tentang Jo. Jadi, mohon bersabar ya.^_^
Saat ini  sudah hampir empat tahun Jo dikebumikan. Meski begitu, aku masih merasa bahwa ia masih hadir di dunia ini. Jo memang sahabat yang sangat baik. Meski mesti kuakui juga, bahwa aku pun sebenarnya tetap tak bisa akrab dengannya seperti akrabnya aku dengan sahabat wanitaku. Tapi seiyanya, di hadapan Jo, aku bisa tersenyum lepas dan mengemukakan isi kepalaku. Rasanya seperti berbincang dengan kakak sendiri. Begitulah. ^_^
Jo. Joko Syahridlo. Satu harap terbesarku untuknya adalah, semoga Allah menyertakannya bersama hamba-hamba-Nya yang shalih di surga-Nya sana. Amin. Allahumma amin.]
Astaghfirullaahal’azhiim…
“Yaa Rabb… Hamba mohon ketenangan bagi hati hamba.
Perasaan apa ini yang muncul secara tiba-tiba? Hamba merasakan kecemasan terhadap sesuatu hal yang (entahlah) tidak hamba ketahui. Degupan jantung yang mencemaskan ini telah melelahkan pikiran hamba dari menahan diri untuk tidak berprasangka. Karena Engkau Yang Maha Tahu, Yaa Rabb… Engkau Maha Tahu segala sesuatunya.
Maka kumohon…
Jika memang ada hal yang harus hamba ketahui berkenaan dengan degupan jantung ini, maka hamba mengharapkan kelembutan cara-Mu untuk membuat hamba memahaminya.
Pun sebaliknya..
Jikalah pengetahuan itu tidak/belumlah berhak untuk hamba ketahui, atau tidak ada hal apa pun yang terjadi berkenaan dengan degupan jantung ini, maka hamba harapkan pula ketenangan dan kasih-Mu bagi hamba-Mu yang dhaif ini.
Kumohonkan ini hanya kepada-Mu, Yaa Rabb…
Karena hanya Engkau-lah, kepada siapa aku menyembah dan memohon pertolongan.
Irhamnii, Yaa ‘Aziiz.. Yaa Malik.. Yaa Muqtadir.. Yaa Ra’uuf…”
Amin. Allahumma Amiin.
(11.40 wib)
Alhamdulillah. Degup jantungku mulai terasa biasa. Entah apa sebenarnya yang ada di balik keresahan yang datangnya tiba-tiba ini. Aku hanya mengharapkan ridha Allah untuk kebaikanku selalu. Amin.
(11.42 wib.)
Aku melihat TV bersama Emak. Di TV ditayangkan beberapa hal yang memiriskan hati. Kecelakaan maut, berita kemacetan Jakarta yang ditayangkan dengan sudut pandang seperti mengecam Pemda-nya, terror bom Molotov di salah satu gedung pelaksana survey yang mendukung capres no. urut 1, juga (lagi-lagi) serangan Zionis Israil ke Gaza yang—sampai kutulis catatan ini—diberitakan telah menewaskan 91 orang (dengan mayoritas korbannya adalah warga sipil perempuan dan anak-anak). Astaghfirullaahal ‘azhiim… innaalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun…
Baiklah. Kita lanjutkan lagi.
Dalam tulisan kali ini, ada dua topik yang akan kuulas lebih cermat. Topik pertama adalah terkait pesta demokrasi yang baru saja berlangsung pada Rabu, 9 Juli yang lalu.
Aku merasa gerah. Gerah hati.
Rasanya gerah menyaksikan masih ada saja oknum-oknum yang bersikap negatif terhadap hasil Quick Count beberapa lembaga survei tentang hasil pemilu lalu. Mayoritas lembaga survey memang mengabarkan bahwa capres Jokowi-JK-lah yang memenangkan pesta demokrasi tahun ini. Sayangnya, ada oknum masyarakat yang berbuat tindakan-tindakan tak terpuji dengan dalih ketidakpuasan dan kecurigaan terhadap hasil pemilu lalu, atau pun juga dalih kesenangan diri untuk membuat suasana pemilu menjadi kisruh karena kerusuhan antara dua pihak capres-cawapres no. urut 1 dan 2.
Belum lama pesta demokrasi berakhir, beberapa stasiun TV sudah mulai sibuk meliput dan menayangkan berita-berita yang pada hakikatnya seperti menyerang kubu capres pilihan lawannya. Ya ada isu terror bom-lah. Ya ada isu kotak suara yang tidak disegel dan digembok ketika sampai di kantor pusat lah. Dan banyak lagi tayangan-tayangan sejenis yang intinya sama. Nampak ingin menunjukkan adanya kecurangan yang (diduga) dilakukan oleh kubu lawan.
Astaghfirullaahal ‘azhiim…
“Ya Allah… berikanlah pembalasan terbaik untuk siapa pun yang telah melakukan kecurangan. Entah mereka melakukan kecurangan terhadap pihak lawannya. Atau pun mereka-mereka yang melakukan kecurangan terhadap pihak mereka sendiri hanya demi dikasihani. Hamba mohon Engkau memberikan pembalasan-Mu yang terbaik dan seadil-adilnya, Yaa Rabb.. demi kemakmuran dan kesejahteraan Islam di Negara ini. Demi tegaknya hak-Mu di negeri sejuta ummat ini.
Jadikanlah pemimpin Negara ini, seorang yang mencintai kekasih-Mu, Muhammad saw. yang mulia. Jadikanlah mereka, para pemimpin kami, seorang yang bisa berkaca pada kepemimpinan rasul juga kepemimpinan orang-orang yang shalih di masa sebelumnya. Jadikanlah para pemimpin kami sebagai orang yang memiliki rasa takut untuk mengingkari bai’at kepemimpinannya. Jadikanlah mereka dan kami semua, sebagai hamba-Mu yang bisa memaknai ramadhan ini sebagai jalan lapang menuju  Nuur-Hidayah-Mu. Jadikanlah kami semuanya, Yaa Rabb.. kami semuanya…”. Amin. Allaahumma amin.
Cukup tentang pemilu.
Topik berikutnya yang (sangat) ingin kutulis saat ini adalah perihal serangan  Israil ke Gaza, Palestina.
“Allahummarhamna, Yaa Rabb! Irhamna..”
“Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah…”
Aku menangis. Sungguh menangis. Batinku, ragaku, menangis. Jiwaku, penglihatanku, basah. Apa lagi ini, Yaa Rabb? Astaghfirullaah…
Cukup!
Aku harus menguatkan diriku dari menuliskan semua kegetiranku tentang Gaza. Aku akan menuliskan catatan tentang Gaza ini dalam sudut pandang seorang penyampai berita. Aku harus. Sungguh harus. Maka bismillah… aku akan mulai menulisnya.
Jadi begini…
Berita tentang penyerangan ke Gaza sebenarnya sudah kudengar dari Herdi pada Rabu lalu (9/7). Saat itu aku dan keluarga sedang melihat tayangan Quick Count di televisi. Kemudian tiba-tiba saja Herdi menyampaikan berita duka itu. Herdi juga menunjukkan beberapa foto di layar handphone-nya. Di sana ditampakkan beberapa jenazah anak kecil, para wanita yang sedang menangis, juga gambar-gambar sarat kepiluan lainnya.
Hatiku langsung bergemuruh karena amarah dan kesedihan yang kutujukan untuk saudara-saudara muslimku di Palestina sana. Bersamaan dengan riuhnya berita hasil Quick Count di TV, pikiranku terbelah. Dan pusing yang sudah kurasakan semenjak Selasa malam pun memburuk pada Rabu sore itu.
Menjelang isya, kondisiku bahkan lebih memburuk lagi. Sendi-sendiku ngilu. Kepalaku terasa berat. Badan demam. Kondisiku baru membaik pada dua hari setelahnya, yakni pagi ini, hari Jum’at. Sayangnya, tayangan-tayangan di TV malah membuatku jadi gerah hati.
Astaghfirullaah…
Jadi, hari ini aku menyaksikan berita tentang Gaza sampai jarum jam menunjuk di angka 12.25 wib. Dari tayangan-tayangan itu, kuserap cukup banyak informasi. Berikut adalah ulasannya.
---
Hari ini adalah hari keempat penyerangan Israil terhadap Gaza. Sejauh ini, telah ada 91 orang warga sipil yang meninggal. Mayoritasnya adalah perempuan dan anak-anak. 22 orang anak-anak, lebih tepatnya. (astaghfirullaah… irhamna, Yaa Rabb)
Dunia jelas saja gempar dengan serangan Israil ini. Kemarin (10/7) bahkan diadakan rapat dadakan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk membahas hal ini. Dalam rapat itu, duta besar Palestina menyebutkan nama 22 anak yang menjadi korban. Dengan terisak, ia menyebutkan nama anak-anak itu beserta umurnya. Aku menangis, saat menyimak ucapan terbata-bata duta Palestina itu. Walau ia mengucapkannya dalam bahasa Arab, aku masih cukup mengerti ketika berkali-kali ia menyebutkan kata-kata: arba’a ‘ammah, ….., ‘asyrah ‘ammah… sab’ah ‘ammah... Kata ‘ammah itu kuterka bermakna usia. Tujuh tahun, sepuluh tahun, empat tahun. (Astaghfirullaah… Irhamna, Yaa Rabb..)
            Tak hanya PBB, pemerintah Indonesia pun turut bergerak menanggapi aksi immoral Israil ini. Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) melalui jubir-nya, Martin Natalegawa, menyampaikan kecamannya terhadap aksi brutal Israil itu. Dalam penjelasannya, Martin juga menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia telah mengajak Negara-negara non blok untuk  segera membantu pengadaan obat dan bahan makanan bagi rakyat Gaza.
Menanggapi hal ini, aku bersyukur, sekaligus juga sedikit kecewa. Aku bersyukur untuk ketanggapan pemerintah terhadap tragedi SARA ini. Sekaligus juga merasa kecewa, mengharapkan usaha yang lebih baik daripada hanya sekedar pemberian obat dan pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Dalam hati aku mencibir.
“Tak terbetik-kah di benak para setiap pemimpin Negara untuk benar-benar membantu mengakhiri peperangan di Gaza? Tak bisakah mereka, yang telah diberi kuasa oleh jutaan rakyatnya, mengembargo Israil yang tak segan-segannya menyerang kota kecil Palestina itu dengan serangan darat, laut, dan udara? Di manakah para petinggi PBB, organisasi yang menamakan dirinya sebagai ‘polisi’-nya dunia? Di manakah keadilan itu? Haruskah penantian rakyat Palestina akan kedamaian, tak memiliki akhir sampai kalimat-Nya datang dan menyatakan ‘akhir’ bagi semesta? Haruskah darah-darah para syuhada Palestina tercecer sia-sia, tanpa ada gerak nyata dari siapa pun untuk berani membelenggu aksi brutal tentara Israil? Di manakah keadilan itu, Yaa Rabb? Di manakah penghakiman-Mu? Astaghfirullaahal ‘azhiim..”
Sudah. Sudah cukup, cibiranku itu. Kita lanjutkan lagi.
Jadi, PBB, pemerintah Indonesia beserta negara-negara non blok, serta mungkin beberapa negara lainnya sudah mulai bergerak. Alhamdulillah. Aku kembali bersyukur dengan gerakan kemanusiaan ini.
Selanjutnya, TV juga menayangkan MER-C. MER-C adalah organisasi nasional kemanusiaan yang digerakkan oleh para relawan asal Indonesia. Disebutkan di TV, bahwa MER-C memiliki dua program utama. Pertama adalah pembangunan rumah sakit untuk korban perang. Dan kedua adalah penggalangan dana serta obat-obatan dari berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan korban perang.
Allahu akbar!
Aku bertakbir. Memuji tindakan mulia MER-C dengan dua programnya itu. Kuakui bahwa dua program itu adalah bentuk nyata dari bantuan yang memang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat Gaza saat ini. Meski tetap kuberharap, semoga pihak-pihak yang memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar dibanding MER-C ini akan bisa menghentikan peperangan di Gaza, Palestina, juga peperangan di mana pun adanya. Amin.
Sejauh ini, pemerintah Mesir telah membantu untuk membuka jalur Rafah, akses bagi penyaluran obat dan makanan menuju Gaza. Meski begitu, ada sejumlah pihak yang menyayangkan kebijakan pemerintah Mesir yang membatasi akses jalur Rafah ini. Karena sejauh ini jalur Rafah hanya bisa dilewati untuk para korban dari Gaza yang terluka, sementara untuk warga yang ingin mengungsi tidak boleh melewatinya.
Pemerintah Mesir berkilah, bahwa di Rafah pun sebenarnya sudah ada sejumlah pendukung Hamas, pihak yang disebut-sebut sebagai penguasa Gaza. Hamas inilah yang menjadi musuh bagi Israil. Mesir tidak ingin para pendukung Hamas di Gaza bisa bebas masuk ke Mesir melalui Rafah. Karena ini bisa menyebabkan serangan brutal Israil meluas ke wilayah Mesir juga. Seperti itulah.
Hhh… Letih rasanya benak dan pikiranku untuk menuliskan catatan ini. Sedih juga ketika kusadari bahwa aku pun, dengan segala cibiranku ternyata tak bisa membantu Palestina lebih baik dari mereka-mereka yang kucibirkan. Hanya do’a dan harapan yang kulirihkan kepada Yang Maha Rahman untuk kemakmuran Palestina, juga untuk negeri-negeri Islam lainnya. (amin). Memangnya, apa lagi yang bisa kulakukan?
Sebagai ending dari tulisan ini, berikut adalah lirik dari lagu  “Gaza tonight”.
Blinding flash of white light, lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover, not knowing whether they’re dead or alive
They came with their tanks and their planes, with ravaging fire flames
And nothing remains, just a voice rising up in the smoky hazes
Reff:    We will not go down, in the night without a fight
You can burn up our mosque, and our homes, and our school
But our spirit will never die
We will not go down, in Gaza tonight
Womens and children alike murdered and massacred night after night
While the so called leaders of countries far, debated on whose wrong or right
But their powerless words were in vain, and the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the bloods and the pains,
you can still hear that voice through the smoky hazes
Reff:    We will not go down, in the night without a fight
You can burn up our mosque, and our homes, and our school
But our spirit will never die
We will not go down, in Gaza tonight.