11 Ramadhan 1435 H.
Rabu
berawan seusai subuh.
Alhamdulillaahirabbil
‘aalamiin.
Dia Yang Maha Lembut masih memberiku
kekuatan untuk menulis. Shalawat dan salam juga akan kusenandungkan di pagi
berawan ini untuk kekasih Allah, Muhammad saw. Ia-lah rahmat yang telah Allah
anugerahkan untuk sekalian alam. Allahumma Shalli wa sallim wa baarik ‘alaih.
(sollu ‘alaih..)
Pagi ini, kusenandungkan pula do’a
keselamatan dunia-akhirat serta keberkahan hidup terkhusus untuk Teh Susi
Nur’aini, yang hari ini menggenapkan usianya (entah di angka berapa). Harapku,
semoga Teh Susi dapat segera bertemu dengan kekasih dunia-akhiratnya di dunia
ini. Amin. Allahumma amin.
Siapakah Teh Susi?
Singkat saja ya, ulasannya.
Teh Susi adalah seorang tetangga kamar
di kosan terakhirku, Gintung, Ciputat. Bisa kubilang, Teh Susi adalah ibu bagi
para penghuni kosan milik Bu Ida itu, baik para penghuni di lantai bawah maupun
lantai atas. Ada banyak waktu dan kisah yang kumiliki bersama Teh Susi. Tapi kali
ini aku tidak akan menulisnya di sini. Insya allah akan ada halaman khusus
tersendiri untuk mengulas profil salah satu teteh terbaik yang sudah kuanggap
seperti teteh sedarah ini. Jadi, kita cukupkan sampai di sini ya bahasannya.
^_^
Hmph! Kuhembuskan nafasku cukup
kencang.
Aku ingat bahwa hari ini adalah
harinya pencoblosan. Hari memilih presiden untuk NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Waaah! Gugup juga, ternyata. ^o^. Alhamdulillah. Aku sudah
menetapkan pilihan. Antara ‘Peci nomor Satu’ juga ‘Salam Dua jari’. Antara
Prabowo-Hatta juga Jokowi-JK. Salah satu dari mereka telah kupilih untuk
menjadi tumpuan harapanku atas kemakmuran NKRI di lima tahun mendatang.
Well,
kuakui.
Aku memang bukan termasuk pemilih yang fanatik. Karenanya, meskipun aku telah
menetapkan pilihan pada salah satu calon, aku tetap menyimpan harapan
terbesarku untuk siapa pun presiden yang kelak terpilih. Harapanku pun tak jauh
berbeda dengan harapan rakyat Indonesia umumnya. Karena aku berharap, pemimpin
yang baru terpilih kelak akan bisa amanah
menjalankan kepemimpinannya. Sudah. Satu harapan itu saja. Amanah.
Amanah.
Dalam satu kata sifat ini, terkandung potensi besar yang bisa memberikan dampak
besar pula bagi apa yang diembannya. Bermaknakan ‘dapat dipercaya’, seorang pemimpin
yang amanah dikatakan sebagai ‘sebaik-baiknya harta yang bisa dimiliki oleh
suatu negara’. Bagaimana tidak?
Seorang pemimpin yang telah dibai’at
di awal pengakuan kepemimpinannya, maka itu berarti ia telah berjanji, bukan
hanya kepada dirinya sendiri. Melainkan ia juga telah berjanji kepada Allah
serta kepada apa-apa yang dipimpinnya. Kepada rakyatnya, tanah kekuasaannya,
juga semua sumber daya yang berada di bawah naungan kepemimpinannya. Ia harus
mengusahakan yang terbaik demi kemaslahatan rakyat tanpa melepaskan diri dari
tuntunan jalan kebenaran-Nya.
Ini bukanlah perkara mudah. Karena
dalam sifat amanah, terkandung pula semua sifat kepemimpinan yang baik. Seperti
jujur, adil, cerdas, tabligh (menyampaikan kebenaran kepada rakyatnya),
bertanggung jawab, serta sifat-sifat baik lainnya.
Itulah amanah. Kontrak yang mengikat
seorang pemimpin pada kesejahteraan rakyatnya. Jika ada satu saja dari
rakyatnya yang kelaparan, maka seorang pemimpin tidak lebih berhak untuk
mendapatkan makanan dibandingkan rakyatnya yang kelaparan itu. Lalu,
bagaimanakah dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini, di mana tidak hanya satu
orang yang kelaparan di setiap harinya. Melainkan lebih. Ratusan. Ribuan.
Bahkan mungkin ada puluhan ribu orang yang tersebar merata di seluruh kawan
Indonesia yang kelaparan.
Bukan hanya tentang kelaparan dan
kebutuhan fisik lainnya saja. Seseorang yang telah dibai’at menjadi pemimpin
juga memiliki kewajiban untuk membuat rakyatnya menjadi berilmu. Kebutuhan jiwa
akan Rabb pun menjadi hak setiap rakyat untuk bisa dipenuhi oleh pemimpin.
Pemenuhan kebutuhan ruhani ini bisa dilakukan dengan jalan menyediakan
fasilitas dan kondisi yang terbaik untuk beribadah. Sayangnya, kebutuhan ruhani
yang satu ini seringkali diabaikan oleh para pemimpin masa kini. Parahnya lagi,
banyak dari rakyat yang merasa bahwa hak akan Rabb-nya ini bukanlah sesuatu
yang harus dipenuhi oleh pemimpinnya. Melainkan dianggap sebagai hal yang
sifatnya privat dan lebih sering berada di prioritas yang (ter-) bawah.
Na’udzubillaahi min dzaalik. Tsumma na’udzubillaahi min dzaalik.
Semoga, pemimpin Indonesia di masa
berikutnya bisa belajar banyak dari kepemimpinan Rasulullah dan
KhulafaurRasyidin. Di mana kesejahteraan ummat dianggap sebagai hakikat dari
kepemimpinan. Amin.
Nah. Tinggalkan topik ‘Teh Susi’ dan
topik ‘Kepemimpinan yang amanah’ di belakang pikiran. Karena kali ini, ada hal
lain yang benar-benar ingin kuceritakan di kesempatan menulis ini. Tentang
apakah? Ya. Kali ini, aku akan menyampaikan tentang salah satu seni mendidik
anak (versi Mel).
Oke. Aku memang belum pernah
melahirkan. Terlebih lagi, aku bahkan belum menikah. Masih lady gitu, ciing! ^_^ hi. Hi. Hi. Meski begitu, bukan berarti aku
tidak tahu bagaimana seni yang baik untuk mendidik anak. Seiyanya, aku tahu sedikit
cara mendidik anak.
Aku pernah menjadi seorang anak kecil.
Bahkan hingga saat ini pun, aku masih tetap menjadi seorang anak bagi Emak dan
Bapak-ku. Jadi, aku cukup tahu banyak hal tentang jalan pikiran anak kecil pada
umumnya, harapan terdasarnya, juga sebab dari sikap konyol yang terkadang
ditunjukkan oleh anak kecil di hadapan orang besar.
Belajar dari pengalaman hidupku hingga
usia dua puluhan ini (cewek suka sensitive kalo bahas tentang umur. Jadi,
sengaja deh gak kutulis, jelasnya umurku tuh berapa. ^_^ hee..), aku tahu satu
hal yang pasti. Bahwa setiap orang, baik itu tua-muda atau pun lelaki-wanita,
selalu ingin dipahami oleh orang lainnya. Maka, kusimpulkan bahwa sikap terbaik
dalam bersosialisasi adalah dengan bersabar dan mau mendengarkan. Pun jua
kepada anak-anak. Setelah dua sikap itu dijalankan, barulah bisa dimunculkan
sifat-sifat lainnya. Seperti tegas, adil, bersemangat, dll.
Aku juga termasuk seorang observan
yang aktif. Aku sering mengamati kepribadian orang-orang dan mengaitkannya dengan
kepribadian orang-orang terdekatnya. Masih ingat kan dengan ulasanku tentang
seni mendidik anak dalam Islam? Yap! Dalam ulasan itu aku mengutip ucapan
Dorothy Law dalam
bukunya yang berjudul Children Learn What
They Live!. Akan kutuliskan lagi beberapa hal pokok yang dijelaskan dalam
buku itu. Beberapa hal pokok itu antara lain:
1.
Jika anak hidup dengan kecaman, mereka belajar untuk mengutuk.
2.
Jika anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk melawan.
3.
Jika anak hidup dengan ketakutan, mereka belajar untuk menjadi memprihatinkan.
4.
Jika anak hidup dengan dorongan, mereka belajar percaya diri.
5.
Jika anak hidup dengan toleransi, mereka belajar kesabaran.
6.
Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi.
7.
Jika anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai.
8.
Jika anak hidup dengan kebaikan dan pertimbangan, mereka belajar menghormati.
[untuk
lebih jelasnya, silahkan di simak uraianku yang berjudul “Kunci Sukses
Komunikasi Bawah Sadar Orang Tua kepada Anak” di laman ini.]
Seperti
itulah. Jadi bisa disimpulkan bahwa akan menjadi apakah seorang anak kelak, itu
tergantung pada cara pendidikannya sewaktu kecil. Dan peran
revolusioner ini dimiliki oleh para orang tua dan/atau pengasuhnya.
Berkaitan dengan cara mendidik anak, ada satu peristiwa yang akan
kuceritakan di sini.
---
(09.40 wib)
Kepalaku pusing. Jadi, kutunda catatanku, insya Allah sampai kondisiku
membaik.
---
(19.13 wib)
Kondisi badanku memburuk. Sendi-sendiku ngilu. Kepala berat. Badan panas
karena demam. Jadi maaf. Dengan menyesal kuputuskan untuk menunda catatan
tentang seni mendidik anak ini sampai di sini dahulu. Insya Allah segera
setelah kondisiku membaik, aku akan menuliskannya lagi di laman ini.
[btw, aku ingat. Semalam tadi, aku bermimpi tentang sakit. Aktor di
mimpiku itu ada empat orang. Dua lagi tidak kukenal. Kebetulan banget ya.]
Ok. See Yaa! ^-^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar