Rabu, 09 Juli 2014

Amanah & Cerita yang Terbelah



11 Ramadhan 1435 H.
Rabu berawan seusai subuh.

Alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin.
Dia Yang Maha Lembut masih memberiku kekuatan untuk menulis. Shalawat dan salam juga akan kusenandungkan di pagi berawan ini untuk kekasih Allah, Muhammad saw. Ia-lah rahmat yang telah Allah anugerahkan untuk sekalian alam. Allahumma Shalli wa sallim wa baarik ‘alaih. (sollu ‘alaih..)
Pagi ini, kusenandungkan pula do’a keselamatan dunia-akhirat serta keberkahan hidup terkhusus untuk Teh Susi Nur’aini, yang hari ini menggenapkan usianya (entah di angka berapa). Harapku, semoga Teh Susi dapat segera bertemu dengan kekasih dunia-akhiratnya di dunia ini. Amin. Allahumma amin.
Siapakah Teh Susi?
Singkat saja ya, ulasannya.
Teh Susi adalah seorang tetangga kamar di kosan terakhirku, Gintung, Ciputat. Bisa kubilang, Teh Susi adalah ibu bagi para penghuni kosan milik Bu Ida itu, baik para penghuni di lantai bawah maupun lantai atas. Ada banyak waktu dan kisah yang kumiliki bersama Teh Susi. Tapi kali ini aku tidak akan menulisnya di sini. Insya allah akan ada halaman khusus tersendiri untuk mengulas profil salah satu teteh terbaik yang sudah kuanggap seperti teteh sedarah ini. Jadi, kita cukupkan sampai di sini ya bahasannya. ^_^
Hmph! Kuhembuskan nafasku cukup kencang.
Aku ingat bahwa hari ini adalah harinya pencoblosan. Hari memilih presiden untuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Waaah! Gugup juga, ternyata. ^o^. Alhamdulillah. Aku sudah menetapkan pilihan. Antara ‘Peci nomor Satu’ juga ‘Salam Dua jari’. Antara Prabowo-Hatta juga Jokowi-JK. Salah satu dari mereka telah kupilih untuk menjadi tumpuan harapanku atas kemakmuran NKRI di lima tahun mendatang.
Well, kuakui. Aku memang bukan termasuk pemilih yang fanatik. Karenanya, meskipun aku telah menetapkan pilihan pada salah satu calon, aku tetap menyimpan harapan terbesarku untuk siapa pun presiden yang kelak terpilih. Harapanku pun tak jauh berbeda dengan harapan rakyat Indonesia umumnya. Karena aku berharap, pemimpin yang baru terpilih kelak akan bisa amanah menjalankan kepemimpinannya. Sudah. Satu harapan itu saja. Amanah.
Amanah. Dalam satu kata sifat ini, terkandung potensi besar yang bisa memberikan dampak besar pula bagi apa yang diembannya. Bermaknakan ‘dapat dipercaya’, seorang pemimpin yang amanah dikatakan sebagai ‘sebaik-baiknya harta yang bisa dimiliki oleh suatu negara’. Bagaimana tidak?
Seorang pemimpin yang telah dibai’at di awal pengakuan kepemimpinannya, maka itu berarti ia telah berjanji, bukan hanya kepada dirinya sendiri. Melainkan ia juga telah berjanji kepada Allah serta kepada apa-apa yang dipimpinnya. Kepada rakyatnya, tanah kekuasaannya, juga semua sumber daya yang berada di bawah naungan kepemimpinannya. Ia harus mengusahakan yang terbaik demi kemaslahatan rakyat tanpa melepaskan diri dari tuntunan jalan kebenaran-Nya.
Ini bukanlah perkara mudah. Karena dalam sifat amanah, terkandung pula semua sifat kepemimpinan yang baik. Seperti jujur, adil, cerdas, tabligh (menyampaikan kebenaran kepada rakyatnya), bertanggung jawab, serta sifat-sifat baik lainnya.
Itulah amanah. Kontrak yang mengikat seorang pemimpin pada kesejahteraan rakyatnya. Jika ada satu saja dari rakyatnya yang kelaparan, maka seorang pemimpin tidak lebih berhak untuk mendapatkan makanan dibandingkan rakyatnya yang kelaparan itu. Lalu, bagaimanakah dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini, di mana tidak hanya satu orang yang kelaparan di setiap harinya. Melainkan lebih. Ratusan. Ribuan. Bahkan mungkin ada puluhan ribu orang yang tersebar merata di seluruh kawan Indonesia yang kelaparan.
Bukan hanya tentang kelaparan dan kebutuhan fisik lainnya saja. Seseorang yang telah dibai’at menjadi pemimpin juga memiliki kewajiban untuk membuat rakyatnya menjadi berilmu. Kebutuhan jiwa akan Rabb pun menjadi hak setiap rakyat untuk bisa dipenuhi oleh pemimpin. Pemenuhan kebutuhan ruhani ini bisa dilakukan dengan jalan menyediakan fasilitas dan kondisi yang terbaik untuk beribadah. Sayangnya, kebutuhan ruhani yang satu ini seringkali diabaikan oleh para pemimpin masa kini. Parahnya lagi, banyak dari rakyat yang merasa bahwa hak akan Rabb-nya ini bukanlah sesuatu yang harus dipenuhi oleh pemimpinnya. Melainkan dianggap sebagai hal yang sifatnya privat dan lebih sering berada di prioritas yang (ter-) bawah. Na’udzubillaahi min dzaalik. Tsumma na’udzubillaahi min dzaalik.
Semoga, pemimpin Indonesia di masa berikutnya bisa belajar banyak dari kepemimpinan Rasulullah dan KhulafaurRasyidin. Di mana kesejahteraan ummat dianggap sebagai hakikat dari kepemimpinan. Amin.
Nah. Tinggalkan topik ‘Teh Susi’ dan topik ‘Kepemimpinan yang amanah’ di belakang pikiran. Karena kali ini, ada hal lain yang benar-benar ingin kuceritakan di kesempatan menulis ini. Tentang apakah? Ya. Kali ini, aku akan menyampaikan tentang salah satu seni mendidik anak (versi Mel).
Oke. Aku memang belum pernah melahirkan. Terlebih lagi, aku bahkan belum menikah. Masih lady gitu, ciing! ^_^ hi. Hi. Hi. Meski begitu, bukan berarti aku tidak tahu bagaimana seni yang baik untuk mendidik anak. Seiyanya, aku tahu sedikit cara mendidik anak.
Aku pernah menjadi seorang anak kecil. Bahkan hingga saat ini pun, aku masih tetap menjadi seorang anak bagi Emak dan Bapak-ku. Jadi, aku cukup tahu banyak hal tentang jalan pikiran anak kecil pada umumnya, harapan terdasarnya, juga sebab dari sikap konyol yang terkadang ditunjukkan oleh anak kecil di hadapan orang besar.
Belajar dari pengalaman hidupku hingga usia dua puluhan ini (cewek suka sensitive kalo bahas tentang umur. Jadi, sengaja deh gak kutulis, jelasnya umurku tuh berapa. ^_^ hee..), aku tahu satu hal yang pasti. Bahwa setiap orang, baik itu tua-muda atau pun lelaki-wanita, selalu ingin dipahami oleh orang lainnya. Maka, kusimpulkan bahwa sikap terbaik dalam bersosialisasi adalah dengan bersabar dan mau mendengarkan. Pun jua kepada anak-anak. Setelah dua sikap itu dijalankan, barulah bisa dimunculkan sifat-sifat lainnya. Seperti tegas, adil, bersemangat, dll.
Aku juga termasuk seorang observan yang aktif. Aku sering mengamati kepribadian orang-orang dan mengaitkannya dengan kepribadian orang-orang terdekatnya. Masih ingat kan dengan ulasanku tentang seni mendidik anak dalam Islam? Yap! Dalam ulasan itu aku mengutip ucapan Dorothy Law dalam bukunya yang berjudul Children Learn What They Live!. Akan kutuliskan lagi beberapa hal pokok yang dijelaskan dalam buku itu. Beberapa hal pokok itu antara lain:
1.      Jika anak hidup dengan kecaman, mereka belajar untuk mengutuk.
2.      Jika anak hidup dengan permusuhan, mereka belajar untuk melawan.
3.      Jika anak hidup dengan ketakutan, mereka belajar untuk menjadi memprihatinkan.
4.      Jika anak hidup dengan dorongan, mereka belajar percaya diri.
5.      Jika anak hidup dengan toleransi, mereka belajar kesabaran.
6.      Jika anak hidup dengan pujian, mereka belajar apresiasi.
7.      Jika anak hidup dengan penerimaan, mereka belajar untuk mencintai.
8.      Jika anak hidup dengan kebaikan dan pertimbangan, mereka belajar menghormati.
           [untuk lebih jelasnya, silahkan di simak uraianku yang berjudul “Kunci Sukses Komunikasi Bawah Sadar Orang Tua kepada Anak” di laman ini.]
          Seperti itulah. Jadi bisa disimpulkan bahwa akan menjadi apakah seorang anak kelak, itu tergantung pada cara pendidikannya sewaktu kecil. Dan peran revolusioner ini dimiliki oleh para orang tua dan/atau pengasuhnya.
             Berkaitan dengan cara mendidik anak, ada satu peristiwa yang akan kuceritakan di sini.
---
             (09.40 wib)
             Kepalaku pusing. Jadi, kutunda catatanku, insya Allah sampai kondisiku membaik.
---
            (19.13 wib)
           Kondisi badanku memburuk. Sendi-sendiku ngilu. Kepala berat. Badan panas karena demam. Jadi maaf. Dengan menyesal kuputuskan untuk menunda catatan tentang seni mendidik anak ini sampai di sini dahulu. Insya Allah segera setelah kondisiku membaik, aku akan menuliskannya lagi di laman ini.
          [btw, aku ingat. Semalam tadi, aku bermimpi tentang sakit. Aktor di mimpiku itu ada empat orang. Dua lagi tidak kukenal. Kebetulan banget ya.]
            Ok. See Yaa! ^-^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar