7 Desember 2006. Perjumpaan pertamaku dengan ia di rumah, pada suatu sore yang
cerah. Ia datang bersama seorang
sahabatku, Sho. Berdua, mereka memberikanku sebuah hadiah untuk usia 16-ku.
Sebuah Kumcer (kumpulan Cerpen) dengan judul ’17 Tahun’. Sedikit berguyon,
kugoda mereka.
“umur mei kan baru 16. Kok dikasih buku yang judulnya 17 tahun sih?”
Sho dan ia tersenyum
menanggapi guyonanku. Dalam hati, kudo’akan kebaikan yang lebih baik untuk
mereka. Sho dan Ia. Amin.
24 Februari 2007. Ia
mengirim pesan singkat aneh yang berisi kata-kata, “mei… te amor”. Aku tak
mengerti makna pesan singkat itu. Dan, oleh karena saat itu pun aku tak
memiliki pulsa, akhirnya aku hanya mengingatkan diri sendiri untuk menanyakan
maksud pesannya itu, kelak. Segera
setelah kuisi pulsaku. Sayang disayang, ingatanku itu terlalu lemah dan harus
mengalah pada khilaf dan lupa.
Pertengahan April 2007. Kunjungan pertamaku ke rumahnya. Ini sangat berkesan. Karena selain
teduh, rumahnya juga dihiasi oleh
taman yang cantik. Keterpanaanku pada taman di rumahnya telah membuatku lupa pada fakta bahwa itu juga merupakan kali
pertama kunjunganku ke rumah seorang pria.
11 Nopember 2007. Ia
memberiku sebuah frame foto cantik berwarna pink sebagai hadiah usia 17
tahunku. Aku menyukai pemberiannya
itu. Sama sukanya dengan boneka lumba-lumba berwarna pink, pemberian Sho. Juga
sama sukanya dengan kejutan siram yang direncanakan oleh Vio, seorang karib di
SMA. Kukatakan kepadanya ucapan
haruku atas pemberiannya. Dan ia tersenyum malu-malu. Saat itu, aku
merahasiakan darinya, bahwa aku
senang melihat senyum malu-malunya
itu.
02 Juli 2008. Kami dalam suatu rombongan berangkat
bersama untuk pendaftaran tes masuk suatu perguruan tinggi negeri di Ciputat.
Saat itu, benakku sedang teralihkan dengan kehadiran pria lain. Entah kenapa
aku yakin bahwa ia mengetahui rona
hati yang kutujukan pada pria lain (meski aku sendiri tak sadar dengan rona
hatiku sendiri). Tapi entahlah. Yang jelas, mulai sejak itulah kurasakan
perubahan sikapnya terhadapku. Ia tak lagi murah senyum ketika
melihatku. Aku tak lagi mendapatkan pandangan malu-malu di matanya yang bening. Sayang, aku tak
terlalu memperhatikan perubahan itu.
28 September 2008. Hari pertama puasa. Kembali pula
kunjunganku ke rumahnya bersama Sho,
untuk ke sekian kalinya. Saat itu, kami sudah tahu bahwa hanya aku yang
berhasil masuk ke perguruan tinggi yang kami tuju. Sho kemudian memilih
perguruan tinggi lain. Dan ia, ia memilih untuk di rumah dahulu. Tak
ada yang berubah dari hubungan kami bertiga. Kecuali saat itu aku mulai
menyadari ada yang berbeda dari senyumannya.
Tapi bukan oleh alasan karena ketidaklulusannya di perguruan tinggi tempatku
lulus, melainkan entah karena apa.
Pertengahan Februari 2009. Aku kembali berkunjung ke
rumahnya. Bersama Sho tentunya.
Tapi, aku semakin yakin bahwa senyumannya
telah berubah. Meski aku masih tetap belum menyadari apa penyebabnya.
20 Januari 2010. Ada sms masuk darinya ke inbox, saat aku masih di
perjalanan pulang dari mengajar les di Cipete. Isinya tanya kabar. Maka jadilah
akhirnya sepanjang perjalanan pulang itu kami ber-sms-an. Sangat akrab!
Awal Mei 2010 yang melelahkan. Aku baru pulang dari
perkuliahan sore. Dengan santai kukirim sebuah sms padanya. Menanyakan arti ‘te amor’ yang baru kuingat dulu pernah
dikirimkannya padaku. Kenapa aku
ingat? Karena kebetulan saja ada seorang teman yang mendapatkan surat berisi kata-kata
serupa. Dan temanku itu menanyakannya kepadaku. Sms balasannya muncul, tapi di dalamnya ia
tak langsung membalas pertanyaanku. Ia
malah bertanya,
‘emang kenapa, Mei?’
Kuberitahu saja padanya bahwa
ada temanku yang menanyakannya. Tapi lagi-lagi ia tak langsung membalas pertanyaanku. Ia malah kembali bertanya.
‘knp baru skrg nanyany? Knp g dr dulu?’
Kembali kuberitahu ia bahwa
dulu, saat ia mengirimiku sms ‘te
amor’ itu, aku sedang tak ada pulsa dan kemudian malah terlanjur lupa untuk
menanyakan artinya saat aku mempunyai pulsa. Ia kemudian membalas lagi.
‘coba cri za di google.. ok! Dah.. ^o^’
Ugh.. aku sebal. Ku sms saja ia seperti
ini,
‘knp g mw ngsih tw c?! mang dah lupa y arti’y apa?’
Ia tak membalas. Maka
kubiarkan saja kemauannya itu. Aku
langsung searching di google melaui handphone-ku. Dan ternyata, barulah
kuketahui arti kalimat ‘te amor’ itu. Bahwa artinya adalah,
‘aku cinta padamu’
DEG. Aku kaget. Megap-megap kugapai udara di sekitarku. Agak terkejut
mengetahui arti kalimat itu, pikiranku malah berkelana dan mengantarkanku pada
satu kesimpulan yang membuatku merasa bersalah. Tapi kemudian kerasionalan
pikiranku kembali menyadarkanku pada keadaan. Dan aku disuruhnya untuk
mengkonfirmasikan kebenaran arti kalimat ‘te amor’ itu, dengan menanyakannya
kepada ia. Maka kemudian kususunlah
kata-kata untuknya.
‘hei.. te amor tu artinya ‘aku cinta padamu’ y? bener g c? dan.., klo
mang tu arti’y, wakt dlu… serius g ngirim’y?’
Aku menunggu balasan pesannya.
Satu menit. Dua menit. Lima menit. Belum ada pesan darinya yang masuk ke inbox-ku. Sepuluh menit. Setengah jam. Akhirnya
aku mulai merasa geram. Aku pun sampai pada satu kesimpulan bahwa ia tak akan membalas pesanku karena ia tak ingin membalasnya. Kenapa aku
tidak berpikir bahwa ia mungkin
memiliki udzur yang membuatnya tak
bisa membalas pesanku? Karena aku tahu, ia
sedang tak ada udzur pekerjaan untuk tidak membalas sms-ku saat itu. Akhirnya,
aku segera bangkit dan memilih untuk melanjutkan aktivitas sore. Aku juga
memilih untuk percaya pada alasan lemah pikiranku bahwa ia mungkin memang sedang tak bisa membalas pesanku sore itu. Jadi
aku akan menunggu balasan sms-nya.
Mungkin nanti malam atau besok pagi sms darinya baru akan datang.
Sayang. Hinggo esok hari menjelang malam, aku tak mendapat balasan sms
darinya. Akhirnya dengan pahit aku
menerima kesimpulan awal yang sempat terbetik di pikiranku. Bahwa arti kalimat
‘te amor’ memang adalah ‘aku cinta padamu’. Dan itu berarti dulu ia pernah mencintaiku. Sementara aku
tak tahu dan mengacuhkan perasaannya
dengan dalih tak ada pulsa untuk bertanya dan parahnya malah terlanjur lupa
untuk menanyakan artinya. Aku telah mengacuhkan perasaannya.. “maaf, ia…”
03 Agustus 2010. Bersama Sho, aku kembali berkunjung
ke rumahnya. Tapi, kunjungan kami
kali ini memiliki alasan yang kurang menyenangkan. Karena ia saat itu sedang dalam kondisi sakit. Perasaan cemas mulai
merajam hatiku tentang kondisinya.
Dan usai melihat keadaannya saat
itu, aku dan Sho tahu, kondisinya sangat-sangat
parah. Sepulang dari rumahnya aku
dilingkupi kecemasan yang tak berujung.
04 Agustus 2010. Malam terang tanpa gemintang. Aku tak
bisa lelap tidur. Hal ini bagiku sungguhlah aneh. Karena tak biasanya aku
merasa sulit tidur. Tiba-tiba saja kecemasan tentangnya kembali menyergapku, setelah aku mulai merasa tenang usai
mendoakannya dalam shalat isya. Ah!
Buru-buru kuusir rasa cemas itu dengan mengambil wudlu dan shalat witir.
Selesai shalat aku berdo’a. Dalam do’aku itu aku meminta.
“Yaa Rabb… berikanlah kesembuhan baginya.
Kesembuhan yang tiada lagi penyakit sesudahnya. Kesembuhan yang akan semakin
mendekatkan dirinya kepada-Mu.
Kesembuhan yang akan membuatnya
mampu merengkuh keindahan cinta-Mu. Amin.”
Saat itu aku tak tahu bahwa Allah akan mengabulkan do’aku keesokan
paginya… dalam jalan lain dari maksud do’aku.
05 Agustus 2010.
Pagi buta pukul 03.00 aku terbangun. Makan, lantas
menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke Ciputat. Selesai itu, jam 4-nya
aku turut menumpang angkot Mang Sarlan yang akan mengantarkanku hingga terminal
Kalideres. Dari Kalideres, aku singgah dulu ke masjid untuk shalat. Lalu aku
teringat, bahwa aku belum berniat untuk puasa sunnah hari kamis. Kemudian,
setelah meniatkan diri puasa, berangkatlah aku dengan menaiki bus way menuju Ciputat.
Entah kenapa. Sepanjang perjalanan itu aku selalu
teringat ia. Bahkan aku cukup gila
untuk berbincang-bincang sendiri dalam hati. Mengandaikan aku sedang berbincang
dengannya di bus way itu. Gila.
Sungguh gila.
Setelah lewat beberapa menit dari jam 5, aku mendapat
ilham kata-kata cantik yang ingin sekali kukirimkan ke banyak orang, terutama
kepada ia. Bahkan dengan yakinnya, ia adalah orang pertama yang kukirimkan
kata-kata cantik itu. Isi sms-ku seperti ini,
“Salam.,
slmt pagi wahai pjuang khdupan!
Sudahkah
senyum syukurmu mhiasi awal pagi ini?
Jk
blum, tsnyumlah!
Tsnyumlah
bsm alam yg trus bertasbih mngagungkan Dia Yang Maha Kudus..
Tsnyumlah
bsm sapaan angin yg bhmbus syahdu, sbg tanda ia tundk pd ketetapan-Nya tuk
menyejukkan alam & seisi’y..
Tsnyumlah..
Tsnyumlah
kawan,
Tsnyumlah…
Krn
snyummu,
Bgtu
indh d mata dunia.
Wahamdulillaahirabbil
‘alamiin.”
Send. Zzztt…
-----
Lagi-lagi entah kenapa. Aku merasa ada perasaan aneh
yang menghampiriku. Saat itu, usai mengirimkan pesan singkat itu ke nomornya juga ke beberapa nomor temanku
lainnya, aku merasa lega luar biasa. Kelegaan itu datangnya tiba-tiba tanpa
kutahu sebabnya apa.
Sampai di Lebak Bulus, di dalam angkutan D.02,
kelegaanku pecah dan terganti oleh keterkejutan dan rasa sedih ketika Sho
mengabarkanku sebuah berita lewat telepon. Dengan suara berat dan lirih, Sho
mengantarkan berita duka ke telingaku.
“Meii.. Ia
udah gak ada…”
Sudah. Itu saja ucapan Sho yang terdengar di
telingaku. Cukup singkat, memang. Meski begitu, hatiku bak digodam oleh palu berduri.
Kaget? Tentu. Sedih? Sangat.. tapi saat itu aku masih cukup rasional untuk
mengajak Sho pergi ke rumahnya. Kami
harus mengunjunginya. Dan jadilah
akhirnya aku yang baru tiba di Ciputat, berbalik arah dan kembali menempuh
perjalanan bersama Sho. Menuju pulang.
Sepanjang perjalanan, Sho dan aku tak henti-hentinya
menangis. Tak perduli penumpang bus way yang berdesakan, melihat tangis kami.
Terkadang Sho, dengan suara lirihnya menceritakan beberapa kenangannya bersama ia. Kadang cerita lucu. Meski kami
sama-sama tidak bisa tertawa. Justru rasa perih lah yang mengisi hati kami saat
itu. Saat kami saling bergantian bercerita tentangnya.
Setelah agak lama menangis dan saling membagi cerita
tentangnya, kami memilih untuk
berdiam diri. Sho sibuk dengan hp-nya, memberitahu orang-orang tentang kabar
pedih itu. Dan aku, memilih untuk memutar kembali memori kenangan milikku
tentangnya. Sembari melihat gerimis
yang membasahi jalanan yang kami tinggalkan jauh di belakang bus way.
Sampai di rumah ia,
keramaian dari para pelayat telah menyambut kedatanganku dan Sho. Kudapati di
beranda rumahnya sudah ada Cha-Cha,
Mimin, Imas, Dewi, juga banyak para pelayat yang tak kukenal.
Dewi… aku yakin. Mungkin di antara para pelayat yang
hadir itu, Dewi lah yang paling kehilangan ia.
Karena seperti yang sudah diketahui oleh orang terdekat ia, Dewi adalah pacarnya.
Ya. Dia adalah pacar ia selama ± 8
bulan ini.
Aku mencoba tersenyum pada Dewi. Meski sebenarnya aku
pun memiliki kehilangan yang sama. Bedanya, Dewi kehilangan seorang pacar.
Sementara aku? aku kehilangan seorang sahabat. Ia. Sahabat yang sangat baik. Dewi hanya menatapku sesaat, tak
membalas senyumku. Kuterka kepedihan ini terlalu pekat bagi hatinya hingga
membuatnya tak mampu menarik senyuman. Dewi kemudian mengembalikan tatapannya
ke tanah. Dan aku mencoba untuk memafhumkannya.
Kemudian, kualihkan pandanganku ke dalam rumah. Lebih
tepatnya adalah ke ruang tamu rumah ia.
Di sana, keberadaan sebuah keranda yang ditutupi kain hijau berlafazhkan ‘Laa Ilaa ha illallaah’ serta merta
melipatgandakan kepedihan yang kurasakan. Aku bahkan tak kuasa menahan gerimis
yang hendak turun dari sudut mataku.
Kucoba tersenyum, bisa. Mengandaikan bahwa ia ada di ruang tamu itu dan
mengharapkan aku bisa tersenyum untuknya. Lalu kudekati keranda itu. Kusentuh
pegangannya, dingin. Tapi aku tahu. Di dalam keranda itu sedang terbaring jasad
seorang dengan kepribadian yang telah menghangatkan hati orang-orang yang
dikenalnya. Termasuk aku.
…
…
Setelah termenung cukup lama, aku kembali berdiri. Kutitipkan
tas-ku pada Tjokro, adik ia, yang
kemudian ditaruhnya di dekat TV dalam ruangan yang lain. Kuperhatikan Tjokro,
ia tersenyum tipis padaku. Jika aku tak mengenal Tjokro dengan baik, aku
mungkin akan mengira ia tak merasa sedih atas kehilangan ‘kakak semata
wayangnya’ itu. Tapi aku, jelas sudah tahu. Tjokro menyimpan kesedihannya di
ke-aku-an lelakiannya. Tjokro tak bisa menangis di depan umum seperti lelaki
kebanyakan. Melihatnya, aku jadi sedikit lebih tegar.
Selanjutnya, kucari ibu ia. Kudapati beliau ada di dapur, sedang menyiapkan makanan ringan
untuk para tamu. Kuhampiri ibu, menyapanya dan kemudian memeluknya. Tapi
kemudian aku dikejutkan oleh apa yang tampak di mataku. Aku melihat ketegaran
dan kepasrahan dalam keseluruhan diri ibu ia.
Di matanya yang teduh. Di bibirnya yang tersenyum pasrah. Juga di rengkuhan
lengannya, yang balik memelukku hangat. Uhft…
aku jadi merasa malu. Lebih malu lagi, setelah ibu ia menyabarkan hatiku dengan kata-katanya.
“ini musibah,
Mel.. mesti ikhlas.. ikhlas, ya. Insya allah ia juga ikhlas..”
Kemudian, setelah cukup lama memeluk ibu, aku kembali
ke ruang tamu. Alunan surat Yaa Siin sudah terdengar. Kulihat Sho duduk menatap
keranda ia. Tamu bulanan menghalangi
Sho untuk ikut mengaji. Syukurlah, aku sedang dalam masa suci. Maka segera,
kulangkahkan kakiku ke sumur di belakang rumah. Kepada ibu ia aku ijin mengambil wudlu. Setelah berwudlu, kuambil posisi duduk
di bagian kepala keranda. Lalu aku hening menghayati suaraku yang turut
melantunkan surat Yaa Siin bersama pelayat lainnya.
“A’uudzubillaahi
minasysyaithaanirrajiim… bismillaahirrahmaanirrahiiim.. alhamdulillaahi rabbil
‘aalamiin.. arrahmaanirrahiim… maaliki yaumiddiin… iyyaaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin.. ihdinashshiraathal mustaqiim.. shiraathalladziina an ‘amta
‘alaihim. Ghairil maghdhuubi ‘alaihim. Waladhdhaaalliiin.. (aamiiiin)..
bismillaahirrahmaanirrahiim… Yaa Siin… wal Qur’aanil kariim.. innakalaminal
mursalin… ‘alaa shiraathimmustaqiim..” dst.. dst..
……
Sepanjang mengaji, aku tak kuasa menahan haru. Aku
merasa seolah-olah ia berada di
dekatku dan berkata,
‘jangan sedih ya.. semuanya bakal baik-baik aja..’
Dan dengan konyolnya, aku
turut membalas ucapan gaib yang datangnya dari benakku sendiri itu.
‘gimana gak sedih, ia.
Mei belum sempet minta maaf ke ia..
maaf, kalo dulu mei pernah gak sengaja ngegantungin perasaan ia. Maaf, karena mei gak sepeka yang
mei kira, sampe gak sadar sama semua sikap hangat ia ke mei. Mei kira ia
juga anggep Mei sebagai sahabat. Maaf ya, ia..
beneran maaf..’
Sudah. Sampai di situ saja
suara batinku bicara. Sayangnya, tak ada lagi ucapan gaib yang muncul di
benakku. Aku masih khusyu’ dengan lantunan surat Yaa Siin. Namun hatiku tak
lagi gerimis karena rasa sedih, melainkan sudah banjir. Banjir oleh rasa sedih
juga rasa bersalah yang bercampur jadi satu rasa yang…. Entahlah..
---
Sekian kenanganku tentang ia.
Hampir empat tahun telah
berlalu dari hari wafatnya ia,
sahabatku yang baik. Di hari itu, 5 Agustus 2010, aku memilih untuk tidak
mengantarkan ia sampai ke kuburnya. Alasannya klise. Aku belum bisa
melepas kepergiannya saat itu. Ada
beban rasa bersalah yang kumiliki terhadapnya
saat itu. Rasa bersalah yang terkadang masih juga kurasakan hingga kini, setiap
kali aku mengingat kenangan tentang ia.
Meski begitu, aku sudah belajar pada sang waktu. Selama tiga tahun lalu aku
mencoba untuk memaafkan khilafku. Kutegaskan dalam hati bahwa kekhilafanku
adalah hal yang lumrah. Dan tak sepatutnya aku terlalu membesar-besarkan rasa
bersalah itu. Manusia berbuat salah itu lumrah. Yang menjadi masalah adalah
jika manusia sudah melumrahkan diri untuk berbuat salah. Itu jelas salah. Jadi..,
gitu lah.
Sekitar pertengahan tahun
2012 lalu, aku (akhirnya) mengunjungi
makam ia bersama Sho. Di momen itu,
aku akhirnya bisa melepaskan beban yang kusimpan selama masa sebelumnya. Di
samping Sho, aku bicara. Kata-kataku saat itu kutujukan untuk ia. Inti dari ucapanku saat itu adalah
tentang permohonan maafku kepada ia.
Dan Sho, yang juga turut mendengarkan ucapanku akhirnya membagikan beberapa
cerita tentang ia. Alhamdulillaah… Cerita
Sho itu bisa turut membantuku merasa lega. Yah. Begitu lah..
Itulah ceritaku tentang ia, sahabatku. Ia, sahabat baikku. Harapku untuknya, semoga ia
berbahagia pula di surga sana. Amin. Allahumma amin. ^_^
Btw, aku belum menuliskan
nama ia yang sebenarnya ya?
He.. he.. he.. maaf..
kesengajaan yang kusengaja, sih. ^_^
Jadi, salah satu sahabat
baikku di dunia ini yang kujadikan madona dalam ceritaku kali ini adalah ia. Yang akrab kusapa dengan panggilan
‘Jo’. Joko Syahridlo, nama
lengkapnya. Kembali kuharapkan sebaris do’a untuk ia. Untuk Jo,
‘Semoga Jo bisa berkumpul bersama hamba-hamba yang dicintai-Nya di surga
sana.” Amin.
---
Rancabango,
Joko Syahridlo.
Lahir tgl. 4
Oktober 1989
Wafat pada Kamis,
5 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar