Senin, 14 Juli 2014

"Ia" adalah...

7 Desember 2006. Perjumpaan pertamaku dengan ia di rumah, pada suatu sore yang cerah. Ia datang bersama seorang sahabatku, Sho. Berdua, mereka memberikanku sebuah hadiah untuk usia 16-ku. Sebuah Kumcer (kumpulan Cerpen) dengan judul ’17 Tahun’. Sedikit berguyon, kugoda mereka.
“umur mei kan baru 16. Kok dikasih buku yang judulnya 17 tahun sih?”
Sho dan ia tersenyum menanggapi guyonanku. Dalam hati, kudo’akan kebaikan yang lebih baik untuk mereka. Sho dan Ia. Amin.
24 Februari 2007. Ia mengirim pesan singkat aneh yang berisi kata-kata, “mei… te amor”. Aku tak mengerti makna pesan singkat itu. Dan, oleh karena saat itu pun aku tak memiliki pulsa, akhirnya aku hanya mengingatkan diri sendiri untuk menanyakan maksud pesannya itu, kelak. Segera setelah kuisi pulsaku. Sayang disayang, ingatanku itu terlalu lemah dan harus mengalah pada khilaf dan lupa.
Pertengahan April 2007. Kunjungan pertamaku ke rumahnya. Ini sangat berkesan. Karena selain teduh, rumahnya juga dihiasi oleh taman yang cantik. Keterpanaanku pada taman di rumahnya telah membuatku lupa pada fakta bahwa itu juga merupakan kali pertama kunjunganku ke rumah seorang pria.
11 Nopember 2007. Ia memberiku sebuah frame foto cantik berwarna pink sebagai hadiah usia 17 tahunku. Aku menyukai pemberiannya itu. Sama sukanya dengan boneka lumba-lumba berwarna pink, pemberian Sho. Juga sama sukanya dengan kejutan siram yang direncanakan oleh Vio, seorang karib di SMA. Kukatakan kepadanya ucapan haruku atas pemberiannya. Dan ia tersenyum malu-malu. Saat itu, aku merahasiakan darinya, bahwa aku senang melihat senyum malu-malunya itu.
02 Juli 2008. Kami dalam suatu rombongan berangkat bersama untuk pendaftaran tes masuk suatu perguruan tinggi negeri di Ciputat. Saat itu, benakku sedang teralihkan dengan kehadiran pria lain. Entah kenapa aku yakin bahwa ia mengetahui rona hati yang kutujukan pada pria lain (meski aku sendiri tak sadar dengan rona hatiku sendiri). Tapi entahlah. Yang jelas, mulai sejak itulah kurasakan perubahan sikapnya terhadapku. Ia tak lagi murah senyum ketika melihatku. Aku tak lagi mendapatkan pandangan malu-malu di matanya yang bening. Sayang, aku tak terlalu memperhatikan perubahan itu.
28 September 2008. Hari pertama puasa. Kembali pula kunjunganku ke rumahnya bersama Sho, untuk ke sekian kalinya. Saat itu, kami sudah tahu bahwa hanya aku yang berhasil masuk ke perguruan tinggi yang kami tuju. Sho kemudian memilih perguruan tinggi lain. Dan ia, ia memilih untuk di rumah dahulu. Tak ada yang berubah dari hubungan kami bertiga. Kecuali saat itu aku mulai menyadari ada yang berbeda dari senyumannya. Tapi bukan oleh alasan karena ketidaklulusannya di perguruan tinggi tempatku lulus, melainkan entah karena apa.
Pertengahan Februari 2009. Aku kembali berkunjung ke rumahnya. Bersama Sho tentunya. Tapi, aku semakin yakin bahwa senyumannya telah berubah. Meski aku masih tetap belum menyadari apa penyebabnya.
20 Januari 2010. Ada sms masuk darinya ke inbox, saat aku masih di perjalanan pulang dari mengajar les di Cipete. Isinya tanya kabar. Maka jadilah akhirnya sepanjang perjalanan pulang itu kami ber-sms-an. Sangat akrab!
Awal Mei 2010 yang melelahkan. Aku baru pulang dari perkuliahan sore. Dengan santai kukirim sebuah sms padanya. Menanyakan arti ‘te amor’ yang baru kuingat dulu pernah dikirimkannya padaku. Kenapa aku ingat? Karena kebetulan saja ada seorang teman yang mendapatkan surat berisi kata-kata serupa. Dan temanku itu menanyakannya kepadaku. Sms balasannya muncul, tapi di dalamnya ia tak langsung membalas pertanyaanku. Ia malah bertanya,
‘emang kenapa, Mei?’
Kuberitahu saja padanya bahwa ada temanku yang menanyakannya. Tapi lagi-lagi ia tak langsung membalas pertanyaanku. Ia malah kembali bertanya.
‘knp baru skrg nanyany? Knp g dr dulu?’
Kembali kuberitahu ia bahwa dulu, saat ia mengirimiku sms ‘te amor’ itu, aku sedang tak ada pulsa dan kemudian malah terlanjur lupa untuk menanyakan artinya saat aku mempunyai pulsa. Ia kemudian membalas lagi.
‘coba cri za di google.. ok! Dah.. ^o^’
Ugh.. aku sebal. Ku sms saja ia seperti ini,
‘knp g mw ngsih tw c?! mang dah lupa y arti’y apa?’
Ia tak membalas. Maka kubiarkan saja kemauannya itu. Aku langsung searching di google melaui handphone-ku. Dan ternyata, barulah kuketahui arti kalimat ‘te amor’ itu. Bahwa artinya adalah,
‘aku cinta padamu’
DEG. Aku kaget. Megap-megap kugapai udara di sekitarku. Agak terkejut mengetahui arti kalimat itu, pikiranku malah berkelana dan mengantarkanku pada satu kesimpulan yang membuatku merasa bersalah. Tapi kemudian kerasionalan pikiranku kembali menyadarkanku pada keadaan. Dan aku disuruhnya untuk mengkonfirmasikan kebenaran arti kalimat ‘te amor’ itu, dengan menanyakannya kepada ia. Maka kemudian kususunlah kata-kata untuknya.
‘hei.. te amor tu artinya ‘aku cinta padamu’ y? bener g c? dan.., klo mang tu arti’y, wakt dlu… serius g ngirim’y?’
Aku menunggu balasan pesannya. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Belum ada pesan darinya yang masuk ke inbox-ku. Sepuluh menit. Setengah jam. Akhirnya aku mulai merasa geram. Aku pun sampai pada satu kesimpulan bahwa ia tak akan membalas pesanku karena ia tak ingin membalasnya. Kenapa aku tidak berpikir bahwa ia mungkin memiliki udzur yang membuatnya tak bisa membalas pesanku? Karena aku tahu, ia sedang tak ada udzur pekerjaan untuk tidak membalas sms-ku saat itu. Akhirnya, aku segera bangkit dan memilih untuk melanjutkan aktivitas sore. Aku juga memilih untuk percaya pada alasan lemah pikiranku bahwa ia mungkin memang sedang tak bisa membalas pesanku sore itu. Jadi aku akan menunggu balasan sms-nya. Mungkin nanti malam atau besok pagi sms darinya baru akan datang.
Sayang. Hinggo esok hari menjelang malam, aku tak mendapat balasan sms darinya. Akhirnya dengan pahit aku menerima kesimpulan awal yang sempat terbetik di pikiranku. Bahwa arti kalimat ‘te amor’ memang adalah ‘aku cinta padamu’. Dan itu berarti dulu ia pernah mencintaiku. Sementara aku tak tahu dan mengacuhkan perasaannya dengan dalih tak ada pulsa untuk bertanya dan parahnya malah terlanjur lupa untuk menanyakan artinya. Aku telah mengacuhkan perasaannya.. “maaf, ia…”
03 Agustus 2010. Bersama Sho, aku kembali berkunjung ke rumahnya. Tapi, kunjungan kami kali ini memiliki alasan yang kurang menyenangkan. Karena ia saat itu sedang dalam kondisi sakit. Perasaan cemas mulai merajam hatiku tentang kondisinya. Dan usai melihat keadaannya saat itu, aku dan Sho tahu, kondisinya sangat-sangat parah. Sepulang dari rumahnya aku dilingkupi kecemasan yang tak berujung.
04 Agustus 2010. Malam terang tanpa gemintang. Aku tak bisa lelap tidur. Hal ini bagiku sungguhlah aneh. Karena tak biasanya aku merasa sulit tidur. Tiba-tiba saja kecemasan tentangnya kembali menyergapku, setelah aku mulai merasa tenang usai mendoakannya dalam shalat isya. Ah! Buru-buru kuusir rasa cemas itu dengan mengambil wudlu dan shalat witir. Selesai shalat aku berdo’a. Dalam do’aku itu aku meminta.
“Yaa Rabb… berikanlah kesembuhan baginya. Kesembuhan yang tiada lagi penyakit sesudahnya. Kesembuhan yang akan semakin mendekatkan dirinya kepada-Mu. Kesembuhan yang akan membuatnya mampu merengkuh keindahan cinta-Mu. Amin.”
Saat itu aku tak tahu bahwa Allah akan mengabulkan do’aku keesokan paginya… dalam jalan lain dari maksud do’aku.
05 Agustus 2010.
Pagi buta pukul 03.00 aku terbangun. Makan, lantas menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke Ciputat. Selesai itu, jam 4-nya aku turut menumpang angkot Mang Sarlan yang akan mengantarkanku hingga terminal Kalideres. Dari Kalideres, aku singgah dulu ke masjid untuk shalat. Lalu aku teringat, bahwa aku belum berniat untuk puasa sunnah hari kamis. Kemudian, setelah meniatkan diri puasa, berangkatlah aku dengan menaiki bus way menuju Ciputat.
Entah kenapa. Sepanjang perjalanan itu aku selalu teringat ia. Bahkan aku cukup gila untuk berbincang-bincang sendiri dalam hati. Mengandaikan aku sedang berbincang dengannya di bus way itu. Gila. Sungguh gila.
Setelah lewat beberapa menit dari jam 5, aku mendapat ilham kata-kata cantik yang ingin sekali kukirimkan ke banyak orang, terutama kepada ia. Bahkan dengan yakinnya, ia adalah orang pertama yang kukirimkan kata-kata cantik itu. Isi sms-ku seperti ini,
“Salam., slmt pagi wahai pjuang khdupan!
Sudahkah senyum syukurmu mhiasi awal pagi ini?
Jk blum, tsnyumlah!
Tsnyumlah bsm alam yg trus bertasbih mngagungkan Dia Yang Maha Kudus..
Tsnyumlah bsm sapaan angin yg bhmbus syahdu, sbg tanda ia tundk pd ketetapan-Nya tuk menyejukkan alam & seisi’y..
Tsnyumlah..
Tsnyumlah kawan,
Tsnyumlah…
Krn snyummu,
Bgtu indh d mata dunia.
Wahamdulillaahirabbil ‘alamiin.”
Send. Zzztt…
-----
Lagi-lagi entah kenapa. Aku merasa ada perasaan aneh yang menghampiriku. Saat itu, usai mengirimkan pesan singkat itu ke nomornya juga ke beberapa nomor temanku lainnya, aku merasa lega luar biasa. Kelegaan itu datangnya tiba-tiba tanpa kutahu sebabnya apa.
Sampai di Lebak Bulus, di dalam angkutan D.02, kelegaanku pecah dan terganti oleh keterkejutan dan rasa sedih ketika Sho mengabarkanku sebuah berita lewat telepon. Dengan suara berat dan lirih, Sho mengantarkan berita duka ke telingaku.
“Meii.. Ia udah gak ada…”
Sudah. Itu saja ucapan Sho yang terdengar di telingaku. Cukup singkat, memang. Meski begitu, hatiku bak digodam oleh palu berduri. Kaget? Tentu. Sedih? Sangat.. tapi saat itu aku masih cukup rasional untuk mengajak Sho pergi ke rumahnya. Kami harus mengunjunginya. Dan jadilah akhirnya aku yang baru tiba di Ciputat, berbalik arah dan kembali menempuh perjalanan bersama Sho. Menuju pulang.
Sepanjang perjalanan, Sho dan aku tak henti-hentinya menangis. Tak perduli penumpang bus way yang berdesakan, melihat tangis kami. Terkadang Sho, dengan suara lirihnya menceritakan beberapa kenangannya bersama ia. Kadang cerita lucu. Meski kami sama-sama tidak bisa tertawa. Justru rasa perih lah yang mengisi hati kami saat itu. Saat kami saling bergantian bercerita tentangnya.
Setelah agak lama menangis dan saling membagi cerita tentangnya, kami memilih untuk berdiam diri. Sho sibuk dengan hp-nya, memberitahu orang-orang tentang kabar pedih itu. Dan aku, memilih untuk memutar kembali memori kenangan milikku tentangnya. Sembari melihat gerimis yang membasahi jalanan yang kami tinggalkan jauh di belakang bus way.
Sampai di rumah ia, keramaian dari para pelayat telah menyambut kedatanganku dan Sho. Kudapati di beranda rumahnya sudah ada Cha-Cha, Mimin, Imas, Dewi, juga banyak para pelayat yang tak kukenal.
Dewi… aku yakin. Mungkin di antara para pelayat yang hadir itu, Dewi lah yang paling kehilangan ia. Karena seperti yang sudah diketahui oleh orang terdekat ia, Dewi adalah pacarnya. Ya. Dia adalah pacar ia selama ± 8 bulan ini.
Aku mencoba tersenyum pada Dewi. Meski sebenarnya aku pun memiliki kehilangan yang sama. Bedanya, Dewi kehilangan seorang pacar. Sementara aku? aku kehilangan seorang sahabat. Ia. Sahabat yang sangat baik. Dewi hanya menatapku sesaat, tak membalas senyumku. Kuterka kepedihan ini terlalu pekat bagi hatinya hingga membuatnya tak mampu menarik senyuman. Dewi kemudian mengembalikan tatapannya ke tanah. Dan aku mencoba untuk memafhumkannya.
Kemudian, kualihkan pandanganku ke dalam rumah. Lebih tepatnya adalah ke ruang tamu rumah ia. Di sana, keberadaan sebuah keranda yang ditutupi kain hijau berlafazhkan ‘Laa Ilaa ha illallaah’ serta merta melipatgandakan kepedihan yang kurasakan. Aku bahkan tak kuasa menahan gerimis yang hendak turun dari sudut mataku.
Kucoba tersenyum, bisa. Mengandaikan bahwa ia ada di ruang tamu itu dan mengharapkan aku bisa tersenyum untuknya.  Lalu kudekati keranda itu. Kusentuh pegangannya, dingin. Tapi aku tahu. Di dalam keranda itu sedang terbaring jasad seorang dengan kepribadian yang telah menghangatkan hati orang-orang yang dikenalnya. Termasuk aku.
Setelah termenung cukup lama, aku kembali berdiri. Kutitipkan tas-ku pada Tjokro, adik ia, yang kemudian ditaruhnya di dekat TV dalam ruangan yang lain. Kuperhatikan Tjokro, ia tersenyum tipis padaku. Jika aku tak mengenal Tjokro dengan baik, aku mungkin akan mengira ia tak merasa sedih atas kehilangan ‘kakak semata wayangnya’ itu. Tapi aku, jelas sudah tahu. Tjokro menyimpan kesedihannya di ke-aku-an lelakiannya. Tjokro tak bisa menangis di depan umum seperti lelaki kebanyakan. Melihatnya, aku jadi sedikit lebih tegar.
Selanjutnya, kucari ibu ia. Kudapati beliau ada di dapur, sedang menyiapkan makanan ringan untuk para tamu. Kuhampiri ibu, menyapanya dan kemudian memeluknya. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh apa yang tampak di mataku. Aku melihat ketegaran dan kepasrahan dalam keseluruhan diri ibu ia. Di matanya yang teduh. Di bibirnya yang tersenyum pasrah. Juga di rengkuhan lengannya, yang balik memelukku hangat. Uhft… aku jadi merasa malu. Lebih malu lagi, setelah ibu ia menyabarkan hatiku dengan kata-katanya.
“ini musibah, Mel.. mesti ikhlas.. ikhlas, ya. Insya allah ia juga ikhlas..”
Kemudian, setelah cukup lama memeluk ibu, aku kembali ke ruang tamu. Alunan surat Yaa Siin sudah terdengar. Kulihat Sho duduk menatap keranda ia. Tamu bulanan menghalangi Sho untuk ikut mengaji. Syukurlah, aku sedang dalam masa suci. Maka segera, kulangkahkan kakiku ke sumur di belakang rumah. Kepada ibu ia aku ijin mengambil wudlu. Setelah berwudlu, kuambil posisi duduk di bagian kepala keranda. Lalu aku hening menghayati suaraku yang turut melantunkan surat Yaa Siin bersama pelayat lainnya.
“A’uudzubillaahi minasysyaithaanirrajiim… bismillaahirrahmaanirrahiiim.. alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.. arrahmaanirrahiim… maaliki yaumiddiin… iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.. ihdinashshiraathal mustaqiim.. shiraathalladziina an ‘amta ‘alaihim. Ghairil maghdhuubi ‘alaihim. Waladhdhaaalliiin.. (aamiiiin).. bismillaahirrahmaanirrahiim… Yaa Siin… wal Qur’aanil kariim.. innakalaminal mursalin… ‘alaa shiraathimmustaqiim..” dst.. dst..
……
Sepanjang mengaji, aku tak kuasa menahan haru. Aku merasa seolah-olah ia berada di dekatku dan berkata,
             ‘jangan sedih ya.. semuanya bakal baik-baik aja..’
Dan dengan konyolnya, aku turut membalas ucapan gaib yang datangnya dari benakku sendiri itu.
             ‘gimana gak sedih, ia. Mei belum sempet minta maaf ke ia.. maaf, kalo dulu mei pernah gak sengaja ngegantungin perasaan ia. Maaf, karena mei gak sepeka yang mei kira, sampe gak sadar sama semua sikap hangat ia ke mei. Mei kira ia juga anggep Mei sebagai sahabat. Maaf ya, ia.. beneran maaf..’
Sudah. Sampai di situ saja suara batinku bicara. Sayangnya, tak ada lagi ucapan gaib yang muncul di benakku. Aku masih khusyu’ dengan lantunan surat Yaa Siin. Namun hatiku tak lagi gerimis karena rasa sedih, melainkan sudah banjir. Banjir oleh rasa sedih juga rasa bersalah yang bercampur jadi satu rasa yang…. Entahlah..
---
Sekian kenanganku tentang ia.
Hampir empat tahun telah berlalu dari hari wafatnya ia, sahabatku yang baik. Di hari itu, 5 Agustus 2010, aku memilih untuk tidak mengantarkan ia sampai ke kuburnya. Alasannya klise. Aku belum bisa melepas kepergiannya saat itu. Ada beban rasa bersalah yang kumiliki terhadapnya saat itu. Rasa bersalah yang terkadang masih juga kurasakan hingga kini, setiap kali aku mengingat kenangan tentang ia. Meski begitu, aku sudah belajar pada sang waktu. Selama tiga tahun lalu aku mencoba untuk memaafkan khilafku. Kutegaskan dalam hati bahwa kekhilafanku adalah hal yang lumrah. Dan tak sepatutnya aku terlalu membesar-besarkan rasa bersalah itu. Manusia berbuat salah itu lumrah. Yang menjadi masalah adalah jika manusia sudah melumrahkan diri untuk berbuat salah. Itu jelas salah. Jadi.., gitu lah.
Sekitar pertengahan tahun 2012 lalu, aku  (akhirnya) mengunjungi makam ia bersama Sho. Di momen itu, aku akhirnya bisa melepaskan beban yang kusimpan selama masa sebelumnya. Di samping Sho, aku bicara. Kata-kataku saat itu kutujukan untuk ia. Inti dari ucapanku saat itu adalah tentang permohonan maafku kepada ia. Dan Sho, yang juga turut mendengarkan ucapanku akhirnya membagikan beberapa cerita tentang ia. Alhamdulillaah… Cerita Sho itu bisa turut membantuku merasa lega. Yah. Begitu lah..
Itulah ceritaku tentang ia, sahabatku. Ia, sahabat baikku. Harapku untuknya, semoga ia berbahagia pula di surga sana. Amin. Allahumma amin. ^_^
Btw, aku belum menuliskan nama ia yang sebenarnya ya?
He.. he.. he.. maaf.. kesengajaan yang kusengaja, sih. ^_^
Jadi, salah satu sahabat baikku di dunia ini yang kujadikan madona dalam ceritaku kali ini adalah ia. Yang akrab kusapa dengan panggilan ‘Jo’. Joko Syahridlo, nama lengkapnya. Kembali kuharapkan sebaris do’a untuk ia. Untuk Jo,
‘Semoga Jo bisa berkumpul bersama hamba-hamba yang dicintai-Nya di surga sana.” Amin.
---
Rancabango,
Joko Syahridlo.
Lahir tgl. 4 Oktober 1989
Wafat pada Kamis, 5 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar