Selasa, 08 Juli 2014

Menopause-ku….. Kapan Ya?



10 Ramadhan 1435 H.
Selasa, Menjelang subuh.
Alhamdulillah.. sudah masuk hari ke sepuluh bulan Ramadhan. Meskipun hingga saat kutulis catatan ini, aku masih haid (bolong enam, euy!). Aku masih tetap happy dan bisa menikmati berkahnya bulan Ramadhan.
Keberkahan itu bentuknya bermacam-macam. Beberapa di antaranya antara lain: aku bisa melihat hujan di beberapa hari di bulan Juli ini, proses muraja’ah-ku untuk surat al Baqoroh juga Alhamdulillah lancar, kondisi badanku yang jauh lebih baik dalam menghadapi pergantian cuaca yang tak jelas (hujan-panas-hujan-panas-…), Emak-Bapak-Herdi yang juga Alhamdulillah sehat, serta meriahnya Ramadhan tahun ini dengan kehadiran Bunde’ Rum di rumah. Alhamdulillah! ^_^
Bunde’ Rum adalah istri ke tiga Abah Ende’ (ayahnya Bapak), setelah pernikahan Abah (panggilan akrabku ke Abah Ende’) dengan Mande’ Saneh (emaknya Bapak) dan Mande’ Pisangan (emaknya Mang Yusuf) berakhir. Usut punya usut, ternyata Bunde’ Rum menikah dengan Abah tuh pada tahun dua ribu. 2000! Wow! Sungguh! Aku baru tahu fakta ini kemarin sore.
Jadi, sewaktu aku sedang menyapu teras rumah, aku iseng bertanya kepada Bunde’ tentang kisah pernikahannya dengan Abah.
Eh, salah! Bukan tentang pernikahan, ding! yang kutanyakan pertama kali. Hal pertama yang kutanyakan sebenarnya adalah tentang kapan pertama kalinya Bunde’ bisa full-shaum, alias puasa ramadhan penuh, alias tidak haid lagi, alias masa menopause-nya yang pertama?. (hadeuh… lagi-lagi kebanyakan alias.. Mel.. Mel…*-*)
Bunde’ yang saat itu sedang rebahan di bale depan rumah pun menjawab pertanyaanku. Kurang lebih, berikut ini adalah redaksi tanya-jawab kami pada sore lalu.
Aku                 : (sambil nyapu teras) Bunde’, Bunde kapan pertama kali puasa penuh?
Bunde’ Rum   : (rebahan di bale) kapan kali… udah lama. Dari belon kawin aja sama Bah’nde.
Aku                 : (masih fokus nyapu. Iseng-iseng nanya lagi) terus Bunde’ kapan nikah sama Abah Ende’? tahun berapa, Bunde’?
Bunde’ Rum   : taun dua rebu.
Aku                 : (berhenti nyapu. Langsung nengok ke Bunde’) tahun dua ribu, Bunde’? beneran? (kaget euy!) meli kira tahun dua ribuan…
Bunde’ Rum   : iya. Dua rebu.
Aku                 : (masih kaget) berarti Bunde’ sama Abah udah lama juga ya. 14 tahun.
Bunde’ Rum   : (tersenyum mendengar keterkejutan yang kusampaikan)
Aku                 : atuh itu mah sewaktu meli belum lulus SD ya, Bunde’?
Bunde’ Rum   : iya, lah. Si Umboh aja masih SMP, apa belum kali.
[Bi Umboh adalah putri bungsu dari pernikahan Abah Ende’ dengan Mande’ Saneh. Menurut Bapak, Abah Ende’ menikah dengan Mande’ Pisangan sewaktu Bi Umboh masih dalam kandungan. Itulah sebabnya di masa remajanya, hubungan Bi Umboh dengan Abah kurang harmonis. Tapi Alhamdulillah… Setelah Bi Umboh menikah, hubungan bapak-anak itu mulai membaik. Abah bahkan mengingat nama kedua anak Bi Umboh, yakni Alpi dan Adam. Padahal, hingga wafatnya Abah sudah berumur 93 tahun. Hebat ya si Abah ini! ^_^)
Aku                 : Oo… (manggut-manggut, terus lanjutin nyapu teras)
Selanjutnya, bisa kusimpulkan bahwa masa menopause Bunde’ ternyata sudah cukup lama terjadi. Belasan tahun lalu. Wow! Ini sungguh mengherankan. Mengingat fisik Bunde’ yang masih tampak muda (awal 60-an), aku tak menyangka bahwa aku bisa bertemu dengan wanita yang masa menopause-nya datang di sekitar usia 40-an. Itu masih cukup muda. Aku kembali terkejut ketika kubaca di google, bahwa wanita yang menopause-nya di usia 40-an itu ternyata tak sedikit jumlahnya. Artinya, cukup banyak.
Tiba-tiba saja terbayang di benakku sosok Bunda Khadijah, istri pertama baginda Rasul saw. Hatiku bertasbih memuji Allah. Menyadari keberkahan yang dianugerahkan Allah kepada Bunda Khadijah. Anugerah apakah?
Jadi begini…
Bunda Khadijah menikah dengan nabi Muhammad saw. saat usia masing-masing mereka adalah 40 dan 25 tahun. Meski usianya lebih tua 15 tahun, rahim Khadijah telah diberkahi oleh Allah sehingga masih mampu melahirkan dua orang putra dan empat orang putri setelah di pernikahan sebelumnya ia telah melahirkan dua orang putra dan seorang putri. Nama putra-putrinya dari hasil pernikahannya dengan Muhammad saw. antara lain Qasim, Zainab, Abdullah, Ruqayyah, Ummi Kultsum, Fathimah. Walaupun kedua putranya (Qasim dan Abdullah) meninggal sewaktu balita dan bayi, hal itu tetap tak merubah fakta bahwa Khadijah masih kuat untuk melahirkan di usia 50-an.
Lebih jelasnya lagi adalah saat kelahiran putri bungsunya, Fathimah di usia 50-an. Keberkahan masih jelas diperuntukkan kepada Khadijah, dengan keluarnya ASI untuk Fathimah. Subhanallah!. (kalau zaman sekarang, masih ada gak ya, wanita umur 50-an yang masih bisa ngeluarin ASI? Hmm… gak yakin ada, deh. Kalaupun ada, tentunya mereka termasuk ke dalam golongan minor dari yang paling minor. Alias, jumlahnya sangat-sangat sedikit.) Maha Suci Allah untuk keberkahan yang dilimpahkan-Nya kepada Khadijah, wanita yang juga terkenal dengan gelar ath-Thahirah ini.
[Ath Thahirah = Yang senang menyucikan diri]
[sebelum menikah dengan rasulullah saw., Khadijah telah menikah dua kali. Suami pertamanya meninggal dan meninggalkan Khadijah bersama dua orang putra mereka, Halah dan Hindun. Kemudian, Khadijah menikah lagi dengan Atik bin Aziz, seorang bangsawan terkenal. Dari pernikahan ke duanya, Khadijah melahirkan seorang putri yang diberinya nama Hindun. Sayangnya perangai buruk Atik telah menyebabkan keduanya memilih bercerai. Menjandalah lagi Khadijah binti Khuwailid ra.
Dari pernikahan ke duanya, Khadijah menjadi lebih berhati-hati dalam memilih imam bagi keluarganya. Ia tak segan-segan menolak banyak lamaran yang ditujukan kepadanya. Sebelum akhirnya ia bertemu dan terpesona dengan akhlak mulia seorang pemuda yatim-piatu bernama Muhammad (saw.). Khadijah pun akhirnya menikah dengan Muhammad (saw.).
Di pernikahan yang terakhir inilah Khadijah bisa merasa sangat bahagia. Setia mendampingi Muhammad (saw.) yang dibebankan amanah kerasulan, Khadijah ikhlas mengorbankan semua harta kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan hidup kaum muslim yang saat itu teraniaya dalam pengucilan selama tiga tahun. Hingga kekayaannya habis karena boikot kaum Quraisy terhadap kaum muslimin, Khadijah tak mempermasalahkannya. Bahkan hingga wafatnya, Khadijah masih setia mendampingi nabi saw. untuk tetap tinggal di Mekah. Sementara beberapa kaum muslimin (termasuk putrinya, Ruqayyah) telah hijrah ke Habasyah.
Khadijah ra. Wafat di pembaringan, di sisi nabi. Meski begitu, seluruh dunia dan semesta serempak mengakui bahwa ia adalah istri yang paling dicintai oleh sang khatamun nabiyyin, saw. Namanya selalu disebut-sebut di hadapan istri-istri nabi yang lain. Bahkan bertahun-tahun setelah ia wafat.
Salam dan rahmat untuk Bunda Khadijah ra. Amin.]
Kembali ke topik ‘Menopause’.
Jadi, aku geleng-geleng kepala. Antara takjub dengan keberkahan Bunda Khadijah yang masih bisa melahirkan di usia 50-an, juga heran dan bertanya-tanya apa sebabnya banyak perempuan zaman sekarang yang masa menopause-nya datang di usia dini?.
Tanya kenapa? Tanya kenapa?
Akhirnya kuterka-terka sendiri, jawabannya.
Aku teringat dengan pengakuan Bunde’ Rum jauh-jauh hari sebelumnya. Saat itu Bunde’ mengatakan bahwa sejak kecil ia terbiasa langsung meminum obat (entah obat warung maupun obat apotek), manakala ia sakit. Ya sakit kepala. Sakit perut. Sakit flue. Bunde’ selalu minum obat. Bunde’ bahkan juga semangat menyuruhku untuk minum obat setiap kali badanku dirasanya terlalu hangat (mengira aku demam), atau mendengar suara bersinku. Hatchim! Hatchim!
Dengan lembut, kutolak saran Bunde’ tuk meminum obat itu. Kukatakan kepadanya bahwa suhu badanku memang lebih hangat dibandingkan orang lainnya. Dan akan menjadi lebih-lebih hangat lagi jika aku akan demam di malam harinya. Kusampaikan padanya bahwa aku sudah terbiasa dengan demam. Jadi ia tak perlu terlalu mengkhawatirkanku. Adapun kegiatan Hatchim! Hatchim!-ku di setiap harinya adalah hal yang juga sudah biasa kualami. Dengan kocak kukatakan padanya, begini:
“Bunde’. Kalau meli bersinnya dua kali, itu masih normal. Kalo udah tiga kali setiap bersinnya, hatchim! Hatchim! Hatchim!, nah! Itu baru berarti badan Mel lagi lemah kondisinya.” Ha. Ha. Ha. Bunde’ selalu tersenyum setiap kali kukatakan kalimat di atas.
Namun, ketika aku bersin tiga kali, aku masih memiliki dalih untuk tidak minum obat. Dengan hidung meler, pandangan sayu, dan muka agak memerah (karena demam) aku berkata pada Bunde’, juga siapa pun yang menyuruhku minum obat.
“flue-mah cukup istirahat sama minum yang cukup. Insya Allah sembuh sendiri.”
Dan Bunde’ juga orang-orang yang sebelumnya menyuruhku minum obat pun akhirnya memilih untuk membiarkanku dengan argumenku. Meski entah apa yang mereka dumelkan dalam hati. ^_^
Hmm… Jujur saja. Kalimat terakhirku tentang ‘sembuh sendiri’ itu tidak kudapat dari hasil perenungan berhari-hari atau pun dari bertapa melewati dua-tiga musim (halah! Bahasamu itu, Mel…). Kalimat itu adalah hasil kutipan dari ucapan seorang kawanku. Dia selalu menyarankanku untuk tidak terlalu bergantung kepada obat. Menurutnya, tubuh manusia pun sebenarnya sudah memiliki sistem dan mekanisme penyembuhan sendiri, asal bersikap sesuai yang dianjurkan.
Ambil contoh sakit Flue. Menurut kawanku, obat sakit Flue yang paling baik adalah istirahat yang cukup (gak begadang) dan minum air putih yang banyak (gak sampe segalon juga kallee… ^o^). Air putihnya pun harus biasa. Tidak dingin karena diberi batu es. Dan aku, sebagai seorang pengagum ilmu pengetahuan pun akhirnya menuruti nasihat kawanku itu. Ini tuh ilmu loh! Ilmu!
Aku juga jadi ingat dengan perkuliahan Kimia yang disampaikan oleh Pak Adi, salah seorang dosen yang kufavoritkan.
Eh! Salah (lagi)! Maaf.. bukan Pak Adi, ding! Tapi Bu Nanda. (faktor usia, jadi sering lupa. ^_^ hi. Hi. Hi.). Dosen muda ini pernah menyampaikan di sela perkuliahannya. Bahwa daya imun (kekebalan tubuh) manusia bisa menurun setiap kali pengkonsumsian obat-obat kimia.
Maksudnya???
Maksudnya begini.
Jadi, Bu Nanda nasihatin. Kalo minum obat resep dari dokter (terutama obat antibiotik) tuh, harus diminum habis. Jangan setengah-setengah atau berhenti minum pas ngerasa diri udah agak sehat. Padahal ‘mah masih ada beberapa butir obat yang belum diminum. Obat itu harus diminum habis. Suka gak suka. Mau gak mau. Karena kalau gak dihabisin, besar kemungkinan bakteri/virus penyakit yang ada di dalam tubuh tuh belum bener-bener mati. Jadi nanti kalo penyakitnya kumat lagi, bakteri/virus itu akan jadi lebih kebal dengan obat yang pernah diminum (gak sampe habis). Hingga akhirnya diperluin dosis atau bahkan jenis obat baru yang lebih keras sifat kimianya demi kesembuhan. Padahal kan, obat yang terlalu keras sifat kimianya, atau terlalu besar dosisnya juga gak baik buat tubuh. Karena setahuku, setiap benda kimia yang masuk ke dalam tubuh tuh gak semuanya bisa diserap atau disaring, loh. Pasti ada aja yang mengendap dalam organ-organ tertentu. Dan jika endapan ini jumlahnya udah numpuk, maka akan memunculkan masalah-masalah baru seperti kurang optimalnya fungsi kerja organ atau malah organ tersebut juga bisa mengalami kegagalan fungsi. Lebih parahnya, penumpukan benda-benda kimia dalam tubuh juga bisa memicu munculnya penyakit parah, semisal kanker. Wuiiih… serem kan?
So, manut aja deh sama nasihat dokter. Oke? ^_^
Nah loh! Lha kok jadi nyasar ke topik ‘penyakit’? kita ‘kan lagi bahas topik ‘menopause’??
Hmm.. sebenarnya, kita gak nyasar jauh-jauh amat kok.
Tadi kan sudah kusampaikan di awal tulisan. Bahwa Bunde’ Rum sudah terbiasa minum obat sedari ia masih kecil. Jadi, dari fakta itu, aku membuat dugaan bahwa besar kemungkinan salah satu faktor datangnya Menopause yang terlalu dini pada diri Bunde’  disebabkan oleh kebiasaannya yang selalu bergantung pada obat. Apalagi Bunde’ juga mengakui kalau rahimnya tidak subur.
(Masya Allah! Semoga rahimku subur-makmur. Amin!)
So, semakin kuatlah tekadku untuk menghindari minum obat. Aku akan lebih bergantung pada daya imun tubuhku dan percaya padanya. Tentunya, aku pun harus memberikan gizi yang cukup dan baik untuk tubuhku. Agar aku bisa tetap sehat. Atau kalaupun flue, flue-nya ya yang seperti sekarang-sekarang saja. Hatchim! Hatchim! Cukup dua kali. Atau malah lebih baik tidak usah flue lagi. Amiin..
Oke. Cukup di sini dulu ya ceritaku. Insya Allah akan ada kesempatan untuk bercerita lagi.
Pesanku, say “no” to drug, and “yes” to keep healthy. (bener gak tuh, grammer-nya?? ^_^ he.he. he.)
See Yaa!

[daftar referensi:
1. Biografi “Muhammad” karya Martin Lings,cetakan V. Diterbitkan oleh Serambi Ilmu Semesta pada tahun 2008.
2. Novel biografi “Khadijah” karya Sibel Eraslan, cetakan IIl. Diterbitkan oleh Kaysa Media pada tahun 2014
3. Serta bahan bacaan terkait lainnya yang pernah kubaca, namun kulupa sumbernya. Semoga pahala juga mengalir atas para penulisnya. amin ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar