Kamis, 03 Juli 2014

Jaulah Kurma, Kenangan Lama



Kamis, 05 Ramadhan 1435 H.
Mendekati waktu subuh.

Huray!
Alhamdulillah!
^_^
Hari ini adalah hari ke-lima ramadhanku di 1435 H. Dan aku sudah b-o-l-o-n-g 2 hari. Hmm. Sedikit sedih sih. Karena harus b-o-l-o-n-g di awal bulan. Tapi tetap, alhamdulillaah… ‘ala kulli hal (puji syukur kepada Allah untuk setiap keadaan).
Btw, kemarin pagi aku dan bapak jaulah ke rumah-rumah saudara. Alhamdulillah tahun ini keluargaku pun bisa bagi-bagi kurma ke para kerabat terdekat kami, juga ke beberapa tetangga fakir. Senang rasanya hatiku setiap kali menjalankan rutinitas tahunan ini. Aku bisa bertatap muka, mengenal tetangga  fakir baru, belajar banyak hal dari kehidupan mereka-mereka yang kukunjungi, dan juga tak perlu pusing membuat alasan untuk bisa bermain (dan berlama-lama) di rumah bibi dan ua-ku. Hi. Hi. Hi. ^o^
[keluarga dari pihak bapakku termasuk ke dalam keluarga besar. Jelas aja lah keluarga besar. Lha wong 11 bersaudara.. dengan bapakku sebagai putra ke tiga. Nah, dari 11 bersaudara itu, hanya keluarga kecil bapak dan keluarga kecil Mang Amad lah yang memilih untuk tinggal memisah dari komplek rumah keluarga besar kami. Tak terlalu jauh juga sih. Sekitar 200 meter lah, jaraknya.
Sewaktu kecil, aku lebih sering tinggal bersama Mak Ati, tetehnya bapak, yang tinggal di komplek rumah keluarga besar kami. Saat itu emak sering pergi ngoyos, alias bantu nanam dan panenin padi di sawah. Sampai umur tiga setengah tahun, ketika rumah keluarga kecilku sudah dibangun, aku ikut pindah bersama emak, bapak dan herdi. Meski begitu, aku masih sering bolak/balik main ke rumah Mak Ati hingga umurku yang ke sembilan. Mulai umur belasan, diam-diam aku sering merindukan keramaian yang biasa menghiasi suasana di komplek rumah keluarga besarku itu. Berbeda jauh dengan suasana teduh dan hening di rumahku saat ini.]
Hari ini, aku berlama-lama di rumah Bi Umboh, adik bungsu bapak. Di rumahnya yang memang juga menjadi lokasi warung mungilnya, kudapati beberapa sepupu-sepupu mungilku. Ada Dina, Intan, Alvi, Adam, juga seorang anak tetangga, Yudhi. Di rumah Bi Umboh, mulai dari jam ½ 11 sampai ½ 3, aku mengobrol, mendengar ocehan dan fantasi para bocah tentang dunia kegaiban.
[Adam mengaku melihat kuntilanak sedang ayunan di tengah siang bolong itu. Tapi Dina menyanggahnya. Dina mengatakan bahwa itu bukan kuntilanak, melainkan Intan, sepupuku yang umurnya baru lima tahun. Dalam hati kubilang, “Adam tega bener. Masa’ Intan yang cantik gitu dibilang kuntilanak. Apalagi aku kalo lagi ayunan. Bisa-bisa dibilang wewegombel atau malah mak lampir. Hii..”.]
Aku pun menjadi barber dadakan (biasa… Dina dan Alvi memintaku untuk mencaci kelabang rambut mereka), dan juga… ngemil dan makan. ^o^ yap! Bareng Bi Umboh yang ternyata juga sedang haid, aku asyik melahap lauk tempe dan ikan asin dengan kuahnya sayur asem. Saat itu pintu rumah sengaja ditutup setengah. (Jelas aja laah.. kan malu, kalau ada orang yang lewat terus ngelihat kita lagi asyik makan!)
Jam ½ 3 aku pulang. Sesampainya di rumah, kulihat ada temannya Bunde Rum sedang memangku cucunya di bale. Nama cucunya adalah Tian. Anaknya lucu, chubby, aktif, dan ngegemesin. Tapi, begitu kupangku Tian dan kulantunkan surat al Baqoroh hapalanku, Tian langsung diam dan menyimak mendengarkan. Dalam hati aku bergumam, “bahkan bayi pun diam dan takzim manakala dibacakan ayat-ayat cinta-Nya”.
[ayat-ayat cinta = al Qur’an]
Si nini kemudian pamit pulang bersama cucunya, Tian. Tak lama kemudian, bapak pun berangkat kerja. Saat itu kulihat awan mendung di ufuk selatan. Selintas harap kubisikkan, “semoga perjalanan bapak lancar. Dan pas bapak pulang nanti, gak lagi hujan. Juga jalanan gak licin. Amin.”
Setelahnya Bunde’ Rum mengabariku. Katanya sewaktu aku pergi tadi pagi, ada dua orang teman priaku yang berkunjung ke rumah. Mereka mengabarkan berita tentang kematian anak seorang teman MTsku. Mereka sekaligus juga ingin mengumpulkan sumbangan untuk jaulah. Berdasarkan kriteria yang disebutkan oleh Bunde’, aku bisa menebak kalau yang datang ke rumahku tadi pagi, kemungkinan besar adalah Adi dan Oji. Sayangnya, aku tak memiliki HP untuk bisa langsung mengkonfirmasikan berita kematian itu ke Adi atau Oji. Jadi, kutunda dulu rasa penasaranku dan hanya mengirimkan do’a bagi entah-siapa-dari-teman-MTs-ku yang sedang menghadapi kehilangan. Semoga Allah menguatkan hati dan imannya beserta keluarganya. Amin.
Segera setelahnya aku pun beres-beres rumah. Saat aku sedang asyik merapihkan lemari, aku menemukan beberapa surat lama dan lembaran-lembaran puisi yang dibuat oleh beberapa sahabat, untukku. Ketika sekilas kubaca lembaran-lembaran itu, aku spontan saja tersenyum. Mendapati beberapa gelar dan pendapat teman-temanku tentangku tertulis di lembaran itu. Si bijak, baik, polos, pinter, konyol, efisien, kocak. ^_^. Tes… Aku pun menangis… dalam hati.
Hmm.. kenapa aku menangis dalam hati? Karena saat itu di teras depan rumah ada Bunde’ dan Emak yang sewaktu-waktu bisa saja masuk ke dalam rumah. Aku tak mau mereka melihatku menangis. Malu saja. Masa’, pas nanti ditanya kenapa menangis, aku jawabnya seperti ini, “habis baca surat-surat lama. Jadi terharu..”. jelas malu kan? Tipikal melankolis sungguhan ya, aku ini! ^_^
Nah! Usai membaca lembaran-lembaran surat itu, aku kembali membereskan rumah. Ya menyapu. Mengepel. Mencuci piring. Pekerjaan khas rumah tangga gitu deh. Alias pekerjaan yang tak terlalu membutuhkan kerja pikir. Alias lagi adalah pekerjaan kaki dan tangan (kebanyakan alias…). So, karena tangan dan kakikulah yang bekerja, otakku pun bisa kuajak melanglang buana. Aku pun, sambil beres-beres, berusaha mengingat kembali kenangan lamaku semasa kecil.
Aku ingat. Sewaktu kecil aku adalah seorang imajiner yang cukup kreatif. Aku sering berimajinasi dan membayangkan hal-hal hebat. Antara umur 4-9 tahun, aku sering berkhayal menjadi sosok-sosok tertentu. Melihat kuda di iklan TV hitam-putihku, aku pun gemar berlarian ke sana kemari sembari melompat setinggi-tingginya. Membayangkan bahwa aku adalah seorang pengelana kuda yang sedang berpacu menuju istana.
Mengingat kata ‘istana’ (kukenal kata ini pertama kali dari cerita nabi Sulaiman as. Tentang istana ratu Saba’), aku pun bertransformasi menjadi sosok ratu, setelah berganti baju dress hitam-putih milikku yang entah dulu telah Emak buang ke mana (udah kekecilan kali ya bajunya..). Aku pun menjadi seorang ratu yang senang memanggil pelayan-pelayannya dengan cara bertepuk tangan. Ha. Ha. Ha. Saat itu yang biasa menjadi pelayanku adalah Herdi (adikku nomor wahid se…………………..dunia. ^o^) dan entah-sepupuku yang mana.
Dari ratu, aku kemudian bisa berubah menjadi hewan-hewan. Menjadi kucing dengan ‘meow’nya, ular dengan desis dan jalan melatanya, kuda dengan ringkikan ‘hiyah’nya, anjing dengan ‘guk-guk’annya, juga menjadi beberapa hewan lainnya yang sudah kuketahui saat itu. Lagi-lagi, Herdi menjadi kawan mainku.
Menjadi seorang imajiner, aku tak hanya kreatif dalam hal ‘menjadi sosok tertentu’. Aku pun cukup kreatif dalam hal ‘membuat’. Bersama Herdi dan para bocah yang tinggal di sekitar rumah, aku menjadikan halaman rumahku berubah menjadi medan yang berbeda-beda setiap harinya. Terkadang menjadi pasar, di mana aku adalah pedagang kuenya. Kue yang kubuat dari tanah biasanya selalu menarik perhatian para pembeli, karena kubentuk dan kuhias menjadi mirip dengan kue sungguhan. Hiasan yang kugunakan biasanya adalah dedaunan atau biji bunga yang kutemukan di sekitar rumah.
Dari menjadi pasar-pasaran, aku bisa mengubah halaman rumahku menjadi medan perang, di mana kami semua asyik bermain kejar-kejaran untuk menangkap pencuri. Di sini, aku menjadi polisinya. Berbekal ranting kayu yang kusulap menjadi pistol, aku bersama konco-koncoku kelelahan usai menangkap pencuri yang biasanya bukan hanya satu orang, melainkan bisa dua atau tiga orang.
[konco-konco = teman/anak buah]
Selanjutnya, aku juga biasa mengubah teras rumahku menjadi bumi perkemahan. Jadi begini. Kursi duduk di rumahku adalah mirip seperti kursi yang biasa dipakai di acara hajatan. Seingatku sih ada tiga kursi seperti itu di rumahku. Nah. Biasanya, dua dari tiga kursi itu kubaringkan. Lalu bagian kakinya kututupi dengan samping. Aku dan Herdi pun akhirnya bisa pura-pura sedang berkemah di dalamnya.
Yah. Begitulah kreatifnya aku di masa kecil. Kalau sekarang sih, kekreatifanku lebih berwujud dalam bentuk dunia kata, alias tulisan. Malu juga sama umur kali ya… masa’ sudah umur 20-an gini masih mau main petak umpet atau jadi ratu-ratuan. Dari pada gitu, mending sekalian aja akting, masuk TV! Hi. Hi. Hi. ^o^
Oke. Kita lanjutkan!
Selain imajiner, aku juga diberkahi oleh Allah dengan curiousity yang tinggi. Apa sih curiousity itu? Curiousity itu artinya rasa ingin tahu, alias rasa penasaran. Aku hampir selalu ingin tahu tentang hampir semua hal. Emak bahkan menjulukiku cerewet, bawel (julukanku sewaktu kecil. Kalau sekarang sih, gak tahu juga deh… ^_^). Dalam ceritanya, Emak menuturkan bahwa aku seringkali bertanya tentang hal-hal sekitar.
“Mak, ini apa, Mak?”
“Mak, itu apa?”
“Ini buat apa, Mak?”
“Yang itu, buat apa?”
“Kok bisa begitu, Mak?”
Pertanyaan-pertanyaan itu biasanya dijawab Emak dengan jawaban-jawaban singkat. Dan ketika aku sudah puas dengan jawaban yang kudapat, aku kemudian menyentuh benda-benda yang sebelumnya telah kutanyakan. Setelah kusentuh, benda itu kuraba-raba (mengira mungkin ada lubang rahasia di dalamnya. Aku memang sering berimajinasi tentang benda-benda ajaib), kuamati garis dan lekukan bentuknya, bahkan terkadang juga kugigiti. Untuk hal yang terakhir ini, Emak mengakui kalau ia sering langsung mengomeliku dan segera menarik benda yang kugigiti. Lebih sering, setelahnya aku menangis sangat kencang.
Hmm.. Suatu kali Emak pernah bercerita tentang masa bayiku. Pernah di suatu kesempatan saat Emak tak begitu memperhatikanku yang asyik bermain, ia sangat kaget ketika mendapati aku (sekitar umur sembilan bulan) sedang duduk deprok di tanah depan rumah dengan bibir belepotan oleh tanah basah dan kuning-kuning entah-apa. Setelah didekatinya aku, ternyata kuning-kuning itu adalah ‘mpup’-ku sendiri. Hiiii……… aku cukup jijay setiap kali mengingat cerita ini. Tapi sekaligus juga merasa geli. Lucu saja jika membayangkannya. ^o^ (ha. Ha. Ha. Udah ah! Jangan dibayangin!).
Oke. Kita lanjutkan lagi!
Nah, selain pertanyaan-pertanyaan singkat, aku juga (kata Emak) sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ‘njelimet, alias memusingkan. Simak saja dialog antara aku (sekitar umur 5-6 tahun) dan Emak berikut ini.
Aku      : Mak, kenapa semutnya baris? (lagi ngelihatin barisan semut di tanah)
Emak   : (lagi jemurin baju. Mikir sebentar sebelum jawab pertanyaanku) lagi latihan pramuka, kali.
Aku      : Pramuka? Oo.. yang bajunya cokelat-cokelat itu ya, Mak?
Emak   : Iya.
Aku      : Mak, tapi semutnya pake baju item-item. Bukan cokelat! (aku protes)
Emak   : (Masih sabar. Mikir sebentar)… itu namanya semut item. Dan semut gak pake baju, Mel.
Aku      : (Mengernyit heran)… gak pake baju? Berarti kedinginan ya, Mak?
Emak   : (Diam, tak menjawab. Pertanda mulai tak sabar dengan ocehanku)
Aku      : (Dengan polosnya menyimpulkan) jadi, karena dingin, makanya semutnya baris ya, Mak? (aku tersenyum dengan ideku itu)
Emak   : (Diam sebentar)… iya.. gitu lah.
Ha. Ha. Ha. Aneh banget ya dialog di atas?. ^_^ persis bangetnya dialog itu dengan dialog kami bertahun-tahun yang lalu sih aku tak bisa memastikannya. Tapi kurang lebih redaksinya ya seperti itu lah.
Nah. Ada juga obrolan lainku dengan Emak yang lebih nyeleneh (ngawur/kacau) lagi. Ini dia.
Aku      : Mak, meli suka biru. Emak suka apa? (lagi asyik menggambar)
Emak   : (sedang menjahit baju) hijau.
Aku      : (mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar) ^o^
Emak   : (heran melihatku) kenapa, Mel?
Aku      : Meli seneng. Langit warnanya biru. Bukan hijau. Nanti bisa sama kayak pohon. Meli gak suka langit hijau! (aku semangat menjawab)
Emak   : (berhenti dari kegiatannya, dan melihatku heran)
Yah.. seperti itulah. ^o^. ha. Ha. Ha. Mengingat cerita-cerita itu, aku sering merasa lucu sendiri. Aku tak ingat dengan percakapan-percakapan itu. Karena yang kuingat dari masa balitaku hanyalah betapa seramnya Emak setiap kali aku pulang (mepet) maghrib sehabis bermain seharian--tak ingat pulang untuk makan. Emak marah sangat dan sering mencubiti pahaku sekencang-kencangnya. Emak memang tak mengomel panjang. Tapi cubitannya itu loh, sungguh dahsyat sekali! Buktinya: hanya kenangan itu saja yang kuingat dari masa kecilku.
Menginjak bangku MTs, aku masih cukup aktif bertanya. Selain menjadi ketua berandal anak-anak kecil di kampungku, aku juga mendapat gelar baru di sekolah menengah pertamaku itu. Gelar itu adalah si polos dan si tukang tidur. Mengingat dua gelar itu membuatku merasa aneh. Karena tak lama sebelumnya, ketika aku masih duduk di bangku SD kelas 6, aku mendapat gelar si kancil. Lantaran aku yang saat itu, meski termasuk si trio mungil di kelas (Irma, Fitri, dan Aku), adalah yang paling aktif dan gemar terlibat masalah dengan kawan-kawan kelasku. Tak melihat lawanku itu laki-laki (Didi Rosadi dan Rijal) ataupun perempuan (Ida dan Nina). Tak melihat juga postur badan lawan-lawanku yang semuanya lebih besar dariku. Aku berani melawan jika mereka berani mengusikku atau mengusik teman-temanku (Yeni, Heni, Dewi).
[kutulis nama lawan-lawanku di paragraf atas bukan dengan maksud untuk mencemooh mereka yang namanya kutulis. Aku menuliskannya hanya demi maksud untuk mengingatkan diri tentang betapa baiknya kawan-kawanku itu karena telah meramaikan dunia masa kecilku dengan beragam pengalaman. Mungkin sewaktu kecil dulu, aku tak terlalu memahami kebaikan yang mereka ajarkan kepadaku. Tapi ketika aku mulai beranjak besar, aku mulai menyadarinya.
Misalnya adalah Ida dan Nina yang memberiku julukan ‘si Kancil’ lantaran aku adalah si kecil yang paling gesit larinya di antara banyak kawan sekelas kami. Aku tak tahu mengapa mereka tak menyukaiku. Karena seingatku, aku tak pernah ingin menjadi orang yang pertama kali membuat masalah. Tapi Ida dan Nina seringkali menjahiliku dengan kejahilan-kejahilan kecil. Seperti tiba-tiba saja mengacak-acak rambutku yang dulu sempat keriting (karena rambut keriting inilah aku juga dijuluki ‘si kepala bakmi’ oleh Rijal. Dulu sih itu sebutan yang menyebalkan sekali. Kalau sekarang, sudah tidak lagi. Entah karena aku yang sudah besar, atau karena rambutku yang kini tak lagi keriting, melainkan lebih mendekati ikal. Sekarang, aku justru merindukan rambut keritingku.), melempariku dengan gulungan kertas ketika guru di depan kelas sedang tak melihat, menginjak sepatuku yang masih terlihat bersih dengan sepatu mereka, dan yang paling sering adalah menjulukiku ‘si kancil’ di mana pun dan kapan pun kami bertatap muka. Dulu aku mungkin merasa sangat sebal dengan segala perlakuan iseng mereka. Tapi perlahan, apa yang mereka lakukan terhadapku itu ternyata memunculkan satu tekad di benakku. Bahwa aku tak akan melakukan apa yang mereka lakukan kepadaku terhadap orang lain karena itu akan membuatku menjadi orang yang menyebalkan. Dan aku sungguh tak mau menjadi orang yang menyebalkan. Gak banget deh.
Dan sama dengan apa yang dilakukan oleh Didi dan Rijal kepadaku. Aku juga memancangkan tekad bahwa aku tak akan melakukan apa yang telah mereka lakukan terhadapku juga terhadap kawan-kawanku. Yah, seperti itulah. ^_^]
Jadi, aku merasa aneh. Karena gelar yang kudapat di bangku MTs sungguh berkebalikan dengan gelar kancil-ku dari bangku SD. Antara si pasif dan si aktif.
Aku dijuluki si polos, lantaran aku yang sering bersikap polos. Banyak tak tahu. Banyak tak mengerti dengan kejadian-kejadian atau reaksi simpel yang ditunjukkan oleh kawan-kawan MTs-ku. Simak saja ulasan berikut.
Ketika teman-teman sibuk menertawakan si A, lantaran di atas mejanya ditulisi nama si B, teman-temanku asyik ber-‘cie-cie’. Sementara aku yang saat itu (kelas 1 MTs) belum paham dengan istilah pacaran, malah polos bertanya ke Lilis (teman sebangkuku). “kenapa pada ketawa, sih?”. Aku yang saat itu, hanya tahu bahwa kita tertawa jika ada hal yang lucu. Sementara ‘cie-cie’an teman-temanku saat itu sungguh bukan termasuk hal yang lucu. Malah kupikir ‘cie-cie’an mereka termasuk ke dalam ucapan mencemooh. Dan karena aku sendiri pernah dicemooh dengan berbagai gelar aneh sewaktu SD, aku pun tak bisa tertawa dengan ‘cie-cie’an kawan-kawanku itu.
Lilis, yang selama itu juga tak tertawa, kemudian malah tertawa mendengar pertanyaanku. Dengan sabar ia menjelaskan perihal si B yang suka pada A dan teman si B iseng menuliskan nama si B di meja tulis si A. Itulah sebabnya teman-teman ber’cie-cie’. Aku yang sudah diberi penjelasan oleh Lilis masih juga merasa bingung. Tak mengerti perihal cinta monyet di usia awal remajaku dulu itu.
Selain bersikap polos, aku juga sering terlambat tertawa. Maksudnya?
Jadi begini. Teman-teman MTs-ku semuanya kan termasuk keturunan Sunda tulen. Otomatis ucapan-ucapan mereka pun banyak disisipi kata-kata dan frase khas Sunda. Nah! Aku yang keturunan JaSun (Jawa-Sunda), meski sudah hidup lama di Jati (kawasan Sunda), tidak terlalu bisa menyerap kata-kata Sunda ke dalam ucapan keseharianku. Mungkin ini juga disebabkan oleh kebiasaan orangtuaku yang berbahasa Indonesia dalam percakapan di rumah.
Percaya tak percaya, sejak kecil aku sudah bisa memilih sendiri mana kata-kata kasar dan mana kata-kata halus. Aku yang dibesarkan Emak dan Bapak dalam lingkungan rumah yang menjunjung tinggi adab kesopanan pun akhirnya memilih untuk tidak berucap Sunda. Kenapa? Karena dalam penilaianku saat itu, Sunda di Jati tempat tinggalku itu termasuk ke dalam bahasa Sunda yang kasar. Alhasil, di MTs, aku pun dikenal sebagai sosok yang paling mendekati dalam kategori ‘menggunakan bahasa yang sesuai dengan EYD’. Ha. Ha. Ha. ^o^
[EYD = Ejaan Yang Disempurnakan , alias bahasa baku]
Oke. Kita lanjutkan lagi ya!
Jadi, setiap kali ada teman MTs-ku sedang berkelakar dengan bahasa Sunda-nya hingga membuat teman-teman lainnya tertawa, aku dengan polosnya langsung bertanya. “barusan dia cerita apa?”. Spontan saja teman-temanku makin tertawa lebar. Dan ketika ada salah seorang yang mau berbaik hati menjelaskan kepadaku arti kata-kata yang tidak kuketahui hingga aku akhirnya mengerti dan ikut tertawa, yang lain pun kembali tertawa lebar. Beberapa dari mereka kemudian berkata, “meli polos banget sih”. Setelahnya, setiap kali aku bergabung dalam pembicaraan Sunda, pasti ada saja satu-dua temanku yang bersedia menjadi penerjemah cerita untukku. ^o^ hi. Hi. Hi.
Aku ingat. Ada seorang teman pria MTs-ku yang sebenarnya adalah orang Sunda tulen. Tapi, setiap kali ia bicara denganku, ia hampir selalu membuatku tertawa. Bagaimana bisa? Jadi menurutku, mungkin demi mengimbangi gaya bicaraku, temanku itu akhirnya selalu berusaha untuk bicara dengan kata-kata yang EYD. Simak saja kalimatnya berikut ini.
“Amel, pe-er-nya dikumpulkeun isuk ya”
Atau juga yang ini.
“Amel bisa nyieun sepanduk bersama Pani nteu. Harus  poe Rabu jadina.”
Ha. Ha. Ha. Acak adut bener ya! ^o^ kocak bener dah! Hi. Hi. Hi. (maaf ya na.. ^i^. gak maksud ngomongin lho.. Cuma nulisin cerita tentang kamu aja di sini. ^l^ hi. Hi. Hi.)
Jadi, begitulah.
Di masa MTs, aku juga mulai bertransformasi dari seorang penjelajah dan pemimpi, menjadi seorang pribadi yang lebih senang menjadi seorang pengamat dan pendengar yang baik. Bagaimana bisa? Jadi begini…
Sejak kecil aku sudah terlalu sering merecoki orang sekitarku dengan pertanyaan-pertanyaan anehku. Itu kulakukan demi mengentaskan rasa ingin tahuku terhadap banyak hal. Nah, ketika MTs, aku mendapatkan pemahaman baru. Saat itu aku mulai menyadari bahwa di dunia ini ada amat sangat sedikit orang-orang yang dengan senang hati mau menerima celotehanku tentang banyak hal. Tak banyak yang mau ditanya tentang macam-macam hal yang sebenarnya juga tidak mereka ketahui jawabannya. Kebanyakan orang lebih senang mengobrolkan hal-hal yang telah diketahuinya, terlebih  lagi adalah tentang hal-hal yang disukainya. Oleh sebab itu, aku mulai mencari cara lain untuk bisa mengentaskan rasa penasaranku. Caranya adalah dengan membaca, mengamati, dan menjadi seorang pendengar yang baik.
Aku senang membaca. Aku menjadi seorang penggila baca ketika memasuki MTs. Meski begitu, aku sudah mulai aktif membaca semenjak aku duduk di bangku SD kelas tiga. Saat itu aku memiliki guru wali kelas yang sangat mendukung murid-muridnya untuk membaca. Nama beliau adalah Bu Nunung. Bu Nunung ini termasuk guru favoritku di SD. Beliau adalah tipikal guru yang ceria, semangat, sekaligus tegas. Setiap pelajaran hari itu berakhir, Bu Nunung selalu mengingatkan kami—murid-muridnya—untuk bermain ke perpustakaan. Ia membujuk kami dan mengatakan bahwa ada banyak hal-hal menarik yang bisa kami baca di buku-buku itu. Aku, yang termasuk salah satu murid yang paling sering disebut namanya olehnya ketika pelajaran matematika berlangsung, akhirnya terbujuk dengan ajakannya dan selalu menyempatkan diri untuk ke perpus sebelum pulang ke rumah.
Meski awalnya aku sebal ketika mendapati bahwa buku-buku di perpus itu sudah tampak tua, tapi kemudian aku dikejutkan oleh fakta bahwa apa yang diucapkan oleh Bu Nunung itu memang benar adanya. Ada banyak hal-hal menarik yang bisa kubaca di buku-buku yang setiap lembarannya sudah menguning kecokelatan itu. Ada buku tentang cara menanam berbagai jenis buah jambu dalam satu pohon. Ada juga buku tentang cerita kemerdekaan (aku suka dengan kisah-kisah heroik). Juga buku-buku lainnya yang saat ini sudah tak kuingat lagi isinya tentang apa.
Sayangnya, kegiatan membaca itu hanya kulakukan sampai aku duduk di bangku kelas empat saja. Karena di kelas lima, aku sudah mulai jenuh dan sibuk dengan beberapa tugas prakarya sekolah. Aku mulai jarang pergi ke perpus hingga akhirnya tak pernah lagi ke sana.
Dan kemudian, di MTs, kegemaran membacaku kembali muncul. Bahkan mulai menggila. Bagaimana tidak? Lha wong bahan bacaanku bukan lagi buku saja. Melainkan juga koran, majalah, paper kakak kelas yang banyak kata-katanya tak kumengerti tapi tetap asyik kubaca, buku bergambar, kertas pembungkus gorengan di kantin, juga kertas apa pun yang kutemukan ketika aku berjalan di mana pun. Tentang hal yang terakhir kusebutkan tadi, aku memang benar-benar mengambilnya dari jalanan untuk kemudian kubaca dan akhirnya kubuang ke tempat pembakaran sampah yang juga kutemui di jalan yang kulewati. Aneh kah? Hmm.. aku lebih senang menamai kegilaanku dalam membaca itu dengan istilah bookaholic, meng-copy dari istilah ‘sophaholic’.
[sophaholic = gila belanja
Bookaholic = gila buku]
Nah. Dari kegiatan membaca, aku tak hanya bisa mengentaskan rasa ingin tahuku tentang banyak hal. Aku juga bisa mendapatkan informasi tentang hal-hal baru dan menarik yang belum pernah kuketahui. Sungguh menyenangkan rasanya setiap kali aku mengetahui hal-hal baru. Kosa kataku pun sudah mulai merambah ke istilah-istilah asing.
Aku senang dengan pelajaran Biologi dan Bahasa Inggris. Karena dua pelajaran itu selalu saja mengejutkanku dengan bendahara istilah yang baru dan unik, menurutku. Oryza sativa, loccus, mucus, Argentum sp., unilateral, monohybrid. Unik kan istilah Biologi barusan? Tengok juga kata-kata Bahasa Inggris berikut ini. Dear, bear, wear, near, clear, tear. Meski tulisannya mirip dan bahkan beberapa kata pelafalannya juga mirip, tapi setiap kata tersebut memiliki makna yang jauh berbeda satu dengan lainnya. Menurutku, itu lucu sangat! ^-^ sangat. Sangat. Sangat. (copy gaya bicara si Ipin, ‘betul. Betul. Betul!’. Hi. Hi. Hi.)
Itulah asyiknya membaca, menurutku.
Selanjutnya, di MTs juga lah aku mulai semakin aktif menjadi seorang pengamat dan pendengar yang baik. Objekku pun tak lagi bersifat saintis. Aku mulai senang mengamati perilaku orang-orang sekitarku dan membuat kesimpulan-kesimpulan kecil dari pengamatan itu. Misalnya ketika kuamati kegiatan seorang temanku yang memiliki kebiasaan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja ketika pelajaran masih berlangsung. Ketika kudapati kebiasaan itu juga dilakukan oleh beberapa orang temanku lainnya, aku membuat kesimpulan. Setelah berkali-kali mengamati kegiatan mereka selama beberapa waktu, kesimpulanku adalah bahwa mereka termasuk orang-orang pertama yang segera bangun dari kursinya untuk entah pergi mendekati kursi teman lainnya atau pergi keluar kelas, menuju kantin dan/atau wc. Kesimpulan itu memang simpel sifatnya. Meski begitu, dari kesimpulan-kesimpulan simpel itulah aku mengasah kemampuan untuk menganalisis dan (ketika SMA) mulai berani membuat hipotesis untuk kemudian beberapa hipotesis itu kuuji dengan perlakuan tertentu hingga akhirnya menunjukkan hasil/fakta tentang sesuatu.
Bahasaku mulai njelimet ya? ^-^ oke deh. Maaf. Kita cukupkan tentang hipotesis dan tetek-ngek-nya.
Jadi, dari membaca, mengamati dan mendengarkan itulah aku bisa mengetahui banyak hal.
Oya, aku juga jadi ingat. Ketika MTs, aku juga mulai sering bermain ke rumah teman-temanku. Ketika bermain ke rumah mereka, aku tak hanya sekedar bermain lho. Terkadang aku juga ikut membantu kegiatan di rumah mereka. Beberapa kegiatan itu antara lain ikut bersama Lilis membantu tetehnya melipat baju dan memasukkannya ke dalam plastik untuk kemudian dijual. Aku juga pernah ikut membantu memberi makan ikan lele di kolam kecil keluarga Yuli. Membantu Mut mengumpulkan biji petai cina pun, aku pernah. Dan banyak kegiatan-kegiatan seru lainnya.
Dari kegiatan-kegiatan itu, ada banyak hal yang bisa kudapatkan. Tak hanya sekedar undangan makan siang gratis atau cemilan oleh-oleh untuk kubawa pulang (Hi. Hi. Hi. ^i^). Melainkan lebih kepada rasa puas diri ketika melihat orang-orang di sekitarku tersenyum. Sekaligus juga mengentaskan rasa ingin tahuku tentang banyak hal.
Dari kunjungan-kunjunganku itu pula aku mendapat gelar lainnya. Yakni tamu yang cerewet, lantaran terlalu banyak bertanya. Tanya inilah. Tanya itulah. ^_^ yah. Begitulah.
Sampai saat ini, masih ada sebagian sifat masa kecilku itu yang melekat pada kepribadianku. Sayangnya, kusadari bahwa aku yang saat ini tidaklah sebaik aku yang dulu. Hmm.. sedih juga, sih. Padahal ‘kan, salah satu moto hidupku adalah:
“Menjadi lebih baik, di setiap waktunya”
Begitulah…
Oke. Kurasa cukup sampai di sini dulu ceritaku. Saat ini jarum jam sudah menunjuk di angka 7. Subhanallah! Cukup lama juga ya, aku menulis. Kulirik jari telunjuk kananku sebentar.
“waaahhh… udah manyun! Ha. Ha. Ha.” (ya iyalah! Gimana gak manyun jarinya, kalo dipake nulis berjam-jam. Dari sebelum subuh sampe jam tujuh tuh bukan waktu yang sebentar kan?.. ^-^)
[awalnya, aku memang menulis catatan ini di kertas-kertas file buatanku. Sebelum akhirnya kupindahkan catatan itu ke dalam komputer dan ku-publish di sini.]
Yap! Sudah dulu ya!
Insya Allah, ada kesempatan berikutnya untuk bercerita.
Wassalam.

[catatan: tentang gelar ‘tukang tidur’, insya Allah akan kuceritakan di laman ini. See Yaa!]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar