Jumat, 09 September 2011

sakit gigi

Hari sudah sangat larut. Di luar rumah, semilir angin menambah dingin udara malam yang memang sudah cukup dingin karena hujan seharian tadi. Malam terasa sangat lengang. Hanya senandung jangkrik saja yang menjadi melodi penyentak keheningan di desa Jati, desa pinggiran kota Tangerang itu.

Dan adalah Amaliyah. Gadis yang masih belum terlelap juga dalam mimpi di malam dingin di musim penghujan itu. Kasur tempat tidurnya sudah kusut masai tak beraturan lantaran ia yang guling-guling tak karuan. Guling kanan. Guling kiri. Sambil meluk bantal guling, pula! Ini akibat ulahnya semalam tadi yang berani mengaduk-adukkan gorengan panas dan es krim cokelat dengan crispy di atasnya ke dalam mulut. Kini, ia merasakan sendiri sakitnya penyerangan yang dilakukan oleh bakteri-bakteri jahat dalam kerak hitam di giginya.

Sebenarnya Amaliyah juga lah yang membiarkan Bakteri-bakteri dalam giginya itu hidup subur karena ia tak pernah menyempatkan diri untuk menggosok gigi sebelum tidur. Jadilah akhirnya kerak-kerak itu tumbuh dan menjadi penghias dominan bagi gigi yang dulunya putih kemilau (bahkan mungkin bisa mengalahkan pemeran di iklan pasta gigi di televisi.hi. hi)

Kini, Amaliyah masih saja menggerung dan meringis. Nampaknya baketri jahat di giginya itu mulai beraksi lagi. Ia marah! Kesal sekali. Kenapa mereka beraksi malam-malam begini? Kan ngantuk.. duuhhh...nampaknya, malam ini buat Amaliyah akan menjadi malam panjang seperti malam-malam yang lalu.

Dan akhirnya, Amaliyah kembali mengucapkan janji dan tekad menggebunya, aku janji! Gak bakal makan gorengan panas lagi! Aku janji gak bakal minum es krim sama es campur banyak-banyak. Aku janji, gak akan ngabisin kacang banyak-banyak. Aku janji! Dan seperti janji-janjinya sebelumnya, nampaknya janjinya itu hanya akan menjadi janji usang yang akan dibiarkannya terlupa.

Aku sendiri hanya bisa melihat Amaliyah dengan iba. Tak ada yang bisa kulakukan untuknya karena aku hanya sebuah pena. Pena bermerek murahan yang akan dibuang apabila tlah habis tintanya. meski begitu aku tahu rasanya sakit yang dirasakannya. Mungkin tak jauh berbeda dengan rasa sakit yang kurasakan ketika tinta dalam tubuhku sudah habis kelak. Perih karena terbuang tanpa ada lagi guna. Is it so hurt, right? Yaah.. begitulah.

Ditulis dan diselesaikan @ At Tafkir

Waktu 10.15 WIB

7 Maret 2011

perbedaan bukan menjadi alasan untuk saling bermusuhan

@at Tafkir, ketika senja menghampiri asa 21 Maret 2011

Jauh-jauh sejak dahulu Allah sudah menciptakan alam dan seisinya ini dengan keberagaman. Setiap segala hal, meski ia masih dalam satu jenis, pasti memiliki perbedaan yang menjadi ciri identitasnya. Oleh sebab itulah banyak kajian yang mengkategorikan makhluk tak hanya sebagai sebuah populasi (sekumpulan yang sejenis) melainkan juga sebagai individu. Aspeknya tidak bersifat universal melainkan individual. Dan salah satu makhluk-Nya yang sudah diciptakan dalam keberagaman itu adalah al insan, manusia.

Manusia, lengkap dengan segala kesempurnaan dan kelemahan yang dimilikinya, jika dibandingkan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya pastilah memiliki perbedaan yang akan menjadi ciri identitasnya. Bahkan untuk individu yang dikatakan kembar pun, pasti memiliki perbedaan dengan saudara kembarnya. Dan yang paling membedakan antara individu satu dengan yang lainnya adalah pada aspek paradigma. Pandangan seorang manusia terhadap suatu objek.

Objek adalah sesuatu yang ada dalam keadaan pasif. Dan rekannya yaitu subjek, adalah sesuatu yang bertindak aktif. Kepasifan suatu objek ini tak berarti membuatnya jadi tak berarti atau mungkin jauh lebih tak berharga dibandingkan dengan keberadaan subjek. Yang jelas, antara objek dan subjek pastinya ada untuk saling menguatkan keberadaan rekannya yang lain.
Kembali ke paradigma. Seperti sudah dilansirkan di awal tadi, setiap individu sudah diciptakan dengan perbedaan yang pasti ada untuk membedakan dirinya dengan individu yang lain. Ambil contoh saja kita melihat sebuah kulkas sebagai objek pandang kita.

Di awal kali melihatnya sudah terstigma dalam pengetahuan di dasar akal kita bahwa apa yang sedang kita lihat itu adalah sebuah kulkas yang berbentuk kotak dengan strukturnya yang tiga dimensi. Tapi cobalah kita melihatnya dari berbagai posisi dan jarak yang berbeda. Ketika kita melihatnya dari posisi depan, maka yang akan kita lihat adalah kulkas itu berbentuk persegi panjang dengan pintunya yang persis berhadapan. Jika kita melihatnya dari sisi samping, kita akan mendapatinya sebagai kulkas dengan bentuk tiga dimensinya, ditambah lagi kita bisa melihatnya dari sisi kanan atau kiri. Atau kita juga bisa mendapatkan bentuk kulkas itu cukup besar atau malah terlampau kecil jika kita melihatnya dari jarak sangat dekat ataupun jarak jauh, semisalnya 50 meter. Lihatlah! Untuk satu objek pandang saja ternyata ada banyak persepsi yang bisa kita dapatkan. Ini tentu dikarenakan dunia ini terlalu luas untuk ditempati dari berbagai posisi dan arah. Sehingga mungkin inilah yang membuat sudut pandang seseorang pun jadi berbeda terhadap suatu objek lainnya.

Mungkin kita bisa menganalogikan permisalan ini untuk permasalahan sehari-hari yang sering kita hadapi. Seringkali dan banyak orang yang memiliki pandangan dan pikiran yang berbenturan dengan pandangan orang lain. Sayangnya antara satu dan individu yang lain itu malah beradu argumen dan berbantah-bantahan tanpa pernah mau menganggap bahwa esensinya pandangan mereka itu ada dalam satu koridor. Bahkan parahnya masing-masing mereka menganggap bahwa pandangan merekalah yang paling benar dan menganggap remeh atau salah pihak di luar mereka. Sayang sekali! Tidakkah bisa kita menganggap perbedaan itu seperti warna yang mana semakin beragam warna itu maka semakin indahlah dunia ini.

Cukuplah kita sepatutnya merasa puas dengan dunia ini. Dan menganggap bahwa perbedaan itu ada untuk dihargai dan difahami. Bukan dipertentangkan semaunya sendiri.
(Dalam perenungan selepas QL)

Azzura Lia