*Berlian...
Karena sungguh, bersama dengan kesulitan ada
kemudahan.
Yakinlah!
-------------------------------------------------------------------------------------------
“Teh Liaa!”
Aku sedikit terkejut mendengar
teriakan seseorang memanggilku. Spontan saja kutolehkan wajahku ke arah kanan,
ke halaman rumah minimalis bercat merah hati. Namun sebelum retina mataku
menangkap rupa sosok yang memanggilku, terlebih dahulu otakku sudah mengirimkan
satu nama ke benakku.
Berlian.
Benar saja. Bocah perempuan
berusia kurang lebih empat tahun itu sedang melihatku dari jarak tujuh meter. Lengkap
dengan senyum lesung pipitnya.
Duh.duh.duuh..
manisnyaaa sepupuku ini!
Selanjutnya kubalas sapaan
Lian, panggilan akrab untuk Berlian, dengan tersenyum lebar. Kubelokkan pula
langkah kakiku menuju halaman rumahnya, tempat Lian berada. Selagi berjalan, kuperhatikan
Lian dengan lebih seksama. Ia sedang jongkok di samping kakak sulungnya, Alfi,
yang sedang mengutak-atik motor bebek keluaran sembilan puluhan miliknya.
Sekejap saja aku terhenyak begitu melihat baju yang dikenakan Lian. Rok model
lipat berwarna merah yang panjangnya selutut dan dipadukan dengan kaus dalam
yang warnanya cukup jauh dari warna asalnya yang putih. Hatiku dibuat miris
begitu melihat beberapa luka goresan di lutut dan lengan Lian. Jumlahnya kurasa
sebanding seperti yang biasa dimiliki anak lelaki seumurnya.
Boneka perca yang tak terawat... desahku dalam hati.
Sesampainya aku di dekat Alfi
dan Lian, aku menyapa mereka.
“Sibuk bener, Fi. Awas, jangan
sampe salah masukin baut. Entar yang
ada, baru juga di-starter motornya udah langsung ancur berantakan”
Alfi menoleh sekilas sebelum
tersenyum menanggapi candaanku. Saat itu, ia masih asyik berbaring di bawah
motornya sementara kulihat Lian asyik mengumpulkan baut-baut yang berserakan di
dekatnya.
Aku kaget. Langsung saja kulihat sandal yang
kukenakan.
Benar. Sandal cap Shallow yang
kukenakan memang tak serasi. Yang kanan bertali merah sementara yang kiri
bertali Kuning. Spontan saja aku tertawa kecil mengiyakan kecerobohanku.
“Hahaha! Iya! Ampun deh. Ini
pasti karena buru-buru. Habis warnanya mirip sih.” Karena Emak pingin kembaran pas beli sendal, makanya kita beli sendal
semerek yang cuma beda warna talinya. Jadi gini deh akibatnya! Malu euy!,
tambahku dalam hati.
Alfi kemudian tak lagi
membalas kilahku. Mungkin memberiku kesempatan untuk menetralisir rasa malu
yang kurasakan. Akhirnya kuputuskan untuk beralih memerhatikan Lian. Sesaat
tadi ketika aku menertawakan kecerobohanku, Lian hanya menatapku sebentar dan
tersenyum sebelum akhirnya kembali berkutat dengan baut-bautnya.
“Lian lagi apa?” tanyaku
kepadanya setelah ikutan berjongkok.
Lian tak menolehkan wajahnya ketika
menjawab pertanyaanku dan masih sibuk dengan baut-baut di tangannya.
“Lian bikin kelas, Teh.”
Aku sedikit bingung dengan
jawaban Lian itu. Alhasil kuputuskan untuk kembali melontarkan tanya. Berharap
bisa memahami maksud dari misteri pikirannya tentang ‘kelas’ itu.
“Kelas apa, Lian?”
Kali ini Lian menoleh sembari
menunjukkan dua buah baut di tangannya. Dengan lagak seorang guru, Lian
menjelaskan.
“Ini lo, Teh. Kelas besaal...”
ia menunjukkan baut berukuran agak besar di tangan kanannya. “...Sama kelas
keciiil” dan ia menunjukkan baut berukuran lebih kecil di tangan kirinya.
“Ooohh.. iya, ya.”
Aku tersenyum. Tiba-tiba saja
merasa kembali kalah. Sebelumnya aku sudah dibuat malu oleh kejelian Alfi
terkait sandalku yang tak serasi. Kali ini aku kembali dibuat malu karena kalah
oleh daya imajinasi Lian, yang hanya seorang bocah empat tahun.
Sekilas kulihat Alfi ikut
tersenyum.
Aih.. aiiihh... dua kakak beradik ini emang jago bikin orang malu ya! Umpatku pelan dalam hati.
“Teh Lia!”
Spontan kembali kutengokkan
wajahku ke arah asalnya suara. Lagi-lagi aku sudah mengetahui milik siapa suara
itu sebelum kulihat jelas sosoknya.
Ipin.
Yap! Dugaanku benar. Tepat di
muka pintu rumah yang halamannya kupijaki ini telah berdiri Ipin, adik lelaki
pertama Alfi. Perawakannya yang lebih tinggi dan lebih berisi seringkali
membuat orang salah mengira ia sebagai sulung di keluarganya.
“Yo! Apa kabar, Teh?”
Entah karena pembawaan Ipin
yang selalu ceria, atau mungkin juga karena mimik wajah rupawan miliknya yang
selalu ekspresif sehingga membuat orang-orang di sekitarnya merasa menjadi
muda. Seperti aku saat ini. Aku tak bisa menghentikan otot di wajahku yang
mulai membuat senyuman lebar di detik setelah kudengar suara Ipin yang
memanggilku. Tak cukup hanya dengan senyuman lebar. Aku pun turut meng-copy gayanya dengan melambaikan tanganku
ke arahnya. Hampir saja aku lupa untuk menjawab sapaan Ipin karena terlena oleh
bara semangat miliknya yang kelewat berlebih.
“Alhamdulillah Pin, sehat! Eh,
Upin-nya mana?” kembali kulontarkan candaanku.
Detik berikutnya aku sadar.
Adalah kesalahan jika berani mencandai Ipin tentang ‘Upin’. Karena di samping
Ipin bukanlah anak kembar seperti yang ditayangkan di televisi, Ipin juga jauh
lebih cerdik dalam membalas candaan dibandingkan abangnya, Alfi. Simak saja
ucapannya berikut ini. Setelah hanya tersenyum tipis menanggapi candaanku, ia
melontarkan candaan balasannya untukku.
“Ishk.. ishk.. iiisshkk...” (untuk yang satu ini, gayanya sungguhan mirip
seperti Si Ipin yang di televisi. Lengkap
dengan gelengan kepalanya.)
“...hari ini bu guru lagi seneng sama pelangi
ya? Itu baju merah. Rok ijo. Kerudung biru. Eeehhh,, sendalnya pelangi pula di
kanan-kiri! Lagi trend ya, Bu?”
Kali ini wajahku jelas memerah
karena malu. Tak banyak yang bisa kukatakan untuk membela diri. Alhasil aku
hanya bisa ikut tertawa bersama Ipin. Bahkan Alfi dan Lian pun ikut
menertawakanku.
Keceriaan kami di penghujung
sore bulan Januari itu terasa tak akan berakhir. Hingga kemudian kami berempat
dikagetkan oleh sebuah suara yang berasal dari dalam rumah.
KROMPYANG... Pyang.. Pyang..
Pyang...
Aku terkejut. Sangat. Terlepas
dari penyakit lamaku yang memang mudah terkejut, suara seperti perkakas dapur
yang jatuh itu membuatku teringat pada peristiwa beberapa bulan yang lalu di
tempat yang sama. Di rumah ini. Bedanya, dulu peristiwa itu berlangsung di
waktu selepas magrib. Peristiwa yang masih kuingat dengan jelas rinciannya,
bahkan hingga saat ini.
----------------------------------------------------------------------------------------
Saat itu aku hendak
mengantarkan rok milikku yang resleting-nya bermasalah untuk diperbaiki oleh Bi
Sari, yang notabenenya adalah seorang penjahit baju. Baru saja langkahku tiba
di muka pintu rumah Bi Sari, terdengar suara nyaring perkakas yang jatuh. Lebih
tepatnya mungkin seperti suara perkakas yang dibanting. Aku terkejut mendengar
suara yang asalnya dari rumah Bi Ambar, rumah di seberang rumah Bi Sari itu.
Dan tak hanya aku saja yang terkejut, tak lama Bi Sari pun muncul dari dalam
rumah demi mengetahui apa yang sedang terjadi.
“Lia? Ngapain di situ? Tadi
suara apaan, Li?”
“Kurang tahu juga, Bi. Asalnya
sih dari rumah Bi Ambar deh kayaknya.”
Perbincangan kami ini tak lama
diinterupsi oleh suara kecaman dan teriakan yang berasal dari rumah Bi Ambar.
“Bilang! Bilang sama saya!
Kalo perlu apa-apa bilang sama saya! Gak kayak gini! Saya udah kasih uang gaji
saya semuanya ke kamu! Itu banyak! Buat keperluan apa sih sampe kamu hutang ke
rentenir segala? Bilang, Hah!”
“Gak cukup! Lu pikir emang
duitnya gua kemanain? Ya buat biaya sekolah anak-anak lah! Terus mereka makan
pake apa? perlu duit lah!”
“Gajiku tiga juta, Mbar! Gak
sedikit! Terus ke mana uang empat juta yang kamu pinjam dari rentenir sialan
itu, hah?”
“Y-Ya Habis buat ini-itu lah!”
“Uang SPP Alfi juga? Kamu
embat uang sekolah anakmu, Mbar?! Tega kamu!”
Mendadak kecaman dan teriakan
itu berhenti. Tanpa kusadari aku sudah meremas ujung jaketku. Kantung kresek
berisi rok milikku yang hendak kuperbaiki pun entah sejak kapan sudah berada di
atas dipan. Kutatap Bi Sari yang sama terhenyaknya sepertiku. Kami saat itu
masih ada di depan pintu sembari memandang cemas ke arah rumah Bi Ambar. Tanpa
kami sadari beberapa orang lain juga sudah keluar dari rumahnya masing-masing
dan memandang ke arah yang sama. Ada Mak Yati, Bi Enjum, Bi Amah, Mang Usep,
dan sepupu-sepupuku lainnya. Selama beberapa saat kami semuanya tak berani
mengambil tindakan.
“Li, panggil bapakmu Li. Cuma
Ka Abdul yang bisa melerai pertengkaran ini. Cepetan, Li!”
Kudapati kegentingan dalam
suara Bi Sari ketika menyuruhku untuk memanggil bapak. Aku pun akhirnya
bersegera pulang ke rumah untuk memanggil bapak yang kukira sedang tidur.
Aku berlari menerabas angin
malam. Gugup, cemas dan rasa takut akan apa yang sedang terjadi pada keluarga
Bi Ambar membuat langkahku tertatih-tatih. Dan begitu aku sudah sampai di
rumahku yang jaraknya sekitar seratus empat puluh meter dari kompleks rumah
bibi-bibiku, segera kubangunkan bapakku yang memang benar sedang tiduran. Butuh
waktu semenit lebih lama dari yang seharusnya bagiku untuk menceritakan
peristiwa yang sedang terjadi kepada bapak. Tapi tak lama setelahnya bapak
bersegera menuju rumah Bi Ambar. Dan aku mengikuti langkah bapakku dari
belakang.
Sesampainya di depan rumah Bi
Ambar, nampak suasana mulai berubah. Saat itu bibi dan paman-pamanku sudah
mulai berkumpul di depan pintu rumah Bi Ambar. Bapak segera saja membelah
kerubungan di depan pintu itu dan memasuki rumah. Aku sendiri memutuskan untuk
berdiri di samping Bi Enjum. Adik bungsu bapakku ini tak terpaut jauh usianya
denganku, jadi kami sama-sama merasa takut untuk ikutan bertindak sesuatu.
Dari dalam rumah, suara
kecaman milik Mang Anda dan Bi Ambar nampak mulai mereda. Hanya terdengar
tangisan Lian yang sekilas kulihat berada dalam pelukan ibunya. Bi Ambar juga
terlihat masih menangis. Di sofa ruang tamu itu, ia memeluk Lian sembari mengelus
kepala putri bungsunya itu dengan perlahan.
“Sabar, Nda. Kita bisa
bicarain baik-baik.” Lerai bapakku.
“Tapi Kak, Ambar udah kelewatan!
Dia pinjam uang rentenir tanpa bilang ke saya. Parahnya, uang SPP Alfi juga
diembatnya. Ibu macam apa dia!”
“Iya. Kita tahu itu. tapi kan...”
“Udah! Saya gak mau urusin dia
lagi! Terserah dia mau apalah. Saya capek!”
Mang Anda beranjak ke arah
pintu. Kali ini bibi dan pamanku yang tadinya berdiri di dekat pintu pun mulai
menyingkir. Beberapa dari kami mencoba menghalangi.
“Sabar, Nda..” Abah Engkus, suami dari Mak Yati mencoba
menghentikan Mang Anda.
“Istigfar, Nda..” Bi Amah,
Adik keempat Bapakku pun turut mencegah langkah Mang Anda.
“Tunggu dulu, Kak Nda..” dan kali ini adalah Mang Usep,
putera sulung dari Mak Yati.
“Huwaaaa....” dan ini adalah
tangisan Lian yang semakin kencang mendapati bapaknya yang hendak pergi.
Di antara semua kepelikan
suasana itu, aku kebingungan. Tak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu.
“Yaudah! kalo lu mau pisah,
gua terima!”
Suara tegas milik Bi Ambar itu
bak seperti minyak bagi api yang sudah berkobar dalam diri Mang Anda. Bisa
ditebak apa yang terjadi selanjutnya. Mang Anda yang sudah mau keluar dari
rumah akhirnya berbalik dan kembali menghadap istrinya itu.
“Jadi itu yang kamu?! Oke.
Kalo gitu anak-anak ikut sama saya! Ayo Lian, ikut ayah!”
Suasana menjadi kian tak
tertahankan ketika Mang Anda menarik paksa Lian dari pelukan ibunya. Banyak hal
terjadi secara bersamaan di detik berikutnya. Bapakku dan Abah Engkus yang
mencoba menahan lengan Mang Anda. Bi Ambar yang semakin memeluk erat Lian.
Alfi, Ipin, dan Aldi yang memegang kaki ayahnya yang sedang kalap sambil menangis
sesenggukan.
“Anda! Sabar! Kasihan anak-anak!
Kita bisa bicarakan ini baik-baik! Istighfar, Nda! Istighfar!”
Itu adalah suara bapakku. Kali itu, Mang Anda mau berhenti. ia
kemudian melihat ketiga putranya (Alfi, Ipin dan Aldi) yang menangis di kakinya.
Ia juga melihat Lian, putri bungsunya yang masih menangis kencang di pelukan
ibunya. Mang Anda mulai terdiam dan menepuk pelan kepala putra-putranya. Di
waktu yang bersamaan, Bi Ambar pun mulai melonggarkan pelukannya terhadap Lian.
Suasana tampak lengang selama
beberapa saat. Hanya terdengar isakan pelan dari Lian yang terlihat mulai
kelelahan. Melihat putrinya mulai tenang, Bi Ambar memecah keheningan di ruang
tamu itu dengan berucap lembut.
“Lian.. Lian ngantuk, bobo
dulu ya?”
Kami semua menatap ibu dan
anak itu dalam diam.
Masih sesenggukan, Lian
bicara.
“hiks.. ayah.. hiks..mama..
udah... hiks... gak marah?”
Bi Ambar diam sejenak sebelum
akhirnya tersenyum dan menggeleng.
“... ayah?.hiks.”
Kali ini Lian menggapaikan
tangannya ke arah Mang Anda. Dan Mang Anda pun segera tersenyum dan meraih
tangan Lian.
“Lian, bobonya sama Mak Yati
dulu ya? Mama mau bikin susu dulu buat Lian.” Sambung Bi Ambar.
“Gak mau.. Sama mama aja.”
Lian masih menolak bujukan ibunya.
“Sebentar aja kok, Lian. Mama
bikinin susu cokelat kesukaan Lian dulu. Nanti mama bobo juga sama Lian.. ya?”
Dan di menit berikutnya, aku
sudah berbaring di kamar bersama Mak Yati dan Lian di tengah kami. Lian masih
sesenggukan ketika Mak Yati kipasi dan selalu menanyakan kapan ibunya datang. Sementara
aku susah payah menguatkan hatiku untuk tidak menangis di hadapannya.
Kuterka-terka apa yang sedang terjadi di ruang tamu yang baru saja kutinggalkan.
Berharap segalanya terselesaikan dengan baik. Karena kusadari bahwa keputusan
apa pun yang akan diambil oleh Bi Ambar dan Mang Anda malam ini, tentu akan
memberikan dampak besar bagi kehidupan banyak jiwa. Terutama bocah perempuan
yang terbaring di sampingku ini.
Duh.. Rabbi... desahku
dalam hati.
Demi menghibur diriku sendiri,
aku pun menyanyikan lagu nina bobo untuk Lian.
“Lian.. Teh Lia punya lagu bagus.. Teteh nyanyiin
yaa...
Dedaunan di pohon
Dan angin yang menari
Aroma hujan semalam
Dan kubangan air....”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
“ Teh Lia! Jiaah malah
ngelamun!”
Aku tersentak dari lamunan
panjangku. Suara Ipin dan tepukannya di pundakku itu menghentikanku dari
mengingat malam pertengkaran Mang Anda dan Bi Ambar. Tentu saja. Saat ini aku
memang berada di halaman rumah, tempat berlangsungnya peristiwa tak mengenakkan
bagi keluarga besarku beberapa bulan yang lalu. Tapi saat ini aku tak lagi
merasa gugup, cemas ataupun takut seperti yang kurasakan saat itu. Bahkan, baru
saja aku asyik bergurau dengan Alfi, Ipin, dan Lian.
“Eh! Hehee.. sorry, Pin. Jadi,
barusan suara apa?” tanyaku sembari tersenyum malu.
“Maaf ya Teh Li. Tadi Aldi
nyenggol panci di meja. Berisik banget ya?”
Tiba-tiba saja kepala Aldi
muncul di muka pintu untuk kemudian menghilang lagi ke dalam rumah. Aku sedikit
terkejut.
“Woy, Di! Masak Mie-nya
sekalian juga ya buat abang!” Ipin berteriak ke arah rumah.
“Eh, gua juga mau, Di!” kali
ini Alfi ikut berteriak. Ia nampaknya sudah menyelesaikan reparasi motornya dan
mulai beranjak merapihkan peralatan montir-nya.
“Bellian juga mau, Bang Di!”
Ini adalah teriakan Berlian.
Tak lama, dari dalam rumah Aldi ikut berteriak.
“Pada bayar yaa!”
Aku, Alfi, Ipin dan Lian tertawa lepas.
“Teh Lia mau Mie juga gak?”
tawar Alfi.
“Gak ah. Nanti disuruh bayar
mahal lagi! Hahaha.. makasih, Fi. Tadi udah makan kok di rumah.”
“Bang Alfi, Ipin mandi duluan
ya. Yuk, Teh Li.”
Aku mengangguk pelan ke arah
Ipin yang melangkah masuk ke dalam rumah. Saat itu Lian mulai sibuk mengukir
gambar di atas tanah. Entah apa maksudnya, yang jelas buatku itu kelihatan
seperti kue kuping gajah. Sementara Alfi masih sibuk merapihkan peralatan
montirnya.
Di menit berikutnya, entah
karena angin apa tiba-tiba saja aku menanyakan kepada Alfi perihal ibunya.
“Fi, mama gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah sehat, Teh. Kemarin
malam habis telpon. Katanya lebaran nanti gak bisa pulang”
“Ooh...”
Sudah. Aku tak lagi berani
menanyakan perihal Bi Ambar lagi ke Alfi. Sudah cukup aku tahu bahwa Bi Ambar
baik-baik saja bekerja di Arab Saudi. Aku juga kembali bersyukur bahwa Bi Ambar
dan Mang Anda tak memutuskan untuk berpisah di malam pertengkaran itu. Demi anak. Begitulah kukira alasannya.
“Teh, Alfi ke dalam dulu ya
naruh ini” ucap Alfi sembari menunjuk peralatan montir-nya.”
“Ya.”
Dan Alfi pun masuk ke dalam
rumah meninggalkan aku berdua dengan Berlian.
“dedaunan di pohon... dan angin yang menali..
aloma hujan semalam dan kubangan ail...”
Aku tersenyum mendengar
lantunan suara cempreng milik Lian.
“Wahh.. Lian udah hapal
lagunya ya?” tanyaku pada Lian.
“He. em. Lian udah hapal .”
Lian mengangguk.
“Lian mandi dulu. Abang udah
selesai mandinya.”
Tiba-tiba saja Ipin sudah
berdiri di muka pintu dengan pakaian yang sudah diganti. Kemudian kuacak pelan
rambut Lian sebelum akhirnya kuajak ia mandi.
“Pinterrr... sekarang, Lian
mandi dulu yuk! Biar waa..ngii..”
Tanpa banyak kata, Lian
mengangguk dan beranjak bangun. Sembari berjalan, kami menyenandungkan lagu
‘Senandung Pagi’ bersama-sama dengan riang. Sementara dalam hati, aku
melirihkan doa khusus untuk Berlian, Aldi, Ipin, Alfi juga untuk semua anak
lainnya yang sedang ataupun pernah bersedih dikarenakan pertengkaran orang tua.
“Dedaunan di pohon
Dan
angin yang menari
Aroma
hujan semalam
Dan
kubangan air
(Semoga setiap dari mereka
bisa merajut dunia mereka sendiri tanpa dihantui oleh bayangan kelamnya masa
lalu.)
Kecipak
ikan-ikan
Geliyat
ulat daun
Aroma
bunga taman
Dan
jernihnya embun
(Dunia di mana mereka mampu
mewujudkan setiap mimpi dan meraih kebanggaan atas diri sendiri. Dunia di mana
kedamaian dalam hati bisa menjadi laksana udara yang bisa dihirup di mana
saja.)
Siul
burung-burung pipit
Bersahutan
katak dan jangkrik
Dengungan
para lebah madu
Di
kepala putik
(Tak lagi merasa takut. Tak
lagi perlu merasa cemas akan perpisahan.)
Langit
biru awan putih
Berhiaskan
lengkung pelangi
(Karena semuanya berbahagia
dalam kebersamaan yang menentramkan.)
Cemerlangnya
sinar mentari
(Bersama keluarga terkasih.)
Ditulis dan
diselesaikan pada,
Rabu, 8 Januari
2014
Di rumah putih.
Amaliyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar