Aku berlari. Lurus melaju tanpa mengenal arah. Segala
hal di sekitar kutinggalkan jauh di belakang. Sungai. Pegunungan. Juga hamparan
ilalang selutut yang dijejak kakiku dengan penuh kecepatan. Hingga hanya menyisakan
rasa peras di telapak kaki dan tangan.
Aku berlari. Terus melaju melawan angin. Wajahku mulai
kebas karena tamparannya. Sementara benakku mulai bertanya. Angin milik musim apakah ini? Tak panas.
Juga tak dingin. Terasa sejuk malah. Angin milik surga kah? Ah! Kembali kufokuskan
pandanganku ke hadapan. Tak akan
kubiarkan sejuknya angin-entah-milik-musim-apa ini membuatku larut dalam
hayalan. Karena aku harus terus berlari. Aku harus menjaga laju lariku. Aku
harus.
Wush!
Aku sedikit membelokkan arah lariku ke sebelah kiri.
Tiba-tiba saja angin dari belakang menebas sebarisan ilalang yang letaknya ada
di jalur lariku sebelumnya. Selama sedetik aku terkesima melihat akibat dari
tebasan angin itu. Sebarisan ilalang di kananku nampak rubuh hingga sepuluh
meter ke depan jauhnya.
Huuuuuuuugg!
Sebuah suara menggema jauh di belakangku. Bulu remang di
lenganku berdiri tanpa ku minta. Ada keinginan dalam hati untuk menoleh ke
belakang. Memastikan apakah aku masih dalam pengejaran. Tapi tentu saja.
Kuputuskan untuk mengembalikan laju lariku seperti semula. Karena dia yang sedang mengejarku, akan mampu
menangkapku jika kubiarkan lajuku melambat terlalu lama.
Ada yang aneh. Sudah
berapa jam kah lamanya kakiku berpacu? Aku tak tahu. Kesadaranku hanya
mengatakan bahwa untuk waktu yang lama matahari tak berubah dari singgasananya.
Terasa seperti jam delapan pagi. Dan kurasa aku sudah berlari berjam-jam
lamanya. Tapi tunggu dulu! Di mana
peluhku? Tidakkah seharusnya lelah itu ada? Mengapa pula tungkaiku masih mampu
menahan laju larinya?
Tiba-tiba saja semburat warna merah muda muncul di kaki
langit di hadapanku. Aku terkejut sekaligus merasa takjub. Laksana air laut
yang menyapu pasir di pantai, semburat kemerahan di langit itu mulai merayap
perlahan dan mengganti warna birunya. Dan aku menyaksikannya sambil terus
berlari.
Huuuuuuuuuuugg!
Aku kembali disadarkan pada keadaanku saat ini. Gema
suara milik dia yang sedang
mengejarku telah membuat bulu remangku kembali berdiri. Tiba-tiba saja
kecemasan melandaku. Sampai kapan aku
bisa terus berlari? meski hingga saat ini aku tak juga lelah, tapi tentunya ada
akhir dari pelarian ini bukan?
Pelarian. Pengejaran. Entah apalagi nama yang bisa
kuberikan untuk peristiwa yang kualami saat ini. Yang jelas, karena peristiwa
inilah kurasakan ketakutan tak berdasar terhadap dia yang kini kian mendekatiku dari belakang.
Aku tak mengenal dia.
Aku bahkan tak mengetahui sosoknya.
Aku hanya tahu bahwa dia memiliki
kekuatan yang tak kumiliki. Bahwa dia
adalah sosok asing yang menjadi horor bagi kehidupanku. Bahwa aku harus melarikan
diri darinya. Karena aku tak mengenalnya.
Wush!
Aku kembali dikejutkan oleh tebasan angin dari belakang.
Tebasan angin kali ini memiliki jarak imbas yang lebih jauh dari sebelumnya.
Dan kali ini aku tak sempat menghindar. Beruntungnya tebasan itu hanya mengenai
barisan ilalang yang terletak satu meter di sebelah kiriku. Masih sambil
berlari, kuhembuskan nafas karena merasa lega.
Oh! Apa itu?!
Di daerah ilalang yang sudah rubuh karena tebasan angin
sebelumnya, berterbangan kepingan benda seukuran butiran bola salju dan
berwarna kekuningan. Ketika tanganku menyentuh benda itu, aku dikejutkan oleh
sensasi yang kurasakan. Aku bahkan berhenti berlari dan mencoba menangkap benda
kuning selembut kapas yang berterbangan itu.
Kurasa tak akan ada yang mempercayai apa yang kualami
saat ini. Karena ketika kusentuh benda kuning itu, aku seperti mendapat
penglihatan tentang kehidupan masa laluku. Ketika aku balita. Ketika aku
belajar bersepeda. Ketika pertama kalinya aku melangkah ke sekolah. Dan ketika
aku berkumpul bersama ibu, bapak, serta adikku, Fandi. Penglihatan tentang masa
laluku itu membuatku tiba-tiba saja didera rasa rindu pada keluarga. Menyadari
bahwa saat ini, di tempat ini, mereka tak ada bersamaku. Dan aku menangis.
Huuuuuuuuugg!
Aku tersentak dan sekejap saja semua penglihatanku
tentang masa laluku itu menghilang. Kali ini tanpa kusadari kutengokkan
kepalaku ke arah asalnya suara yang menggema di kejauhan itu. Dan aku semakin
terkejut begitu kulihat sosok dia yang
selama ini mengejarku. Jarak kami saat ini sekitar lima puluh meter. Meski
begitu, mataku bisa melihat sosoknya
dengan sangat jelas. Dia, yang selama
ini telah mengancamku dengan rasa takut yang tak kumengerti sebabnya, bukanlah
manusia.
Dia bukan manusia!
Dia bukanlah manusia.
Sosoknya seperti kupu-kupu raksasa seukuran rumah. Jika
selama ini kukira kupu-kupu adalah serangga yang paling mengagumkan, kurasa
anggapanku telah berubah setelah melihat kupu-kupu raksasa di hadapanku ini. Ia
bukan lagi serangga yang mengagumkan. Melainkan menakutkan!
Lari!
Lari lagi, Mel!
Peringatan yang datang dari alam bawah sadar itu membantuku
mengumpulkan kesadaran. Perlahan kukuatkan kembali tungkai kakiku untuk kembali
lari. Dan aku pun akhirnya kembali berlari. Meski dengan tertatih-tatih, aku
terus berlari secepat yang kubisa. Aku tak ingin tertangkap oleh monster itu.
Aku tak ingin tertangkap olehnya.
Kemudian, secara perlahan otakku memunculkan
pertanyaan-pertanyaan.
Bagaimana bisa aku
di sini?!
Sebenarnya aku ada
di mana?!
Aku manusia!
Aku tinggal di
bumi!
Mengapa tak
kudapati seorang pun manusia selainku?!
Ibuu…! Bapaak…! Fandi….!
Di mana kalian…?!
Tolong amell….!
Keterkejutanku nampaknya tak berakhir sampai ketika
kulihat sosok monster kupu-kupu yang mengejarku. Karena aku dikejutkan lagi
oleh kejadian aneh di sekitarku. Tiba-tiba saja muncul angin sejuk dari arah
kiri yang menyapu pelan hamparan ilalang di sekitarku. Anehnya, entah bagaimana
semua ilalang di hamparan daratan ini rubuh dan memunculkan kapas kekuningan
seperti yang terjadi sebelumnya. Kapas-kapas itu berterbangan memenuhi semua
daratan dan tiba-tiba terpecah menjadi serbuk kuning di udara. Serbuk kuning
itu lalu mengembang hingga seukuran bola kasti untuk kemudian terbang menuju
langit. Langit yang sudah cukup aneh karena warnanya yang berubah kemerahan pun
menjadi lebih aneh dengan adanya bintik-bintik kekuningan. Sementara itu aku
mencoba menghalau bola-bola yang mengganggu jalur lariku sambil terus berlari. Karena
monster kupu-kupu di belakangku kini semakin dekat dan terus menerus menggemakan
suaranya.
Huuuugg!! Huuuugg!!
Argh!
Aku terjatuh. Tubuhku tersungkur di tanah bekas hamparan
ilalang. Rasanya sakit. Pergelangan tanganku nampaknya terkilir karena posisi
jatuhnya yang tak menguntungkan. Tiba-tiba pula tungkaiku lemas. Aku merasa tak
lagi mampu berdiri apalagi tuk berlari. Akhirnya kuputuskan untuk menyerah. Aku
mengalah.
Detik terus berganti. Sementara gema suara monster
kupu-kupu kian mendekati. Di saat itulah, muncul ingatan tentang perbincangan
terakhir dengan keluargaku.
“kamu mau cari
yang bagaimana lagi to, Mel? Dia itu sarjana. Anak ulama pula. Orang terpandang
di desa seberang. Penghasilannya juga tetap. Sudah pegawai negeri lo, Mel.”
Suara ibu terngiang kembali di benakku. Saat itu kami
sedang duduk lesehan di teras rumah. Tak hanya berdua, melainkan juga ada bapak
dan Fandi. Saat itu kami sedang berbincang tentang Mas Saka yang mengajukan
lamarannya untukku. Sebenarnya aku tak terkejut ketika mendengar kabar lamaran
ini dari ibu karena sudah tiga kali aku mengalami hal seperti ini. Dua lamaran
sebelumnya sudah kutolak karena alasan ‘tak sreg’ di hati, di mana kedua
lamaran sebelumnya itu berasal dari jenis pria yang sangat kuhindari. Yaitu
pecinta rokok.
“Bang Saka gak
ngerokok kok, Kak.” Fandi ikut membujukku.
Awalnya aku kesulitan untuk menjawab semua desakan
keluargaku itu. Aku memahami maksud mereka. Aku sudah cukup umur untuk menikah.
Usia dua puluh lima bagi seorang wanita jawa itu malah sudah dianggap tua. Tapi
aku belum mau mengalah. Entah bagaimana caranya aku harus menemukan alasan
untuk menolak lamaran Mas Saka ini. Kupandangi bapak yang biasanya selalu
menjadi penyelamatku. Sayangnya kali itu harapanku padanya mesti pupus karena
bapak ikutan seperti ibu yang menautkan kedua alisnya. Pertanda merasa
heran mengapa aku tak juga menerima
lamaran itu.
Sebenarnya semua alasanku ketika menolak lamaran selama
ini bukanlah alasan utama. Alasan utamaku menolak lamaran-lamaran itu lebih
dikarenakan oleh ketakutanku yang tak berdasar terhadap pernikahan. Karena
kebanyakan pernikahan orang-orang terdekatku selalu saja kudengar berita tak
menyenangkannya. Entah itu pertengkaran, perselingkuhan, kekerasan, bahkan
perceraian. Kedua orang tuaku pun sering kali kudapati sedang bertengkar, meski
hanya untuk hal-hal sepele seperti tak meletakkan sepatu pada tempatnya. Aku
takut bila kelak aku harus mengalami semua hal itu. Karena sejujurnya selama
yang kutahu, aku selalu menghindari pertengkaran apalagi kekerasan.
Semua ketakutanku akan pernikahan itu kemudian
memunculkan ketakutan lain yang semakin tak berdasar. Aku takut untuk
mempercayai laki-laki. Untuk hal ini, aku pernah mengalaminya sendiri.
Aku memiliki seorang lelaki yang kukagumi. Dia adalah kawan
seangkatan di kampusku. Saat itu kami sudah berada di semester terakhir dari
masa perkuliahan kami. Dia seorang ketua dari salah satu organisasi di kampus.
Dia sudah memiliki seorang istri yang sedang mengandung. Meski begitu, aku
tetap tak bisa menghentikan rasa kagumku tumbuh terhadapnya. Kami seringkali
dipertemukan dalam kegiatan rapat dan aksi di lapangan. Dan dari sana pula
hubungan kami jadi semakin dekat. Aku sudah menganggapnya sebagai sahabat.
Sayangnya, aku dikejutkannya ketika ia menyampaikan perasaannya yang lebih dari
sekedar kepada sahabat terhadapku. Aku tahu bahwa tentu saat itu juga adalah
saat yang terberat untuknya. Tapi tetap saja, aku sudah terlanjur merasa bersalah
terhadap istrinya yang tak tahu apa-apa. Setelah itu aku mulai menghindarinya.
Dan sejak saat itu pula aku mulai menjaga jarak dalam berteman dengan lelaki.
Itulah alasan terbesarku menolak semua lamaran selama
ini. Sayangnya aku tak berani mengatakan alasanku ini kepada keluargaku. Hingga
saat ini.
Blitz..
Pandanganku kembali ke daratan bekas hamparan ilalang
yang telah menghilang. Kali ini aku menangis. Aku menangisi kebodohanku karena
telah takut pada Mas Saka. Aku memang belum mengenalnya akrab. Aku tak tahu
apakah dia seorang lelaki yang baik. Tapi aku juga tak bisa memastikan bahwa
dia adalah orang yang buruk, bukan? Aku menangis. Menyesali kepengecutanku
untuk mengenal Mas Saka dengan baik. Aku sungguh menyesal. Bisa saja dia adalah
jodoh terbaik yang telah disiapkan oleh Allah untukku. Mengapa pula aku begitu
sombong dan menolaknya dengan segala alasan remeh? Mengapa pula aku menakuti
sesuatu yang tak kukenal? Bukankah seharusnya aku mencoba untuk mengenalnya terlebih dahulu baru kemudian memutuskan?
Tiba-tiba saja kekuatanku mulai kembali secara perlahan.
Kekuatan itu mengaliri seluruh tubuh, tangan dan kakiku. Membuatku tak ingin
menyerah pada keadaanku saat ini. Bahkan aku tak mau kalah pada monster
kupu-kupu yang kini hanya berjarak 15 meter di belakangku. Dan aku pun akhirnya
bangkit untuk kemudian berlari lagi.
Aku harus pergi
dari dunia aneh ini. entah bagaimanapun caranya aku akan menemukannya. Aku
ingin bertemu dengan keluargaku. Aku ingin mengenal Mas Saka. Aku ingin
duniaku. Bahkan Sumi, rekan kerjaku yang menjengkelkan itu pun ingin kutemui.
Aku akan bertahan!
Huuuuuugg!
Aku berlari. Berusaha menghindar dari sang monster. Berkelok-kelok
jalan kuterobos. Tapi ia dengan sayapnya akhirnya mampu mengejar langkah
pendekku. Di detik yang tak kuharapkan, ditangkapnya pundakku dalam cengkeraman
kaki-kakinya yang berbulu. Usahaku yang meronta-ronta dari cengkeraman kakinya
terasa tak berarti. Tapi kemudian ada hal aneh yang kurasakan. Cengkeraman itu
tiba-tiba saja melemah dan pundakku yang dicengkeram kaki monster itu tak lagi
terasa berat menahan beban kakinya. Kutengokkan wajahku ke kanan, ke atas
pundakku. Sang monster yang sebelumnya berukuran sebesar rumah, kini seolah
telah menyusut menjadi seukuran burung manyar.
Kini, kupu-kupu seukuran burung manyar lah yang
bertengger dengan tenangnya di pundakku. Seketika itu pula rasa takutku
menghilang. Tergantikan oleh rasa takjub akan rupanya. Kupu-kupu berwarna abu
keperakan seukuran burung manyar. Dengan matanya yang kelabu, dikirimkannya
kedamaian ke hatiku. Sekilas, entah bagaimana bisa kulihat ada senyum dan
kehangatan yang terpancar di matanya. Dan perlahan kubalas balik senyumannya.
Crackk.. Crackk.. Crackk..
Tiba-tiba saja tanah di hadapanku retak. Aku meloncat ke
samping kiri untuk menghindar agar tak terjatuh ke dalam retakan itu. Dari
retakan itu kemudian muncul asap panas yang mengepul tiba-tiba. Tak hanya itu.
Bola awan kuning di langit yang sempat kuabaikan kini mulai meletus satu
persatu dan menurunkan hujan. Hujan yang juga aneh seperti bola awan kekuningan
itu. Hujan ini menurunkan air yang tebasannya terasa seperti tusukan jarum. Aku
kian terkejut begitu kupu-kupu cantik di pundakku ikut meletus begitu terkena tebasan
hujan ini.
Pushh!
Begitulah bunyinya.
Dan giliranku yang merasa kesakitan begitu tetesan hujan
itu mengenai tubuhku. Rasanya benar-benar seperti ditusuk jarum. Aku mencoba
berlari dan mencari tempat untuk berteduh dari hujan aneh ini. Dan akhirnya….
“Aww!!” aku mengaduh.
Kemudian terkejut ketika mendapati ada jarum di dekat
pipiku. Nampaknya jarum itu sedikit menusuk pipiku sehingga aku kesakitan. Dan
tiba-tiba saja kubuka lebar kedua mataku. Menyadari di mana aku berada saat ini.
Atap putih. Lemari
plastik. Rak buku. Lalu kusentuh permukaan tempat ku berbaring. Kasur! Aku di kamarku! AKU SELAMAT DARI DUNIA ANEH ITU!
Aku pun bangkit berdiri dan berteriak,
“Yeaah!”
Tak lama ada suara terdengar dari luar.
“Kenapa Mel? sudah bangun ya? Cepet angkat jemuran. Langitnya
mendung. Ibu lagi cuci beras.”
Aku terhenyak.
“…?!! Mimpi?! Astagfirullaaahh…hhh.. mimpi aneh lagi.
Udah umur segini masih aja mimpi kayak gitu. Pasti akibat tidur sore nih.
Gak-gak lagi deh.”
Setelahnya, masih dengan sedikit linglung aku bergegas
meraih bergo kuning yang ada di pinggiran kasurku untuk kemudian kukenakan.
Kulihat di kasurku juga ada rok hitam yang baru kuingat sedang kujahit sebelum
aku jatuh tertidur tadi. Jarum jahit itulah yang kukira sudah membangunkanku
dari mimpi aneh di penghujung sore ini.
Setelahnya bisa kalian tebak. Kulakukan apa yang
disuruhkan ibuku sebelumnya. Dan sembari mengangkat jemuran, kuazamkan dalam
hati bahwa aku akan mengatakan kepada keluargaku tentang mempertimbangkan
lamaran Mas Saka. Mungkin saja dia benar adalah lelaki yang baik.
Jadi, bagaimana menurut kalian? Keputusanku ini oke
kan?. ^.^
Ditulis dan diselesaikan pada,
Kamis, 9 Januari 2014
Di Rumah Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar