Kamis, 09 Januari 2014

Cerpen, "Asing"

Aku berlari. Lurus melaju tanpa mengenal arah. Segala hal di sekitar kutinggalkan jauh di belakang. Sungai. Pegunungan. Juga hamparan ilalang selutut yang dijejak kakiku dengan penuh kecepatan. Hingga hanya menyisakan rasa peras di telapak kaki dan tangan.
Aku berlari. Terus melaju melawan angin. Wajahku mulai kebas karena tamparannya. Sementara benakku mulai bertanya. Angin milik musim apakah ini? Tak panas. Juga tak dingin. Terasa sejuk malah. Angin milik surga kah? Ah! Kembali kufokuskan  pandanganku ke hadapan. Tak akan kubiarkan sejuknya angin-entah-milik-musim-apa ini membuatku larut dalam hayalan. Karena aku harus terus berlari. Aku harus menjaga laju lariku. Aku harus.
Wush!
Aku sedikit membelokkan arah lariku ke sebelah kiri. Tiba-tiba saja angin dari belakang menebas sebarisan ilalang yang letaknya ada di jalur lariku sebelumnya. Selama sedetik aku terkesima melihat akibat dari tebasan angin itu. Sebarisan ilalang di kananku nampak rubuh hingga sepuluh meter ke depan jauhnya.
Huuuuuuuugg!
Sebuah suara menggema jauh di belakangku. Bulu remang di lenganku berdiri tanpa ku minta. Ada keinginan dalam hati untuk menoleh ke belakang. Memastikan apakah aku masih dalam pengejaran. Tapi tentu saja. Kuputuskan untuk mengembalikan laju lariku seperti semula. Karena dia yang sedang mengejarku, akan mampu menangkapku jika kubiarkan lajuku melambat terlalu lama.
Ada yang aneh. Sudah berapa jam kah lamanya kakiku berpacu? Aku tak tahu. Kesadaranku hanya mengatakan bahwa untuk waktu yang lama matahari tak berubah dari singgasananya. Terasa seperti jam delapan pagi. Dan kurasa aku sudah berlari berjam-jam lamanya. Tapi tunggu dulu! Di mana peluhku? Tidakkah seharusnya lelah itu ada? Mengapa pula tungkaiku masih mampu menahan laju larinya?
Tiba-tiba saja semburat warna merah muda muncul di kaki langit di hadapanku. Aku terkejut sekaligus merasa takjub. Laksana air laut yang menyapu pasir di pantai, semburat kemerahan di langit itu mulai merayap perlahan dan mengganti warna birunya. Dan aku menyaksikannya sambil terus berlari.
Huuuuuuuuuuugg!
Aku kembali disadarkan pada keadaanku saat ini. Gema suara milik dia yang sedang mengejarku telah membuat bulu remangku kembali berdiri. Tiba-tiba saja kecemasan melandaku. Sampai kapan aku bisa terus berlari? meski hingga saat ini aku tak juga lelah, tapi tentunya ada akhir dari pelarian ini bukan?
Pelarian. Pengejaran. Entah apalagi nama yang bisa kuberikan untuk peristiwa yang kualami saat ini. Yang jelas, karena peristiwa inilah kurasakan ketakutan tak berdasar terhadap dia yang kini kian mendekatiku dari belakang.
Aku tak mengenal dia. Aku bahkan tak mengetahui sosoknya. Aku hanya tahu bahwa dia memiliki kekuatan yang tak kumiliki. Bahwa dia adalah sosok asing yang menjadi horor bagi kehidupanku. Bahwa aku harus melarikan diri darinya. Karena aku tak mengenalnya.
Wush!
Aku kembali dikejutkan oleh tebasan angin dari belakang. Tebasan angin kali ini memiliki jarak imbas yang lebih jauh dari sebelumnya. Dan kali ini aku tak sempat menghindar. Beruntungnya tebasan itu hanya mengenai barisan ilalang yang terletak satu meter di sebelah kiriku. Masih sambil berlari, kuhembuskan nafas karena merasa lega.
Oh! Apa itu?!
Di daerah ilalang yang sudah rubuh karena tebasan angin sebelumnya, berterbangan kepingan benda seukuran butiran bola salju dan berwarna kekuningan. Ketika tanganku menyentuh benda itu, aku dikejutkan oleh sensasi yang kurasakan. Aku bahkan berhenti berlari dan mencoba menangkap benda kuning selembut kapas yang berterbangan itu.
Kurasa tak akan ada yang mempercayai apa yang kualami saat ini. Karena ketika kusentuh benda kuning itu, aku seperti mendapat penglihatan tentang kehidupan masa laluku. Ketika aku balita. Ketika aku belajar bersepeda. Ketika pertama kalinya aku melangkah ke sekolah. Dan ketika aku berkumpul bersama ibu, bapak, serta adikku, Fandi. Penglihatan tentang masa laluku itu membuatku tiba-tiba saja didera rasa rindu pada keluarga. Menyadari bahwa saat ini, di tempat ini, mereka tak ada bersamaku. Dan aku menangis.
Huuuuuuuuugg!
Aku tersentak dan sekejap saja semua penglihatanku tentang masa laluku itu menghilang. Kali ini tanpa kusadari kutengokkan kepalaku ke arah asalnya suara yang menggema di kejauhan itu. Dan aku semakin terkejut begitu kulihat sosok dia yang selama ini mengejarku. Jarak kami saat ini sekitar lima puluh meter. Meski begitu, mataku bisa melihat sosoknya dengan sangat jelas. Dia, yang selama ini telah mengancamku dengan rasa takut yang tak kumengerti sebabnya, bukanlah manusia.
Dia bukan manusia!
Dia bukanlah manusia.
Sosoknya  seperti kupu-kupu raksasa seukuran rumah. Jika selama ini kukira kupu-kupu adalah serangga yang paling mengagumkan, kurasa anggapanku telah berubah setelah melihat kupu-kupu raksasa di hadapanku ini. Ia bukan lagi serangga yang mengagumkan. Melainkan menakutkan!
Lari!
Lari lagi, Mel!
Peringatan yang datang dari alam bawah sadar itu membantuku mengumpulkan kesadaran. Perlahan kukuatkan kembali tungkai kakiku untuk kembali lari. Dan aku pun akhirnya kembali berlari. Meski dengan tertatih-tatih, aku terus berlari secepat yang kubisa. Aku tak ingin tertangkap oleh monster itu. Aku tak ingin tertangkap olehnya.
Kemudian, secara perlahan otakku memunculkan pertanyaan-pertanyaan.
Bagaimana bisa aku di sini?!
Sebenarnya aku ada di mana?!
Aku manusia!
Aku tinggal di bumi!
Mengapa tak kudapati seorang pun manusia selainku?!
Ibuu…!   Bapaak…!       Fandi….!
Di mana kalian…?!
Tolong amell….!
Keterkejutanku nampaknya tak berakhir sampai ketika kulihat sosok monster kupu-kupu yang mengejarku. Karena aku dikejutkan lagi oleh kejadian aneh di sekitarku. Tiba-tiba saja muncul angin sejuk dari arah kiri yang menyapu pelan hamparan ilalang di sekitarku. Anehnya, entah bagaimana semua ilalang di hamparan daratan ini rubuh dan memunculkan kapas kekuningan seperti yang terjadi sebelumnya. Kapas-kapas itu berterbangan memenuhi semua daratan dan tiba-tiba terpecah menjadi serbuk kuning di udara. Serbuk kuning itu lalu mengembang hingga seukuran bola kasti untuk kemudian terbang menuju langit. Langit yang sudah cukup aneh karena warnanya yang berubah kemerahan pun menjadi lebih aneh dengan adanya bintik-bintik kekuningan. Sementara itu aku mencoba menghalau bola-bola yang mengganggu jalur lariku sambil terus berlari. Karena monster kupu-kupu di belakangku kini semakin dekat dan terus menerus menggemakan suaranya.
Huuuugg!!          Huuuugg!!
Argh!
Aku terjatuh. Tubuhku tersungkur di tanah bekas hamparan ilalang. Rasanya sakit. Pergelangan tanganku nampaknya terkilir karena posisi jatuhnya yang tak menguntungkan. Tiba-tiba pula tungkaiku lemas. Aku merasa tak lagi mampu berdiri apalagi tuk berlari. Akhirnya kuputuskan untuk menyerah. Aku mengalah.
Detik terus berganti. Sementara gema suara monster kupu-kupu kian mendekati. Di saat itulah, muncul ingatan tentang perbincangan terakhir dengan keluargaku.
“kamu mau cari yang bagaimana lagi to, Mel? Dia itu sarjana. Anak ulama pula. Orang terpandang di desa seberang. Penghasilannya juga tetap. Sudah pegawai negeri lo, Mel.”
Suara ibu terngiang kembali di benakku. Saat itu kami sedang duduk lesehan di teras rumah. Tak hanya berdua, melainkan juga ada bapak dan Fandi. Saat itu kami sedang berbincang tentang Mas Saka yang mengajukan lamarannya untukku. Sebenarnya aku tak terkejut ketika mendengar kabar lamaran ini dari ibu karena sudah tiga kali aku mengalami hal seperti ini. Dua lamaran sebelumnya sudah kutolak karena alasan ‘tak sreg’ di hati, di mana kedua lamaran sebelumnya itu berasal dari jenis pria yang sangat kuhindari. Yaitu pecinta rokok.
“Bang Saka gak ngerokok kok, Kak.” Fandi ikut membujukku.
Awalnya aku kesulitan untuk menjawab semua desakan keluargaku itu. Aku memahami maksud mereka. Aku sudah cukup umur untuk menikah. Usia dua puluh lima bagi seorang wanita jawa itu malah sudah dianggap tua. Tapi aku belum mau mengalah. Entah bagaimana caranya aku harus menemukan alasan untuk menolak lamaran Mas Saka ini. Kupandangi bapak yang biasanya selalu menjadi penyelamatku. Sayangnya kali itu harapanku padanya mesti pupus karena bapak ikutan seperti ibu yang menautkan kedua alisnya. Pertanda merasa heran  mengapa aku tak juga menerima lamaran itu.
Sebenarnya semua alasanku ketika menolak lamaran selama ini bukanlah alasan utama. Alasan utamaku menolak lamaran-lamaran itu lebih dikarenakan oleh ketakutanku yang tak berdasar terhadap pernikahan. Karena kebanyakan pernikahan orang-orang terdekatku selalu saja kudengar berita tak menyenangkannya. Entah itu pertengkaran, perselingkuhan, kekerasan, bahkan perceraian. Kedua orang tuaku pun sering kali kudapati sedang bertengkar, meski hanya untuk hal-hal sepele seperti tak meletakkan sepatu pada tempatnya. Aku takut bila kelak aku harus mengalami semua hal itu. Karena sejujurnya selama yang kutahu, aku selalu menghindari pertengkaran apalagi kekerasan.
Semua ketakutanku akan pernikahan itu kemudian memunculkan ketakutan lain yang semakin tak berdasar. Aku takut untuk mempercayai laki-laki. Untuk hal ini, aku pernah mengalaminya sendiri.
Aku memiliki seorang lelaki yang kukagumi. Dia adalah kawan seangkatan di kampusku. Saat itu kami sudah berada di semester terakhir dari masa perkuliahan kami. Dia seorang ketua dari salah satu organisasi di kampus. Dia sudah memiliki seorang istri yang sedang mengandung. Meski begitu, aku tetap tak bisa menghentikan rasa kagumku tumbuh terhadapnya. Kami seringkali dipertemukan dalam kegiatan rapat dan aksi di lapangan. Dan dari sana pula hubungan kami jadi semakin dekat. Aku sudah menganggapnya sebagai sahabat. Sayangnya, aku dikejutkannya ketika ia menyampaikan perasaannya yang lebih dari sekedar kepada sahabat terhadapku. Aku tahu bahwa tentu saat itu juga adalah saat yang terberat untuknya. Tapi tetap saja, aku sudah terlanjur merasa bersalah terhadap istrinya yang tak tahu apa-apa. Setelah itu aku mulai menghindarinya. Dan sejak saat itu pula aku mulai menjaga jarak dalam berteman dengan lelaki.
Itulah alasan terbesarku menolak semua lamaran selama ini. Sayangnya aku tak berani mengatakan alasanku ini kepada keluargaku. Hingga saat ini.
Blitz..
Pandanganku kembali ke daratan bekas hamparan ilalang yang telah menghilang. Kali ini aku menangis. Aku menangisi kebodohanku karena telah takut pada Mas Saka. Aku memang belum mengenalnya akrab. Aku tak tahu apakah dia seorang lelaki yang baik. Tapi aku juga tak bisa memastikan bahwa dia adalah orang yang buruk, bukan? Aku menangis. Menyesali kepengecutanku untuk mengenal Mas Saka dengan baik. Aku sungguh menyesal. Bisa saja dia adalah jodoh terbaik yang telah disiapkan oleh Allah untukku. Mengapa pula aku begitu sombong dan menolaknya dengan segala alasan remeh? Mengapa pula aku menakuti sesuatu yang tak kukenal? Bukankah seharusnya aku mencoba untuk mengenalnya terlebih dahulu baru kemudian memutuskan?
Tiba-tiba saja kekuatanku mulai kembali secara perlahan. Kekuatan itu mengaliri seluruh tubuh, tangan dan kakiku. Membuatku tak ingin menyerah pada keadaanku saat ini. Bahkan aku tak mau kalah pada monster kupu-kupu yang kini hanya berjarak 15 meter di belakangku. Dan aku pun akhirnya bangkit untuk kemudian berlari lagi.
Aku harus pergi dari dunia aneh ini. entah bagaimanapun caranya aku akan menemukannya. Aku ingin bertemu dengan keluargaku. Aku ingin mengenal Mas Saka. Aku ingin duniaku. Bahkan Sumi, rekan kerjaku yang menjengkelkan itu pun ingin kutemui. Aku akan bertahan!
Huuuuuugg!
Aku berlari. Berusaha menghindar dari sang monster. Berkelok-kelok jalan kuterobos. Tapi ia dengan sayapnya akhirnya mampu mengejar langkah pendekku. Di detik yang tak kuharapkan, ditangkapnya pundakku dalam cengkeraman kaki-kakinya yang berbulu. Usahaku yang meronta-ronta dari cengkeraman kakinya terasa tak berarti. Tapi kemudian ada hal aneh yang kurasakan. Cengkeraman itu tiba-tiba saja melemah dan pundakku yang dicengkeram kaki monster itu tak lagi terasa berat menahan beban kakinya. Kutengokkan wajahku ke kanan, ke atas pundakku. Sang monster yang sebelumnya berukuran sebesar rumah, kini seolah telah menyusut menjadi seukuran burung manyar.
Kini, kupu-kupu seukuran burung manyar lah yang bertengger dengan tenangnya di pundakku. Seketika itu pula rasa takutku menghilang. Tergantikan oleh rasa takjub akan rupanya. Kupu-kupu berwarna abu keperakan seukuran burung manyar. Dengan matanya yang kelabu, dikirimkannya kedamaian ke hatiku. Sekilas, entah bagaimana bisa kulihat ada senyum dan kehangatan yang terpancar di matanya. Dan perlahan kubalas balik senyumannya.
Crackk.. Crackk.. Crackk..
Tiba-tiba saja tanah di hadapanku retak. Aku meloncat ke samping kiri untuk menghindar agar tak terjatuh ke dalam retakan itu. Dari retakan itu kemudian muncul asap panas yang mengepul tiba-tiba. Tak hanya itu. Bola awan kuning di langit yang sempat kuabaikan kini mulai meletus satu persatu dan menurunkan hujan. Hujan yang juga aneh seperti bola awan kekuningan itu. Hujan ini menurunkan air yang tebasannya terasa seperti tusukan jarum. Aku kian terkejut begitu kupu-kupu cantik di pundakku ikut meletus begitu terkena tebasan hujan ini.
Pushh!
Begitulah bunyinya.
Dan giliranku yang merasa kesakitan begitu tetesan hujan itu mengenai tubuhku. Rasanya benar-benar seperti ditusuk jarum. Aku mencoba berlari dan mencari tempat untuk berteduh dari hujan aneh ini. Dan akhirnya….
“Aww!!” aku mengaduh.
Kemudian terkejut ketika mendapati ada jarum di dekat pipiku. Nampaknya jarum itu sedikit menusuk pipiku sehingga aku kesakitan. Dan tiba-tiba saja kubuka lebar kedua mataku. Menyadari di mana aku berada saat ini.
Atap putih. Lemari plastik. Rak buku.  Lalu kusentuh permukaan tempat ku berbaring. Kasur! Aku di kamarku!  AKU SELAMAT DARI DUNIA ANEH ITU!
Aku pun bangkit berdiri dan berteriak,
“Yeaah!”
Tak lama ada suara terdengar dari luar.
“Kenapa Mel? sudah bangun ya? Cepet angkat jemuran. Langitnya mendung. Ibu lagi cuci beras.”
Aku terhenyak.
“…?!! Mimpi?! Astagfirullaaahh…hhh.. mimpi aneh lagi. Udah umur segini masih aja mimpi kayak gitu. Pasti akibat tidur sore nih. Gak-gak lagi deh.”
Setelahnya, masih dengan sedikit linglung aku bergegas meraih bergo kuning yang ada di pinggiran kasurku untuk kemudian kukenakan. Kulihat di kasurku juga ada rok hitam yang baru kuingat sedang kujahit sebelum aku jatuh tertidur tadi. Jarum jahit itulah yang kukira sudah membangunkanku dari mimpi aneh di penghujung sore ini.
Setelahnya bisa kalian tebak. Kulakukan apa yang disuruhkan ibuku sebelumnya. Dan sembari mengangkat jemuran, kuazamkan dalam hati bahwa aku akan mengatakan kepada keluargaku tentang mempertimbangkan lamaran Mas Saka. Mungkin saja dia benar adalah lelaki yang baik.
Jadi, bagaimana menurut kalian? Keputusanku ini oke kan?. ^.^


Ditulis dan diselesaikan pada,
Kamis, 9 Januari 2014
Di Rumah Putih.

Amaliyah.


draft Cerpen bisa di download di sini! ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar