Minggu, 02 April 2017

Saat Diam-mu adalah Emas...😊

Baru-baru ini, kesabaranku dan Aa tengah diuji. Sebabnya adalah perihal hutang. Dimana kami berkali-kali (3 kali) mendapatkan janji kosong perihal pembayaran hutang dari orang lain. Orang yg sama. Hmm...☺

Ini bermula pada Kamis, 23 Maret lalu. Saat itu Aa sedang mengaji Yaasiin usai maghrib, sementara aku baru selesai membaca surat Luqman (anjuran dari Ust. mulya untukku yg sdg hamil. Plus doa keselamatan dan kesehatan untuk janin juga dari beliau). Dari kamarku bisa kudengar suara kedatangan seorang tamu perempuan yg mengetuk pintu depan rumah Emak. Dari suaranya, tak kukenal siapa tamu itu.☺

Aku yg hendak menengok isi kulkas pun akhirnya pergi ke ruang tamu. Di sana kudapati Emak tengah berbincang dg seorang ibu2 seumurannya. Di dekatnya kulihat pula seorang anak usia sekitar 10 tahun. Jelas, aku tak mengenal kedua tamu itu. Walau samar2 aku merasa pernah melihat sang ibu entah di mana. Aku lupa.😅

Kubuka kulkas dan segera melihat isinya. Kuambil sebuah pisang untuk kucemil selagi menunggu Aa selesai mengaji. Saat kututup, sang tamu ternyata melontarkan pertanyaan (atau permintaan?) padaku. Ia hendak meminjam uang untuk keperluan biaya sekolah anaknya. 300 ribu. Aku tak segera mengiyakan ataupun menolak pertanyaan ibu itu. Kenapa?😮

Hendak menolak, kulihat si ibu seperti sedang sangat terdesak dan benar2 membutuhkan uang itu. Untuk biaya sekolah anaknya pula.😐

Hendak mengiyakan pun aku tak langsung bisa. Karena aku tak mengenal ibu itu dan tentu aku juga harus meminta ijin Aa terlebih dahulu. Karena uang yg kupunya saat itu adalah uang belanja dari Aa.😐

Akhirnya aku segera pamit sebentar untuk menanyakannya kepada Aa. Pas sekali. Aa juga sudah selesai mengaji.😊

Saat kuutarakan pertanyaanku. Dengan segala sebab dan kondisi sang ibu, Aa pun mengijinkan ku untuk memakai uang belanja untuk dipinjamkan pada ibu itu. Tapi dengan aturan, 200 ribu dari uang belanja dan 100 ribunya dari dompet pribadi Aa. Segera kami siapkan uang 300 ribu itu untuk kemudian kuberikan pada sang ibu. Sang ibu menjanjikan untuk mengembalikan nya pada esok sore jam 5.

Aku sebenarnya sempat waswas, jika2 si ibu tak menepati janjinya. Tapi segera kuluruskan niatku untuk membantu si ibu dan memilih untuk berkhusnudzon saja. Padanya. Juga pada Allah tentunya. 😊 Aku percaya, bahwa setiap niat yg baik insya Allah akan membawa kebaikan pula kepada pelakunya. 😊 Maka bismillah. Ku bersihkan hati dan pikiranku dari pikiran2 su'udzon yg menggelisahkan.😊

Keesokan harinya, sang ibu benar datang. Sebelum membicarakan topik hutang, si ibu menanyakan persiapan surat2ku untuk mendapatkan jamkersal (program pemerintah yg menggratiskan biaya persalinan). Barulah kuingat kalau beliau adalah salah satu kader posyandu di desaku.

Kuutarakanlah padanya perihal ketidaksiapan kami (Aa dan aku) untuk menyiapkan KK. Sebabnya adalah terkait dengan permasalahan E-KTP yg memang tengah ramai diperbincangkan di TV. Si ibu menawarkan diri untuk membantu agar KK yg bisa kupakai sementara ini adalah KK Emak. Aku dan Aa bersyukur. Berharap semoga usaha sang ibu perihal KK itu berhasil. Aamiin.. 😊

Setelah selesai membincangkan KK dan jamkersal, barulah kami beralih topik ke hal hutang. Si ibu menuturkan dg wajah menyesal bahwa ia belum bisa membayarnya. Aku agak kecewa. Tapi setelah mendengar alasan ketidakmampuannya (karena suaminya tak mendapatkan pinjaman dr tempat kerjanya), aku pun memafhumkan. Ia menjanjikan pengembalian uangnya pd hari senin. Aku pun mengiyakan.

Senin tiba, tapi sang ibu tak kunjung datang. Mulailah pikiran su'udzon kembali mengisi benakku. Tapi segera kutepis hal itu. Sampai tiba hari selasa, si ibu tak jua datang. Aa pun menanyakan. Dan kujawab apa adanya. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah si ibu. Walau sebenarnya aku tak tahu persis letaknya di mana. Tapi bisalah aku bertanya-tanya.

Rencana kunjungan itu kulakukan keesokan harinya. Si ibu ada di rumah. Sayang disayang, jawaban si ibu kembali negatif. Alasannya gajian suaminya belum turun. Hm.. Aku mulai agak pesimis. Tapi karena alasan si ibu masih logis, aku pun memafhuminya lagi. Si ibu kembali berjanji akan mengembalikan pinjama nya di akhir Maret.

Aku pulang. Untuk mengabarkan berita itu pada Aa. Awalnya aku agak cemas Aa akan marah atau gimana. Tapi ternyata ia hanya berkata,
"Udah, Neng. Jangan ditanyain lagi ke ibunya. Klo uang belanjanya habis, gakpapa bongkar celengan juga."

Duh.
Hebatnya si Aa. Ia begitu legowo. Aku pun mengiyakan dan dalam hati mulai pula kutanam bibit kepasrahan. Pikirku, aku jua akan memasrahkan perkara hutang ini pada Allah saja lah. Alhamdulillah jika si ibu benar bisa membayar hutangnya. Tak bisa pun juga tak apa-apa. Toh setiap apa yg kupunya adalah milik Allah. Termasuk uang 300ribu itu yg juga adalah titipan. Dan aku juga sudah terbebas dari kewajiban menanyakan hutang.

Ya. Setiap orang yg memberikan pinjaman memang memiliki kewajiban untuk mengingatkan si peminjam tentang hutangnya. Minimal sekali. Hukumnya sama seperti saling mengingatkan di saat saudara sesama muslim sedang khilaf. Karena hutang juga sebuah kekhilafan. Apalagi hutang juga termasuk satu hal yg akan menahan amal shaleh seseorang di akhirat nanti. Hii... 😣 semoga kita tehindar dr berhutang ya, kawan.

Intinya, sampai aku selesai membuat catatan ini, pinjaman itu belum juga kuterima kembali. Si ibu malah kembali menjanjikan untuk membayarnya pada akhir april nanti. Kali ini dg alasan yg makin absurd. Katanya, Suaminya menabrak anak kecil dan harus membayar biaya pengobatan anak itu.

Hmm.. Aku mulai agak kasihan dengan si ibu. Entah benar atau tidak ucapan2nya selama ini. Jika benar, nasibnya sungguh malang karena ditimpa kesulitan yg bertubi-tubi. Jika tak benar, ia tentu akan kembali pusing untuk memikirkan begitu banyak alasan ketidakmampuannya untuk membayar hutang. Mau buat alasan apalagi coba?

Cukup tentang kisahku.😊
Ada ibroh yg bisa kudapat dari peristiwa hutang ini.

Aku bisa saja marah, mencerca bahkan menuntut si ibu atas sikapnya yg lalai perihal hutang. Tapi kemudian aku melihat Aa. Dg segala sikap legowonya. Sadarlah aku bahwa aku tak perlu bersusah payah untuk marah2. Marah2 pun belum tentu uang kami kembali. Dan aku juga sadar bahwa uang itu adalah salah satu titipan-Nya. Jadi Ia berhak untuk mengambilnya dg cara2 yg dipilih-Nya. Kuanggap saja peristiwa ini sebagai ujian kesabaran bagi Aa dan aku. Juga pelajaran untuk kami lebih mawasdiri dg segala kepribadian disekitar kami. Maka aku tak marah. Sungguh tak marah. 😊

Aku juga bisa membuka aib sang ibu ke khalayak ramai. Cukup memberitahukan Emak, maka kukira Emak akan langsung "melabrak" si ibu. Tapi kemudian aku kembali ingat. Bahwa membuka aib orang lain itu termasuk salah satu perbuatan yg tak terpuji. Aku juga teringat dg sebuah hadits yg menyatakan bahwa siapa yg menampakkan aib orang lain, maka Allah pun akan menampakkan aibnya dalam cara yg lebih keji. Hii.. Ngeri.. 😣

Aku juga bisa "curhat" di medsos, baik dg menyebut atau tidak menyebut nama si ibu. Seperti juga yg dilakukan beberapa kawanku (walau dg permasalahan yg berbeda). Tapi buat apa coba marah2 tak jelas di medsos. Hanya membuat isi wall-ku jadi kotor dg hujatan saja. Hmm.. Tak usahlah ya.

Akhirnya aku memilih untuk diam. Diam adalah senjataku menghadapi peristiwa ini. Aku tak akan lagi mengeruhkan pikiranku dg bersu'udzon. Biarlah Allah yg memutuskan. Karena aku yakin Dia Maha Tahu akan apa yg terbaik untuk setiap dari kami.

Aku memilih tuk move on. Cukup bagiku memfokuskan diri pada hal2 baik lain di sekitarku. Tak perlu berlarut-larut memikirkan peristiwa hutang ini yg hanyalah masa lalu. Bukankah cara terbaik untuk membalas keburukan di masa lalu adalah dg merencanakan hal-hal baik di masa depan? So, let's move on! 😊

Dan aku juga memilih untuk diam.
Semoga kediamanku ini adalah emas. Sesuatu yg membawa kebaikan padaku dan keluarga. Aamiin.. Allahumma aamiin...
😊😊😊

Sekian catatanku.
Salam hangat ya, kawan! 😊😉😋

Tidak ada komentar:

Posting Komentar