Jumat, 21 Oktober 2011

Gundah milikmu

Ahad, 15 Maret 2009

Kala itu langit teduh.
Awan kelabu sembunyikan surya dari wajah alam.
mengiringi senja yang akan segera tiba.

Perlahan titik-titik air turun ke bumi. Tak cukup deras untuk membuat bising telinga. Kala itu pula kubaca surat darinya. Sahabatku sayang...

Ada kegalauan yang kubaca dari gurat-gurat tulisan dalam kertas di tanganku. Ada rasa pedih yang terpendam selama beberapa waktu lalu dan menunggu seseorang / sesuatu untuk meledakkannya. Dan akhirnya,,, melalui lima lembar kertas di tanganku ini, rasa itu bisa tersampaikan. Tinggallah aku yang kebingungan...

Kau,, Seorang sahabat yang penuh pengertian. Tak kutemui orang lain yang mau bersusah payah untuk senyuman temannya, selain dirimu.
Kau,, sahabat seperjuanganku di Jakarta dalam meniti ilmu yang tersebar dalam kehidupan.
Kau,, yang begitu menghangatkan hati.
Kau,, sahabatku yang (semoga) selalu dikasihi Yang Maha Pemberi..
Amin.

Hidup adalah proses untuk menjadi yang ter / lebih baik. Untuk itu terkadang dibutuhkan perubahan-perubahan (baik disukai atau tidak). Dan itulah  yang telah terjadi pada kita, dan di antara kita.

Banyak hal yang telah merubahku. Kuakui itu. Tapi yang begitu meresahkanku adalah adanya rasa canggung antara kita. Adakah itu perubahan yang telah membuatnya?

Sobat,,, dalam kesempatan lain kau tanyakan padaku.
"Apakah dicintai itu salah?"
Aku bingung. Tapi kujawab juga, "Tak salah"
Lalu kau bertanya lagi,
"Apakah mencintai itu salah?"
Masih kebingungan kujawab, "tidak"
Kemudian mengalirlah cerita tentang cinta dari mulutmu. Matamu pun begitu ringan mengalirkan air mata. Aku turut merasakan yang kau rasakan. Saat itu kusadari kau tlah jatuh hati pada seseorang yang sangat kau kenal dan juga mengenalmu. Aku pun, kau bilang tahu siapa pria yang tengah menyemikan bunga-bunga cinta di hatimu kini. Ialah Dia.. Seorang yang sangat dekat dengan pemilik cinta pertamamu dulu...

Aku kaget. Kau menangis. Aku bingung mesti bersikap apa. Kau meminta maaf padaku karena telah mengingkari ucapanmu sendiri untuk "berpacaran setelah menkah". Ucapan yang sudah lama sekali kau katakan padaku dan kuiyakan juga untukku.
Aku sedih. Juga kecewa. Namun aku tak ingin marah padamu. Karena kutahu kau telah cukup tersiksa merengkuh rasa itu.
Kau menangis. Aku ikut menangis. Kutenangkan hatiku, dan kucoba menenangkanmu. Dengan lembut kukatakan, tak ada yang mesti dipersalahkan. Dan tak ada kata maaf yang harus terucapkan.
Aku mencoba ikhlas menerima keputusanmu. Mungkin memang cinta itu begitu kuatnya dan sulit bagimu mengelaknya.
Hanya Allah yang tahu ke mana akhirnya perasaanmu akan berlabuh. dan aku hanya seorang yang siap di sisimu saat kau lelah meniti cintamu.
Hingga saat ini, Kau masih dengannya. Dengan dia, "pacarmu".

Sobat,,
Memang kurasa ada banyak hal yang telah berubah. Dirimu, Diriku,, dan mungkin juga persahabatan kita. Kau asyik dalam kediamanmu. Aku pun asyik dengan sifatku yang baru. Kita jarang lagi bercengkerama. Sekedar membagi rasa yang menjerat jiwa. Padahal sudah cukup lama kita tinggal di bawah atap yang sama!.
Aku sedih dengan keadaan kita saat ini. Dan mungkin kau juga merasakan apa yang kurasakan ini. Seringkali ku ingin meloncati waktu ke masa lalu. (andai aku bisa) kembali ke saat kita masih jernih memandang dunia. Bahagianya kurasa saat itu.
Tapi tidak,,,
Aku sadar. Ini adalah satu proses untuk kita menuju akhir yang kita harapkan. Dan saat ini telah terjadi perubahan itu. Perubahan yang kita harapakan dapat mengantarkan kita menjadi manusia yang lebih baik. Setidaknya cukup baik di hadapan-Nya, nanti...
Apa pun yang saat ini terjadi dan segala yang ada di hadapan kita nanti, yang kuharap adalah kita tetap bersahabat. Tak mengapa bila bibir kita terkunci rapat. Asalkan hati kita masih tersimpul erat dalam bingkai indah persahabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar