Ini
tentang ayahku.
Sebenarnya
aku terbiasa memanggilnya dengan sebutan ‘bapak’. Tapi tak apa lah. Di
kesempatan tulis-menulis ini aku akan memanggilnya dengan panggilan ‘ayah’. Biar
lebih syahdu, begitu. (hi.hi. ngalem banget..)
Mungkin
kau sudah tahu, Dee. Bahwa ayahku adalah putera ketiga (sebenarnya ke-enam. Tapi
ketiga kakaknya wafat ketika masih kecil) dari pasutri bernama Rohaman dan
Saneh. Ayahku sendiri bernama Abdul Tomik. Dan cukup dipanggil dengan nama ‘tomik’.
Tentang namanya ini, ada beberapa temanku yang suka mengisengiku dengan banyolan
seperti ini, “ayo..yang batuk.. yang batuk.. minum di’Tomik’ saja yah..
dijamin ampuh!”. ha.ha. sebel sih iya. Tapi lucu juga kok.
Ayahku
adalah seorang ekstrovert. Dan ia memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang
kehidupan. Seluas samudera yang menyelimuti bumi ini, kukira.
(halah...alay.com) yah. Boleh juga kan kubilang pengetahuannya seluas samudera.
Mengingat tanggal kelahirannya di 20 Januari 1967 itu mutlak menjatuhkannya
pada zodiak aquarius. Nyambung kan?? He.he..
Jadi,
kembali pada ayahku.
Ayahku
memiliki pandangan hidup yang tegas. Apalagi soal disiplin. Entah itu tentang waktu
ataupun hal remeh-temeh lainnya. Bila ayah mengajak pergi ke luar (misal) pukul
08.00. maka kami yang diajaknya harus sudah siap setengah jam sebelum jam
on-nya. Karena ayah sering sekali mempercepat jadwal janji. (mandinya aja gak
sampe lima menit! cepat kan??!!!). Hadeuh.. tentang waktu memang aku salut deh sama
ayah.
Ayahku
juga seorang yang punya empati tinggi terhadap lingkungannya. Ayah tak
segan-segan membantu siapa saja yang kelihatannya susah. Bahkan kepada orang
yang baru dikenalnya juga. Sifat ayah ini lah yang membuatnya populer di mata
orang-orang sekitarnya. Ini pula yang membuat pergaulan ayahku jadi sangat
luas. Apalagi ayah pernah merantau ke luar provinsi, jadi cukup banyak juga
saudara angkat yang bisa dimiliki oleh keluargaku berkat empati tinggi ayahku
ini. Contohnya saja keluarga Om Malwan, teman rantau ayah saat bekerja di
Palembang. Juga Om Haris dan Mbak Sumi, Teh Reva asal Ciledug, dan lain-lain. Rempong
banget dah kalo aku mesti nulisin semua nama saudara angkatku di sini. So,
go on, Oke.
Namun
begitu, ada juga hal yang membuatku dan adikku takut pada ayah. Apa itu??
Hmm...
ayahku galak!
Kalau ayah sudah marah, maka zona beradius satu kilometer bisa kena dampak amarahnya. Dan
suaranya itu looh menggelegarr!! Sedang tak marah saja, intonasi dan volum
suara ayahku sudah cukup tinggi. Jarak 15 meter mah masih bisa dengar suara
ayahku yang lagi ngobrol. Tapi kalau sedang marah, hiiii...serem. biasanya sih
jika sedang marah, ayah tak suka banyak bicara dan hanya menunjukkan face
yang cembetut abis. Tapi jika amarahnya sudah tak terbendung, ya meledaklah
suara bariton maha menggelegar dari tenggorokannya itu. alamat semua orang
pingin kabur deh.
Pernah
sekali aku membuat ayahku marah.
Jadi
ceritanya saat pertengahan bulan ramadhan 2011 ini ada acara peringatan nuzulul
quran di mushalla Nurul Iman (mushalla dekat rumahku). Dan bagi tiap-tiap rumah
diminta untuk menyumbangkan panganan atau uang seikhlasnya. Kebetulan saat itu paginya
ayah sedang ada di rumah. Dan aku keceplosan mengatakan padanya ingin membuat
brownies kukus untuk sumbangan ke mushala. Ayah senang sekali mendengarnya. Dan
aku turut senang melihat senyum di wajahnya saat itu. Kukira semuanya akan baik-baik
saja. Tapi nampaknya harapanku terlalu muluk di hari itu. Kenapa? Begini...
Hari
itu siangnya ayah pergi ke mushala untuk membantu persiapan acara. Dan setelahnya
aku dan emakku sungguh sibuk sekali. Yah..sibuk lah. Ya urusan warung, kambing,
anak asuh, dan lagi sekitar jam dua-nya ada temanku yang berkunjung ke rumah. So
pasti aku jadi tak sempat membuat brownies kukus seperti yang kujanjikan pada
ayah. Hmm.. jadinya, keluargaku hanya memberikan uang seikhlasnya. Gak perlu
lah kusebutkan jumlahnya berapa.. he.he.
Kemudian
itulah, ketika jam menunjukkan pukul lima dan aku sedang memasak kolak pisang,
ayah datang. ia marah. Marah besar. Ayah mengatakan bahwa ia sangat malu karena
tadi ia mendapat teguran dari kak Madin (pengurus mushala) dan Om Oji yang agak
menyindirnya karena keluarga kami tidak jadi menyumbang kue. Aku kaget. jelas
saja! Aku tak tahu kalau ayah sudah sesumbar ke orang lain tentang pembuatan kue
itu yang sayang tak jadi. Tapi aku lebih kaget dengan intonasi suara ayah yang
terlalu tinggi untuk hanya soal sepele ini. Hanya karena masalah sumbangan ke
mushala saja! Ya ampun...
Jadi
aku pun berusaha mengemukakan argumenku demi membela diri. Kuceritakan pada
ayah tentang betapa sibuknya aku dan emak seharian ini. Dari keadaan warung
yang dua kali lipat lebih rame jika sudah jam 4, kemudian juga temanku yang
baru pulang sekitar jam setengah empat, Dimas yang masih harus diasuh sampai
jam lima, serta tiga puluh ekor kambing yang harus digiring ke kandang.
Aku
bahkan baru memasak untuk berbuka puasa pada pukul lima. Padahal biasanya jam
setengah lima sudah selesai. Sampai serak suaraku demi membela diri dari
cercaan dan amarah ayah yang meletup-letup di hadapanku itu. kolak buatanku bahkan
gosong sedikit, lantaran aku yang bolak-balik dari dapur ke warung, sembari
tetap diomeli ayah. Saat itu emak sedang menggiring kambing, dan herdie berbuka
puasa di tempat lain.
Aku
pusing mendengarkan cercaan ayah yang terus berentetan. Tapi aku hanya diam, Dee..
aku masih cukup sadar dengan tidak ikut menyulut amarahku. Meski begitu, pada
akhirnya dinding pertahananku runtuh. Aku menangis.. dan ayah masih terus
memarahiku. Ya tentang kue brownies yang tak jadi kumasak, tentang kolak yang
gosong, dan kesembronoanku yang sudah lama berlalu pun diungkitnya. Aku menangis,
Dee.. tapi ayah terus memarahiku sambil mengaduk-aduk kolak tanpa sempat
melihatku.
Hingga
akhirnya ayah pun melihatku...
Ia
langsung terdiam ketika mendapati aku tengah menatapnya dengan tangisan yang
terus menderas di kedua pipiku dan senyuman pedih di bibirku. Ia terdiam. Dan amarahnya
pun redam. Kukira ayah saat itu langsung tahu kalau ia sudah cukup kelewatan
memarahiku. Hingga akhirnya ia berkata dengan intonasi lembut,
“ya
sudah.. meli tutup warung saja. Maafin bapak ya. Bapak kelewatan.”
Aku
pun tersenyum lemah. Aku mengangguk dan menepis air mata dengan bahu tanganku
kemudian beranjak untuk menutup warung.
Kau
rasakan kan, Dee? Ayahku memang seorang yang mudah meledak-ledak (macam kembang
api saja!ha.ha.). tapi ia jauh lebih mudah untuk meminta maaf bila memang ia
punya salah. Dan aku sangat berbangga karenanya.
Phyuhh...
kembali ke topik ayahku ya.
Ada
hal yang sangat lucu tentang aku dan ayahku. Kau tahu apa itu?
NYASAR!
Ya!
Nyasar!
Ha.ha...
jika aku dan ayah sedang berboncengan naik motor untuk entah kemana, kami pasti
hampir selalu nyasar ke tempat-tempat aneh atau minimal mengalami sedikit apek
seperti ban yang kempes atau bocor. Sebalnya, ayah mengatakan kalau ia hanya
mengalami kesialan-kesialan seperti itu jika sedang naik motor denganku. Hu.uh.
aku sih tak pernah menganggap semua kejadian nyasar atau tetek bengek ban itu
sebagai kesialan. Justeru aku menganggapnya lucu. Dan ayah selalu
menertawakanku tentang standar ‘lucu’ nya aku ini.
Hm..
entah kenapa jika bersama ayah, aku selalu saja salah sikap. Pasti ada-ada saja
tingkah konyol atau kesembronoan yang kulakukan di hadapannya. Dan ini
membuatku jadi malu. Pantas saja ayah masih menganggapku sebagai ‘puteri kecil’nya.
Padahal kan aku sudah gede! (eits,,, gak pake ukuran mata ya ngukurnya! Ukurlah
dengan ‘hati’. He...)
Salah
satu kekonyolanku saat di hadapan ayah adalah di suatu perjalanan berangkatku
menuju Ciputat.
Saat
itu seperti biasanya ayah mengantarkanku dengan honda beat-nya. Kami memilih
jalur Kalideres-Grogol-Senayan di perjalanan kami saat itu. sejak mendapatkan
kecelakaan tempo hari sebelumnya, ayah masih trauma untuk mengantarkanku
langsung ke ciputat. Jadi aku hanya ikut ayah sampai ke senayan. Dan setelahnya
aku naik mobil 102 jurusan Senayan-Ciputat yang akan menurunkanku di depan
kampus Syahid.
Di
perjalanan, beberapa kali kami agak terantuk-antuk melewati jalanan yang sudah
agak rusak di daerah slipi. Helm yang kugunakan bahkan sering membentur helm
ayah. Dan ini membuatku agak mual di perjalanan kali itu.
Syukurlah...
setelah dua jam yang memualkan, kami tiba juga di Senayan. Persisnya di halte
Gelora Bung Karno. Ayah menurunkanku di halte dan mematikan mesin motornya. Aku
segera mencium tangannya dan meminta restu untuk menuntut ilmu. Kemudian aku
segera mencari mencari tempat duduk di halte itu. syukurlah, meski agak ramai
oleh orang-orang yang juga sedang menunggu angkutan tapi masih ada sedikit
tempat di ujung halte. Aku segera pergi ke sana.
Kulihat
mbak-mbak yang duduk di samping tempat kosong yang kutuju,
“subhanallah...
cantik. Kayak si temat”
(maksudku tuh artis yang jadi pemeran bawang putih di sinetron tv. He..he.. aku
gak begitu hafal nama.)
Dan
lebih cantik lagi begitu si mbak temat itu tersenyum padaku. Begitu pun rekan
di sebelahnya yang hitam manis (gula merah kaliii..hihi.). aku pun membalas
senyuman mereka dengan senyuman mantapku.
Kemudian
aku pun duduk. Tapi aku sangat kaget begitu melihat ayah yang masih nongkrong
di jok motornya dan tersenyum-senyum melihatku. Spontan aku langsung bertanya.
“kok
masih di sini? Ayah gak perlu nungguin meli.. nanti telat lagi kerjanya..”
Nah...
kata-kata ayah berikut lah yang sontak membuatku sangat-sangat kaget.
sebelumnya ia tersenyum dahulu baru kemudian berkata,
“helm-nya,
mel...”
Oouww...
spontan aku memegang kepalaku. Benar saja.. aku masih mengenakan helm ternyata.
Pantas saja si mbak-mbaknya tersenyum manis banget tadi.. kukira semua orang
Jakarta emang ramah-ramah. Ternyata...
Aku malu
banget. Ayah makin gak bisa nahan cengirannya. Tapi syukurnya ayah sangat bijak
sehingga tidak langsung tertawa di halte itu. ia tahu aku tentu sangat malu. Jadi,
aku langsung melepas helm- merah-memalukan itu dari kepalaku dan menyerahkannya
pada ayah. Dan ayah pun segera berlalu pergi setelahnya.
Aku masih
sangat malu ketika aku kembali duduk di halte. Bahkan sampai aku pindah duduk
di angkutan 102 dan sampai di kosanku pun aku masih malu... ya iyalah malu. Siapa
pula yang gak bakal ketawa melihat kekonyolanku itu. hadeuh...
Begitulah..
banyak hal menarik yang kualami bersama ayahku. Dari hal menyebalkan,
membahagiakan, aneh, lucu, juga konyol.
Dan dialah
ayahku. Seorang yang selalu tahu bagaimana cara membimbingku.
Seorang yang
selalu tahu kapan aku membutuhkan sesuatu.
Seorang yang
selalu siap memberi sebelum sempat kuutarakan maksudku.
Seorang yang
selalu menyertai doa-doanya dengan nama ibu, adik, dan namaku.
Seorang yang
selalu mengajarkanku tentang disiplin dan keempatian.
Dialah yang
selalu dan selalu dan selalu dan selalu dan selaalu dalam hidupku.
Dan kukira,
kau pun memiliki sosok seperti itu bukan, kawan? ^_^
Sosok ayah,
meski tak intens menunjukkan rasa sayangnya, sesungguhnya ia memiliki
berjuta-juta cinta yang disembunyikannya dalam tepukan lembut ketika
merangkulmu, atau dalam senyum tegas ketika menasihatimu, atau juga dalam
kediamannya ketika jauh darimu. Jadi, jangan pernah meragui cintanya kepadamu,
ok.
Alhamdulillah....
Ditulis dan
diselesaikan di rumah ketiga, Rempoa
27 Oktober
2011
Dalam hujan
dan teduh yang meriakkan rindu di hati.