Oleh
: Mei
Genre : Famili,
Fiksi Sains
Nura.
Anak perempuan berusia tujuh tahun itu kini tengah merajuk pada Emak. Ia kesal
karena Tio, adik bungsunya dibelikan sepatu baru sementara ia hanya mendapatkan sepatu bekas Kak Eci. Nura
semakin tambah kesal ketika Kak Eci mengatakan padanya bahwa ia pun mendapatkan
sepatu itu dari Kak Lili. Itu berarti usia sepatu itu kini sudah tiga generasi
di tangan Nura. Entah jika sebelum Kak Lili pun ada orang lain yang sudah
memakainya. Mungkin bisa empat, lima generasi atau lebih tua lagi usia sepatu
itu.
uuuuuggghhh!!! Sebal!!
Seball! begitu
rutuk Nura dalam hati.
Kenapa
hanya dalam hati? Karena Nura tak memiliki keberanian untuk terus terang
menyatakan ketidaksukaannya pada sepatu butut
itu. Bisa-bisa Emak akan memarahinya habis-habisan. Mengatakan bahwa ia
tidak bersyukur-lah. Atau apa-lah. Padahal kan ia sudah mengucap
'alhamdulillah'. Coba kalau tidak bersyukur, sudah tentu sedari tadi sepatu butut itu akan dibuangnya jauh-jauh.
Kini
Nura bergerak mendekati Emak. Ia memijit-mijit pelan pundak Emak yang saat itu
tengah menguleni tepung untuk dijadikan kue Macho. Kue bulat berisi kacang
hijau dan gula putih yang bagian luarnya ditaburi wijen. Di dekat Emak,
terdapat tiga nampan kue macho yang siap untuk digoreng. Kue-kue macho itu
rencananya akan Emak titipkan di kantin sekolah Kak Lili. Seperti biasanya.
Keluarga
Nura memang terbilang keluarga SAS, kependekan dari keluarga sangat-Amat
sederhana. Segala kebutuhan hidup tiga putri dan seorang putra di keluarga itu
dipenuhi dari hasil berdagang kue-kue tradisional buatan Emak yang
dititipkannya ke kantin SMP tempat Kak Lili sekolah. Bapak sudah lama wafat.
Sekitar empat bulan setelah Tio lahir, pada enam tahun yang lalu.
Sungguh.
Saat itu adalah masa-masa yang sulit bagi Emak. Ditinggal mati suami pada usia
26 tahun, dan sudah menjadi tulang punggung bagi empat orang anak yang masih
kecil-kecil. Itu bukanlah perkara mudah. Terlebih lagi saat itu Kak Lili sudah
duduk di bangku sekolah kelas 2 SD. Hampir saja Kak Lili putus sekolah jika saja
tak ada Koh Acan, tetangga Hokian yang tinggal di sebelah rumah mereka. Koh
Acan mau berbaik hati membiayai sekolah Kak Lili yang memang dikenal di sekolah
sebagai anak berprestasi. Itu pun dengan syarat, sepulang sekolah Kak Lili
harus membantu berjualan di market kelontong Koh Acan. Biasanya Kak Lili yang
saat itu berumur Tujuh tahun ditugaskan untuk menimbang dan membungkus tepung
terigu menjadi kemasan perapatan. Sebuah pekerjaan yang cukup sulit untuk anak
usia tujuh tahun. Tapi upah yang didapat oleh Kak Lili setiap bulannya pun
terbilang cukup untuk membantu mengepulkan asap dapur sehari-hari. Padahal Koh
Acan sudah begitu baik membiayai sekolahnya. Dan terkadang, ketika pekerjaannya
telah selesai, Kak Lili pun dioleh-olehi sekilo tepung terigu dan seperapat
gula untuk dibawa pulang ke rumah. Sungguh. Tetangga yang sangat baik.
Saat
Kak Lili mulai bekerja, Kak Eci baru berumur lima tahun. Meski usianya
terbilang muda, Kak Eci sudah ditugaskan Emak untuk menjaga Nura. Sementara
Emak membawa serta Tio, balita empat
bulannya untuk kuli mencuci di rumah orang gedong.
Nura
yang saat itu berumur 1 setengah tahun
terbilang adik yang cukup rewel. Kemana pun Eci pergi, Nura selalu ingin ikut.
Bahkan untuk ke WC umum yang letaknya di atas sungai sekali pun, Nura juga
ingin ikut. Berbeda sekali dengan Nura saat ini. Saat ini Nura selalu sebal
dengan Kak Eci, lantaran ia sering dijahili oleh kakak perempuannya itu. Lihat
saja saat ini. Ketika Nura tengah bersiap-siap untuk membujuk Emak agar
membelikannya sepatu baru seperti yang
dibelikannya untuk Tio, Kak Eci malah iseng menjahilinya dengan berkata,
"Mak,
Nura katanya mau bilang 'sesuatu'..." Kata Kak Eci dengan senyum jahilnya.
"mau
bicara apa, Nura?" tanya Emak, dengan perhatian masih fokus pada menguleni
tepung macho.
Nura
yang ditanya tiba-tiba seperti itu akhirnya malah gelagapan.
"eh! itu Mak... mmm..."
"apa?"
tanya Emak lagi.
Kak
Eci tersenyum lebar melihat ekspresi Nura. Nura sendiri merasa makin sebal pada
kakaknya itu. Ia lalu memelototi Kak Eci, yang selanjutnya dibalas pula dengan
pelototan.
Merasa
pertanyaannya lama tak dijawab, Emak pun bertanya lagi.
"Ada
apa Nura?"
"ii...itu
Mak.. tentang... se.sepatu!"
"Sepatu?
kenapa?"
"itu...
mmm..."
Nura
makin gelagapan. Dan ini membuat Kak Eci makin tersenyum lebar. Akhirnya Kak
Eci pun tergerak untuk 'membantu' adiknya itu. Kak Eci berkata,
"Nura
katanya mau bilang "makasih" Mak untuk sepatunya. Dia seneeeeeeeeeng
banget dapet sepatu itu."
Nura
melotot kaget ketika mendengar ucapan Kak Eci itu. Gagal sudah rencananya untuk
membujuk Emak agar membelikannya sepatu baru. Gagal total. Tal. Tal. Tal.. Nura
kemudian makin melotot ketika mendengar ucapan Kak Eci berikutnya,
"Katanya
sepatu itu juga bikin dia inget selalu sama keluarga walaupun dia di sekolah,
Mak. Jadi Nura bakal lebih semangat lagi belajarnya. Gitu kan, Dek?"
Kali
ini Kak Eci sudah memancing emosi Nura ketika ia mengedipkan sebelah matanya.
Seolah-olah kedipan itu mengatakan bahwa Kak Eci lagi-lagi 'menang' darinya.
"Begitu,
Nura?" tanya Emak menegaskan.
Dan
Nura yang tak punya keberanian untuk membantah pun akhirnya mengiyakan saja
pertanyaan Emak. Dalam hatinya ia merasa geram sekali pada keisengan Kak Eci.
'Nyebelin! Nyebelin ! Nyebelin!' rutuk
Nura, lagi-lagi hanya dalam hati. Ia kemudian masuk ke kamar untuk menyiapkan
peralatan sekolah. Sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas, ia merutuki Kak
Eci berkali-kali. Nura baru berhenti merutuk ketika Emak yang ada di dapur
berteriak padanya.
"Nura,
ayo bergegas berangkat. Sudah jam berapa ini?" ucap Emak tiba-tiba.
Nura
kemudian melihat jam yang terpajang di dinding rumahnya. Ia kaget ketika
melihat bahwa saat itu sudah hampir jam tujuh.
"Ah!!
jam tujuh, Mak!" jerit Nura.
"Aiissshh!
gak perlu teriak segala, Nur. berisik. Sudah cepat berangkat, sana!"
"Kak
Eci mana, Mak?"
"Kak
Eci sudah berangkat tadi."
"hah?!"
Nura
pun bergegas mencium punggung tangan Emak lalu melangkah keluar rumah. Di
samping pintu, sepatu 'butut' barunya sudah tergeletak rapih siap dipakai. Nura
yang tak punya pilihan selain menggunakan sepatu itu, karena sepatu
lamanya hilang sebelah digondol tikus,
akhirnya meraih sepatu itu untuk dipakainya. Dalam hatinya ia kembali ingat
pada kekesalannya lantaran tak mendapat sepatu baru yang benar-benar baru. Ia
harus bersyukur dengan hanya mendapat sepatu baru yang setelah diciumnya,
"uughh!
bau kamper!!" Keluh Nura.
Dan
Emak yang masih bisa mendengar keluhan Nura pun bertanya dari dalam rumah.
"Kenapa,
Nur?"
"Gak
apa-apa, Mak." Jawab Nura buru-buru.
Setelah
kedua sepatu itu terpasang rapih di kakinya, Nura pun kemudian melangkah
cepat-cepat menuju sekolah.
"Nura
berangkat ya, Mak. Assalamu'alaikum!"
"wa'alaikum
salam warahmatullah..."
Di
dapur, ketika dirasa Nura sudah cukup jauh dari rumah, Emak menghentikan kegiatannya
sejenak. Emak sebenarnya tahu bahwa tadi Nura ingin minta sepatu baru. Ibu mana
yang tidak bisa membaca isyarat tubuh anaknya ketika menginginkan atau tidak
menyukai sesuatu. Emak jelas tahu. Tapi, oleh karena keterbatasan uang selama
semester akhir sekolah ini, juga karena meningkatnya kebutuhan hidup dengan Tio
yang juga akan memasuki sekolah pada bulan depan, Emak pun akhirnya mesti
menahan diri dan berpura-pura tak mengerti keinginan Nura. Emak sebenarnya
sedih sekali tadi. Tapi Emak harus menegarkan dirinya untuk mendidik
putra-putrinya agar bisa hidup hemat dan prihatin dengan kondisi keluarga.
Akhirnya,
Emak kembali menekuni pekerjaannya membuat kue Macho. Ia harap, bulan depan ada
uang lebih yang cukup untuk dibelikannya sepatu baru bagi Nura.
"Duh
Gusti, mampukan hamba mengais rizki untuk anak-anak hamba. aamiin."
---0-0-0-0-0---
Malam hari. Jarum jam menunjukkan pukul satu
dini ketika Nura terbangun tiba-tiba. Mulanya Nura hanya ingin ke kamar mandi.
Tapi selepas dari kamar mandi, entah
kenapa ia malah melangkah keluar dan duduk di bale belakang rumah.
Suasana
malam itu masih sangat gelap sebenarnya. Tapi tak ada rasa takut yang
menghampiri Nura. Ia justru lebih senang dengan suasana malam. Waktu dimana ia
bisa bebas dari mendengar suara
menyebalkannya Kak Eci sekaligus juga bisa melihat hamparan bintang dan bulan
di langit. Bukankah itu menyenangkan?
Seperti
malam ini.
Nura
duduk dengan posisi tangan memeluk kaki dan kepala ditengadahkan ke atas. Ia
asyik menatapi titik-titik cahaya yang bertebaran cantik di langit sana. Ia pun
menikmati dering merdu para jangkrik yang kini mungkin sedang bertengger
pada batang padi-padi di hadapannya.
ah
ya! Rumah Nura memang diapit oleh dua bangunan alam. Dua bangunan alam itu
antara lain area persawahan di belakang rumah serta sungai yang memisahkan
rumah Nura dengan jalan besar di hadapan. Di samping kanan dan kiri rumahnya,
berdiri rumah-rumah lainnya yang memanjang hingga 3 kilometer jauhnya.
Rumah-rumah di pinggir kali itu memang termasuk bangunan ilegal. Meski begitu,
sejauh ini belum ada aparat hukum yang bergerak untuk menertibkan lingkungan
ilegal itu.
Kembali
ke Nura yang kini tengah serius menatapi salah satu bintang. Bintang yang diamati oleh Nura itu posisinya berada
di sebelah tenggara dekat dengan posisi bulan
sabit di atas sana. Ia menilai, bintang itu adalah bintang yang paling
sering berkedap-kedip. Nura pun menduga bahwa bintang itu berkedap-kedip
untuknya. Seolah bintang itu sedang
menyapa ia yang saat itu masih kesal lantaran urusan 'sepatu butut'. Maka
kemudian, Nura pun balas mengedap-ngedipkan matanya dengan serius. Kedap.
kedip. Kedap. Kedip.
Jika
saja Kak Eci melihat tingkahnya saat ini, bukannya tidak mungkin jika Kak Eci
akan meledekinya 'anak aneh'. Dulu saja Kak Eci menjulukinya 'anak aneh' hanya
karena mengajak bicara si Ono, kucing kampung belang hitam yang sering mampir
ke rumah mereka. Saat itu Nura sangat kesal hingga kelepasan melemparkan sendal
ke kakaknya. Sayangnya, kejadian itu dilihat Emak sehingga ia dan Kak Eci pun
dihukum untuk memasak air bersama. Itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena
berkali-kali mereka harus bolak-balik mengambil air dari kali ke dapur.
Beruntung Nura hanya ditugaskan untuk menjaga api tungku saja agar tetap
menyala. Walau begitu, tetap saja ia harus berpanas-panas ria di depan tungku
jadinya.
Seperti
itulah. Oleh karena itulah sekesal-kesalnya Nura pada Kak Eci, ia berjanji
untuk tidak melemparkan benda apapun lagi. Karena jika Emak tahu, bisa-bisa ia
akan dihukum berat lagi. Bersama Kak Eci pula! gak-gak lagi deh!.
Kembali
ke Nura yang kini masih mengedip-kedipkan matanya ke bintang terang di atas
langit. Kegiatan itu cukup membuatnya merasa mengantuk. Apalagi udara malam itu
tak sedingin biasanya. Maka wajar saja jika beberapa menit kemudian Nura malah
tertidur di bale. Lihat saja matanya yang kini mengedip lemah.
Dap...
Dip...
Dap...
...
Dip...
...
Dap...
....
...
Dip....
...
...
...
Dap...
...
...
......
Dip...
...
...
......
TUK.
Tetiba
saja Nura merasa kesakitan setelah dirasanya kepalanya seperti dilempari
sesuatu. Ia kemudian mendapati sebuah batu seukuran jempol yang berada tak jauh
dari posisinya duduk. Ia pun mengambil batu itu. Setelah diamati baik-baik,
batu itu ternyata memiliki garis berwarna merah yang membentuk simbol huruf
"nun" Arab. Warna merah pada
simbol di batu itu nampak cemerlang di kegelapan malam. Sehingga Nura pun
langsung mengagumi batu itu.
Kemudian,
tetiba saja ia melihat kilasan cahaya yang berlalu cepat di jalan setapak
sawah, sekitar 12 meter di depannya. Nura yakin bahwa tadi ada 'sesuatu' di
jalan yang kini kembali gelap dan sunyi.
Maka demi mengentaskan rasa penasarannya, Nura pun berdiri dan mulai berjalan
ke jalan setapak itu. Sebelumnya Nura menyimpan batu yang ditemukannya tadi ke
dalam saku bajunya.
Dengan
berani, Nura melangkah ke jalan setapak di sawah. Ia lalu mengikuti jalan
setapak itu. Hingga kemudian dilihatnya sebuah cahaya berlalu di tikungan
sebelah kanan ujung jalan setapak sana. Ia pun menggegaskan langkah. Penasaran
pada apa sebenarnya cahaya yang dilihatnya itu.
Ketika
Nura sudah sampai di tikungan kanan jalan, ia tak mendapati apapun di sana.
Hanya ada jalan setapak lagi yang lurus membatasi dua area sawah. Di sekitar
Nura hanya ada padi-padi setinggi pundaknya yang diam seolah sedang balik
memperhatikan Nura. Nura kemudian melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Ia
memperhatikan keadaan sekitarnya dengan cermat. Berharap cahaya tadi akan
muncul kembali.
Harapan
Nura terkabulkan. Ia kemudian melihat kembali cahaya itu muncul di tikungan
sebelah kiri di hadapannya. Ia pun bergegas berlari untuk mengejar cahaya
tersebut. Nura begitu ingin menangkap sumber cahaya yang sudah membuatnya
sangat penasaran seperti ini.
Nura
terus berlari dan berlari di jalan setapak area persawahan itu. Ia bahkan tak
mempedulikan sudah berapa tikungan yang dilewatinya tadi. Kanan. Kiri. Kanan.
Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kiri. Kanan.. ah! sudah tak terhitung! Nura terus
berlari dan berlari sampai akhirnya ia merasa letih juga. Ia hampir-hampir
sudah tak mampu berlari lagi.
Nura
pun kemudian berhenti berlari. Dengan posisi ruku ia mengatur napasnya yang
ngos-ngosan. Ia menyesalkan karena ia tak membawa air minum. Lagipula, siapa
pula yang akan menduga bahwa ia akan mengejar cahaya aneh hingga sejauh ini.
Nura pun mengeluh ketika menyadari bahwa ia harus berjalan jauh lagi nanti
ketika pulang. Dan itu tentulah akan sangat meletihkan. Nura pun menyalahkan
cahaya yang sudah menyesatkannya hingga ke tempat ini. Jika bukan karena cahaya
itu, sudah tentu Nura kini telah kembali ke kasurnya. Tidur lelap. Tapi coba
lihat sekarang? Di area sawah mana pulaaaa kini dia berada?
Kemudian,
Nura kembali berdiri tegak dan melihat sekeliling. Hanya sawah dan sawah saja
lah yang dilihatnya sejauh ia melempar pandangan.
"Emak..."
Nura memanggil Emak-nya. Tapi sunyi lah yang menjawab.
"Emaak...."
Lagi. Kesunyian yang menjawab Nura.
"Emaakk...hiks."
Nura kembali memanggil Emak. Kali ini diikuti oleh isakan tertahan.
Nura
kemudian jongkok dan menangis. Mulai menggerung-gerung memanggil Emak-nya. Ia
ingin pulang. Tapi ia tak tahu ke arah mana ia harus melangkah. Dan ia kian
kencang menangis ketika menyadari bahwa ia hanya seorang diri di kegelapan ini.
Hingga kemudian...
Cahaya
yang tadi menarik Nura hingga ke tempat ini, tiba-tiba saja muncul di
hadapannya. Cahaya itu sebesar bola sepak yang berpendar-pendar dan melayang di
atas tanah sekitar satu meter di hadapannya.
Pada
mulanya Nura terkejut mendapati cahaya yang dicari-cari olehnya kini malah
menampakkan diri. Tangis Nura pun berhenti dan kini ia tengah mengagumi
kehangatan yang terpancar dari cahaya itu. Ia lalu berdiri dan ingin menggapai
cahaya itu dengan tangan kanannya. Tapi kemudian ia dibuat terkejut ketika
mendengar sebuah suara datang dari arah cahaya itu berada.
"maaf"
Butuh
waktu beberapa detik lamanya untuk Nura menjawab ucapan itu. Baru ketika ia
mulai sadar dari keterkejutannya, Nura pun membalas ucapan maaf itu dengan
sebuah pertanyaan.
"apa?"
Pertanyaan
Nura itu dijawab dengan ucapan singkat.
"ikuti
aku!"
Lalu
cahaya itu kembali bergerak. Dan Nura bergegas mengikutinya. Sekitar lima menit
Nura berjalan, ia lalu berhenti ketika tiba di suatu area lapang dan terkejut
melihat sesuatu yang sangat menakjubkan.
"itu..."
"Ott.
Kendaraan yang membawaku ke sini." potong suara yang dikenali Nura sebagai
suara cahaya tadi.
Nura
masih takjub mengamati rupa kendaraan bernama Ott itu. Ott mirip seperti piring
terbang milik alien yang digambarkan dalam film-film di televisi. Ukuran Ott
sebesar rumah Nura. Kira-kira
berdiameter 8 meter. Bentuknya seperti cakram dengan cahaya yang memancar
terang dari permukaan Ott itu. Nura tak menyangka bahwa ia bisa melihat benda
menakjubkan ini.
Nura
kemudian menyadari sesuatu. Bahwa pemilik Ott di hadapannya itu adalah makhluk
asing. alien. Ia pun langsung menolehkan kepalanya ke kanan. Ke arah di mana
cahaya tadi berada. Ia kembali terkejut ketika mendapati bahwa apa yang di
sampingnya kini bukan lagi cahaya melayang. Melainkan sesosok makhluk kerdil
mirip ghollum, manusia tanpa rambut
dengan bola mata yang menonjol keluar serta kulit kebiru-biruan. Perbedaannya
adalah makhluk itu seperti dilapisi oleh dinding cairan yang berpendar-pendar
keperakan.
Anehnya,
Rupa fisik makhluk di dekat Nura itu tak membuat ia merasa jijik atau
ketakutan. Ia justru menganggap makhluk itu cantik sekali karena bisa
memancarkan kilauan cahaya di tubuhnya. Selama beberapa saat, hanya ada
keheningan yang mengisi kekosongan waktu di antara Nura dan makhluk cahaya.
Tapi kemudian, dalam beberapa menit berikutnya, barulah muncul percakapan di
antara keduanya. Seperti inilah percakapan dua makhluk beda rupa itu.
"kamu
alien?"
Pertanyaan
Nura dijawab cukup lama oleh makhluk itu.
"makhluk asing? ya. aku
bukan dari bumi."
"lalu
dari mana?" tanya Nura lagi.
Kembali.
pertanyaan Nura dijawab dalam waktu yang cukup lama.
"Terra. Planet lain di
galaksi seberang galaksi bimasakti"
Nura
mengernyit untuk bisa memahami kata-kata
makhluk itu.
"itu
jauh banget ya?" cecar Nura.
Lagi-lagi
pertanyaan Nura dijawab dalam waktu yang lama.
"ya. sekitar 2,7 juta
tahun cahaya dari bumi."
"apa??"
Nura tak mengerti dengan maksud tahun cahaya itu. Tapi ia memilih untuk tidak
menanyakan hal itu lagi agar ia tak perlu memusingkan kata-kata selanjutnya
alien itu yang mungkin akan lebih memusingkan. Ia pun kembali bertanya.
"apa
kamu mau menculikku?" tanya Nura takut-takut. Jawaban alien itu kembali
lama.
"tidak. kenapa
harus?"
"di
tivi diceritain kalau alien menculik manusia..?" Nura kembali bertanya.
Dan ia kembali pula harus menunggu lama jawaban alien itu.
"itu hanya karangan
manusia"
"kenapa
jawabanmu lama sekali. apa kamu kesulitan ngomong?"
Selama
beberapa detik makhluk itu hanya diam menatap Nura. Seperti sedang mencerna
makna ucapan Nura. Lalu tiba-tiba saja makhluk itu mengulurkan tangannya dan
menyentuh kening Nura. Pada mulanya Nura terkejut dan sedikit merasa takut
karena tiba-tiba disentuh seperti itu. Tapi kemudian ia memahami maksud
tindakan makhluk itu menyentuhnya tadi. Karena setelah itu, Nura mendengar suara dalam pikirannya. Dan suara itu mirip seperti
suara alien tadi.
"Jangan takut. Aku baru
saja mensinkronkan gelombang pikiran kita. Jadi kamu bisa menangkap kata-kata
di pikiranku yang ingin kukatakan padamu. Sebelumnya aku memang kesulitan
memahami bahasa manusia. Terlebih lagi untuk menerjemahkan bahasaku ke dalam
bahasa kalian. Jadi tadi aku menjawab cukup lama. Sekarang, kamu bisa mendengar
suaraku kan?"
Ekspresi
wajah Nura lucu sekali ketika ia mengangguk-angguk dengan mulut menganga. Ia
lalu kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan.
"jadi
kamu alien baik?" tanya Nura lagi.
"baik? kurasa kamu bisa menyebutku
baik."
Nura
pun mendesah lega. Menit selanjutnya, Nura tak lagi merasa segan untuk bertanya-tanya
pada alien yang baru dijumpainya itu.
"Namaku
Nura. siapa namamu?"
"Yon."
"apa
Yon datang sendiri ke sini?"
"aku bersama orang tuaku
ke bumi."
"oya??!
mana mereka? mana???" tanya Nura sambil menengokkan kepalanya ke segala
arah. Ia nampak semangat ingin menjumpai bapak ibu Yon.
"mereka sedang
melaksanakan tugas."
"Tugas?
seperti PR sekolah begitu? tugas apa?"
"bukan. orang tuaku
seorang peneliti. Tugas mereka adalah meneliti objek-objek berbahaya di
bumi."
"peneliti?
seperti prosesor di tivi itu ya? yang kepalanya botak dan berkumis tebal?"
Yon
nampak sedikit bingung dengan kosa kata Nura yang acak adut itu.
"Prosesor? aku tak tahu
apa itu prosesor. Tapi semua Terrian di planet kami memang tak memiliki
rambut."
"
Terrian? ah! pantas saja.. Yon gak punya
rambut. Nura kira Yon sengaja dipotong gundul. hehehe..." seloroh Nura.
Yon
hanya berkedip melihat Nura. Mungkin tidak paham dengan bahasa
"tertawa". Kemudian Nura kembali bertanya.
"Yon,
cairan apa itu yang membungkus badanmu?"
"ini plasma. cairan
kehidupan bagi para Terrian. Ini seperti udara untuk bernapas bagi
manusia."
"Oohh..
cantik ya. Berkilau-kilau."
"ya...Nura, bisa tolong
kamu kembalikan Arc milikku?"
"Ak
apa?"
"Arc. batu
kelahiranku."
Mulanya
Nura masih bingung dengan batu yang dimaksud oleh Yon. Tapi kemudian ia
menyadari bahwa batu yang dimaksud mungkin adalah batu yang kini berada dalam
saku bajunya. Ia pun segera mengeluarkan batu itu dan menunjukkannya kepada
Yon.
"maksudmu
batu ini, Yon?"
"Ya!"
"oohh!
Jadi Yon ya yang tadi melempari Nur dengan batu ini? Kepala Nura sakit,
tau." gerutu Nura.
"Maaf. Tadi itu tak
disengaja. Aku sedang bermain lempar dan tak sengaja melemparnya terlalu jauh.
Itu mengenai kepalamu? maaf ya."
"yah.
gak apa apa deh. eh, terus kenapa tadi Yon lari? cahaya tadi itu Yon kan??"
"sebenarnya aku seharusnya
tak menampakkan diri. Karena hukum terrian melarang kami menunjukkan wujud asli
di hadapan manusia. Karenanya tadi aku menggunakan mode cahaya. Papa
mengajariku, katanya penyamaran yang paling baik adalah mode cahaya. karena
manusia akan takut dan mengira kami sebagai hantu atau apapun itu. tapi, aku heran. kenapa kamu tidak takut?"
"Nura
sih bukan penakut!" sombong
Nura.
"lalu, kenapa tadi kamu
menangis?" bukankah manusia menangis ketika sedih atau takut?"
"i..ituuu...
emmm.. Ak
Akting!" Jawab Nura dengan gugup. Kemudian, buru-buru Nura
mengalihkan pembicaraan.
"Oya,
tadi kamu menyebut batu ini apa, Yon?"
"Batu Arc. Batu
kelahiran."
"Kenapa
dinamain begitu?"
"Karena batu ini lahir
bersamaan denganku. Karenanya dinamakan Batu Kelahiran"
"Ohh...
begitu. Yon, gimana kalau batu Ak ini buat Nura?" Pinta Nura.
Yon
tak langsung mengiyakan permintaan Nura. Ia nampak kesulitan menjawab dan ini
cukup disadari Nura.
"Kalo
gak boleh juga gak papa kok Yon. ini...Nur kembaliin." Seru Nura.
"bukan begitu.. Nura boleh
memilikinya kok."
"Beneran?"
Dengan
ragu-ragu Yon menjawab,
"Ya.."
Nura
langsung girang dan mencium batu
bermotif huruf "nun" Arab itu. Selanjutnya Nura memasukkan batu itu
ke dalam saku. Mulanya ia masih tersenyum senang karena bisa memiliki batu unik
itu. Tapi ketika dilihatnya Yon nampak sedih. Nura pun berkata lagi.
"Yon,
kalo kamu berat tuk ngasih batu ini gak papa deh, Nura gak punya juga. nih Nur
kembaliin."
Melihat
Nura yang hendak mengambil kembali batu Arc di sakunya, Yon pun buru-buru
berkata,
"tak apa-apa Nura. aku
hanya merasa sedikit sedih saja. Batu itu sudah menemaniku hingga selama ini.
Batu itu pula yang sudah memberikan energi plasma kepadaku. Jadi wajar
jika--"
"energi
apa?" sergah Nura memotong ucapan Yon.
"Energi plasma. energi
yang tersimpan dalam setiap batu Arc yang baru dilahirkan. Energi itu kemudian
akan ditransfer kepada Terrian yang menjadi teman lahir batu itu."
"ehmm..
Jadi, maksud Yon, batu ini tadinya punya kekuatan? Terus sekarang udah gak
punya gitu?"
"Ya."
"Terus
kekuatan itu sekarang kemana?" tanya Nura lagi.
"sudah ada padaku."
"Beneran?!
kekuatan apa Yon??!" tanya Nura berapi-api.
"seperti ini.."
Detik
berikutnya Nura dibuat terkejut ketika mendapati bahwa sekarang Yon sudah
berdiri 5 meter jauhnya darinya.
"wah!
kereeennn...!! Lagi!! Lagi!!" Seru Nura berapi-api.
Dan
selama beberapa waktu ke depan, Nura teriak-teriak histeris karena takjub
dengan kemampuan Yon berteleportasi. Swing
di sana. swing di sini. swang. swing. swung di mana-mana.
Setelah
berseru-seruan selama beberapa waktu, Yon pun kemudian berhenti dan muncul di
samping Kanan Nura.
"Kekuatan
apa lagi yang kamu punya, Yon?! aku mau lihat! ayo tunjukin!"
"Maaf, Nura. aku tak bisa
menunjukkannya saat ini. Energiku tak cukup untuk menunjukkan kemampuanku
lainnya."
Mendengar
ucapan Yon itu, Nura jadi sedikit kecewa. Tapi ia segera berseru lagi.
"Kalau
begitu, kamu bisa menceritakannya padaku, Yon. itu gak apa-apa kan?"
"ya. itu tak
apa-apa."
"lalu,
boleh Nura main ke pesawat Yon?" pinta Nura lagi.
"Ah.. maaf, Nura. kurasa aku tak bisa
membiarkanmu masuk ke dalam Ott."
"Kenapa?"
tanya Nura dengan ekspresi kecewa.
"Karena di dalam Ott
dipenuhi oleh plasma. Jadi kupikir kamu tak akan bisa bernapas jika masuk ke
sana."
"Ooh...
gituu...hmm.."
"Bagaimana kalau kita
berselancar saja, Nura?"
"apa?selancar?
aku gak bisa selancar, Yon. Berenang aja Nura bisanya gaya kodok. Dan lagi...
selancar malam-malam begini? ke laut?"
"Bukan ke laut, Nura. kita
berselancar di langit."
"Hah?!
di langit???"
"Ya. di langit. Tunggu
sebentar."
Belum
hilang keheranan Nura terkait ajakan Yon untuk berselancar di langit, Nura
semakin heran+takjub ketika melihat Yon mengutak-atik sesuatu yang mirip jam di
tangan kirinya.
"itu
apaa....?"
Pertanyaan
yang dilontarkan Nura barusan terjawab oleh kedatangan dua buah papan selancar
berbentuk oval memanjang. Panjang papan itu sekitar 45 cm dengan lebar sekitar
25 cm. Papan itu berwarna silver dengan tiga tombol berwarna merah, kuning dan
biru di bagian ujungnya.
Selanjutnya,
Nura menerima sebuah papan selancar. Ia asik menyentuh dan mengamati papan yang
kini dipegangnya. Lalu didengarnya Yon menjelaskan cara memakai papan itu.
"Pertama letakkan papan
ini di bawah. Lalu naiki sampai batas garis ini. Lalu injak tombol merah untuk
melayangkan papan."
Nura
terkesima ketika dilihatnya Yon kini melayang bersama papan itu sekitar 20 cm
di atas tanah. Lalu Yon melanjutkan kembali penjelasannya.
"jangan sekali-kali
menginjak tombol merah ketika kamu masih di udara. karena itu akan mematikan
mesin. Lalu ada tombol kuning untuk
memunculkan tongkat navigasi."
Detik
berikutnya muncul sebuah tongkat dengan gagangnya di papan selancar Yon.
"biasanya tongkat navigasi
ini sangat berguna untuk pemula. Jadi nanti jika ingin ke arah kanan, kamu
cukup memiringkan tongkat ini ke kanan. ke kiri atau berbalik pun bisa dengan
tongkat ini. jika ingin naik, arahkan
tongkatnya ke arah badanmu. dan jika ingin turun, arahkan menjauh darimu.
seperti itu. Bisa dipahami, Nura?"
"mm..
ya. Lalu, tombol biru itu untuk apa?"
"Tombol biru ini untuk
memunculkan pelindung. Jadi ketika kamu menginjaknya, maka--"
zlab.
Tetiba
saja Yon dan papannya menghilang.
"Yon!"
"Aku masih di sini, Nura.
aku hanya tak tampak saja. Tapi kamu bisa melihat cahaya yang berkedip-kedip di
bawahku bukan?"
Nura
segera melihat ke bawah tempat tadi Yon berada. Ya. sekitar 20 cm di atas tanah
kini Nura melihat cahaya merah, kuning, dan cahaya biru yang berkedap-kedip.
"Whoah...!!!
kereeeennn!!" Seru Nura.
"sekarang,
giliranmu." ajak
Yon.
Nura
pun segera naik ke papan selancarnya. Ia lalu mulai menginjak tombol merah.
Perlahan-lahan ia merasakan papan membawa tubuhnya melayang. Rasanya
menakjubkan. Tak jauh berbeda rasanya ketika kaki sedang berpijak di tanah.
Tapi kita tahu bahwa kita sebenarnya sedang melayang.
"waaahhh!
keren!!" seru Nura berapi-api.
Selanjutnya
ia menginjak tombol kuning. dan tak lama sebuah tongkat pun muncul dekat di
depan kakinya. ia lalu memegang gagang tongkatnya dan sedikit menarik gagang
itu ke arahnya, serta merta papan pun membawanya melayang lebih tinggi. Dan
Nura kembali tersenyum lebar. Ia lalu menginjak tombol biru. Dan kini ia bisa
melihat, sebuah pelindung berbentuk lingkaran telah muncul mengelilinginya.
Nura pun kini bisa melihat Yon. Yon berada sekitar setengah meter di bawahnya
dengan lingkaran pelindung pula yang mengelilinginya.
"aku
bisa melihatmu, Yon!" seru Nura.
"Aku juga, Nura. inilah
keistimewaan pelindung papan ini. ia mampu melindungi penumpangnya dari
penglihatan objek lain. Sementara ia bisa memperlihatkan penumpangnya ataupun melihat penumpang dari
papan selancar lainnya."
"iya!
keren!!"
"sekarang, kita
berselancar?" ajak
Yon.
"ayo!
tapi tunggu dulu, Yon. Kamu gak pegang gagang tongkat? gak takut jatuh
kah?" Tanya Nura. Ketika dilihatnya gagang tongkat di papan selancar Yon
sudah tak ada.
"tenang saja, Nura. papan
ini dirancang khusus dengan gravitasi tersendiri. Jadi benda apapun yang sudah
menempel padanya maka tak akan jatuh walau papannya dibalikkan sekalipun. mau
coba?"
"Gak
deh!! gak! aku mau pegang tongkat aja. biar lebih nyaman."
"baiklah. sekarang, kita
jalan-jalan?"
"a..yo!!"
Detik
berikutnya, Yon asyik berselancar di langit. Nura sendiri yang mulanya masih
canggung dengan papan nya, akhirnya perlahan-lahan mulai terbiasa dan menikmati
jalan-jalannya. Tapi karena Nura menggunakan gagang tongkat, daripada
berselancar, Nura lebih seperti sedang naik skuter terbang. Sementara Yon
terlihat lihai dan keren dengan papan selancarnya.
Kembali
ke Nura yang kini tengah kagum pada pemandangan yang dilihatnya. Dari
ketinggian 400 kaki di atas tanah, Nura menyaksikan betapa dunia di bawahnya
terlihat kecil. Ia hanya bisa melihat ribuan cahaya lampu berserakan tak
beraturan di bawah sana. Pemandangan seperti ketika ia melihat hamparan bintang
di langit di atasnya. Bahkan jembatan penyeberangan yang biasa dilewatinya ketika
sekolah pun kini hanya nampak seperti sebuah garis yang tak berarti. Nura pun
menduga-duga, apakah bintang-bintang yang selama ini dilihatnya hanya sebagai
titik cahaya sebenarnya adalah planet besar yang memiliki pancaran cahaya
menakjubkan hingga bisa terlihat sampai ke bumi? Jangan-jangan pula segala yang
selama ini terlihat kecil dan sepele di mata Nura sebenarnya adalah "hal
besar" yang belum diketahui ke-besar-annya?
Melihat
gedung-gedung tinggi di bawahnya, Nura juga memikirkan. Bahwa bisa jadi di
planet Terra ada gedung lain yang lebih tinggi dan lebih menakjubkan lagi. Apa
yang selama ini dianggapnya sudah paling besar, ternyata kalah oleh keberadaan
benda lain yang lebih besar dan canggih. Seperti skuter, eh papan yang
dikendarainya sekarang ini.
Nura
tak tahu kapan manusia bisa menciptakan skuter, eh papan terbang seperti ini.
Tapi Nura berharap, semoga ia bisa menjadi saksi perubahan zaman canggih itu.
Ya. Semoga.
Nura
pun kemudian bersyukur berkali-kali dalam hati. Tak menyangka bahwa ia
berkesempatan untuk mengalami dan menyaksikan semua pemandangan indah ini.
Saat
ini Nura dan Yon sedang duduk di atas papan masing-masing. Papan mereka sudah
diatur autopilot sehingga bisa
mengemudi sendiri sampai tujuan dengan kecepatan 15 km/jam. Kecepatan yang
cukup aman. Mereka kini melayang menyusuri sungai menuju rumah Nura.
Mereka
lalu berbincang santai sembari menikmati pemandangan sungai di malam hari.
"Yon,
berapa umurmu?" tanya Nura.
"3 tori."
"apa?"
"3 tori.Itu sekitar 5-6
tahun usia manusia bumi."
"beneran?
tapi kok kamu kayak kakakku ya. Kak Lili. gaya ngomongmu mirip kayak dia."
"..."
"terus,
pakaianmu warnanya perak semua kayak yang kamu pakai sekarang gak?"
"kostum yang kupakai ini
hanya digunakan untuk Terrian Nul."
"apaan
tuh?"
"Terrian nul adalah
tingkatan terrian yang belum diketahui jelas jantan atau betina-nya."
"jantan-betina??
maksudmu laki-laki dan perempuan Yon? memangnya Yon belum tahu jenis kelamin
Yon apa?? kok bisa gitu?"
"ya. Usiaku belum cukup
untuk menumbuhkan Flow atau.. Tenta."
"Nur
gak paham.." keluh Nura.
"Flow dan Tenta itu
seperti kelamin manusia. Jika betina maka terrian akan menumbuhkan flow.
sementara jika jantan maka ia akan memunculkan Tenta."
"di
mana tumbuhnya Flow dan Tenta itu, Yon?"
Yon
nampak terkejut dengan pertanyaan Nura ini. Dan perlahan-lahan seluruh plasma
yang menyelimuti tubuh Yon pun berubah warnanya menjadi agak kemerahan.
"Yon!
plasmamu!!" seru Nura.
"Tak apa-apa, Nura. ini
alami terjadi."
"beneran
gak apa-apa??"
"ya."
"kamu
lucu, Yon. jadi pink gitu. eh ya, jadi Flow dan Tenta itu tumbuhnya di
mana?" Tanya Nura lagi.
"itu... kurasa.. maaf. aku
tak bisa mengatakan tentang itu lebih lanjut." ucap Yon pelan-pelan.
Dan
ketika Yon mengatakannya, warna plasmanya menjadi semakin merah. Hal ini
membuat Nura menyadari sesuatu.
"Yon,
apa jangan-jangan kamu merasa malu? makanya plasmamu jadi merah? kamu malu kita
ngomongin soal Flow dan Tenta?"
Yon
yang ditanya hanya diam dan nampak menunduk. Ekspresi wajahnya memang tak
berubah tapi warna plasmanya semakin merah. Ini membuat Nura yang melihatnya
jadi tertawa terbahak-bahak. Dan terbersit lah sesuatu hal di benak Nura
perihal apa jenis kelamin Yon nantinya.
Perjalanan
terus berlanjut. Setelah Nura selesai tertawa, dan warna plasma Yon kembali
keperakan, giliran Nura kini yang bercerita tentang keluarganya.
"aku
punya dua kakak betina, eh perempuan, juga satu adik lelaki..emm.. maksudku
adik jantan. Kakak pertamaku namanya Kak Lili. orangnya pintar, rajin dan baik
hati. Kak Lili juga cantik. Tapi lebih cantikan Nura sih.." sombong Nura.
"kakak
keduaku namanya Kak Eci. Dia itu orang paling nyebelin sedunia! jelek, cerewet,
jahil,.........."
Dan
Nura terus membicarakan hal jelek tentang kak Eci pada Yon. Sampai kemudian ia
berhenti lalu memukul mulutnya sendiri.
"astagfirullaahh...
maaf ya Allah. gak sengaja kelepasan ngomong. Yon, yang tadi kuucapin itu kamu
lupain ya. Nura gak sengaja. baru inget, kata Emak kita gak boleh
ngejelek-jelekin orang lain. Walau itu memang faktanya siih.."
Yon
nampak masih serius mendengarkan Nura.
"ah!
udah ah! kita lanjut ke adikku aja ya. Namanya Tio. Dia benernya lucu sih.
penurut juga. tapi Nura juga lagi sebel sama Tio. habisnya dia dibeliin sepatu
baru. Sementara Nura malah dapet yang bekas. hu uh!"
"Mama-Papa?" tanya Yon.
"Emak
cantik, baik, hebat, rajin, hemat, dan... mm.. agak serem kalo lagi
marah."
Ucap
Nura dengan berbisik.
"Kalo
bapak, udah lama meninggal. Kuburannya di Muara Angke, di rumah Bu De
Narno."
Keduanya
lalu sampai di sungai depan rumah Nura. Sekarang keduanya tak lagi bicara.
Walau wujud mereka tak terlihat karena ditutupi oleh pelindung, tapi suara
mereka bisa terdengar. Karenanya, Yon pun mengajak Nura untuk berselancar lagi
melewati atas rumah Nura hingga tiba di jalan setapak sawah dekat rumahnya.
Nura
pun menginjak semua tombol di papan. Ia lalu turun dan menyerahkan papan itu
kepada Yon. Nura menyadari, bahwa tak lama lagi mereka harus berpisah. Keduanya
sempat diam sebentar. Sebelum akhirnya Nura mulai bicara.
"Makasih,
Yon. sudah mengajakku jalan-jalan. Tadi itu beneran seru banget!"
"sama-sama."
"mm...
Yon. Nura mau tanya satu hal. Boleh?"
"apa?"
"Nur
penasaran... hal bahaya apa yang lagi dipelajari bapak-ibu Yon di bumi?"
"itu...aku juga tak tahu
pasti, Nura. maaf. yang kutahu, saat ini planet mu sedang dalam situasi
darurat,"
"bumi?"
"ya. bumi. planet ini
sudah sangat tua. sehingga energi yang dimilikinya tinggal sedikit saja.
Sayangnya beberapa manusia malah menciptakan hal-hal berbahaya yang membuat
energi inti bumi jadi tak stabil dan lebih cepat habisnya. Terutama sejak diletuskannya
bom nuklir bertahun-tahun yang lalu. Kejadian buruk di bumi itu memberikan
dampak ke seluruh planet di jagad raya. Oleh karenanya beberapa makhluk di
planet kami pun datang ke bumi dengan maksud untuk mengawasi segala ciptaan
manusia. Beberapa hal berbahaya bisa kami cegah dan musnahkan diam-diam. Tapi
masih banyak pula hal berbahaya lainnya yang tak bisa kami hentikan. Apalagi
saat ini teknologi di bumi semakin canggih. Ini menyebabkan keberadaan kami di
bumi jadi semakin mudah dideteksi. Padahal kami harus berhati-hati agar tidak
tertangkap oleh manusia."
"ooo..
hmmm... Yon, kita berteman kan?"
"ya. tentu."
"makasih."
"sama-sama."
"oya,
satu pertanyaan lagi. Boleh ya?"
"baiklah. apa, Nura?"
"sampai
usia berapa terrian bisa tahu jenis kelaminnya?"
"17 tori. itu sekitar 35
tahun usia bumi."
"wah.
. masih lama ya."
"...."
"Yon,
aku yakin. Yon pasti akan jadi Terrian....betina yang cantik."
Perlahan-lahan
plasma Yon kembali berubah merah. Nura sempat diam melihat Yon yang kini tengah
malu. Tapi kemudian dilanjutkannya lagi ucapannya.
"saat
Yon jadi terrian dewasa nanti, kuharap kita bisa berjumpa lagi. kita berteman
sampai nanti ya, Yon!" Ucap Nura dengan pandangan mata sedikit berair. Ia
mulai ingin menangis.
Yon
yang tadinya ber-plasma merah, kini berubah menjadi ber-plasma oranye keemasan.
Sebuah perubahan warna plasma yang dipahami Nura sebagai perasaan yang sama
seperti yang dirasakan juga olehnya saat ini.
"Kalau begitu, kita
berpisah di sini, Nura."
"Ya.
Nura.. pulang duluan ya. Dadah Yon!"
Dan
Nura pun bergegas kembali ke rumahnya. Ia berusaha menahan tangis yang mulai
menjebol matanya. Hingga akhirnya ketika sudah sampai di bale, ia pun menangis.
Kemudian
Nura berbalik mengarah ke persawahan yang barusan ditinggalkannya. Ia berdiri
di sana dalam waktu yang cukup lama. Sampai kemudian dilihatnya sebuah bintang
jatuh meluncur turun dari arah tenggara langit. Terbayang kembali ingatannya
pada percakapannya dengan Yon ketika mereka masih berselancar di langit.
---0-0-0-0-0---
"Nura, kamu pernah lihat
bintang jatuh?"
"pernah.
Kenapa, Yon?"
"sebenarnya bintang jatuh
adalah kesempatan bagi para terrian di bumi untuk pulang ke planet Terra."
"kok
bisa?"
"agak sulit untuk
menjelaskannya secara rinci. Tapi yang pasti, meteor membentur bumi hingga
memunculkan pijaran cahaya yang disebut bintang jatuh. Seringkali benturan
antara meteor dan atmosfer bumi itu akan menghasilkan irisan Morf. Irisan
inilah yang menjadi pembuka jalan untuk berteleportasi ke gerbang galaksi bima
sakti."
"ahh..
itu memang cukup rumit untuk dimengerti. Tapi intinya, Yon akan pulang kalau
ada bintang jatuh?" tanya Nura.
"Ya. seperti itu."
"...hmm..
"
"... Nura..?"
"Ya,
Yon?"
"Kita masih bisa bertemu
lagi."
"sungguh?"
"Ya. Kamu tahu. Tadi ketika
baru sampai di bumi, aku tak sengaja menangkap citramu. Kamu sedang
mengedap-kedipkan matamu ke arah langit."
"Apa
tadi? menangkap citra?? maksudnya Yon bisa melihat Nur dari jarak jauh??"
"ya. itu kekuatanku
lainnya. teleportasi. menangkap citra berjarak 50 yard. menggerakkan
benda."
"aaahh..kereeenn...!!!"
"Nura...terima kasih sudah mau berteman dengan ku. Kamu tahu? kamu adalah teman
manusia pertamaku. Dan kamu adalah temanku yang paling ajaib."
"ajaib?"
"ya. ajaib. wajahmu cepat
berubah-ubah. wajah berbinar. wajah tawa. wajah marah. wajah ingin tahu.."
"wajah
cantik juga, Yon!" potong Nura.
"Cantik? kurasa
tidak.."
Mendengar
itu Nura langsung cemberut. sampai...
"yang kulihat adalah wajah
cute. dan aku ingin memiliki wajah -wajah sepertimu."
Kali
ini, giliran wajah Nura yang bersemu merah. Sementara Yon serius menyaksikan
wajah baru Nura itu. Wajah malu.
---0-0-0-0-0---
Nura
masih memandangi langit yang barusan dihiasi bintang jatuh. Ia menduga bahwa
Yon dan keluarganya mungkin sudah pulang saat ini. Bersama para Terrian lain di
bumi. Memikirkan hal itu Nura langsung lemas. Ia pun kemudian duduk di bale.
Kembali dipeluknya kedua kakinya dengan tangan. Dan ditopangkannya dagunya ke
atas lutut. Sembari melihat bintang yang berkedap-kedip seperti di awal mula
tadi sebelum ia bertemu Yon. Nura kemudian mengedap-kedipkan matanya. Berharap,
semoga dengan melakukan hal itu Yon akan kembali menghampirinya dalam bentuk
cahaya melayang. Seperti tadi.
Dap...
Dip...
Dap...
...
Dip...
...
Dap...
...
....
Dip....
....
....
Dap...
....
....
...
Dip....
...
....
Zzzt...
---0-0-0-0-0---
Ketika
Nura kembali membuka matanya, ia sudah tak lagi berada di bale belakang rumah.
Saat ini ia telah berada di atas kasur. Dengan bantal dan selimut samping batik
kesayangannya. Tetiba saja Nura ingin menangis. Menyadari bahwa kini ia telah
berpisah dengan Yon, teman alien-nya.
Nura
pun kemudian menangis. Tangisannya cukup kencang hingga membangunkan
orang-orang seisi rumah. Kak Lili, Kak Eci, Tio, bahkan juga Emak ikut
terbangun. Dan ketika seluruh keluarganya sudah duduk mengelilinginya, Nura
masih terus menangis dan menyebut nama Yon.
"Yon..
Yon.. Yon.. huuu....."
--o-o-o-o--
Beberapa
hari kemudian Nura tak lagi terlihat menangis. Ia sudah kembali menjadi dirinya
yang lama. Ceria dan gemar terlibat perselisihan dengan Kak Eci. Kali ini
penyebab perselisihan keduanya adalah perihal keberadaan Yon. Apakah benar
malam itu Nura bertemu dengan alien bernama Yon atau itu hanya mimpi saja. Nura
yakin bahwa ia benar telah bertemu dengan Yon, si alien. Tapi Kak Eci juga yang
lain menganggap bahwa itu hanya mimpi saja.
Nura
ngotot menceritakan perihal papan selancar yang melayangkannya hingga ke
langit, juga menceritakan kemampuan teleportasi Yon. Tapi tak ada yang
menghiraukan ceritanya itu. Terlebih Kak Eci malah semakin iseng menjahilinya
dengan bersikap seperti alien di televisi. Membuat Nura jadi tambah kesal saja.
Ketika
Kak Eci meminta bukti pada Nura, Nura sebenarnya hendak menunjukkan batu Arc
yang seingatnya disimpan di saku bajunya. Tapi ketika dirogohnya saku baju,
Nura tak menemukan apapun di sana. Makin tambah senang lagi lah Kak Eci meledek
Nura. Dan makin meragu pula lah Nura pada dirinya sendiri. Ia pun jadi
bertanya-tanya, mungkinkah apa yang dialaminya tentang Yon itu hanya mimpi
belaka? hmm...
Setelah
selama beberapa hari suasana rumah selalu bising oleh perselisihan perihal
"Yon", akhirnya Emak tak bisa tahan lagi. Dan suatu sore Emak
habis-habisan memarahi Nura dan Kak Eci. Mereka dihukum memasak air lagi.
Lagi-lagi bersama. Sungguh. Itu adalah hukuman terburuk bagi Nura.
Berminggu-minggu
setelahnya, Nura mulai lupa dengan keributan
perihal "Yon" itu. Ia sudah naik kelas tiga SD. Dan ada cukup
banyak PR yang menantinya sepulang sekolah. Kak Eci pun sudah masuk SMP, sehingga
mereka mulai jarang bertengkar karena tak lagi satu sekolah. Kak Lili pun sudah
duduk di bangku tingkat akhir SMP-nya. Tahun depan ia akan berganti seragam
jadi abu-abu. Dan Tio, ah... adik Nura itu pun mulai masuk SD tahun ini. Dan
nampaknya Tio akan tumbuh menjadi anak cerdas seperti Kak Lili. Lalu Emak, Emak
masih tetap menjual kue-kue tradisional. Kue-kue yang kini mulai dititipkannya
pula ke warung malam Mak Acih di seberang jalan.
Kehidupan
keluarga kecil itu terus berlanjut. Menghadapi setiap harinya dengan segala
rasa hidup yang bisa dinikmati. Entah itu tawa. Tangis. Luka. Gembira. Getir.
Prihatin. Bahagia. Semua hal itu dilalui mereka dalam kebersamaan yang nyata.
Seperti
sungai di depan rumah yang tak henti mengalirkan airnya. Menuju muara yang
menjadi akhir sekaligus juga menjadi sebuah perjumpaan. Perjumpaan dengan air
dari seluruh daratan di dunia untuk bersama-sama menguap menuju langit yang
kuasa. Melebur dan kembali bersama-sama turun ke bumi. Menjelma dalam wujud
hujan.
--o-o-o-o--
Epilog
Di pinggiran sungai yang sama.
Berjarak tiga kilometer dari tempat rumah keluarga Nura berada. Sekelompok anak
usia belasan tahun tengah berkumpul dan membincangkan sesuatu.
"ini gimana, Ru?"
tanya seorang anak berperawakan kurus pada orang di sampingnya, Heru.
"ya itu." jawab Heru.
"Kalo ini?" tanya
seorang yang lain pada Heru kembali.
"wah!! Bakal jadi Panca
warna tuh. dimana dapetnya?" Tanya Heru.
"tuh deket Getek
sono" tunjuk Isman ke arah Getek di pinggir sungai.
"besok nyari lagi lah ke
sono." ucap Heru sambil memandang ke arah Getek.
Lalu seorang anak kembali
bertanya pada Heru.
"Yang ini Batu mulia juga
bukan?"
Heru mengamati batu yang kini
ada di genggaman Acung.
"Bukan itu, mah. udah.
buang."
Dan Acung pun membuang batu itu
ke arah sungai. Setelahnya, anak-anak itu bergegas melangkah pulang karena hari
mulai gelap. Langit di sebelah barat sana memang menunjukkan matahari yang hendak
kembali ke peraduannya. Meninggalkan kilau emas dan kemerahan di kanvas langit
yang mulai kelabu.
Sementara itu di pinggir
sungai. Sebuah cahaya merah nampak berkilau. Cahaya merah itu berasal dari batu
yang tadi dilempar oleh anak bernama Acung ke pinggir sungai. Cahaya merah di
batu itu membentuk simbol huruf "nun" Arab yang sangat jelas
terlihat. Sebelum akhirnya seekor katak tak sengaja menyenggolnya hingga
membuat batu itu tergelincir jatuh ke dalam sungai dan tenggelam hingga ke
dasarnya. Menyisakan samar-samar kilau merah di permukaan air sungai. Yang
beradu dengan cahaya bulan yang terpantul tak jauh dari kilau merah itu berada.
TAMAT
Ditulis dan diselesaikan pada,
Senin, 11 Mei 2015
Di Rumah putih