"Le, bilang sama abang. Apa yang kamu obrolin sama Nia tadi siang di kamar?"
Aku sedang berada di kamarku. Bisa kudengar suara gerimis jatuh ke genting di atas kamarku. Biasanya aku selalu senang ketika masa hujan seperti ini. Mendengarkan musik sembari berbaring dan membaca buku di kamar ketika hujan turun adalah kegiatan yang paling menyenangkan. Sayangnya, bukanlah buku yang kupegang saat ini. Ataupun headset yang bergantung di telingaku. Aku sedang tak ingin melakukan semua kegiatan have fun itu. Karena aku sedang cukup marah kepada sosok yang sedang kutelpon saat ini. Lea.
Kutunggu Lea menjawab pertanyaanku. Sembari menahan geram di hati atas apa yang telah terjadi hari ini di rumahnya.
"weits! Sabar dulu bos. Salamikum dulu kek. Atau say hi gituh!"
Suara Lea terdengar ceria di speaker handphone-ku. Ini membuatku berusaha semakin keras untuk tidak langsung berteriak kepadanya. Kugenggam handphone-ku dengan lebih erat sebelum akhirnya berkata,
"Assalamualaikum!" ucapku dingin. Aku kembali diam menunggu Lea menjawab pertanyaan awalku. Aku masih sangat geram untuk sekedar beramah tamah dengannya. Dan Lea nampaknya menyadari bahwa aku cukup marah atas apa yang telah dilakukannya hari ini. Sehingga ia pun membutuhkan waktu beberapa detik sebelum akhirnya kembali bicara.
"waalaikum salam warahmatullah, abaaang."
Sudah. Perbincangan telepon kembali terhenti. Kali ini kuputuskan untuk diam saja sampai Lea mengatakan kepadaku apa yang dibincangkannya dengan Rania tadi siang tanpa sepengetahuanku.
"aiih... abang marah beneran ya?"
Kudengar ada rasa sesal dalam nada suara Lea. Aku hampir saja luluh dan mau langsung memaafkannya ketika kemudian teringat kembali olehku tentang apa yang terjadi tadi siang.
Aku sudah dibuat malu oleh Lea karena telah memanggilku dengan panggilan uncle Toto, panggilannya untukku ketika kami masih anak-anak. Secara garis keturunan, aku memang adalah pamannya. Karena ibu Lea adalah kakak tiriku. Tapi dikarenakan perbedaan usia kami yang hanya tiga bulan, sejak kami masuk ke sekolah dasar yang sama aku sudah meminta Lea untuk memanggilku Dito. Tapi tadi siang Lea malah kembali memanggilku uncle Toto dengan nada meledek. Parahnya lagi adalah di hadapan Rania.
'Rania...'
'hhh! Kejahilan Lea kali ini sudah membuatku sangat malu.'
"abaang.. Lea minta maaaf.. tadi siang Lea gak bilang yang aneh-aneh kok ke Nia. Lea cuma kasih tahu aja ke Nia kalo kita sodaraan. Udah itu doang. Maaf ya kalo candaan Lea tadi siang kelewatan. Maaf, bang.."
Aku masih merasa ragu dengan akuan Lea itu. Jadi aku kembali bertanya untuk memastikan ucapannya.
"benar kamu gak cerita hal lainnya?"
"iya bang! Beneraan! Maaf ya, bang.."
Kali ini aku akhirnya luluh dan bisa memaafkan Lea. Tapi kecemasan masih sedikit bercokol di benakku. Akhirnya aku pun memberikan peringatan terakhirku kepadanya.
"iya. Abang maafin. Jangan diulang lagi ya!"
"diulang apanya bang?"
'Masih juga tulalit.'
"jangan panggil abang, uncle Toto lagi, Le.." ucapku pelan ketika menanggapi ketulalitannya Lea.
"ooh.. oke. Oke. Siip lah, bos!"
Aku tersenyum mendengar celoteh riang Lea barusan.
"juga jangan cerita apa-apa tentang abang ke orang lain, Le. Apalagi ke Nia. Malu-maluin abang itu namanya."
"iyaaaa..." aku kembali tersenyum. Kelegaan mulai menjalar di benakku. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh celotehan Lea berikutnya.
"eh? Tunggu bentar! Lea heran. Kayaknya dulu waktu Le juga pernah keceplosan panggil abang uncle Toto di depan temen-temen SMP, abang gak sebegitu marah kayak gini deh. Kenapa pas ke Nia abang marah banget? Wahh.. curiga nih."
'Hmm. Meski kadang tulalit, Lea masih cukup handal tuk jadi detektif. Aku harus lebih hati-hati.'
"Hush! Su'udzon itu namanya! sudah. Pokoknya janji gak akan comel lagi. Oke?"
"hmm.. oke. Oke. Abang.."
"ya. Itu aja. Salam buat Kak Ratih sama Kak Malik ya, Le."
"ehh? Itu doang? Oke deh. Dan Abang! Jangan panggil Le Le juga dong! Lea kan lebih oke."
"iyaa. Sudah ya, abang tutup nih. Assalamualaikum!"
"Waalaikum salam warahmatullaah"
Klik.
Hubungan telepon pun berakhir. Spontan kulihat jam di dinding. Pukul 7 kurang lima menit. Kuletakkan handphone-ku di atas meja belajar kemudian merebahkan badan di kasur. Perlahan ketegangan dan rasa letih yang setengah jam sebelumnya kurasakan mulai berkurang. Kubiarkan rasa nyaman yang ditimbulkan oleh kasur menyergapku. Hingga beberapa menit kemudian aku pun hanyut dalam lelapku.
###
Aku tak tahu sejak kapan aku berada di Taman Kupu, taman yang letaknya tak jauh dari rumah Opaku dari pihak ibu. Ingatan terakhirku menjejak hanya sampai di waktu ketika aku merebahkan badanku di kasur usai menelepon Lea. Lagipula saat itu aku ingat masih sekitar jam tujuh malam. Jadi mengapa pula aku saat ini bisa duduk di antara rerumputan dengan basuhan sinar matahari pagi?
'Aku pasti sedang bermimpi.' Terkaku dalam hati.
Aku tersenyum. Membenarkan sendiri terkaanku bahwa aku sedang bermimpi saat ini. Aku ingat, ini bukanlah pengalaman pertamaku. Oleh karena kesadaranku tentang kenyataan bahwa aku sedang bermimpi, akhirnya kuputuskan untuk menikmati mimpiku ini. Aku ingin tahu, mimpi ini akan membawaku ke mana.
Kembali ke taman kupu. Aku ingat, saat masih kecil aku memang sering menghabiskan masa liburan sekolah di taman kupu ini. Bermain layang-layang. Membantu Oma mengajak jalan-jalan Brendy, anjing Labrador tua miliknya. Atau mendengarkan Opa bercerita tentang hikayat 1001 malam. Rasanya kenangan masa kecilku itu sungguh adalah masa yang membahagiakan untukku.
Sayangnya aku hanya bisa menikmati masa kecilku bersama Opa dan Oma dari pihak ibuku itu hingga kelas tiga SD. Karena tak sampai tiga bulan sejak kunjungan terakhirku ke tempat ini, Opa wafat. Dua minggu berikutnya, Oma turut menyusul Opa. Ibu akhirnya memberikan Brendy kepada tetangga samping rumah Opa. Saat itu aku sebenarnya merengek pada ibuku. Aku memaksanya untuk memelihara Brendy. Tapi ibu menolak permintaanku karena keluarga ayah yang muslim akan merasa keberatan jika aku tetap memaksa ingin memelihara Brendy. Akhirnya aku pun menyerah tentang Brendy. Dan sejak itulah aku tak pernah kembali lagi ke tempat ini.
Tes.
Aku terkejut ketika mendapati bahwa aku menangis. Kusentuh pipiku. Benar. Aku memang menangis. Agaknya kenanganku tentang masa ketika aku kehilangan Opa, Oma dan Brendy masih menjadi kenangan yang menyedihkan.
Kutengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Khawatir jika ada yang melihatku menangis. Sungguh aku akan sangat malu jika benar ada yang melihatku menangis. Aku kan laki-laki! Maka kutegarkan diriku dan kemudian menertawakan diri sendiri. Sadar. Bahwa saat ini aku sedang bermimpi. Jadi tak masalah jika ada yang melihatku menangis saat ini.
Selanjutnya setelah kudapati kenyataan bahwa aku sendirian dalam mimpi ini, kurebahkanlah badanku di hamparan rumput taman kupu. Kulindungi pula pandanganku dari sinar matahari dengan lengan kananku. Kemudian kembali mengenang Oma dan Opa. Selaksa harap muncul tiba-tiba. 'Jika saja Opa dan Oma bisa muncul saat ini...'
"hei! Kenapa menangis?.."
Aku terkejut dan segera duduk tegak.
'Bukankah tadi tak ada siapa pun selain aku di sini?'
Sesosok anak perempuan entah sejak kapan sudah berdiri di hadapanku. Kuterka usianya tak lebih dari delapan tahun. Anak perempuan itu mengenakan dress hitam. Sebuah bando merah menjepit rambut hitamnya yang lurus sepanjang pinggang dengan manis. Sekilas kulihat pula tas cangklong berwarna biru tersampir di pinggang kirinya.
Aku tak tahu kenapa. Tapi aku merasa familiar dengan anak perempuan itu. Akhirnya kutatap anak perempuan itu lebih seksama. Ia lalu sedikit memiringkan kepalanya dan balas menatapku.
Belum lagi aku bisa menjawab sapaan anak perempuan itu, tiba-tiba saja ia merogoh tas cangklongnya dan mengeluarkan sesuatu darinya. Tak lama, ia menyodorkan apa yang baru saja dikeluarkannya itu kepadaku.
"mau permen? Ambil aja. Saya punya banyak permen."
Dan aku pun tersihir ketika anak perempuan itu tersenyum ramah dan menaruh sejumlah permen ke tanganku.
'Aku mengenalnya. Aku mengenal anak perempuan ini. Dia...'
"tangan kamu mungil sekali. Berapa usiamu?"
Aku bingung dengan ucapan anak perempuan itu dan spontan langsung melihat ke arah pandangannya. Aku kembali dibuat terkejut ketika kulihat tanganku memang mungil seperti katanya. Bahkan lebih kecil dari tangan anak perempuan itu.
'Tunggu dulu! Aku ini sudah SMA. Bagaimana bisa tanganku kecil begini?!'
Dan keterkejutan kembali kualami ketika tiba-tiba saja tubuhku berdiri dengan sendirinya dan mulutku bicara tanpa kuminta.
"Aku sudah besar! Jangan panggil aku mungil! Umurku sudah akan sembilan tahun dua minggu lagi!"
Suara yang keluar dari mulutku itu adalah suaraku ketika masih kecil. Kudengar pula ada nada protes di dalamnya. Anak perempuan di hadapanku itu ikut berdiri tegak. Dan lagi-lagi aku terkejut. Aku terkejut karena anak perempuan itu berdiri menjulang lebih tinggi dariku. Perlahan, aku bisa menyimpulkan keanehan yang sedang kualami ini.
'Tentu saja. aku kan sedang bermimpi. Jadi, mimpi ini sedang mengajakku kembali ke masa lalu ya? Mimpi yang aneh.'
"maaf.. Saya menyesal sekali sudah memanggil kamu mungil." Kulihat ia nampak menyesal telah memanggilku mungil. Dan aku merasa ingin menenangkan perasaan anak perempuan itu. Tapi yang bisa kukatakan selanjutnya hanyalah,
"oke. Gak papa." Aku ragu sebentar untuk melanjutkan kalimatku, badanku memang lebih kecil darimu Ucapku setengah malu.
Anak perempuan di hadapanku itu kembali tersenyum dan ini membuatku kembali tersihir. Di detik itu juga aku ingin berlari karena merasakan malu yang sulit tuk kujelaskan. Anehnya aku hanya diam mematung dan terpana melihat anak perempuan di hadapanku itu.
'Senyumnya manis..'
"Raniaa.. ayo pulang!"
Serentak kami menoleh ke asal suara. Seorang wanita seumuran ibuku berdiri sepuluh meter jauhnya. Ia mengayunkan tangannya ke arah kami. Kuamati paras wanita muda itu dan kudapati bahwa wanita itu mirip dengan anak perempuan di sampingku.
"ya, mama!" anak perempuan di sampingku itu berteriak dan kemudian menghadapkan wajahnya ke arahku lagi.
"saya harus pulang sekarang. Senang bertemu denganmu, mmm...?
Dito."
"ya. Dito. Senang bertemu denganmu. Saya pamit ya! Dadah!" dan dia pun bergegas berlari menjauhiku.
Aku tergagap menyaksikan kepergiannya yang tergesa-gesa. Sampai baru ketika kami sudah berjarak sepuluh meter, aku teringat ada hal yang ingin kukatakan kepadanya.
"Raniaa!" aku berteriak kencang. Setengah malu sekaligus berharap sekali suaraku cukup keras untuk bisa terdengar. Syukurlah dia yang saat itu sudah berjalan di samping ibunya kembali menoleh. Aku terdiam sejenak dan menatap wajahnya yang menunjukkan ekspresi bertanya.
"makasih buat permennya!" ucapku kemudian.
Dan dia tersenyum. Tersenyum manis sekali. Aku menyaksikan kepergian dua perempuan di kejauhan itu hingga sosok mereka menghilang dari pandangan. Setelahnya, kupandangi beberapa bungkus permen di genggaman tanganku. Dan aku tersenyum ketika mendapati bahwa tanganku kembali ke bentuknya semula. Aku kembali menjadi Dito yang sudah duduk di bangku SMA. Aku bukan lagi si mungil seperti yang selalu diledekkan kawan-kawanku di SD dulu. Aku sudah berubah. Dan kusadari kini, perubahanku ini salah satunya juga disebabkan oleh dia. Anak perempuan yang telah mengangkat kesedihanku ketika kecil dengan beberapa bungkus permen dan senyuman hangatnya. Dia.
'Rania...'
###
Secara tiba-tiba kubuka mataku. Atap putih di kamarku lah yang pertama kali kulihat. Kulirik ke dinding di sebelah kanan ruangan ini. Dari benda kotak yang tergantung di atasnya bisa kuketahui bahwa saat ini sudah jam delapan lewat. Aku terkejut dan segera bangun.
Kudekatkan langkahku ke dekat jendela dan kudapati bahwa gerimis yang masih turun sebelum aku lelap tidur kini sudah berhenti. Kututup tirainya dan bergegas keluar kamar. Menyadari bahwa cacing-cacing di perutku mulai berunjuk rasa karena meminta jatah makannya.
Setelah berada di luar kamar, kusaksikan ibuku sedang menonton televisi di ruang keluarga.
"baru pulang, bu?"
Ibu tak menoleh ketika menjawab pertanyaanku.
"ya. Itu nasi di cooker masih banyak. Belum makan ya Dit?"
Kulangkahkan kakiku langsung menuju dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga. Kuambil nasi dan lauk secukupnya kemudian melangkahkan kakiku ke tempat ibu. Kududuki tempat kosong di sofa samping ibu dan ikut melihat tayangan di televisi. Saat itu, sedang berlangsung acara debat para pengacara. Detik berikutnya aku sudah seperti ibu yang ikutan larut dalam menikmati tayangan itu.
Tapi kemudian, ibu bicara.
"gimana sekolahmu?" ia masih tak menolehkan wajahnya dari televisi. Maka kemudian aku pun membalas pertanyaannya dengan tetap mengarahkan wajahku ke televisi.
"baik."
"baguslah. Belajar yang rajin."
"ya."
"ibu minggu depan stay di Bandung."
"oke."
Sudah. Perbincangan singkat seperti ini memang sudah menjadi jenis percakapan kami sehari-hari. Sedikit banyaknya aku memang mengambil sifat ibu yang pendiam dan selalu berusaha bersikap tangguh di hadapan orang asing. Bagaimana dengan ayahku? Hmm. Kuakui aku tak terlalu dekat dengan ayahku. Tapi kemudian setelah terpikirkan namanya, aku jadi penasaran dengan kabarnya.
"ayah apa kabar?"
"baik. Dan Dit, mimpi apa kamu tadi? Sekilas ibu lihat kamu senyum-senyum sewaktu tidur barusan"
Aku sadar bahwa ibu sedang mengalihkan pembicaraan. Sepertinya keadaan ayah tidak cukup baik. Atau mungkin mereka sedang bertengkar lagi. Kuterka begitu.
"begitu kah? Gak tahu, bu. Dito gak ingat mimpi apa."
Makanan di piringku sudah habis. Akhirnya aku pun beranjak ke dapur dan mencucinya langsung. Setelah kucuci tanganku hingga bersih, aku mengucapkan selamat malam pada ibu. Ibu membalas ucapanku dengan ucapan Ya nya seperti biasa dan aku pun kembali ke kamarku.
Di perjalanan menuju kamarku, sebuah pertanyaan melintas di benakku.
'Tapi aku merasa memimpikan hal yang baik tadi. Mimpi apa ya?'
Di luar, terdengar kembali suara langit menitikkan airnya ke bumi.
###
Diselesaikan pada Subuh yang berangin,
Ahad, 2 Februari 2014
iDi Rumah Putih"Le, bilang sama abang. Apa yang kamu obrolin sama Nia tadi siang di kamar?"
Aku sedang berada di kamarku. Bisa kudengar suara gerimis jatuh ke genting di atas kamarku. Biasanya aku selalu senang ketika masa hujan seperti ini. Mendengarkan musik sembari berbaring dan membaca buku di kamar ketika hujan turun adalah kegiatan yang paling menyenangkan. Sayangnya, bukanlah buku yang kupegang saat ini. Ataupun headset yang bergantung di telingaku. Aku sedang tak ingin melakukan semua kegiatan have fun itu. Karena aku sedang cukup marah kepada sosok yang sedang kutelpon saat ini. Lea.
Kutunggu Lea menjawab pertanyaanku. Sembari menahan geram di hati atas apa yang telah terjadi hari ini di rumahnya.
"weits! Sabar dulu bos. Salamikum dulu kek. Atau say hi gituh!"
Suara Lea terdengar ceria di speaker handphone-ku. Ini membuatku berusaha semakin keras untuk tidak langsung berteriak kepadanya. Kugenggam handphone-ku dengan lebih erat sebelum akhirnya berkata,
"Assalamualaikum!" ucapku dingin. Aku kembali diam menunggu Lea menjawab pertanyaan awalku. Aku masih sangat geram untuk sekedar beramah tamah dengannya. Dan Lea nampaknya menyadari bahwa aku cukup marah atas apa yang telah dilakukannya hari ini. Sehingga ia pun membutuhkan waktu beberapa detik sebelum akhirnya kembali bicara.
"waalaikum salam warahmatullah, abaaang."
Sudah. Perbincangan telepon kembali terhenti. Kali ini kuputuskan untuk diam saja sampai Lea mengatakan kepadaku apa yang dibincangkannya dengan Rania tadi siang tanpa sepengetahuanku.
"aiih... abang marah beneran ya?"
Kudengar ada rasa sesal dalam nada suara Lea. Aku hampir saja luluh dan mau langsung memaafkannya ketika kemudian teringat kembali olehku tentang apa yang terjadi tadi siang.
Aku sudah dibuat malu oleh Lea karena telah memanggilku dengan panggilan uncle Toto, panggilannya untukku ketika kami masih anak-anak. Secara garis keturunan, aku memang adalah pamannya. Karena ibu Lea adalah kakak tiriku. Tapi dikarenakan perbedaan usia kami yang hanya tiga bulan, sejak kami masuk ke sekolah dasar yang sama aku sudah meminta Lea untuk memanggilku Dito. Tapi tadi siang Lea malah kembali memanggilku uncle Toto dengan nada meledek. Parahnya lagi adalah di hadapan Rania.
'Rania...'
'hhh! Kejahilan Lea kali ini sudah membuatku sangat malu.'
"abaang.. Lea minta maaaf.. tadi siang Lea gak bilang yang aneh-aneh kok ke Nia. Lea cuma kasih tahu aja ke Nia kalo kita sodaraan. Udah itu doang. Maaf ya kalo candaan Lea tadi siang kelewatan. Maaf, bang.."
Aku masih merasa ragu dengan akuan Lea itu. Jadi aku kembali bertanya untuk memastikan ucapannya.
"benar kamu gak cerita hal lainnya?"
"iya bang! Beneraan! Maaf ya, bang.."
Kali ini aku akhirnya luluh dan bisa memaafkan Lea. Tapi kecemasan masih sedikit bercokol di benakku. Akhirnya aku pun memberikan peringatan terakhirku kepadanya.
"iya. Abang maafin. Jangan diulang lagi ya!"
"diulang apanya bang?"
'Masih juga tulalit.'
"jangan panggil abang, uncle Toto lagi, Le.." ucapku pelan ketika menanggapi ketulalitannya Lea.
"ooh.. oke. Oke. Siip lah, bos!"
Aku tersenyum mendengar celoteh riang Lea barusan.
"juga jangan cerita apa-apa tentang abang ke orang lain, Le. Apalagi ke Nia. Malu-maluin abang itu namanya."
"iyaaaa..." aku kembali tersenyum. Kelegaan mulai menjalar di benakku. Tapi kemudian aku dikejutkan oleh celotehan Lea berikutnya.
"eh? Tunggu bentar! Lea heran. Kayaknya dulu waktu Le juga pernah keceplosan panggil abang uncle Toto di depan temen-temen SMP, abang gak sebegitu marah kayak gini deh. Kenapa pas ke Nia abang marah banget? Wahh.. curiga nih."
'Hmm. Meski kadang tulalit, Lea masih cukup handal tuk jadi detektif. Aku harus lebih hati-hati.'
"Hush! Su'udzon itu namanya! sudah. Pokoknya janji gak akan comel lagi. Oke?"
"hmm.. oke. Oke. Abang.."
"ya. Itu aja. Salam buat Kak Ratih sama Kak Malik ya, Le."
"ehh? Itu doang? Oke deh. Dan Abang! Jangan panggil Le Le juga dong! Lea kan lebih oke."
"iyaa. Sudah ya, abang tutup nih. Assalamualaikum!"
"Waalaikum salam warahmatullaah"
Klik.
Hubungan telepon pun berakhir. Spontan kulihat jam di dinding. Pukul 7 kurang lima menit. Kuletakkan handphone-ku di atas meja belajar kemudian merebahkan badan di kasur. Perlahan ketegangan dan rasa letih yang setengah jam sebelumnya kurasakan mulai berkurang. Kubiarkan rasa nyaman yang ditimbulkan oleh kasur menyergapku. Hingga beberapa menit kemudian aku pun hanyut dalam lelapku.
###
Aku tak tahu sejak kapan aku berada di Taman Kupu, taman yang letaknya tak jauh dari rumah Opaku dari pihak ibu. Ingatan terakhirku menjejak hanya sampai di waktu ketika aku merebahkan badanku di kasur usai menelepon Lea. Lagipula saat itu aku ingat masih sekitar jam tujuh malam. Jadi mengapa pula aku saat ini bisa duduk di antara rerumputan dengan basuhan sinar matahari pagi?
'Aku pasti sedang bermimpi.' Terkaku dalam hati.
Aku tersenyum. Membenarkan sendiri terkaanku bahwa aku sedang bermimpi saat ini. Aku ingat, ini bukanlah pengalaman pertamaku. Oleh karena kesadaranku tentang kenyataan bahwa aku sedang bermimpi, akhirnya kuputuskan untuk menikmati mimpiku ini. Aku ingin tahu, mimpi ini akan membawaku ke mana.
Kembali ke taman kupu. Aku ingat, saat masih kecil aku memang sering menghabiskan masa liburan sekolah di taman kupu ini. Bermain layang-layang. Membantu Oma mengajak jalan-jalan Brendy, anjing Labrador tua miliknya. Atau mendengarkan Opa bercerita tentang hikayat 1001 malam. Rasanya kenangan masa kecilku itu sungguh adalah masa yang membahagiakan untukku.
Sayangnya aku hanya bisa menikmati masa kecilku bersama Opa dan Oma dari pihak ibuku itu hingga kelas tiga SD. Karena tak sampai tiga bulan sejak kunjungan terakhirku ke tempat ini, Opa wafat. Dua minggu berikutnya, Oma turut menyusul Opa. Ibu akhirnya memberikan Brendy kepada tetangga samping rumah Opa. Saat itu aku sebenarnya merengek pada ibuku. Aku memaksanya untuk memelihara Brendy. Tapi ibu menolak permintaanku karena keluarga ayah yang muslim akan merasa keberatan jika aku tetap memaksa ingin memelihara Brendy. Akhirnya aku pun menyerah tentang Brendy. Dan sejak itulah aku tak pernah kembali lagi ke tempat ini.
Tes.
Aku terkejut ketika mendapati bahwa aku menangis. Kusentuh pipiku. Benar. Aku memang menangis. Agaknya kenanganku tentang masa ketika aku kehilangan Opa, Oma dan Brendy masih menjadi kenangan yang menyedihkan.
Kutengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Khawatir jika ada yang melihatku menangis. Sungguh aku akan sangat malu jika benar ada yang melihatku menangis. Aku kan laki-laki! Maka kutegarkan diriku dan kemudian menertawakan diri sendiri. Sadar. Bahwa saat ini aku sedang bermimpi. Jadi tak masalah jika ada yang melihatku menangis saat ini.
Selanjutnya setelah kudapati kenyataan bahwa aku sendirian dalam mimpi ini, kurebahkanlah badanku di hamparan rumput taman kupu. Kulindungi pula pandanganku dari sinar matahari dengan lengan kananku. Kemudian kembali mengenang Oma dan Opa. Selaksa harap muncul tiba-tiba. 'Jika saja Opa dan Oma bisa muncul saat ini...'
"hei! Kenapa menangis?.."
Aku terkejut dan segera duduk tegak.
'Bukankah tadi tak ada siapa pun selain aku di sini?'
Sesosok anak perempuan entah sejak kapan sudah berdiri di hadapanku. Kuterka usianya tak lebih dari delapan tahun. Anak perempuan itu mengenakan dress hitam. Sebuah bando merah menjepit rambut hitamnya yang lurus sepanjang pinggang dengan manis. Sekilas kulihat pula tas cangklong berwarna biru tersampir di pinggang kirinya.
Aku tak tahu kenapa. Tapi aku merasa familiar dengan anak perempuan itu. Akhirnya kutatap anak perempuan itu lebih seksama. Ia lalu sedikit memiringkan kepalanya dan balas menatapku.
Belum lagi aku bisa menjawab sapaan anak perempuan itu, tiba-tiba saja ia merogoh tas cangklongnya dan mengeluarkan sesuatu darinya. Tak lama, ia menyodorkan apa yang baru saja dikeluarkannya itu kepadaku.
"mau permen? Ambil aja. Saya punya banyak permen."
Dan aku pun tersihir ketika anak perempuan itu tersenyum ramah dan menaruh sejumlah permen ke tanganku.
'Aku mengenalnya. Aku mengenal anak perempuan ini. Dia...'
"tangan kamu mungil sekali. Berapa usiamu?"
Aku bingung dengan ucapan anak perempuan itu dan spontan langsung melihat ke arah pandangannya. Aku kembali dibuat terkejut ketika kulihat tanganku memang mungil seperti katanya. Bahkan lebih kecil dari tangan anak perempuan itu.
'Tunggu dulu! Aku ini sudah SMA. Bagaimana bisa tanganku kecil begini?!'
Dan keterkejutan kembali kualami ketika tiba-tiba saja tubuhku berdiri dengan sendirinya dan mulutku bicara tanpa kuminta.
"Aku sudah besar! Jangan panggil aku mungil! Umurku sudah akan sembilan tahun dua minggu lagi!"
Suara yang keluar dari mulutku itu adalah suaraku ketika masih kecil. Kudengar pula ada nada protes di dalamnya. Anak perempuan di hadapanku itu ikut berdiri tegak. Dan lagi-lagi aku terkejut. Aku terkejut karena anak perempuan itu berdiri menjulang lebih tinggi dariku. Perlahan, aku bisa menyimpulkan keanehan yang sedang kualami ini.
'Tentu saja. aku kan sedang bermimpi. Jadi, mimpi ini sedang mengajakku kembali ke masa lalu ya? Mimpi yang aneh.'
"maaf.. Saya menyesal sekali sudah memanggil kamu mungil." Kulihat ia nampak menyesal telah memanggilku mungil. Dan aku merasa ingin menenangkan perasaan anak perempuan itu. Tapi yang bisa kukatakan selanjutnya hanyalah,
"oke. Gak papa." Aku ragu sebentar untuk melanjutkan kalimatku, badanku memang lebih kecil darimu Ucapku setengah malu.
Anak perempuan di hadapanku itu kembali tersenyum dan ini membuatku kembali tersihir. Di detik itu juga aku ingin berlari karena merasakan malu yang sulit tuk kujelaskan. Anehnya aku hanya diam mematung dan terpana melihat anak perempuan di hadapanku itu.
'Senyumnya manis..'
"Raniaa.. ayo pulang!"
Serentak kami menoleh ke asal suara. Seorang wanita seumuran ibuku berdiri sepuluh meter jauhnya. Ia mengayunkan tangannya ke arah kami. Kuamati paras wanita muda itu dan kudapati bahwa wanita itu mirip dengan anak perempuan di sampingku.
"ya, mama!" anak perempuan di sampingku itu berteriak dan kemudian menghadapkan wajahnya ke arahku lagi.
"saya harus pulang sekarang. Senang bertemu denganmu, mmm...?
Dito."
"ya. Dito. Senang bertemu denganmu. Saya pamit ya! Dadah!" dan dia pun bergegas berlari menjauhiku.
Aku tergagap menyaksikan kepergiannya yang tergesa-gesa. Sampai baru ketika kami sudah berjarak sepuluh meter, aku teringat ada hal yang ingin kukatakan kepadanya.
"Raniaa!" aku berteriak kencang. Setengah malu sekaligus berharap sekali suaraku cukup keras untuk bisa terdengar. Syukurlah dia yang saat itu sudah berjalan di samping ibunya kembali menoleh. Aku terdiam sejenak dan menatap wajahnya yang menunjukkan ekspresi bertanya.
"makasih buat permennya!" ucapku kemudian.
Dan dia tersenyum. Tersenyum manis sekali. Aku menyaksikan kepergian dua perempuan di kejauhan itu hingga sosok mereka menghilang dari pandangan. Setelahnya, kupandangi beberapa bungkus permen di genggaman tanganku. Dan aku tersenyum ketika mendapati bahwa tanganku kembali ke bentuknya semula. Aku kembali menjadi Dito yang sudah duduk di bangku SMA. Aku bukan lagi si mungil seperti yang selalu diledekkan kawan-kawanku di SD dulu. Aku sudah berubah. Dan kusadari kini, perubahanku ini salah satunya juga disebabkan oleh dia. Anak perempuan yang telah mengangkat kesedihanku ketika kecil dengan beberapa bungkus permen dan senyuman hangatnya. Dia.
'Rania...'
###
Secara tiba-tiba kubuka mataku. Atap putih di kamarku lah yang pertama kali kulihat. Kulirik ke dinding di sebelah kanan ruangan ini. Dari benda kotak yang tergantung di atasnya bisa kuketahui bahwa saat ini sudah jam delapan lewat. Aku terkejut dan segera bangun.
Kudekatkan langkahku ke dekat jendela dan kudapati bahwa gerimis yang masih turun sebelum aku lelap tidur kini sudah berhenti. Kututup tirainya dan bergegas keluar kamar. Menyadari bahwa cacing-cacing di perutku mulai berunjuk rasa karena meminta jatah makannya.
Setelah berada di luar kamar, kusaksikan ibuku sedang menonton televisi di ruang keluarga.
"baru pulang, bu?"
Ibu tak menoleh ketika menjawab pertanyaanku.
"ya. Itu nasi di cooker masih banyak. Belum makan ya Dit?"
Kulangkahkan kakiku langsung menuju dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang keluarga. Kuambil nasi dan lauk secukupnya kemudian melangkahkan kakiku ke tempat ibu. Kududuki tempat kosong di sofa samping ibu dan ikut melihat tayangan di televisi. Saat itu, sedang berlangsung acara debat para pengacara. Detik berikutnya aku sudah seperti ibu yang ikutan larut dalam menikmati tayangan itu.
Tapi kemudian, ibu bicara.
"gimana sekolahmu?" ia masih tak menolehkan wajahnya dari televisi. Maka kemudian aku pun membalas pertanyaannya dengan tetap mengarahkan wajahku ke televisi.
"baik."
"baguslah. Belajar yang rajin."
"ya."
"ibu minggu depan stay di Bandung."
"oke."
Sudah. Perbincangan singkat seperti ini memang sudah menjadi jenis percakapan kami sehari-hari. Sedikit banyaknya aku memang mengambil sifat ibu yang pendiam dan selalu berusaha bersikap tangguh di hadapan orang asing. Bagaimana dengan ayahku? Hmm. Kuakui aku tak terlalu dekat dengan ayahku. Tapi kemudian setelah terpikirkan namanya, aku jadi penasaran dengan kabarnya.
"ayah apa kabar?"
"baik. Dan Dit, mimpi apa kamu tadi? Sekilas ibu lihat kamu senyum-senyum sewaktu tidur barusan"
Aku sadar bahwa ibu sedang mengalihkan pembicaraan. Sepertinya keadaan ayah tidak cukup baik. Atau mungkin mereka sedang bertengkar lagi. Kuterka begitu.
"begitu kah? Gak tahu, bu. Dito gak ingat mimpi apa."
Makanan di piringku sudah habis. Akhirnya aku pun beranjak ke dapur dan mencucinya langsung. Setelah kucuci tanganku hingga bersih, aku mengucapkan selamat malam pada ibu. Ibu membalas ucapanku dengan ucapan Ya nya seperti biasa dan aku pun kembali ke kamarku.
Di perjalanan menuju kamarku, sebuah pertanyaan melintas di benakku.
'Tapi aku merasa memimpikan hal yang baik tadi. Mimpi apa ya?'
Di luar, terdengar kembali suara langit menitikkan airnya ke bumi.
###
Diselesaikan pada Subuh yang berangin,