Pacaran.
Sebuah kata yg sempat mengusik rasa penasaran ku selama beberapa tahun yg lalu. Pertama kali aku menyadari arti kata itu adalah saat aku masih duduk di bangku kelas 2 MTs, sekitar tahun 2003. Saat itu, seorang kawan karibku diisukan sedang berpacaran dengan kakak kelas kami. Saat kutanyakan pada kawanku, ia menyanggah sedang berpacaran. Tapi saat itu aku pun merasakan adanya interaksi yg agak berbeda antara kawanku dengan kakak kelas kami itu. Tak seperti layaknya hubungan antara anak lelaki dan perempuan yg kutahu saat itu. Karena sepanjang pengetahuan 12 tahun usiaku, antara anak lelaki dan perempuan itu seperti kucing dan anjing. Tak akur. Jadi aku merasa agak aneh dengan gelagat kawanku yg seperti kucing malu-malu bertemu kucing lainnya. Aneh saja. Bagiku saat itu, semua anak lelaki itu liar, jahil, jorok, kasar, dll. Jadi aku tak terlalu tertarik untuk berdekatan dengan anak lelaki, apalagi disuruh berpacaran. Hiii.. Ngeri.😣
Memasuki SMA, pikiran kanak2ku perihal pacaran masih tak berubah banyak. Hanya saja saat itu aku tak terlalu 'alergi' dg lelaki dan bisa lebih bersikap 'toleran'. Aku jadi tak terlalu abai akan kehadiran mereka. Dan Aku juga tak lagi menganggap mereka seperti hantu yg tak tampak. Hee.. 😄 intinya, saat awal SMA itu aku mulai menganggap mereka ada deh. Terlebih lagi aku duduk sebangku dengan salah satu primadona cantik se-angkatan ku. Alhasil mejaku hampir selalu kedatangan para kumbang yg ingin menyapa bunga cantik yg duduk di sampingku itu. Hihihi..😁 Aku sih awalnya agak risih. Terlebih lagi aroma lelaki itu berbeda jauh dg aroma perempuan yg sering kuajak bicara. Macam2 gitu deh. Dari skala wangi emperan sampai wangi pertokoan.
Aku heran dengan Tika, kawan sebangkuku. Kok bisa ya dia tahan menghadapi wangi aneh yg bermacam2 itu?😅
Itu pemikiranku saat kelas 1 SMA.
Nah.. Menaiki kelas 2, aku mulai dihinggapi rasa curious, aka penasaran dengan pacaran. Pasalnya, aku sering mendapat curhatan perihal 'cowo dan perasaan' dari orang2 terdekat ku. Heran juga sih. Padahal kan aku tak pernah akrab dg lelaki, apalagi pacaran, tapi rata2 temanku curhat ttg hal itu. Serasa seperti sudah spesialisasiku gitu. Padahal kan aku buta banget soal pacaran. Dan Aku masih punya sedikit alergi dg lelaki. Masih risih gitu deh kalo deket2 mereka. Jadi kenapa juga teman2ku merasa nyaman ya curhat ttg 'cowo dan pacaran'? Aneh..😕
Lulus dari SMA, aku masuk kuliah. Dari sini pandanganku tentang pacaran mulai mengalami pergeseran yg cukup signifikan (ciaelaaa...bahasamu, Mell.. 😂). Entah karena aku mesti ngekos dan tinggal jauh dr zona nyaman keluargaku. Atau juga karena aku yg tiba2 mesti mandiri dan ngurusin semua keperluan sehari2ku sendiri. Jadi mau tak mau aku harus makin sering berinteraksi dg lelaki. Dan itu membuatku mulai merasa biasa dg musim pacaran yg berseliweran di sekitarku. Hampir semua kawan2ku berpacaran atau sudah pernah berpacaran. Dan mereka juga merasa nyaman bercerita perihal dunia pacaran kepadaku.
Syukur alhamdulillah-nya, Allah mengasihi ku dan mengenalkanku dg organisasi LDK (Rohis-nya Kampus). Yg dengannya aku jadi tahu bahwa pacaran itu tak diperbolehkan dlm aturan Islam. Yg ada itu, ta'aruf atau menikah. Jadi aku pun menetapkan diriku untuk tidak ikut2an berpacaran seperti kawan2ku. Sungguh sebuah tantangan yg cukup berat bagiku saat itu. Karena aku pun mulai dijangkiti oleh virus merah jambu (aka. Cinta). Parahnya lagi, si doi adalah orang yg hampir selalu kutemui di masa2 perkuliahanku. Makin merahlah si jambu. Makin tuebell deh godaan pacaran buatku. Tapi teteep.. Alhamdulillah. Aku masih ber'keras kepala' untuk gak pacaran. Atau memakai istilah seniorku di LDK, pacarannya sesudah menikah aja. Itu jauuuh lebih indah. 😁😊
Tahun terus berganti. Perubahan dan kepelikan hidup pun makin sering kudapati. Pandanganku akan beberapa hal dalam hidup mulai berubah. Perubahan yg juga turut merubah sedikit banyaknya kepribadianku yg optimis dan ceria. Meski begitu, satu hal tak pernah berubah. Yakni pandanganku perihal pacaran. I'm still saying no to date. Pacarannya habis nikah aja lah. Meski pun aku mengetahui bahwa si doi yg kusukai juga menyukaiku, aku tetap bilang gak tuk pacaran. Kukatakan padanya, bahwa Jodoh, rizki dan maut itu pasti. Jadi kalau kami memang berjodoh, insya allah kami akan kembali bertemu dlm hubungan yg lbih baik. Dan syukurnya ia menerima keputusanku. Sedikit ada rasa sesal di hatiku saat itu. Tapi tak sebesar jika aku harus melanggar janjiku pada diriku sendiri yg ingin pacaran sesudah menikah. Bukannya sok suci atau apa ya. Tapi aku sudah banyak mengalami kegagalan dlm sektor lain hidupku. Jadi aku ingin dalam sektor hubungan dg kaum adam aku bisa berhasil, yakni dg tidak menyalahi aturan dr Ilahi. So, i'm still single and quite-very happy. Hee.. 😊
Tahun kembali berganti. Dan aku kembali mendapat kejutan saat kudengar bahwa si doi hendak menikah dg bunga lain. Herannya, aku tak merasakan patah hati seperti yg sering dicurhatkan kawan2ku. Padahal aku sudah mengantisipasi akan adanya pelemparan bantal, gigit jari, banting piring, dll. Hee.. 😆 tapi serius! Aku justru ikut senang karena akhirnya doi yg kusuka dan kukagumi bisa menemukan jalan bahagianya. I'm sincerely happy for him. 😊
Hmm..sayangnya, hidupku gak berhenti sampai di situ. Karena kemudian aku harus melalui masa2 transisi dari mendapat pertanyaan, "kapan lulus kuliah?" menjadi "kapan nikah?". Hadeeh.. Baru deh kurasakan gimana rasanya jadi wanita umur 24 yg belum juga nikah. Sering banget aku ketemu orang dan dapet pertanyaan2, "calonnya orang mana, Mel?" "udah nikah?" "kapan kamu ngasih cucu?" dll..
Pertanyaan yg terakhir itu seringnya ditanyakan oleh bapak. Kalo emak sih, paling cuma ngasih tatapan yg gimanaaaa gitu. Jleb ke hati gitu deh. Aku berasa bisa denger suara batin emak yg bilang, "kamu kok betah sendiri, Mel.."
Gitu deh. Susaahh..😩
Bukannya aku betah sendiri dan mutusin untuk jd biarawati ya. Tapi ya gimana juga klo memang jodohku belum waktunya tuk datang. Aku juga mau kok menikah. Oke.. Aku memang masih punya sedikiiiitt alergi kalo deket sama lelaki. Tapi aku bisa menutupinya. Aku juga sudah mulai berdoa untuk membuka tabir jodohku. Agar sang pangeran segera datang menjemputku (berasa jadi princess.. 😋). Agar status single-ku segera berubah jadi double-triple-atau kwartet sekalian. Tapi ya gimana lagi? Kan yg tahu jodohku mah cuma Allah. Usahaku cuma bisa dg doa dan memperbaiki diri. Agar kelak pangeranku pun adalah seorang yg gemar memperbaiki diri. Jadi, aku pun mencoba meyakinkan orang2 terdekat ku bahwa jodoh itu termasuk hal pasti yg udah dijanjikan Allah kedatangannya. Dan janji Allah itu gak akan pernah ingkar. Pasti. Ti. Ti. Ti. Titik. 😤 yakin aja deh sama Allah..😊
Tahun kembali berganti. Emak, Bapak, Herdi makin gelisah memikirkan jodohku. Wajar saja. Usiaku sudah akan 26 tahun dan aku belum juga mendua. Beberapa usaha perjodohan yg dicanangkan bapak dengan patuh kulalui. Anaknya teman bapak sih. Tapi sayang, gak ada yg sreg di hati. Yg satu perokok, yg satu terlalu dark (itu istilahku untuk orang2 yg berwajah kelewat serius). Bukannya aku pemilih. Tapi ya gimana klo hatiku teriak kenceng banget dan bilang "enggak diaaa!"? Masa iya aku mau lanjut ke tahap nikah dlm kondisi hati yg setengah2? Nanti hasil nikahnya setengah2 jg lagi? Hii.. Naudzubillah. Jadilah akhirnya, aku nekad bilang enggak dan siap nerima kuliahan singkat tentang umurku yg udah gak terlalu muda untuk pilih2 jodoh. Aku sempat pingin nangis. Tapi kukuatkan diriku dan menumpahkan tangisku hanya saat aku berdua dengan Allah. Toh Allah yg Maha Mendengar, Maha Pengasih, Maha segala. Semoga saja Dia berkenan untuk segera mempertemukan ku dg sang pangeran. Begitu doaku saat itu.
Dan alhamdulillah.. Doaku terkabul.
Tak lama sejak gagal nya usaha perjodohanku dengan anak teman bapak, pangeranku pun datang.
Ia mewujud dalam sosok asing yang tak pernah kutemui sebelumnya dan datang bertamu ke rumah menemani bibinya. Tak ada rasa risih saat aku menjamu ia sebagai tamu. Karena ia pun tak banyak bicara dan lebih sering melempar senyum atau tawa kecil saat menanggapi kelakarku. Aku tak pernah menduga bahwa seminggu setelah perjumpaan pertama kami itu, orangtuanya datang ke rumah untuk meminangku. Jedar.der.dor. berasa dapet durian montong di siang bolong.
Setelah istikharah beberapa hari, (ajaibnya) hatiku mantap menerima pinangannya. Dan kedua keluarga kami pun bersepakat untuk menyegerakan hubungan baik ini dalam 2 bulan ke depan. Dan yup. Kami pun menikah. Alhamdulillah... ☺☺☺
Nah. Gimana rasanya menikah sama orang yg dua bulan lalu masih jadi orang asing buatmu? Pacaran sesudah nikahnya gimana juga ya?.. Mau tahu? 😄 insya allah kulanjutin lagi di lain waktu ya. Maaf. Aku mesti nyelesain PR ku dulu sbg istri. Ya cuci.. Ya masak. Gitu deh. Hee.. Sampai jumpa di "Oke-nya pacaran setelah Menikah- Bag. 2".
Ciao Ma! 😉😉😉
Sebuah kata yg sempat mengusik rasa penasaran ku selama beberapa tahun yg lalu. Pertama kali aku menyadari arti kata itu adalah saat aku masih duduk di bangku kelas 2 MTs, sekitar tahun 2003. Saat itu, seorang kawan karibku diisukan sedang berpacaran dengan kakak kelas kami. Saat kutanyakan pada kawanku, ia menyanggah sedang berpacaran. Tapi saat itu aku pun merasakan adanya interaksi yg agak berbeda antara kawanku dengan kakak kelas kami itu. Tak seperti layaknya hubungan antara anak lelaki dan perempuan yg kutahu saat itu. Karena sepanjang pengetahuan 12 tahun usiaku, antara anak lelaki dan perempuan itu seperti kucing dan anjing. Tak akur. Jadi aku merasa agak aneh dengan gelagat kawanku yg seperti kucing malu-malu bertemu kucing lainnya. Aneh saja. Bagiku saat itu, semua anak lelaki itu liar, jahil, jorok, kasar, dll. Jadi aku tak terlalu tertarik untuk berdekatan dengan anak lelaki, apalagi disuruh berpacaran. Hiii.. Ngeri.😣
Memasuki SMA, pikiran kanak2ku perihal pacaran masih tak berubah banyak. Hanya saja saat itu aku tak terlalu 'alergi' dg lelaki dan bisa lebih bersikap 'toleran'. Aku jadi tak terlalu abai akan kehadiran mereka. Dan Aku juga tak lagi menganggap mereka seperti hantu yg tak tampak. Hee.. 😄 intinya, saat awal SMA itu aku mulai menganggap mereka ada deh. Terlebih lagi aku duduk sebangku dengan salah satu primadona cantik se-angkatan ku. Alhasil mejaku hampir selalu kedatangan para kumbang yg ingin menyapa bunga cantik yg duduk di sampingku itu. Hihihi..😁 Aku sih awalnya agak risih. Terlebih lagi aroma lelaki itu berbeda jauh dg aroma perempuan yg sering kuajak bicara. Macam2 gitu deh. Dari skala wangi emperan sampai wangi pertokoan.
Aku heran dengan Tika, kawan sebangkuku. Kok bisa ya dia tahan menghadapi wangi aneh yg bermacam2 itu?😅
Itu pemikiranku saat kelas 1 SMA.
Nah.. Menaiki kelas 2, aku mulai dihinggapi rasa curious, aka penasaran dengan pacaran. Pasalnya, aku sering mendapat curhatan perihal 'cowo dan perasaan' dari orang2 terdekat ku. Heran juga sih. Padahal kan aku tak pernah akrab dg lelaki, apalagi pacaran, tapi rata2 temanku curhat ttg hal itu. Serasa seperti sudah spesialisasiku gitu. Padahal kan aku buta banget soal pacaran. Dan Aku masih punya sedikit alergi dg lelaki. Masih risih gitu deh kalo deket2 mereka. Jadi kenapa juga teman2ku merasa nyaman ya curhat ttg 'cowo dan pacaran'? Aneh..😕
Lulus dari SMA, aku masuk kuliah. Dari sini pandanganku tentang pacaran mulai mengalami pergeseran yg cukup signifikan (ciaelaaa...bahasamu, Mell.. 😂). Entah karena aku mesti ngekos dan tinggal jauh dr zona nyaman keluargaku. Atau juga karena aku yg tiba2 mesti mandiri dan ngurusin semua keperluan sehari2ku sendiri. Jadi mau tak mau aku harus makin sering berinteraksi dg lelaki. Dan itu membuatku mulai merasa biasa dg musim pacaran yg berseliweran di sekitarku. Hampir semua kawan2ku berpacaran atau sudah pernah berpacaran. Dan mereka juga merasa nyaman bercerita perihal dunia pacaran kepadaku.
Syukur alhamdulillah-nya, Allah mengasihi ku dan mengenalkanku dg organisasi LDK (Rohis-nya Kampus). Yg dengannya aku jadi tahu bahwa pacaran itu tak diperbolehkan dlm aturan Islam. Yg ada itu, ta'aruf atau menikah. Jadi aku pun menetapkan diriku untuk tidak ikut2an berpacaran seperti kawan2ku. Sungguh sebuah tantangan yg cukup berat bagiku saat itu. Karena aku pun mulai dijangkiti oleh virus merah jambu (aka. Cinta). Parahnya lagi, si doi adalah orang yg hampir selalu kutemui di masa2 perkuliahanku. Makin merahlah si jambu. Makin tuebell deh godaan pacaran buatku. Tapi teteep.. Alhamdulillah. Aku masih ber'keras kepala' untuk gak pacaran. Atau memakai istilah seniorku di LDK, pacarannya sesudah menikah aja. Itu jauuuh lebih indah. 😁😊
Tahun terus berganti. Perubahan dan kepelikan hidup pun makin sering kudapati. Pandanganku akan beberapa hal dalam hidup mulai berubah. Perubahan yg juga turut merubah sedikit banyaknya kepribadianku yg optimis dan ceria. Meski begitu, satu hal tak pernah berubah. Yakni pandanganku perihal pacaran. I'm still saying no to date. Pacarannya habis nikah aja lah. Meski pun aku mengetahui bahwa si doi yg kusukai juga menyukaiku, aku tetap bilang gak tuk pacaran. Kukatakan padanya, bahwa Jodoh, rizki dan maut itu pasti. Jadi kalau kami memang berjodoh, insya allah kami akan kembali bertemu dlm hubungan yg lbih baik. Dan syukurnya ia menerima keputusanku. Sedikit ada rasa sesal di hatiku saat itu. Tapi tak sebesar jika aku harus melanggar janjiku pada diriku sendiri yg ingin pacaran sesudah menikah. Bukannya sok suci atau apa ya. Tapi aku sudah banyak mengalami kegagalan dlm sektor lain hidupku. Jadi aku ingin dalam sektor hubungan dg kaum adam aku bisa berhasil, yakni dg tidak menyalahi aturan dr Ilahi. So, i'm still single and quite-very happy. Hee.. 😊
Tahun kembali berganti. Dan aku kembali mendapat kejutan saat kudengar bahwa si doi hendak menikah dg bunga lain. Herannya, aku tak merasakan patah hati seperti yg sering dicurhatkan kawan2ku. Padahal aku sudah mengantisipasi akan adanya pelemparan bantal, gigit jari, banting piring, dll. Hee.. 😆 tapi serius! Aku justru ikut senang karena akhirnya doi yg kusuka dan kukagumi bisa menemukan jalan bahagianya. I'm sincerely happy for him. 😊
Hmm..sayangnya, hidupku gak berhenti sampai di situ. Karena kemudian aku harus melalui masa2 transisi dari mendapat pertanyaan, "kapan lulus kuliah?" menjadi "kapan nikah?". Hadeeh.. Baru deh kurasakan gimana rasanya jadi wanita umur 24 yg belum juga nikah. Sering banget aku ketemu orang dan dapet pertanyaan2, "calonnya orang mana, Mel?" "udah nikah?" "kapan kamu ngasih cucu?" dll..
Pertanyaan yg terakhir itu seringnya ditanyakan oleh bapak. Kalo emak sih, paling cuma ngasih tatapan yg gimanaaaa gitu. Jleb ke hati gitu deh. Aku berasa bisa denger suara batin emak yg bilang, "kamu kok betah sendiri, Mel.."
Gitu deh. Susaahh..😩
Bukannya aku betah sendiri dan mutusin untuk jd biarawati ya. Tapi ya gimana juga klo memang jodohku belum waktunya tuk datang. Aku juga mau kok menikah. Oke.. Aku memang masih punya sedikiiiitt alergi kalo deket sama lelaki. Tapi aku bisa menutupinya. Aku juga sudah mulai berdoa untuk membuka tabir jodohku. Agar sang pangeran segera datang menjemputku (berasa jadi princess.. 😋). Agar status single-ku segera berubah jadi double-triple-atau kwartet sekalian. Tapi ya gimana lagi? Kan yg tahu jodohku mah cuma Allah. Usahaku cuma bisa dg doa dan memperbaiki diri. Agar kelak pangeranku pun adalah seorang yg gemar memperbaiki diri. Jadi, aku pun mencoba meyakinkan orang2 terdekat ku bahwa jodoh itu termasuk hal pasti yg udah dijanjikan Allah kedatangannya. Dan janji Allah itu gak akan pernah ingkar. Pasti. Ti. Ti. Ti. Titik. 😤 yakin aja deh sama Allah..😊
Tahun kembali berganti. Emak, Bapak, Herdi makin gelisah memikirkan jodohku. Wajar saja. Usiaku sudah akan 26 tahun dan aku belum juga mendua. Beberapa usaha perjodohan yg dicanangkan bapak dengan patuh kulalui. Anaknya teman bapak sih. Tapi sayang, gak ada yg sreg di hati. Yg satu perokok, yg satu terlalu dark (itu istilahku untuk orang2 yg berwajah kelewat serius). Bukannya aku pemilih. Tapi ya gimana klo hatiku teriak kenceng banget dan bilang "enggak diaaa!"? Masa iya aku mau lanjut ke tahap nikah dlm kondisi hati yg setengah2? Nanti hasil nikahnya setengah2 jg lagi? Hii.. Naudzubillah. Jadilah akhirnya, aku nekad bilang enggak dan siap nerima kuliahan singkat tentang umurku yg udah gak terlalu muda untuk pilih2 jodoh. Aku sempat pingin nangis. Tapi kukuatkan diriku dan menumpahkan tangisku hanya saat aku berdua dengan Allah. Toh Allah yg Maha Mendengar, Maha Pengasih, Maha segala. Semoga saja Dia berkenan untuk segera mempertemukan ku dg sang pangeran. Begitu doaku saat itu.
Dan alhamdulillah.. Doaku terkabul.
Tak lama sejak gagal nya usaha perjodohanku dengan anak teman bapak, pangeranku pun datang.
Ia mewujud dalam sosok asing yang tak pernah kutemui sebelumnya dan datang bertamu ke rumah menemani bibinya. Tak ada rasa risih saat aku menjamu ia sebagai tamu. Karena ia pun tak banyak bicara dan lebih sering melempar senyum atau tawa kecil saat menanggapi kelakarku. Aku tak pernah menduga bahwa seminggu setelah perjumpaan pertama kami itu, orangtuanya datang ke rumah untuk meminangku. Jedar.der.dor. berasa dapet durian montong di siang bolong.
Setelah istikharah beberapa hari, (ajaibnya) hatiku mantap menerima pinangannya. Dan kedua keluarga kami pun bersepakat untuk menyegerakan hubungan baik ini dalam 2 bulan ke depan. Dan yup. Kami pun menikah. Alhamdulillah... ☺☺☺
Nah. Gimana rasanya menikah sama orang yg dua bulan lalu masih jadi orang asing buatmu? Pacaran sesudah nikahnya gimana juga ya?.. Mau tahu? 😄 insya allah kulanjutin lagi di lain waktu ya. Maaf. Aku mesti nyelesain PR ku dulu sbg istri. Ya cuci.. Ya masak. Gitu deh. Hee.. Sampai jumpa di "Oke-nya pacaran setelah Menikah- Bag. 2".
Ciao Ma! 😉😉😉
Tidak ada komentar:
Posting Komentar