Sebelumnya mungkin harus kuberitahukan terlebih dahulu bahwa aku adalah puteri sulung dari dua bersaudara. Aku memiliki seorang ibu yang begitu mandiri dan penyayang. Ayahku adalah seorang yang berpendirian kuat dan setia kawan. Dan adikku satu-satunya, kini beranjak tumbuh menjadi remaja lelaki yang pendiam tapi menyimpan perhatian yang besar. Aku hidup dan dibesarkan bersama mereka sepanjang 20 tahun ini yang akhirnya sudah membentuk kepribadianku sebagai seorang yang mandiri dan peka hati.
Keluargaku adalah keluarga kecil dari keluarga besar yang kaya akan keberagaman, baik itu dalam aspek agama, etnis (ayahku sunda, ibuku jawa, saudara2 ayah-ibuku merantau ke mana-mana), dan strata sosial. Meski begitu, keluarga besarku seringkali kumpul bersama, biasanya saat hari raya Islam. Tak peduli ada juga saudara di pihak ibu yang beragama kristen, budha, dan hindu. Kami sering berkumpul.
Dulu, saat aku masih terlalu kecil untuk memahami apa itu agama, aku tak pernah mempedulikan perbedaan agama di antara kami ini. Aku hanya memikirkan betapa baiknya mereka, keluarga besarku. Namun lambat laun seiring dengan bertambahnya usiaku, aku mulai menyadari perbedaan di antara kami ini dan saat aku duduk di kelas dua Madrasah, timbul tanda tanya di benakku : kenapa ada begitu banyak agama? Lalu mana yang benar?
Kedua orang tuaku adalah orang yang tak sealim orang yang pernah duduk di sekolah pesantren. Bahkan mereka pun tak pernah duduk di bangku SMP. Aku mengenal mereka sebagai orang yang selalu belajar dari kehidupan, dan belajar dari peristiwa-peristiwa. Ini dikarenakan mereka tak pernah berkesempatan untuk belajar pada seseorang secara eksklusif, mengingat betapa sulitnya kehidupan masa kecil mereka dulu. Bahkan makan nasi saja sudah terbilang menu mewah bagi mereka. Meski begitu aku merasa justru proses mereka belajar pada alam-lah yang menyadarkanku pada satu fakta. Betapa miripnya sikap yang mereka ajarkan padaku dengan apa yang kuketahui dari aturan-aturan dalam beragama.
Lalu, mana agama yang benar? Pertanyaan ini muncul saat aku duduk di akhir kelas dua madrasah. Meski aku sudah beragama islam sejak lahir, tapi tetap saja ada keinginan yang mengentak hatiku untuk mengetahui mana yang benar? Jadi, aku mulai suka membaca. Membaca apapun. Entah itu terjemahan Al quran, injil milik eyang, buku aturan ummat Budha milik Bu Lik Nur, semuanya kubaca.
Tentu saja saat itu aku membaca semua kitab suci itu hanya dengan tujuan untuk mengentaskan rasa penasaranku tentang agama. Aku tak terlalu serius menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang sangat sakral. Agama hanya kuanggap sebagai suatu pengetahuan baru yang menarik. Sekedar itu saja.
Beberapa lamanya aku aktif mencari pengetahuan tentang berbagai agama, dan beberapa lama setelahnya pula aku sempat terhenti untuk mempelajarinya. Lama-lama akhirnya Aku mulai merasa jenuh. Dan jiwa remajaku saat itu lebih menghendaki untuk bersenang-senang. Jadilah akhirnya, kulalui sisa masa SMP-ku kemudian dengan bereksperimen ala remaja bersama teman-teman. Saat itu, aku masih menjalani rutinitas ibadah sebagai sebuah kewajiban beragama, dan terlebih adalah kewajibanku kepada orang tua. Ya, saat itu aku berpikir bahwa aku harus rajin shalat agar doaku didengar oleh Allah, sehingga aku bisa selalu mendoakan yang terbaik untuk kedua orang tuaku karena aku sangat menyayangi mereka.
Mendekati kelulusan Madrasah, hubunganku dengan seorang sahabat terbaikku memburuk. Faktor penyebabnya adalah masalah akademis. Dia adalah seorang yang begitu membuatku tertantang untuk selalu belajar. Dan kami berdua dikenal sebagai rival yang abadi. Hi.hi.(baca episode kisah ini di catatanku bagian “Lucu-Lia”).
yah.. kembali ke permasalahan,
jadi akhirnya dia menjauhiku karena pada akhir kelulusan ternyata akulah yang mengambil posisi juara umum sekolah, posisi yang selama dua tahun terakhir selalu digenggamnya. Dan akhirnya ia pun menjauhiku, bahkan sampai kami sudah lanjut sekolah ke jenjang yang lebiih tinggi. Tentu saja ini sangat membuatku sedih. Pada akhirnya aku mulai berubah. Kehilangan seorang rival sekaligus sahabat merupakan hal yang sangat-sangat buruk buatku saat itu. Dan saat itulah aku yang ceria mulai berubah menjadi pendiam. Bahkan mungkin juga sampai saat ini.
Memasuki SMA, aku beradaptasi dengan lingkungan baru. Ada guru baru, teman baru, suasana baru, dan pengalaman-pengalaman baru. Dan di SMA itulah kali pertama aku berazzam untuk istiqomah memakai kerudung, persisnya adalah saat kenaikan kelas 3. Bagaimana bisa?
Jadi begini... Seperti sudah kukatakan, aku pernah punya rasa penasaran tentang agama. Nah, saat aku masuk kelas satu, kebetulan sekali aku duduk dengan seorang Budhist. Meski ia bukan seorang penganut Budha yang taat, tapi sedikit banyaknya aku sering dapat pengetahuan tentang agama Budha darinya, selain dari yang kubaca dari buku Bu Lik-ku yang juga Budhist. Ada yang tidak sreg sama nuraniku tentang agama ini. Yaitu salah satu ajarannya tentang kremasi mayat, bahwa mayat mereka yang sudah wafat tu harus dibakar. Duuh,, membayangkan mayat orang lain dibakar saja sudah membuat aku ketakutan. Apalgi mayat kerabatku?dibakar? mana tegaa.. jadi, satu agama ini sudah tercoret dari daftar pilihanku.(kesannya subjektif banget ya? Yah..emang begini lah aku.)
Selanjutnya, adalah Kristen. Entah kenapa dan dari siapa, sedari aku kecil sudah terstigma dalam benakku untuk berhati-hati terhadap orang Kristen. Eyang Puteriku, adik ipar nenek dari pihak ibu tadinya adalah seorang muslim, tapi kemudian murtad dan masuk agama Kristen karena bujukan menantunya (bahkan sampai saat ini..hiks). jadi, semenjak eyang murtad itulah sosoknya yang dulu begitu kukenal sangat baik dan tak penuntut, akhirnya mulai berubah jadi penggerutu dan ambisius sekali.
Acapkali eyang diam-diam mengajakku ke Gereja manakala aku tengah berlibur di rumahnya saat aku masih kecil dulu.
Saat itu adalah kali ke berapa aku diajak eyang ke gereja di daerah serpong. Waktunya mendekati maghrib. Begitu masuk ke sana,, kudapati fakta bahwa gerejanya bersih sekali. Persis seperti gereja yang kulihat di televisi saat hari besar Kristen. Entah karena sudah jadi kebiasaan, aKu malah mengucap ‘assalamu’alaikum’ dengan spontan, dan eyang memarahiku dan jelas sekali menunjukkan wajah kaget. Seorang pendeta mendekati kami dengan ekspresi yang tak kalah kaget. Aku bingung, lantaran memang orang tuaku sudah membiasakanku untuk mengucap salam bila mau masuk ke rumah orang.
Jadi, pendeta itu pun mendekat dan aku dimarahi habis-habisan sama eyang. Jelas saja aku menangis. Dengan terisak-isak aku mengeluh ingin pulang. Eyang makin berang. Untungnya pendeta itu sudah ada di hadapan kami dan begitu baik dengan memberiku sebuah roti. Rotinya tawar, tapi kumakan juga karena aku merasa sudah ada yang mau membela. Eyang meminta maaf pada bapak pendeta itu dan menyuruhku untuk menunggu di salah satu kursi, selagi eyang mengurusi urusannya dengan pendeta itu.
Karena kurasa eyang lama , akhirnya aku iseng ingin melihat sekitar gereja. aku keluar sebentar dan di daerah belakang gereja itu ada tempat seperti gudang dengan pohon rindang sekali. Aku ke sana. Sambil menghabiskan roti di tanganku, aku iseng memasuki gudang itu, kuucap salam lagi dan dengan spontan kututup mulut, mengerti seolah di gereja ini ucapan salam itu tak patut dan takut-takut ada yang mendengar salamku dan aku malah akan dimarahi lagi. Syukurlah ternyata gudang itu kosong.
Jadi begitu aku masuk, tak sengaja pandanganku tertubruk pada sebuah botol kosong. Aku yakin bahwa aku sangat tahu botol apa itu. botol itu adalah botol bekas alkohol karena aku pernah melihatnya di warung remang-remang di pinggir jalan kota. Aku semakin yakin bahwa itu adalah botol alkohol begitu kulihat labelnya, topi miring. Serta merta saja bayangan seorang pria berbadan besar yang dulu pernah kutemui di warung remang-remang itu muncul. Spontan saja aku merasa sangat ketakutan. Ini dikarenakan aku pernah dikemplang oleh pria itu lantaran hanya karena aku berani melihatnya lama-lama. Bapakku waktu itu saja sampai menangis dan memintaku untuk tidak dekat-dekat dengan ‘orang mabuk’. Begitu istilah bapak untuk orang-orang yang suka minum minuman topi miring.
Jadi,, aku langsung berlari.
Eyang mendengar suaraku dan sangat kaget karena mendapatiku yang terburu-buru masuk ke dalam gereja. Kurasa ia akan marah karena aku tak tetap diam menunggunya di dalam jika saja ia tak melihat air mataku yang sudah basah beruraian.
“”””’eyang....hiks. hiks.”
Aku menangis terisak. Pendeta yang ada di samping eyang pun jadi ikut bingung. Sehingga ia bergerak mendekatiku dan memelukku. Dan, saat itulah, ketika ia mencoba menenangkanku dengan mencium keningku, samar tapi yakin aku mencium bau alkohol dari mulut pendeta itu. aku spontan berteriak dan lari menjauh. Nalarku yang baru sebagai gadis kecil saat itu sungguh menyadarkanku bahwa ada yang tak baik pada pendeta itu. buktinya saja pendeta itu bau alkohol. Kata ayahku, orang yang meminum alkohol itu bukan orang baik.
Maka jadilah akhirnya aku jadi tak begitu suka dengan orang kristen. Terlebih lagi ketika aku sempat mempelajari isi bibelnya. Semua kata-kata dalam bibel itu menurutku sangat rancu dan sulit dipahami. Bahkan ada juga yang berbau pornografi. Jadilah akhirnya agama kristen itu tercoret pula dari daftar pilihanku.
Kemudian tibalah masanya, ketika aku mengenal seorang laila. Kami berteman dalam satu kelas yang sama di bangku kelas dua. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang baik, ceria, dan religi. Aku banyak belajar darinya. Tentang semangat hidup, gairah, pertemanan yang tulus, dan masih banyak lagi. Jiwaku yang sempat merasa kering dan tak bersemangat, jadi serasa kembali menemukan oase indah dalam bersahabat. Dan saat itulah, sedikit demi sedikit aku mulai ceria lagi.
Kutemukan pula kedamaian Islam lewat pengajian-pengajian yang kami lalui di rumah teh Anis di Tegal Kunir bersama kawan kami lainnya, yakni Marsanah.
Maka sejak itulah, hatiku mantap sekali memilih Islam sebagai agamaku. Aku tak lagi menganggap Islam hanya sebagai predikat. Melainkan aku memandang Islam sebagai hidupku, identitasku, dan jalan menuju surgaku. Amin...
Jadi, semoga saja dengan penjelasanku ini banyak juga kawan-kawan yang bisa tersadar dari keberagamannya. Aku berharap sekali bisa mengajak kawan-kawan semua untuk terus mengenal Islam. Karena Islam-lah satu-satunya agama yang bisa membawa kedamaian bagi semesta.
Ly Oz.