Rabu, 19 Februari 2014

Novelet - "Aku, Dia, dan Waktu"

[bismillaahirrahmaanirrahiiim..

hmm.. deg-degan juga nih kali ini.

Tanya kenapa? Karena kali ini aku akan mem-publish novelet keduaku yang berjudul "Aku, Dia, dan Waktu". Novelet ini adalah karya pertamaku yang kuakui proses penyusunannya tuh cukup sulit. Genrenya kali ini bukan hanya roman, melainkan lebih ke psikologi.

Bermula dari membaca beberapa buku psikologi dan juga buku yang menceritakan kisah nyata tentang "beep.. beep.."


Ups! maaf ya, kawan! kukira aku tak bisa bercerita lebih jauh lagi. Kupikir kalian bisa membaca ceritanya saja langsung setelah mengunduhnya di sini.. ^_^


Selamat membaca..]



*Aku, Dia, dan Waktu.
Oleh : Mei

 “Jadi, Kamu adalah Meli?”
Kembali kuulangi pertanyaan yang beberapa menit sebelumnya tak jua dijawab oleh sosok wanita di hadapanku. Usia wanita itu tak lebih dari tiga puluh tahun. Sedikit lebih muda dariku.
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan diri untuk kehadirannya di ruangan ini sejak kemarin malam. Dan di sinilah ia. Sejak dua puluh menit telah berlalu, tak banyak yang bisa kuketahui tentang maksud wanita ini datang ke rumahku.
Sosok di hadapanku bergeser sedikit dari posisi awal duduknya. Rok berbahan jin yang dikenakannya tampak meregang begitu ia menopangkan kedua lengannya di paha dan memajukan badannya ke arahku. Ia nampak sedang menilaiku sebentar sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.
“ya. Aku Meli.”
Kali ini ia kembali bersandar ke sofa oranye di ruangan ini. Sofa yang persis berhadapan dengan kursi putar yang sedang kududuki. Tiba-tiba saja ia tersenyum sinis padaku. Ini membuatku terkejut. Terkejut pada perubahan emosi yang begitu cepat ditunjukkan olehnya. Sama seperti ketika di menit-menit pertama ia melangkahkan kakinya ke ruangan ini.
Aku kembali menunjukkan sikap acuh pada sosok di hadapanku. Pengalaman telah mengajarkanku bahwa untuk menghadapi orang seperti Meli ini aku harus bersikap hati-hati. Aku tak boleh bersikap simpati, ataupun terlalu ingin tahu. Aku harus bersikap seolah kami ada di posisi yang sejajar. Akhirnya, aku pun mencoba untuk menyapanya.
“hai! Aku Anne. Mei sudah bercerita cukup banyak tentangmu. Tahukah kamu kalau,..”
“si cengeng itu lagi-lagi mengadu.”
Aku terkejut dengan interupsi Meli yang tiba-tiba. Kali ini ia tak lagi memandangiku dengan sinis, melainkan garang. Aku merasa sedikit gentar dengan perubahan emosinya ini. Tapi aku toh sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini jadi kulanjutkan saja ucapanku.
“si cengeng? Maksudmu Mei, Mel?”
“ya! Siapa lagi kalau bukan dia. Kau ini bodoh ya!”
Aku beristighfar dalam hati. Sudah terbayang di benakku bahwa hari ini akan berakhir dengan cukup melelahkan karena perbincanganku dengan Meli ini.
“jadi, menurutmu Mei itu cengeng, Mel?”
“ya. Cengeng sekali. Mei sering menangis hanya karena hal sepele. Melihat kucing yang tergilas motor di jalanan saja membuatnya menangis! Bisa kau bayangkan itu?”
Aku tak menggeleng juga tak mengangguk. Aku hanya menambah fokus perhatianku pada Meli. Dan ia kembali bicara.
“bahkan ada hal yang lebih konyol lagi tentang Mei. Dia menganggap semua orang itu baik. Tak ada yang jahat. Adapun orang-orang yang bersikap jahat selama ini terhadapnya itu dianggapnya sebagai orang baik yang khilaf. Konyol sekali bukan?! Hah! Aku muak dengan pikiran naifnya itu!”
“o.. begitu.. bagaimana dengan Lia? Apa pendapatmu tentangnya, Mel?” aku mencoba melontarkan tanya.
Ekspresi Meli kembali berubah. Kali ini kegarangan di wajahnya sedikit meluntur dan ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.
“Lia? Hmm.. sebenarnya dia cukup pintar. Jika saja dia tak memilih untuk berpihak pada Mei dibandingkan denganku. Lihat saja sekarang. Lia mendekati kehancuran hidupnya. Hah!”
Kucatat beberapa hal di note yang ada di tanganku. Dan Meli memperhatikan perbuatanku ini.
“apa yang kau catat, Dok?” Meli acuh bertanya.
“bukan apa-apa. Dan Aku bukan dokter. Panggil saja Anne.”
Aku tersenyum dan kembali melontarkan pertanyaan lainnya.
“jadi, sejak kapan semua ini bermula? Sejak kapan kamu mengenal Mei dan Lia?”
“perlu apa kau tahu tentang hal ini, Dok?” lagi-lagi Meli menjawab pertanyaanku dengan sinis. Aku pun akhirnya memutuskan untuk sedikit lebih tegas terhadapnya.
Aku perlu untuk tahu agar Aku bisa membantu kalian bertiga memecahkan masalah rumit kalian itu. Sudah. Tak susah kan untukmu menceritakannya padaku, Mel.”
Meli memperbaiki posisi duduknya masih dengan pandangan garang yang sama. Kemudian ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan bercerita.
“Segalanya bermula dariku. Seperti yang sudah kau tahu, Dok, aku adalah sulung dari dua bersaudara. Keluargaku awalnya hidup dalam keterbatasan hidup sebelum akhirnya kondisi ekonomi kami membaik ketika usiaku memasuki masa sekolah. Aku yang sudah dibiasakan mandiri oleh ayah-ibuku pun akhirnya tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Atau kau juga bisa menyebutku sebagai gadis yang penyendiri.”
Beberapa hal penting yang baru kudengar dari mulut Mel itu kucatat di note ku. Kali ini Meli tak menggubris perbuatanku. Ia kembali melanjutkan ceritanya.
“... tak lama setelah aku memasuki SD, Mei muncul. Dia muncul dengan sikapnya yang jelas sekali menentang persepsiku tentang dunia ini. Aku yang sudah menganggap bahwa dunia ini dihuni oleh orang-orang yang acuh dan egois dengan kepentingannya masing-masing akhirnya mesti kalah oleh segala kekonyolan Mei tentang ‘hidup berbahagia’.”
Di sini kuamati baik-baik ekspresi Meli yang kembali berubah. Kali ini ia nampak seperti seorang yang baru saja kalah dari peperangan.
“Mei dengan keceriaannya akhirnya mampu mengalahkanku dari singgasanaku. Dia adalah gadis yang ceria dan dicintai oleh orang-orang sekitarnya. Kemampuannya yang mencintai tanpa batas itu bahkan mampu meluluhkan hati tiran milik ayah. Aku, sulung yang diam-diam sejak lama  mengharapkan kasih sayang ayahku akhirnya harus mengakui kekalahanku dari Mei. Ayah mencintai Mei melebihi cintanya terhadapku. Aku pun akhirnya memutuskan untuk mengasingkan diri. Berharap mungkin saja waktu kejatuhan mei kelak akan datang, dan sementara itu kuputuskan untuk menunggu dari balik tabir...
“Tahun terus berganti dan Mei tumbuh menjadi remaja yang membuatku semakin iri. Ayah mendaftarkan kami ke MTs tempat bibi-bibi kami pernah bersekolah. Mei menurut dan kembali mendapatkan hidup dan kawan-kawan baru. Kawan. Cih. Sesuatu yang bahkan hampir tak pernah bisa kuimpikan..
Aku sedikit bergidik ketika sekilas kusaksikan kebengisan muncul di wajah Meli.
“Di MTs itu, Mei langsung memiliki kelompok sekawan bernama Four in One. Seingatku, Four in One beranggotakan Astuti, Lizma, Ahfa, dan Mei sendiri. Di kelas satu MTs itu pula awal mula munculnya Lia. Kau mau tahu juga, Dok, kenapa Lia bisa hadir di kehidupan kami?”
Aku cukup terkejut ketika Meli menanyakan hal itu padaku. Bukan karena apa yang diucapkannya. Melainkan karena apa yang kudapati dari ekspresi di wajahnya. Meli tersenyum satir...
Sedikit tergagap kujawab pertanyaan retoris dari Meli itu dengan anggukan sambil mencatat hal penting yang baru saja kusaksikan. Dan Meli kembali bercerita.
 “Lia hadir setelah ayah kami memberikan pujian yang sangat antusias ketika raport akhir tahun kami menunjukkan hasil yang bagus. Juara satu. Sebenarnya aku sudah curiga. Aku curiga Dok, bahwa Lia sudah ada jauh sebelum kami menyadarinya. Hanya saja yang jelas adalah bahwa sejak juara satu di akhir tahun pertama kami di MTs itu lah Lia mulai mendominasi kehidupanku dan Mei. Lia yang aktif di organisasi sekolah. Tak hanya pramuka, melainkan juga PMR, OSIS, dan Pidato. Lia yang terampil dan kreatif menciptakan hal-hal baru di pelajaran kesenian. Lia yang semahir anak lelaki dalam bermain bola. Lia yang begitu berpikiran positif dan visioner tentang mimpi dan masa depannya. Lia yang seperti itulah yang membuat ayah sangat membanggakannya di hadapan tetangga dan keluarga kami. Bahkan keceriaan Mei bisa tertutupi oleh semua kesempurnaan yang Lia miliki. Aku sempat merasa kasihan pada Mei yang saat itu mesti menghadapi masa kejatuhannya. Atau setidaknya begitulah menurutku. Sayangnya aku harus kembali geram ketika kudapati Lia tak mau berpihak kepadaku. Lia lebih memilih Mei yang ceria dibandingkan aku yang selalu berpikiran negatif. Akhirnya, sejak itulah tercipta garis permusuhan di antara aku dan mereka. Hingga saat ini...”
Aku mulai bisa memahami jalan permasalahan rekan di hadapanku ini. Sepintas, kuakui aku sedikit mengagumi kemahiran Meli dalam bercerita. Tak seperti Mei. Meski segala kesinisan dan kebengisan yang terkadang muncul di wajahnya itu juga cukup menggangguku.
“sayangnya, masa kejayaan Lia mesti terhenti, Dok. Hah! Itulah akibatnya jika selalu berbaik sangka pada dunia. Kalian tak pernah tahu, kapan dunia bisa berlaku sangat kejam terhadap kalian.”
Kali ini aku kembali bergidik. Kebengisan di wajah Meli bertahan dalam waktu yang cukup lama. Membuatku sedikit gemetar ketika kutulis hal itu di note.
“apa yang terjadi, Mel?” lamat-lamat aku bertanya.
Meli menatapku sebentar dengan tatapan bengisnya sebelum akhirnya menjawab.
“sudah pernah kukatakan kepadamu bukan, Dok? Manusia itu egois. Selalu iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Jika menang, kalian berlaku sombong. Dan jika kalah, kalian tak mau menerimanya. Begitu juga Laras, seorang sahabat Lia. Laras adalah rival Lia dalam hal akademis sekaligus juga adalah sahabatnya yang paling dekat. Juara umum sekolah selalu berpindah tangan di antara mereka berdua. Dan di akhir tahun ke tiga dan sekaligus juga adalah akhir tahun kami di MTs, Laras kalah oleh Lia. Juara umum sekolah menjadi milik Lia. Dan Laras membencinya karena hal itu.”
“tidak! Laras tak membenciku! Aku hanya salah paham padanya!”
Aku terkejut dengan kehadiran suara lain di ruangan ini. Suara ini tak seperti milik Mei yang penggugup ataupun milik Meli yang tinggi dan bernada kasar. Mendengar suara ini membuatku teringat pada suara seorang yang biasa menjadi protokol dalam upacara bendera. Begitu jernih, tegas, dan teratur. Suara ini kuasumsikan adalah milik Lia.
Selanjutnya kuamati sosok yang kini duduk di hadapanku. Penglihatanku telah membenarkan asumsiku semula. Bahwa Lia adalah seorang yang visioner dan cerdas seperti yang telah dikatakan Meli itu agaknya benar pula. Lia duduk di kursi yang sama yang tadi diduduki oleh Meli. Tak ada yang berbeda dari rupa  dan baju yang mereka kenakan. Tapi ada hal lain yang membuatku mampu membedakannya dari Meli dan Mei. Dan itu adalah dari cara Lia duduk dan menatap lawan bicaranya.
Lia tak seperti Mei yang terlalu gugup dan hampir setiap waktu selalu menangis. Lia juga tak seperti Meli yang duduk bersandar tanpa memperdulikan lawan bicaranya. Lia tampak anggun ketika duduk dengan posisi punggung yang tegak tanpa bersandar. Juga tampak cerdas ketika ia menautkan jemari-jemarinya di atas pangkuan. Lia memang cemerlang seperti yang disampaikan oleh Meli kepadaku.
Perlahan, aku mencoba memastikan identitas wanita yang kini duduk anggun di hadapanku.
“maaf, apakah kamu Lia?”
Wanita di hadapanku ini agak terkejut ketika kusapa. Butuh beberapa detik baginya sebelum menjawab sapaanku.
“ya.. dan kamu adalah Anne, bukan? Maafkan aku Anne, atas ketidak sopananku ketika berteriak tadi. Pikiran Meli seringkali sangat menggangguku. Termasuk tentang hal Laras tadi. Meli hanya percaya pada asumsinya saja dan tak mau mendengar fakta yang sebenarnya. Kami sering bertengkar karenanya.”
Lamat-lamat kuperhatikan Lia. Alisnya bertaut pertanda memikirkan hal yang cukup rumit. Meski di awal tadi aku sempat merasakan kecemerlangan dan kecerdasan yang terpancar di mata Lia, kini aku bisa menilai dengan lebih obyektif. Bahwa Lia tak secemerlang kelihatannya. Dalam pandanganku kini, Lia nampak seperti singa yang sudah terlalu tua untuk menjaga tahta kekuasaannya. Tiba-tiba saja aku bersimpati pada sosok wanita di hadapanku itu.
“jadi Lia, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Jika kamu mau, kamu bisa menceritakannya padaku.”
Lia nampak sedang menimbang-nimbang sebelum akhirnya melontarkan tanya.
“sebelumnya Anne, bisakah kamu jujur kepadaku?”
Kudapati permohonan dalam pandangan mata Lia ketika mengucapkan kalimat itu padaku.
“tentang apakah itu?”
Lagi-lagi Lia nampak mempertimbangkan sesuatu. Ia bergumul dalam diamnya sejenak sebelum akhirnya kembali bicara.
“katakan padaku. Apakah aku sudah gila? Maksudku.. yah.. kau tahu, Anne. Meli adalah aku. Sementara aku adalah Lia. Dan Mei adalah bagian dari kami berdua. Maksudku, apakah aku tak gila karena bisa berbagi pikiran dengan Mei dan Meli dalam satu tubuh ini?”
Kupahami maksud pertanyaan Lia itu. Bukan sekali ini aku mendapatkan pertanyaan seperti itu. Karena hampir semua tamu yang berkunjung ke rumahku ini selalu menanyakan hal serupa. Pertanyaan apakah mereka gila karena memiliki pikiran yang bercabang. Ataukah hanya sekedar imajinasi yang berlebihan dikarenakan terlalu letih akibat overwork. Butuh kesabaran untuk menghadapi setiap dari mereka yang kebanyakan memiliki masalah kejiwaan yang tak stabil. Salah satunya adalah Lia di hadapanku ini.
Perlahan kuhembuskan nafasku sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Lia.
“tidak. Kamu tidak gila, Lia. Sebagai seorang psikiater, aku sudah cukup sering menghadapi orang-orang dengan masalah serupa seperti yang kamu alami. Ini wajar terjadi pada orang-orang yang pernah memiliki trauma atau peristiwa ekstrim sehingga memacu munculnya satu, dua, atau lebih alter*. Atau biasanya adalah ekspresi dari kepribadian utama yang muncul karena pribadi utama tidak dapat mewujudkan hal yang ingin dilakukannya.
Lia terlihat sedikit lebih lega. Dan aku pun kembali mengulangi pertanyaanku yang belum sempat dijawabnya.
“jadi, apa yang sebenarnya terjadi denganmu dan Laras, Lia?”
Kali ini Lia langsung menjawab pertanyaanku dengan lancar.
“sebelumnya Meli sudah menceritakan padamu bukan bahwa aku memiliki sahabat dekat bernama Laras? Ya. Kami memang sangat dekat. Dia adalah rival pertamaku di dunia ini. Sekaligus juga adalah motivatorku untuk terus berprestasi. Aku juga membentuk kelompok sekawan bersama Laras, Tami dan Anna yang bernama Four of one. Mirip seperti grup sekawan yang dibentuk oleh Mei dan kawan Four in One-nya. Dalam Four of one, aku mengenal banyak hal baru. Setiap personil Four of one pun sangat kusayangi dan kukagumi. Laras dengan kemandirian dan rasa percaya dirinya yang tinggi. Anna yang paling supel dan berani. Juga Tami yang paling dewasa dan selalu bertindak seperti ibu bagi kawanan Four of one. Aku mencintai mereka. Sangat...
“yah.. sayangnya terjadilah peristiwa itu. Tahukah kamu Ann, aku dan Laras seringkali mempersaingkan hal-hal sepele...”
Kulihat Lia tertawa satir. Kucatat apa yang kusaksikan itu di note.
“kami selalu bersaing setiap kali ada ulangan. Dan yang paling lucu adalah, Laras selalu sesumbar akan mengalahkanku setiap akan ulangan Matematika. Padahal dia jelas tahu kalau aku memang lebih pandai darinya dalam mata pelajaran itu. But, well, kuacungi jempol untuk Laras yang selalu gigih mencapai keinginannya. Dia hampir selalu nyaris mengimbangi nilai ulangan Matematikaku yang sempurna..
“seperti yang sudah kukatakan padamu Ann, Laras adalah seorang yang ambisius dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sifat itu didapatnya dari Abi* kebanggaannya. Laras sering mengatakan kepadaku, bahwa ia akan selalu memberikan yang terbaik untuk Abi-nya. Menjadi juara satu di sekolah adalah salah satu kado untuk Abi-nya. Selama dua tahun kami bersahabat, aku tak pernah bermasalah dengan sifat ambisius Laras ini. Masalah di antara kami baru muncul ketika aku mulai semakin akrab dengan Anna, personel Four of one lainnya..
“jadi... empat personel Four of one harus terpisah ketika kami naik ke kelas tiga. Aku dan Tami di kelas B. Sementara Laras dan Anna di kelas A. Mulai sejak kenaikan kelas itulah Mei yang selama ini diam-diam mengagumi Anna yang pemberani, memintaku untuk mengakrabkan diri dengan Anna. Saat itu kusadari, bahwa Mei telah menganggap Anna sebagai sahabatnya. Alhasil, selama kurang lebih masa-masa awal kami kelas tiga itulah Mei mulai sering bertukar surat dengan Anna..”
“Maaf Lia, aku memotong ucapanmu. Jadi, saat itu kamu sudah mengenal Mei?”
“oh, ya. Dan aku sangat mengaguminya. Kamu tahu, Anne. Mei memiliki magnet gaib yang entah bagaimana membuat setiap orang di sekitarnya selalu nyaman hanya dengan melihat senyumnya. Dan aku juga sangat menyayanginya. Memang, pada awalnya juga aku merasa aneh dengan kesadaranku akan kehadiran Mei. Tapi perlahan, aku mulai terbiasa.”
Kucatat hal itu di note-ku dan kembali melontarkan tanya.
“dan apakah saat itu kamu juga sudah mengenal Meli?”
Kuamati baik-baik gestur dan mimik wajah Lia ketika menjawab pertanyaanku ini.
“hmm.. tidak. Saat itu aku belum mengenal Meli.”
Kuakui aku cukup terkejut ketika melihat Lia tersenyum. Sangkaku sejauh ini adalah bahwa antara Lia dan Meli telah terwujud garis permusuhan. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Lia di awal mula kemunculannya di ruangan ini. Setelah kucatat hal yang baru saja kudapatkan, kemudian kupersilahkan Lia untuk melanjutkan ceritanya.
“baiklah.. maaf. Sampai di mana cerita kita tadi? Oh ya, Mei mulai berkirim surat dengan Anna. Bisakah kita melanjutkannya?”
Lia tersenyum dan kembali bercerita.
“jadi. Sejak perbedaan kelas itu, Mei mulai mengakrabkan diri dengan Anna melalui surat. Sesekali Mei meminta bantuanku untuk membuat puisi sebagai balasan dari puisi yang dibuat Anna untuk Mei. Kami juga memiliki satu diary yang khusus untuk kami tulis dan baca berdua. Jika hari ini Mei menulis di diary itu, maka esoknya ia akan memberikannya kepada Anna untuk ditulis olehnya. Kemudian lusanya diary itu akan kembali ke Mei untuk kemudian ditulisnya lagi. Begitu seterusnya.
“waktu terus berlalu dan tak terasa masa-masa kami di MTs akan segera berakhir. Mendekati hari ujian sekolah, suasana tegang mulai mendominasi para siswa kelas tiga. Waktu bermain bagi kami kelas tiga semakin minim. Pertemuanku dengan tiga personel Four of one pun semakin jarang. Hanya dengan Anna, kegiatan menulis diary bersama itu kulakukan. Selain belajar, tak ada aktivitas lain yang kulakukan usai pulang dari sekolah. Di bawah tekanan adanya isu kenaikan angka standar kelulusan dari 4,00 menjadi 4,25 untuk setiap mata ujian, aku belajar segigih mungkin untuk bisa lulus dari sekolah.
“sebelum menghadapi ujian sekolah dan ujian nasional, kami kelas tiga dilatih terlebih dahulu dalam try out. Seingatku ada dua kali try out yang berlangsung saat itu. Dalam try out pertama, aku masih tak lulus di mata ujian sejarah. Sementara Laras lulus di semua mata ujiannya. Meski begitu aku cukup dikagetkan ketika tiba-tiba saja di suatu pagi Laras bersikap sinis sekali padaku. Laras tiba-tiba saja berkata, hebat banget ya temen Anna itu. try out matematika-nya dapet sepuluh. Aku terkejut. Heran. Terlebih lagi merasa sakit hati ketika kudapati pandangan sinis milik Laras itu tertuju padaku. Di tengah-tengah Anna, Tami dan kawan-kawan kami lainnya, Laras menyindirku dengan sikap serius..
“aku baru mengetahui alasan sikap Laras itu keesokan harinya, Ann. Anna memberitahuku lewat surat ringkasnya bahwa Laras menemukan diary bersama milikku dan Anna. Kami duga Laras cemburu dengan kedekatan kami sehingga bersikap sinis seperti itu. Setelah mengetahui hal itu, aku pun berniat untuk meminta maaf kepada Laras. Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa tak akan ada yang berubah dari hubunganku dengannya ataupun hubungannya dengan Anna. Sayangnya, niat baikku itu tak pernah terlaksana. Karena Laras sudah lebih dulu membuat garis pembatas antara kami berdua..
“esok paginya, aku baru saja tiba di sekolah dan melihat Laras, Anna, Tami serta beberapa teman lainnya sedang duduk di teras depan kelas. Dari jauh kulihat Laras sedang asyik tertawa dengan lainnya. Melihat hal itu, aku pun semakin berani untuk meminta maaf kepada Laras. Dari jarak lima belas meter aku sudah memasang senyum riang ke arah sekumpulan kawanku itu. Sayangnya, baru saja aku hendak menyapa, Laras yang saat itu baru menyadari kedatanganku kemudian tiba-tiba saja berdiri dan melengos pergi. Ia mengajak serta Anna dan Mae untuk kemudian masuk ke dalam kelasnya. Anna melihatku dengan pandangan tak enak hati. Sementara kawan-kawanku lainnya menatap bergantian antara Laras yang baru pergi, dan aku yang saat itu terkejut dan merasa sakit hati..
“hari-hari setelahnya, sikap dingin Laras selalu ditujukannya kepadaku. Hal ini membuatku sangat sedih. Meski begitu aku mencoba untuk tetap berpikiran positif. Saat itu kupikir Laras membutuhkan waktu untuk menyadari kesalahannya. Kesalahannya atas kecemburuan yang tak berdasar terhadap persahabatanku dengan Anna. Sayangnya sikap Mei terhadap permasalahan ini tidaklah membantuku. Mei merasa sangat bersalah untuk apa yang kualami. Merasa karena dialah Laras cemburu. Ia berpikir jika saja ia tak berbagi diary dengan Anna tentu semua hal ini tak akan terjadi. Aku berusaha untuk menghibur Mei dan di waktu yang bersamaan pula aku mencoba untuk menghibur diriku sendiri. Meski begitu, terkadang kesedihan dan rasa bersalah Mei juga mempengaruhiku. Aku sempat berpikir mengapa Laras hanya bersikap sinis terhadapku. Tidak kepada Anna juga. Tanpa kutahu asalnya dari mana aku juga pernah berpikir apakah persahabatanku dengan Laras selama ini tidaklah sebaik yang kuduga.
“Akhirnya kuputuskan untuk tak menjawab pikiran negatif itu dan berfokus pada apa yang sedang kuhadapi. Dan selama sisa masa ujian sekolah itu, aku pun berusaha sekeras mungkin untuk tetap bisa fokus belajar dan tak menghiraukan segala sikap dan ucapan Laras yang menyakitkan.
“hhh.. maaf Anne, ijinkan aku untuk minum dahulu.”
Aku tergugu sebentar sebelum akhirnya kupersilahkan Lia meneguk habis sisa air jeruk di mug-nya. Kemudian kami kembali ke jalur cerita.
“masa ujian terus saja berjalan. Hingga tibalah kami di hari terakhir ujian praktik sekolah. Saat itu sedang diujikan praktik kesenian musik dan gambar. untuk seni musik, Bu Santi, guru seniku memberikanku nilai 8,8. Dan selanjutnya adalah seni gambar. Saat itu, entah kenapa aku tak bisa menggambar seperti biasanya. Sehingga hasil gambarku adalah seperti apa yang biasa digambar oleh anak seumuran anak TK. Rumah, pohon, awan, dan kucing. Datar sekali. Untuk gambarku yang payah itu aku mendapatkan nilai 5,8.
“maaf Anne, sebenarnya bukan nilai praktik seni itu yang ingin kuceritakan kepadamu. Tapi apa yang telah terjadi setelah kudapatkan nilai itulah yang menjadi salah satu kenangan terkuat di memoriku dan ingin kuceritakan kepadamu.
Aku mengangguk pelan pertanda memaklumi ceritanya. Dan selanjutnya kembali memfokuskan perhatianku pada cerita Lia.
“jadi, tepat setelah kuterima hasil ujian praktik seni, Laras muncul di muka pintu kelasku. Aku terkejut. Itu jelas sekali. Berminggu-minggu setelah ia acuh dan mendiamkanku, Laras akhirnya mau kembali menghadapiku. Meski masih tak ada senyum darinya, ia kemudian mengajakku untuk ke base camp Four of one saat itu juga. Berdua dengannya.
Lia berhenti bicara. Kuamati sikapnya ketika ia memindahkan pandangannya ke pinggir meja, tak lagi menatap lurus ke mataku. Ini kuasumsikan sebagai pertanda bahwa ia mulai kesulitan untuk bercerita. Entah karena sebab ada hal yang ingin disembunyikannya dariku atau mungkin juga karena luapan emosi yang dirasakannya. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan dorongan moril kepadanya.
“Lia?”
Kuamati sikap dan ekspresi yang tertampil di wajah Lia. Saat itu kudapati kesenduan menghiasi wajahnya. Pandangannya yang terarah ke pinggir meja tampak kosong ketika ia kembali bicara.
“…Aku terkejut Ann… Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang ingin dikatakan Laras kepadaku saat itu… Tentu saja aku berharap bahwa setelah pembicaraan itu persahabatan kami akan kembali membaik..”
Dan Lia kembali diam. Aku pun ikut diam mengamatinya. Kali ini kuputuskan untuk membiarkan Lia sendiri yang memecah kebisuan.
Setelah beberapa jenak lamanya ruangan tamuku hening dari suara, kuputskan untuk meregangkan kakiku dan menukar posisi tumpuannya. Kali ini, kaki kananku kutumpukan pada kaki kiriku.
Mungkin menyadari adanya pergerakanku, Lia kembali disadarkan pada keadaannya saat ini. Secara perlahan Lia mengangkat pandangannya, kembali ke mataku. Tapi butuh belasan detik lagi untuknya kembali bicara dan melanjutkan ceritanya.
hm.. jadi saat itu kuikuti langkah Laras menuju base camp kami, yakni kamar mandi tua di belakang gedung sekolah. Selama menuju ke sana, kami melaluinya dalam keheningan. Aku memutuskan untuk mendengarkan terlebih dahulu apapun yang akan dikatakan Laras nantinya. Baru jika memungkinkan, aku akan mengatakan sesuatu agar perselisihanku dengan Laras segera berakhir. Begitu pikirku saat itu.
“sesampainya di base camp, Laras berhenti dan masih berdiri membelakangiku. Selama hampir tiga menit lamanya Laras masih tidak mau menghadap padaku secara langsung, akhirnya kesabaranku sudah habis. Kuputuskan untuk menjadi yang pertama memecah keheningan di antara kami ini. Saat itu aku bertanya padanya, apa yang diinginkannya. Sayangnya aku mesti melewati beberapa menit terlebih dahulu dalam sunyi sebelum akhirnya kudengar jawabannya. Laras tiba-tiba saja berbalik dan menatapku. Tanpa alasan yang jelas ia kemudian memelukku dan menangis. Ia meminta maaf untuk apa yang sudah dilakukannya kepadaku selama beberapa minggu ini.
“Bisa kamu tebak, Anne, apa yang kulakukan setelahnya? Tiba-tiba saja aku menjadi gagu dan tak mampu mengatakan pertanyaan yang sebelumnya ingin sekali kutanyakan kepada Laras. Aku ingin tahu, apa alasan Laras sebenarnya hingga membuat ia bersikap buruk padaku selama beberapa minggu sebelumnya. Sayangnya aku benar-benar menjadi gagu, Ann. Mei juga turut melarangku untuk mengucapkan apapun. Akhirnya saat itu aku hanya diam dalam pelukan Laras. Aku tak ikut menangis sepertinya. Mei lah yang ikut menangis bersama Laras saat itu.
“setelah apa yang terjadi di base camp, Laras kembali bersikap baik terhadapku. Ia kembali mengajakku bersaing di setiap sesi belajar bersama kami. Anna dan Tami turut berbahagia mendengar personel four of one  sudah berbaikan. Meski begitu Anne, aku tak bisa memungkiri. Bahwa sejak saat itu aku mulai lebih bersikap hati-hati dalam berteman dengan siapa pun. Aku lebih menjaga jarak dalam membangun hubungan yang baru dengan orang-orang di sekitarku. Karena bagiku, masih ada hal yang belum terselesaikan dalam perkawananku dengan Laras.”
“dan kuduga saat itulah kamu mulai menyadari keberadaan Meli, Lia?” aku memotong ucapan Lia. Dan kemudian Lia membenarkan dugaanku itu dengan anggukan singkat. Kucatat kembali hal-hal penting di note. Beberapa saat Lia tak melanjutkan ceritanya. Sampai ketika kudapati ia sedang melihatku yang tadi sempat berfokus pada catatan di tanganku. Kemudian aku berhenti mencatat dan tersenyum kepadanya.
“nampaknya ada hal lain yang mengganggumu, Lia?”
Lia tampak sedikit terkejut ketika mengetahui kepekaanku akan emosinya. Beberapa detik lamanya ia masih terdiam dan aku tetap menunggu ia bicara. Akhirnya, Lia mengutarakan apa yang ada di pikirannya saat itu.
“Maafkan aku, Anne. Baru saja ada pikiran Meli yang menggangguku.”
Mendengar nama Meli disebutkan oleh Lia, aku menambah kefokusan perhatianku padanya. Kuraih kembali pena yang tadi sempat kuletakkan di atas note-ku.
“tentang apakah itu, Lia?”
“hmm.. maaf sebelumnya. Sebenarnya aku tak pernah tahu bahwa Mei berencana untuk menemui seorang psikiater. Jadi tadi aku sempat kaget ketika Meli mengatakan padaku bahwa Mei sedang menceritakan tentang kami kepadamu. Aku menduga-duga, oleh sebab apa Mei tidak mengatakan tentang kedatangannya ke sini. Kemudian Meli memberitahuku bahwa Mei mungkin merasa ragu untuk menceritakan kepadaku tentangmu, Anne. Tapi baru saja Meli mengatakan padaku. Bahwa Mei menduga aku mungkin akan melarangnya berkonsultasi padamu ketika aku mengetahui hal lain tentangmu.”
Aku sedikit terkejut dengan perubahan topik pembicaraan ini. Sedikit banyaknya aku sudah bisa menduga apa yang akan dikatakan Lia selanjutnya. Tapi demi keprofesionalan, kuputuskan untuk bersikap tenang dan menunggu Lia menyelesaikan kalimatnya.
   Lia tampak mengamati reaksiku sebelum ia melanjutkan kalimatnya kembali.
“jadi, Meli baru saja memberitahuku bahwa kamu adalah sepupu jauh Laras. Benarkah itu, Anne?”
“ya. Itu benar. Laras adalah sepupu jauhku. Abi-nya adalah pamanku.”
Aku memutuskan untuk jujur tentang statusku ini kepada Lia. Kupikir jika aku berbohong dan menyembunyikan identitasku, itu malah akan membuat kepercayaan Lia kepadaku berkurang. Selanjutnya kuserahkan kepada Lia untuk menyikapinya seperti apa. Masih dengan tetap tersenyum, aku menunggu ucapan Lia berikutnya.
“begitu.. hmm. Maafkan aku, Anne. Aku sungguh tak tahu bahwa kamu adalah sepupu Laras. Jika aku tahu aku mungkin..”
“oh.. tak apa-apa, Lia. Jangan terlalu mengkhawatirkan hal itu. Dalam kondisi ini aku adalah rekanmu. Jadi Laras adalah seorang yang lain dari kenangan milikmu. Aku berusaha untuk menjadi pendengar yang baik untukmu, Lia. Jadi, jangan khawatir, oke. Rahasiamu ini aman bersamaku.”
Kusentuh punggung tangan Lia yang menangkup di atas pahanya dengan lembut. Aku mencoba meyakinkan Lia lewat sentuhanku. Berharap dia tak merasa terbebani dengan apa yang baru diketahuinya ini.
Lia kembali nampak mempertimbangkan ucapanku. Setelah beberapa lama, ia kembali bertanya.
“baiklah. Maafkan atas ketidaksopananku, Anne. Bukannya aku tidak mempercayai keprofesionalanmu di sini. Aku hanya sedikit mengkhawatirkan perasaanmu. Tapi tentu saja. Tampaknya aku sudah mengkhawatirkan hal yang tak perlu.”
Lia tersenyum malu. Melihat hal ini membuatku lega. Kupikir aku bisa memintanya untuk kembali melanjutkan kisahnya.
“jadi, bisakah kita kembali ke ceritamu, Lia?”
“oh. Ya. Tentu. Tentu. Sampai di mana tadi? Oh ya. Jadi, aku kembali berbaikan dengan Laras. Meski peristiwa itu masih menyisakan hal yang tak mengenakkan buatku. Kurang dari sebulan kemudian kami menghadapi Ujian Nasional. Selama tiga hari ujian Nasional itu, syukurlah aku bisa melaluinya dengan baik. Pun jua kawan-kawanku yang lain. Setelah UN berlalu, kami kelas tiga jadi memiliki banyak waktu luang di sekolah. Kesempatan ini kami isi dengan membuat kenangan bersama satu angkatan kami dan mengabadikannya dalam kamera.
“dan tibalah saat pengumuman kelulusan. Saat itu semua wali murid diminta hadir untuk menerima surat kelulusan setiap anaknya. Mereka semua dikumpulkan di aula sementara aku dan kawan-kawan seangkatanku menunggu di depan kelas kami masing-masing. Setiap dari kami merasa cemas sekali. Karena menurut isu yang beredar, ada dua orang di antara murid angkatanku yang tidak lulus. Tentunya setiap dari kami tak ingin menjadi bagian dari dua orang itu.
“Menit demi menit berlalu. Kebanyakan para orang tua atau wali murid dari kawan-kawanku sudah keluar dari aula. Beberapa menit sebelumnya kami terkejut setiap kali ada nama salah satu dari kami yang disebut oleh Pak Maulana, Wakasek bidang Kesiswaan melalui pengeras suara di aula. Dan ketika orang tua atau wali murid itu menghampiri salah seorang dari kami untuk kemudian menunjukkan kertas keterangan kelulusan, kami semua yang ada di sana turut merasa gugup dan akhirnya turut bersorak bahagia ketika mengetahui kertas itu menyatakan lulus.
“jam di tangan Anna memberitahukan kami bahwa sudah satu jam berlangsung sejak nama seorang kawan kami disebut. Sejauh ini belum ada kertas yang menyatakan ketidaklulusan. Di satu sisi ini menimbulkan kelegaan. Tapi di sisi lain hal ini membuat kami yang namanya belum disebut jadi kian gugup dan takut. Beberapa di antara kawanku sudah pulang bersama orang tuanya setelah menerima berita kelulusan. Tapi tak sedikit juga yang memilih untuk tetap di sekolah dan menemani kami yang belum mengetahui nasib kelulusan kami.
“jujur Anne, saat itu aku merasa kesal sekali. Kenapa pula nama-nama kami dipanggil secara acak. Jika saja sesuai alfabet, tentu namaku akan menjadi deretan sepuluh orang pertama yang dipanggil. Dan saat itu, aku malah menjadi bagian dari sepuluh orang terakhir yang belum juga dipanggil.”
Kuamati Lia. Ia nampaknya ingin mengetahui pendapatku tentang hal ini karena ia tak bersegera melanjutkan ceritanya. Akhirnya, setelah beberapa detik, aku pun mengomentari keluhannya itu.
“hmm.. aku juga tak tahu pasti sebabnya kenapa, Lia. Tapi kupikir ada kebijakan lain yang dibuat oleh staf guru sekolahmu dulu sehingga memanggil nama muridnya secara acak.” Aku mencoba membuat asumsi. Dan Lia nampak menerima asumsiku itu.
“Ya.  Kamu benar. Hmm.. apakah semua psikiater selalu tahu tentang banyak hal, Ann?”
“hahaha...” aku tak bisa mencegah diriku untuk tertawa pelan. Aku tertawa karena sudah seringkali klien-ku menanyakan pertanyaan serupa.
“apakah menurutmu aku tampak tahu banyak hal, Lia?”
well, bagiku kamu seperti itu. Kamu selalu tahu apa yang dipikirkan atau dirasakan orang lain.”
Aku tersenyum lembut.
“begitukah? apakah itu mengganggumu, Lia?”
“tidak.. sebenarnya membantu sekali bahkan.”
“bagus. Kalau begitu, tak apa-apa kan kalau kita kembali ke topik awal kita? Atau kamu mungkin ingin membicarakan hal lain, Lia? sehingga sudah beberapa kali ini selalu mengalihkan topik?”
Saat kuucapkan kata-kata itu, aku sengaja berpura-pura memasang ekspresi kesal. Lia menyadari candaanku dan kemudian tertawa.
“hahaha. Kamu benar, Ann. Tampaknya secara tak sadar aku sudah mengganti topik pembicaraan kita berkali-kali.”
Lia nampak menilaiku sebentar sebelum akhirnya berujar,
“Psikiater itu benar-benar jeli ya.”
Aku membalas pujian Lia itu dengan senyuman. Dan selanjutnya, kami pun kembali ke topik semula.
“jadi, datang juga waktunya ketika ibuku keluar dari aula dan membawakan surat keterangan lulus tidaknya milikku. Saat itu aku merasa sedikit kesal pada ibuku, Ann. Bayangkan saja. Orang tua lain  yang baru keluar dari aula kebanyakan memberikan ucapan selamat kepada anak-anaknya atas kelulusan. Sementara ibuku dengan acuhnya hanya tersenyum sekilas dan memberiku amplop berisi surat kelulusan yang masih tersegel rapih. Masih dengan cueknya ibuku berkata, ah. Pasti lulus.
“akhirnya segeralah kubuka amplop itu bersama Anna dan beberapa kawanku lainnya. sementara saat itu ibuku sudah pamit pulang duluan. Aku gugup dan khawatir sekali. Karena hanya tinggal aku yang belum tahu hasil kelulusanku. Dan sejauh ini belum ada yang mendapat surat tidak lulus.
“kelegaan baru bisa kurasakan ketika kudapati kata ‘lulus’ tercetak tebal di kertas yang sedang kupegang. Aku mengucap rasa syukurku berkali-kali. Kawan-kawan seangkatanku yang masih ada di area sekolah kemudian bersorak bahagia. Ternyata isu bahwa ada di antara angkatan kami yang tidak lulus itu tidaklah benar. Buktinya, kami semua lulus.
“setelahnya bisa kamu duga, Ann. Kami pun akhirnya mulai sibuk mengurus rencana kehidupan kami setelahnya. Kebanyakan dari kami sibuk dalam urusan pendaftaran ke SMA pilihan masing-masing. Sedikit yang memutuskan untuk menghentikan kesempatan bersekolah lagi dan memilih untuk melakukan hal lain. Entah itu menikah, atau langsung mencari kerja demi membantu ekonomi keluarga.
“Aku memilih untuk meneruskan sekolahku ke SMA di kecamatan. Tami memilih untuk ke MAN yang letaknya berseberangan dengan MTs. Anna akan melanjutkan ke SMA di kabupaten. Dan Laras akan meneruskan ke pondok pesantren di Kuningan. Di antara kami berempat, mungkin Laras lah yang akan sangat jarang kami temui nantinya. Tapi kami berjanji untuk tetap berteman.
“kemudian tibalah waktunya ketika Laras akan berangkat menuju pondok pesantren di Kuningan. Saat itu Tami tak bisa turut hadir ke rumah Laras. Sehingga saat itu aku hanya berdua dengan Anna yang membantu Laras mengepak barang-barangnya. Saat itu aku tak tahu. Bahwa kedatanganku ke rumah Laras akan memberiku satu kejutan tak menyenangkan.
“jadi ketika aku tiba di rumah Laras, Abi Laras sedang ada di rumah. Jujur kuakui, meski aku sering berkunjung ke rumah Laras untuk bermain atau belajar bersama, tapi aku belum pernah bertemu dengan Abi secara langsung. Mungkin ini juga disebabkan oleh profesi Abi Laras yang seorang anggota dewan sehingga sering beraktivitas di luar rumah. Jadi, di hari keberangkatan Laras itulah kali pertama aku berkenalan dengan Abinya. Dan aku mendapatkan kejutan tak menyenangkan setelahnya.
“aku terkejut ketika Abi Laras memujiku yang bisa menjadi juara umum sekolah di tahun akhirku di MTs. Pada mulanya aku memang terkejut biasa. Karena aku juga tak tahu benar-tidaknya apa yang dikatakan oleh Abi itu. Tapi kemudian Laras yang baru muncul dari dalam rumah membuatku tersentak. Karena ia memberiku senyum sinisnya lagi. Anna yang juga merasa serba salah akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan. Dan setelahnya, aku bisa terbebas dari percakapan dengan Abi Laras.
“meski begitu, suasana yang sudah terlanjur tak mengenakkan tak lagi bisa diperbaiki. Begitu Abi Laras pergi, aku, Anna, dan Laras tiba-tiba menjadi bisu. Bahkan sampai aku dan Anna pamit, Laras tak lagi memberikan kami senyumannya. Hhh...”
Lia berhenti sejenak dan menuang jus jeruk di teko ke gelasnya yang sudah kosong. Kuamati dia ketika ia meneguk minuman di tangannya itu dan memulai kembali ceritanya.
“sejak hari itu, butuh waktu bertahun-tahun setelahnya untuk kami bisa bertemu lagi. Dan kamu bisa menduganya, Ann. Segalanya tak lagi sama. Aku mulai menjaga jarak dengan teman sebayaku. Hanya kepada Anna aku bisa menjadi diriku sendiri. Bersama Mei, aku menyayangi Anna sebagai sahabatku. Sahabat terbaikku.”
Aku menghela nafas perlahan. Butuh waktu untukku mencerna dan menyaring info-info penting yang bisa membantuku menemukan solusi bagi permasalahan Lia, Mei, dan Meli. Setelah beberapa detik kami lalui dalam hening, aku pun kembali mengajukan pertanyaan.
“itu tentu terasa berat untukmu, Lia?”
“sebenarnya tidak juga, Ann. Hanya saja sejak kelulusan MTs itu aku memang lebih selektif dalam memilih teman akrab. Teman-teman baruku di SMA tidaklah terlalu banyak. Tapi aku masih bisa menjadi diriku sendiri. Well, kurasa tidak juga.”
Kulihat Lia mengernyit. Hal ini tak luput dari catatanku.
“kenapa Lia?” kutanya ia dengan keantusiasan yang masih normal.
“hmm.. sejak SMA itu, ada pikiran Mei yang mempengaruhiku dan sedikit merubah diriku.”
“dalam hal apa itu?”
Kulihat Lia agak gelisah untuk menjawab pertanyaanku. Ini terlihat dari ketergesaannya ketika membenarkan letak duduknya.
“mm.. Mei berpikir, mungkin jika aku sedikit menahan diriku di bidang akademis aku tak akan lagi mengalami kejadian seperti di MTs. Menurutnya, kecemerlanganku dalam beraktivitas telah membuat orang lain menjadi iri.”
Aku mengernyit heran. Cukup bingung dengan apa yang dikatakan Lia ini. Melihatku bingung, Lia buru-buru menambahkan,
well, kupikir maksud Mei adalah bahwa jika aku tak terlalu menonjolkan diriku di sekolah, maka tak akan ada lagi Laras yang kedua. Tentu saja aku menganggap pikiran Mei ini sedikit konyol. Maksudku, aku toh tidak merasa berbuat salah. Aku tidak bermaksud menyakiti orang-orang. Aku hanya mengerjakan segala sesuatunya sebaik yang kubisa, jadi wajar saja jika ada satu atau dua orang yang iri dengan keberhasilanku. Tapi Mei terus-menerus mencekokiku dengan pintaannya agar aku tidak menonjolkan diri. Menurutnya itu demi kebaikan kami.”
“lalu, kamu mengikuti sarannya, Li?” aku bertanya.
Kali ini, Lia terlihat semakin gelisah. Ia menjawab pertanyaanku dengan lambat.
“yah. Pada akhirnya aku memang menahan diriku dari berprestasi. Apalagi di kelas 1 itu ada seorang kawan kelasku yang memiliki sifat ambisius seperti Laras. Jadilah akhirnya aku selalu berusaha untuk menjaga posisiku tetap menjadi yang kedua di kelas.”
“maaf, Lia. Kenapa kamu memilih untuk menjadi yang ke dua? Jika memang kamu mau menahan dirimu dari berprestasi, mengapa tidak sekalian saja kamu tak perlu belajar sehingga kamu tidak berprestasi?”
“aku merasa serba salah, Ann. Di satu sisi aku tak bisa menolak permintaan Mei. Tapi di sisi lain aku juga tak bisa menahan keinginanku sendiri untuk menjadi seseorang yang bisa dibanggakan. Terutama untuk keluargaku. Saat itu aku berpikir, mungkin dnegan tetap menjaga posisiku di ranking dua di kelas kelak akan membuat Mei sadar bahwa apa yang dimaksudkannya dengan mengalah itu tidaklah benar.”
“dan apakah Mei sudah menyadari kesalahannya itu, Li?”
Kulihat wajah Lia tampak murung sekali. Aku sudah bisa menebak bahwa jawabannya adalah belum. Meski begitu aku mencoba untuk menunggu jawabannya langsung dari mulut Lia.
“kurasa belum.”
“ada apa lagi, Lia? Apakah ada hal buruk lain yang terjadi?”
Lia nampak terkejut mendengar ucapanku. Agaknya ucapanku yang awalnya hanya dugaanku saja ternyata benar. Ada hal lain yang kembali terjadi dalam hidup wanita di hadapanku. Namun tampak sekali Lia agak kesulitan untuk menceritakan tentang hal-entah-apa itu. Akhirnya kuputuskan untuk tidak memaksanya tuk bercerita. Dan kutawarkan padanya alternatif lain.
“Lia, jika kamu tak bisa menceritakannya padaku saat ini. Tidak apa-apa. kita masih memiliki kesempatan di lain waktu. Lagipula, sudah waktunya makan siang. Bagaimana kalau kita sudahi dulu sampai di sini dan kita makan bersama di luar?”
Lia kembali terkejut ketika melihat jam di tangannya. Kami memang sudah berbincang cukup lama. Dua jam lebih. Segera dengan anggunnya Lia berdiri dan menolak halus ajakanku untuk makan siang.
“terima kasih, Anne. Tentu akan menyenangkan sekali jika kita bisa makan siang bersama. Tapi aku hampir saja lupa. Jam satu nanti aku ada janji dengan kawan lama. Ia memintaku untuk mengantarnya membeli barang-barang hantaran untuk pernikahan kakaknya. Jadi, mungkin lain waktu saja ya. Dan terima kasih Anne, untuk hari ini. Senang bisa berkenalan denganmu.”
Aku turut mengantarkan langkah Lia sampai depan pintu rumah. Sebelum berpisah, sempat kukatakan kepadanya.
“Lia, kuatkan hatimu. Yakinkan Mei bahwa kalian bisa melalui masalah kalian dengan baik. Dan dengan Meli, berbaik sangkalah. Aku tahu, Meli sesungguhnya juga menyayangi kalian berdua.”
Lia tertegun sejenak usai mendengar ucapanku. Sebelum menuruni tangga berandaku, Lia tersenyum untuk terakhir kalinya.
“akan kucoba, Anne. Sampai jumpa minggu depan.” Lia melambai pelan.
Aku balas melambaikan tangan dan tersenyum meyakinkan. Kuamati kembali kepergian tamu spesialku itu dari muka pintu. Kuakui, keanggunan Lia ketika bersikap tentulah akan membuat orang-orang di sekitarnya sulit menyangka bilamana ia memiliki masalah alter ego. Tiba-tiba terpikirkan di benakku, hal apa lagi yang telah terjadi dalam kehidupan wanita itu. karena sejauh ini, aku belum mendapatkan alasan utama mengapa alter Lia dan Mei muncul dalam kehidupan Meli. Apa yang kudengar di hari ini hanyalah alasan lemah dari alasan utama yang masih berusaha disembunyikan oleh Meli, Mei, dan Lia. Aku merasa waktu seminggu untuk kami berjumpa kembali akan menjadi masa yang terlalu panjang untuk membuatku tersiksa dalam rasa penasaran. Tapi aku akan bersabar. Setiap hal selalu membutuhkan proses. Jadi aku tak boleh tergesa-gesa menyimpulkan persoalan nona Ameliana tentang alter Meli, Mei, dan Lia ini. Lagipula, aku juga teringat. Bahwa aku masih memiliki permasalahan dari klienku yang lain. Jadi, kuputuskan untuk membiarkan waktu mengalir seperti yang seharusnya saja.
Kuhela napasku dan kemudian kututup pintu rumahku. Kutinggalkan bayangan kisah Lia rapat-rapat dalam note-ku. Sementara kini kuputuskan untuk kembali ke kehidupan normalku.
“shower ah.. habis itu zuhur. Terus caw deh ke Malin.”
Tiba-tiba saja terbayang di benakku aroma mie aceh buatan Ci Malin yang warungnya terletak tak jauh dari gerbang komplekku. Mie aceh buatan Ci Malin itu memang adalah mie terlezat yang pernah kunikmati sepanjang dua puluh sembilan tahun usiaku. Aku tersenyum. Tak ingin berlama-lama menyiksa perutku yang sudah keroncongan sedari tadi. Aku pun bergegas menuju kamar mandi. Di luar, terdengar adzan zhuhur berkumandang.
“Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar..”
###
(Pembuka yang menjadi penutup)
 Saat ia datang, jam di ruanganku menunjukkan pukul sembilan. Ketika kali pertama kulihat penampilannya yang berdiri di muka pintu, aku cukup merasa aman. Karena penampilan wanita di hadapanku ini sudah sering kutemui pada kebanyakan wanita yang datang mengunjungiku. Gugup dan cemas.
Ia mengenalkan dirinya sebagai Nona Ameliana. Ia memintaku untuk memanggilnya Mei. Maka kusapalah ia dan mempersilahkannya untuk duduk di sofa oranye di salah satu ruangan rumahku.
Mei masih tampak gugup ketika ia menceritakan masalahnya kepadaku. Ada tiga nama yang disebutkannya dalam cerita ini, yaitu Meli, Mei, dan Lia. Beberapa kali aku mesti memintanya untuk berhenti dan menanyakan beberapa hal terkait apa yang diceritakannya itu. Saat itulah, di menit ke delapan belas dari rentetan ceritanya, Mei mulai mengejutkanku dengan perubahan ekspresinya yang tiba-tiba.
Mei, wanita gugup yang sejak belasan menit yang lalu hampir tak bisa menahan air matanya ketika bercerita, tiba-tiba saja bertransformasi menjadi seseorang dengan kepribadian yang jauh berbeda.
Apakah dia Meli? Atau Lia?

###

Ditulis dan diselesaikan pada,
Selasa, 21 Januari hingga
Rabu, 22 Januari 2014
Di Rumah Putih.



* alter = pecahan kepribadian
* Abi = Ayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar