Oleh : Mei
Pagi
ini angin dingin menelisik melewati teralis jendela kamar kosanku. Membuatku
cukup enggan untuk beranjak dari kasur dan selimut yang hangat dan lebih
memilih untuk menggelungkan diri dalam hayalan bebas tentang mimpi-mimpiku.
Perpus kecamatan. Mekkah. Jepang. Lima orang putra dan putri yang sehat dan
ceria..dan beberapa mimpi lainnya.
Ika pun
masih berada di kosan. Kawan sekamarku ini biasanya sudah berangkat ke
Bekasi,tempat kerjanya selama lima bulan ini, setiap jam enam pagi. Tapi hingga
jarum jam menunjukkan pukul 06.30 wib ika masih saja berkutat di depan laptopku
untuk membuat laporan pekerjaannya di new file dari Excel. Sesekali dari bawah
selimut aku tersenyum geli manakala kulirik wajah seriusnya ketika membuat
laporan.
Aku
hampir-hampir saja terlelap kembali ketika kemudian Ika meminta bantuanku
tentang pembuatan grafik di excel. Kubantu ia dan setelahnya mataku nampak
sudah terlalu segar untuk kembali ke bawah lindungan selimut. Alhasil,
setelahnya aku hanya berlagak tidur-tiduran demi menghindar dari kisikan angin
dingin yang berlalu lalang di kamar kosan kami.
---
Jam menunjukkan
pukul 07.50 ketika Ika selesai membuat laporannya. Saat itu aku juga sudah
beranjak bangun dari lagak tidur-tiduranku dan mulai merapihkan kamar. Ika
kemudian merebahkan badannya kembali ke kasur dan membuatku tak bisa menahan
cengiranku ketika menyaksikan betapa ‘bersahabat’nya ia dengan si kasur. Ia
melihat cengiranku. Alhasil setelahnya kami pun sibuk melontar ledekan ke satu
sama lain. Sampai kemudian ia berhenti dan berkata setengah serius.
“Ika punya
cerita mei. Cerita ini kisah nyata dan kayaknya bakal bagus banget kalo dibuat
novel.”
Aku
menaikkan sebelah alisku sebagai pertanda menyangsikan ucapannya.
“Serius!”
ia mendelikkan matanya ketika mendapati cibiran bibirku yang menyangsikan
ucapannya.
“masaa??..coba
ceritain!” Tantangku dengan senyum lebar.
“iya! Ini tuh
kisah nyata tentang dua orang anak tarbiyah Mei..”
Dan
setelahnya, selama hampir setengah jam berikutnya aku dibuat takjub, sedih, salting,
dan seabrek perasaan lainnya ketika mendengarkan Ika menuturkan ceritanya.
Cerita itu selanjutnya kubagikan pula kepadamu Dee dalam tulisan ini.
Jadi,,begini
ceritanya...
------------------------------ooo-----------------------------------------000-----------------------
“Abi gak
boleh nikah!! Abi gak boleh nikah lagi!! Huu..u..uu..”
Shania
memukul-mukul paha Toha dengan kepalan tangan mungilnya. Gadis berusia tujuh
tahun itu sudah 20 menitan ini menangis dan tak mau menjauhkan dirinya dari
abinya itu. Sebenarnya Shania merasa malu karena sejauh yang diingatnya
ia selalu berusaha menyembunyikan tangisnya dari Abi kebanggaannya. Shania
adalah anak yang tangguh! Begitu selalu yang dibanggakan Abi tentangnya.
Shania tak
menangis ketika ia terjatuh dari pohon mangga Mak Ida yang cukup tinggi. Ia
juga tak menangis ketika melihat darah merah yang mengalir dari lengan kanannya
ketika terjatuh itu. Ia menahan pedih dan tangisnya seorang diri dan hanya diam
dalam gendongan Abi menuju rumah sakit yang saat itu juga bersikap tenang, tak
seperti Umminya yang sudah banjir air mata dan malah hampir pingsan.
Dan tak hanya
itu saja. Di antara teman-temannya di SD, Shania bahkan sudah mendapatkan
jabatan sebagai pemimpin kelas. Ini lantaran ia yang hampir selalu ‘sibuk’ memberikan
perintah dan mengingatkan teman-temannya ketika terjadi kesalahan. Terlepas
dari betapa menjengkelkannya ia ketika bersikap sebagai bos cilik dihadapan
teman-temannya, Shania tetaplah seorang pemimpin kelas yang tangguh dan bisa
diandalkan.
Tapi saat ini,
Shania merasa tak bisa bersikap tenang. Berkebalikan dengan Ummi-nya yang
malah sibuk berusaha menenangkannya. Shania heran sekali. Mengapa Umminya bisa
menyuruh Abinya menikah lagi? Shania tak ingin mempunyai ibu tiri. Ummi saja
sudah sangat baik untuk Shania. Shania takut akan disiksa oleh ibu tiri seperti
yang diceritakan dalam filem-filem di televisi itu. Shania takut. Sungguh
takut!
Dan lihatlah.
Abinya saja terlihat enggan untuk menikah lagi. Abi hanya diam ketika Ummi
memintanya untuk menikahi perempuan entah siapa yang tak dikenal Shania. Jadi
kenapa Ummi tega meminta Ibu tiri untuknya? Shania tak mau! Sungguh-sungguh tak
mau! Titik.
Maka,
meski sebenarnya Shania letih juga karena lama menangis, ia membiarkan
saja matanya membengkak karena tangisnya. Ia biarkan Ummi Abinya melihat
tangisnya. Biar saja mereka tahu bahwa Shania sungguh tak menginginkan ibu
tiri. Shania tak ingin dijahati oleh ibu tiri.
Dan kini, Shania
sangat mengharapkan bisa menjadi manusia jenius yang bisa membaca pikiran orang
lain. Ia ingin sekali membaca pikiran umminya saat itu jua. Shania ingin
mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh Umminya sehingga harus meminta
Abi untuk menikah lagi.
Kenapa, Ummi...
? kenapa...?
-----------------------------------ooo-----------------------ooo------------------------------------
Aku tak mau
dipoligami selama aku masih hidup dan bisa menunaikan kewajibanku sebagai
seorang istri.
Itulah salah
satu pintaku pada mas Toha sewaktu ia mengkhitbahku sekitar delapan tahun yang lalu.
Bukan karena membenci poligami. Tapi lebih dikarenakan aku yang merasa tak akan
pernah ridha jika harus diduakan dengan wanita lain. Membayangkan bagaimana aku
harus berbagi hari dengan wanita lain dan membiarkan bahu Mas Toha disandari
olehnya saja sudah cukup membuat dadaku sesak. Apalagi jika benar-benar harus
melalui malam-malam tertentu dalam kesendirian manakala Mas Toha tengah berada
di rumah “madu”ku. Ya Rabbi..jika diperkenankan, Aku sungguh hanya menginginkan
keluarga sederhana dan bahagia tanpa ada kehadiran pihak ke tiga di antara
kami.. amiin...
Mengizinkan
suami berpoligami memang merupakan salah satu jalan bagi seorang istri untuk mendapatkan
surga. Tapi, jika dalam izin itu tak ada ridha di dalamnya, itu hanya akan
menjadi sesuatu yang sia-sia belaka. Malah hanya akan menyakiti diri sendiri
saja. Dan aku sungguh merasa tak akan bisa meridhai suamiku untuk
berpoligami.Tak akan.
Tapi saat ini
kami dihadapkan pada situasi yang sangat pelik.
Ada seorang muslimah
yang jiwanya terancam rusak dan aku turut andil terhadap apa yang tengah
dihadapi muslimah ini. Muslimah ini adalah salah seorang mentiku. Namanya
Farah. Sudah tiga tahun aku membimbingnya dalam jalan tarbiyah. Dan aku bisa
menyimpulkan bahwa ia adalah muslimah yang baik selain juga diberkahi dengan
rupa yang cantik ala Arab-Indonesia.
Farah sudah
berusia 22 tahun ketika ia memintaku untuk mencarikannya seorang pendamping
hidup. Tak sulit juga kriteria yang diajukannya padaku. Seperti umumnya
muslimah lain, Farah juga mengharapkan seorang muslim tarbiyah pula untuk menjadi
imam hidupnya. Selain juga faktor kemapanan untuk menafkahi kehidupan keluarga
barunya kelak.
Awal Muharram
lalu aku coba menanyakan kepada suamiku, Mas Toha tentang calon suami untuk
mentiku, Farah. Dan alhamdulillah, Mas Toha memberikanku beberapa alternatif
nama. Setelah diskusi berdua dengannya, kami mendapatkan Farid sebagai pilihan
kami untuk Farah.
Farid adalah
rekan bisnis Mas Toha di bidang travelling. Menurut Mas Toha Farid adalah
bisnisman muda yang tak hanya rupawan namun juga cukup aktif di bidang
pengembangan imtaq para pemuda di kota Bekasi. Ia juga adalah menti dari Kiai
Basyar, yakni paman Mas Toha.
Demi
menyegerakan hal baik ini (read: pernikahan), maka kuserahkanlah biodata Farah
kepada Mas Toha untuk diberikan kepada Farid. Dan tak lama Farid pun memberikan
sinyal positif terhadap rencana ini dan turut memberikan biodatanya kepada
MasToha untuk kemudian dititipkan kepadaku dan kuserahkan kepada Farah. Sinyal
positif pun ditunjukkan oleh Farah dan tiga hari setelah ia memberikan
jawabannya kepadaku, acara khitbah pun dilangsungkan.
Saat khitbah
dilangsungkan, kakak Sulung Farah bertindak sebagai wali. Ini dikarenakan Farah
berasal dari Kediri dan ayahnya saat itu sedang sakit sehingga didatangkanlah
kakaknya sebagai wali pengganti.
Dalam acara
khitbah itu, ditentukan bahwa akad nikah akan dilangsungkan berbarengan dengan
walimahannya pada awal Rabiul Awal atau bertepatan juga pada bulan November
nanti. Walimahan akan berlokasi di rumah mempelai wanita yakni di Kediri, Jawa
Timur.
Sejak prosesi
khitbah itu, Farah diminta pulang oleh keluarganya untuk mempersiapkan segala
sesuatunya. Tentunya kepulangan Farah ini adalah setelah ia menyelesaikan
tugas-tugasnya di Jakarta. Entah itu tugas kuliah, pekerjaannya sebagai
Apoteker, serta amanah-amanahnya yang lain. Sejak kepulangannya ke Kediri
itulah, kami jadi lebih sering berkontakan via handphone.
Waktu terus
berlalu hingga akhirnya bulan Safar tinggal tersisa beberapa hari lagi. Hari
kian mendekati tanggal resepsi pernikahan Farah dan Farid. Segala persiapan
hampir rampung semua. Undangan sudah disebar. Catering sudah dipesan.
Baju sudah difiksasikan. Dan urusan administrasi di KUA pun sudah diurus.
Begitulah yang kudengar dari cerita Farah ketika ia menelponku kemarin malam.
Akan tetapi,
suatu fitnah mengguncang rencana pernikahan Farid dan Farah di H-1 dari hari
walimahan yang telah ditentukan. Sebuah berita mengejutkan aku dan MasToha di
sore H-1 itu. Jayadi, kakak sulung Farah yang dulu menjadi wali di prosesi
khitbah adiknya itu menelpon suamiku dan mengabarkan bahwa Farid mengirimkan
sebuah pesan singkat kepada adiknya. Itu bukanlah sms biasa. Kuketahui isinya
setelah Jayadi mem-forward sms yang dikirimkan Farid itu kepada suamiku.
Isi dalam pesan singkatnya itu menyatakan bahwa ia (Farid) memohon maaf karena
tidak bisa melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.
Aku terkejut.
Sangat. Pun jua suamiku.
Kemudian Mas
Toha menanyakan kepada Jayadi kebenaran isi sms itu apakah benar berasal dari
Farid. Dan Jayadi menceritakan bahwa ia pun awalnya sangsi dengan keabsahan
asal pengirim pesan mengejutkan itu. Tapi setelah ia mencoba menghubungi nomor
telpon Farid, ia selalu tersambung ke mail box. Kemudian kutuntut
suamiku untuk menanyakan padanya apakah ia sudah menghubungi keluarga Farid.
Jayadi kembali mengiyakan dan menceritakan bahwa orang tua Farid pun sangat
terkejut ketika tiba-tiba mendapat telpon dari putra mereka terkait batalnya
pernikahan antara putranya dan Farah. Padahal saat itu kedua orang tua Farid
sudah ada di perjalanan menuju Kediri. Sehingga kemudian mereka berbalik pulang
kembali ke Jakarta. Berharap bisa menjumpai putra mereka di rumah, sayangnya
mereka tak mendapati Farid di manapun dan tak bisa pula mengontak nomor telpon
putranya. Bagai ditelan bumi, Farid menghilang entah ke mana. Ia menyisakan
tanda tanya beserta luka di hati Farah dan keluarganya sekaligus juga ancaman
hancurnya masa depan Farah sebagai seorang wanita yang memimpikan kehidupan berumah
tangga.
Terbayang olehku
bagaimana rupa rasa Farah saat ini. Di hari yang seharusnya mengantarkannya ke
pintu kebahagiaan pada akad nikah esok hari, ia malah mendapatkan kabar
menyakitkan tentang batalnya pernikahan secara sepihak oleh Farid. Bingungnya
lagi adalah tak ada keterangan yang jelas terkait hal ini. Jikalah bisa
memilih, mungkin saja saat ini Farah akan memilih menjadi bagian dari ketiadaan
agar ia tak perlu merasakan sakit dan perihnya sebuah pengkhianatan.
Oleh sebab
itulah aku merasa bersalah kepada Farah dan keluarganya karena darikulah ia
bisa mengenal Farid. Suamiku pun sebenarnya merasa bersalah sekali karena ialah
yang kali pertama mengusulkan nama Farid kepadaku. Meski begitu, ia berusaha
menenangkanku agar tak terlalu menyalahkan diri. Mas Toha malah mengajakku
untuk bersegera mencari solusi dari permasalahan ini. Di saat aku masih terlalu
gagu untuk mengucapkan apa pun, Mas Toha sudah sibuk menelpon menti-menti
ataupun ikhwan shaleh yang dikenalnya dan menawarkan kursi calon mempelai pria
untuk akad pernikahan di hari besok.
Mustahil?
Ya. Awalnya aku
pun berpikir begitu. Tentunya sangat sulit untuk mendapatkan seorang ikhwan
yang mau menikah mendadak di akad nikah yang hanya tinggal bersisa waktu satu
hari saja. Terlebih lagi Mas Toha tak bisa mengirimkan biodata Farah lantaran
biodatanya dibawa pergi oleh Farid entah ke mana sementara aku sendiri tak
memiliki data yang cukup tentang Farah. Tapi janji Allah menjadi pegangan kami
berdua saat itu. Bahwa ada rencana terbaik untuk Farah dan masing-masing kami.
Usaha suamiku
menelpon ikhwan-ikhwan shaleh yang dikenalnya itu terus berlanjut hingga adzan
maghrib berkumandang. Sayangnya belum ada satu pun ikhwan yang bersedia untuk menikah
mendadak di hari esok. Ketenangan yang sempat ditunjukkan oleh suamiku di
awal-awal tadi mulai meluntur. Dan ia mulai sama paniknya sepertiku.
Selanjutnya, setelah terdengar iqomah dari masjid di kejauhan, kami pun shalat
magrib berjamaah bertiga dengan Shania, putri kami.
Saat itulah.
Ketika kumunajatkan kepada Allah segala kesulitan yang kami hadapi saat ini,
benakku merasakan setitik ketenangan dan terpikirkan satu solusi yang mungkin
paling tepat untuk kondisi kami saat ini.
Setelah
bertahun-tahun lamanya berkubang dalam prinsip tak ingin dipoligami, usai shalat
magrib itu aku malah meminta suamiku untuk menikah lagi.
Saat kuucapkan
permintaanku itu, Shania sedang mengaji di ruang depan sementara MasToha
kembali menyibukkan dirinya menelpon ikhwan-ikhwan yang dikenalnya. Aku sendiri
saat itu masih mengenakan mukenah putihku dan khusyu’ menatap suamiku. Ketika
kuperhatikan dengan seksama betapa rupawannya wajah suamiku, dan teringat
kembali kenanganku selama delapan tahun hidup bersamanya, bahwa aku bahagia
selama delapan tahun menjadi istrinya, akhirnya kudapatkan sebuah keyakinan
dalam hati. Bahwa aku siap untuk menerima Farah sebagai adikku. Kuterima ia
sebagai maduku. Dan aku rela jika Farah memiliki cinta Mas Toha bersama
denganku. Aku akan ikhlas..
Ya Rabb,,
kumohon kuatkan hamba..bismillah...
Sayangnya,
ketika kuutarakan kerelaanku untuk dimadu dengan Farah, Mas Toha langsung
menolaknya. Ia sangat terkejut dengan permintaanku itu. Ia bahkan membutuhkan
waktu cukup lama dalam diam ketika aku terus memintanya untuk mengabulkan
permintaanku itu. Hingga kemudian ia tak lagi bisa bersabar dengan pintaanku
yang terus menerus, ia pun sedikit berteriak ketika mengucapkan,
“Saya gak siap
menikah lagi, Ros!”
Aku tercengang
ketika mendengar namaku keluar dari mulutnya. Sepanjang aku mengenalnya, Mas
Toha hanya menyebut namaku manakala ia sedang sangat marah kepadaku. Segera
saja kukunci mulutku dan menunduk sebelum akhirnya aku meminta maaf padanya. Merasa
menyesal karena telah membentakku, Mas Toha menggenggam jemariku dan berkata
dengan suara lembut.
“maaf, Dik.. saya
sudah janji sama kamu untuk gak akan poligami di awal saya mengkhitbah kamu,
Dik. Bahkan hingga takdir-Nya memisahkan saya dari kamu pun saya sudah berjanji
untuk tetap menjaga pernikahan kita agar tetap utuh.
“... Kamu adalah
bulan bagi semesta malam saya. Dan bagi malam, hanya ada satu bulan yang bisa
memilikinya. Itu kamu... Jadi saya mohon, yakinlah bersama saya bahwa kita bisa
menemukan jodoh yang baik bagi Farah dan dia bukanlah saya. Saya mohon...”
Hatiku bergetar
ketika kudengarkan ucapan Mas Toha di hadapanku. Kuangkat wajahku dan kutatap
matanya. Ada kesungguhan sekaligus juga permohonan mendalam yang kutemukan di
matanya. Hampir saja air mata lolos dari mataku. Sebelum akhirnya kukuatkan
diriku untuk kembali berucap,
“Terimakasih
Ka.. Adik sangat bahagia mengetahui komitmen Kaka untuk mengutuhkan pernikahan
kita ini. Meski begitu, jikalah usaha kita untuk menemukan ikhwan yang baik
untuk Farah belum jua mendapatkan hasil, Adik akan ikhlas untuk menerima Farah
sebagai saudari Adik di rumah ini. Menikahlah dengan Farah, Ka..”
Mas Toha kembali
terkejut dan membeku dalam diam. Ucapanku ini belum juga mendapat balasan
ketika Shania mengejutkan kami berdua dengan teriakannya. Di detik berikutnya
Shania sudah merangsek maju memukuli paha ayahnya dan menyatakan
ketidaksetujuannya perihal ayahnya harus menikah lagi. Mas Toha terdiam tak
tahu harus berkata apa sementara aku berusaha menenangkan Shania. Sayangnya
Shania bertahan cukup lama dalam tangisnya dan membuatku cukup khawatir dengan
terus berlalunya waktu yang mulai beranjak malam. Saat itu kami belum menemukan
calon suami pengganti untuk Farah dan hatiku mulai kembali sesak ketika
memikirkan bahwa besar kemungkinan aku benar-benar akan dimadu.
Ya Rabb...
Diselesaikan
pada,
Kamis, 01 Agustus 2013
Di
Rumah ke lima, Gintung.