Oleh : Mei
Genre : Petualangan, Fantasi, Misteri
Tiara terbangun oleh teriakan Emak. Remaja berusia 14 tahun itu sangat terkejut ketika ia dapati weker di samping tempat tidur menunjukkan pukul 7 pas.
'Gawat! Bisa telat, nih!'
Maka segera Tiara langkahkan kaki menuju kamar mandi. Sekedar membasahi tubuh dengan air dan menggosok gigi, setelahnya berseragam dan mencomot satu pisang goreng di piring. Lalu bersepatu dan pamit ke orang rumah.
Di perjalanan, Tiara dapati Ao, San, dan Flo juga tengah lari-lari sepertinya. Tiga temannya yang berkulit hitam itu nampaknya juga telat bangun pagi ini. Sembari berlari, ia menyapa ketiga kawannya itu. Dan mereka balas menyapa Tiara dengan sebuah anggukan.
Untuk sampai ke sekolah, Tiara, Ao, San dan Flo harus melewati belokan-belokan gang kecil di antara rumah penduduk, kali kecil, juga gedung kosong, sawah hingga kemudian tiba di sekolah. Mereka berkejaran dengan waktu yang kini sudah menunjukkan pukul setengah 8 kurang sepuluh menit. Sepuluh menit lagi batas waktu yang mereka miliki untuk bisa diperbolehkan masuk melewati gerbang sekolah oleh Pak Dril, satpam sekolah mereka.
Kemudian, saat anak-anak itu hampir sampai di depan gedung kosong, mereka mendapati sekelompok gangster tengah berkumpul di sana. Ada sekitar 11 orang gangster berbadan kekar dan bertampang sangar yang masing-masingnya memegang sebuah senjata. Entah badik, clurit, arit, atau hanya sebilah kayu balok tebal nampak kuat dalam genggaman mereka. Melihat pemandangan di depannya, Tiara dan ketiga kawannya itu mendadak berhenti.
Tiara mengenal jelas siapa kelompok gangster itu. Entah dengan Ao, San dan Flo yang baru pindah ke kampungnya sekitar dua minggu lalu. Orang-orang sangar itu adalah gangster Dravgon, gangster paling berpengaruh di wilayah Waduk Ulung, kecamatan dimana kampung Tiara berada. Biasanya kelompok gangster ini berkeliaran di wilayah Pasar pada malam hari. Kelompok Dravgon hanya muncul di siang hari hanya jika mereka hendak membasmi 'serangga', itu istilah mereka untuk para pengganggu kekuasaan kelompoknya. Dan sejauh ini, di wilayah Waduk Ulung ini ada amat sangat sedikit orang yang berani menjadi serangga-nya kelompok Dravgon. Karena apa? Karena kematian adalah putusan akhir yang akan diterima nantinya.
Maka, ketika melihat para gangster Dravgon itu, Tiara langsung merasa gentar. Dan ternyata, ketiga kawan lainnya pun nampak sedang menimbang-nimbang, apakah sebaiknya mereka berbalik pulang saja atau mungkin mencari jalan lain untuk tiba di sekolah? Hmm...
Sebagai yang paling mengetahui seluk beluk gang menuju sekolah (karena Ao, San dan Flo adalah anak pindahan), Tiara pun memikirkan jalur lain yang tercepat untuk menuju sekolah. Dan yap! Ia mendapatkannya.
Kemudian Tiara mengajak ketiga kawannya itu pergi berbalik arah menuju jalur lain ke sekolah. Tapi, belum selesai ia berkata, ucapannya terhenti oleh sebuah teriakan.
"Itu dia!"
Teriakan itu keluar dari mulut seorang gangster di depan empat anak remaja itu. Tiara tak tahu siapa yang dimaksud oleh gangster itu. Tapi karena dilihatnya gangster itu berbondong-bondong jalan ke arah mereka, Tiara pun langsung didera rasa takut tiba-tiba.
Ketakutan yang dirasakan Tiara sempat membuatnya terpaku diam. Sampai kemudian Ao berkata,
"Lari!"
Ao menarik lengan Tiara untuk segera berlari dan ia pun mengikuti langkah Ao pergi.
Langkah Tiara terbilang lambat di antara tiga kawannya yang lain. Mungkin ini disebabkan oleh tinggi tubuhnya yang terbilang paling pendek di antara mereka berempat. Meski begitu Tiara tetap berusaha lari sekencang yang ia bisa. Walau mesti diakuinya juga, bahwa ia hampir putus asa saat mendengar teriakan para gangster di belakang mereka yang kian mendekat. Hal ini menguatkan dugaan Tiara bahwa para gangster itu memang benar-benar mengejar mereka untuk sebab yang belum diketahuinya.
Kemudian, tetiba saja Ao meneriakkan saran agar mereka berpencar. Dan mereka pun berpencar. Dimana Tiara dan Ao ke arah kiri sementara San dan Flo ke arah kanan. Selanjutnya Tiara dan Ao terus berlari. Kali ini mereka sedang melewati persawahan. Sayangnya di sawah masih cukup sepi jadi tak ada yang bisa dimintakan pertolongan.
Setelah beberapa menit berlari, Tiara menyadari bahwa nampaknya ia dan ketiga kawannya yang lain sudah sangat terlambat untuk masuk sekolah. Dan yang paling mencemaskan adalah para pengejar mereka masih juga tak mau menyerah. Sembari berlari Tiara terus bertanya-tanya dalam hati, 'kenapa kami dikejar?'.
Gangster yang mengejar Tiara dan Ao kini berjumlah Lima orang. Sekilas dilihatnya dua orang memegang badik, sisanya memegang balok. Kembali, rasa gentar hinggap dalam hati Tiara. Berharap ia bisa melalui hari ini dengan selamat. Begitu juga kawannya yang lain. Aamiin.
"Hey! Berhentii!"
Terdengar kembali teriakan seorang gangster di belakang Ao dan Tiara. Diteriaki seperti itu mereka berdua malah semakin semangat memacu laju larinya.
'siapa pula yang mau berhenti kalo diacungin badik sama balok seserem itu!' rutuk Tiara dalam hati.
Kemudian, di suatu belokan, Ao menyuruh Tiara untuk bersembunyi di dalam lumbung padi di pinggir sawah. Entah milik siapa lumbung padi yang mereka masuki itu, tapi Tiara berharap pemiliknya tak akan berkeberatan saat mengetahui bahwa ia mengacak-acak padi keringnya untuk bersembunyi.
Tiara kemudian terkejut ketika Ao mengatakan,
"Kamu di sini saja. aku akan memancing mereka agar peri jauh. jika sudah aman, segeralah pulang. Oke?"
"Tapi Ao gimana?.."
Pertanyaan Tiara itu tak mendapatkan jawaban karena Ao sudah buru-buru berlari pergi. Rasa cemas pun menyergapnya. Berharap Ao, juga San dan Flo akan baik-baik saja.
"Lex, ke sini!"
Suara seorang gangster kembali terdengar. Tiara kembali terkejut dan buru-buru menimbunkan kepalanya dalam butir-butir padi. Telinganya kemudian menangkap suara langkah para gangster yang melewati lumbung padi tempatnya bersembunyi dan akhirnya pergi ke arah Ao tadi pergi.
Di saat Tiara merasa kondisi sudah aman, ia pun keluar dari tempat persembunyiannya. Ia lalu segera keluar dari lumbung lewat pintu yang tadi ia masuk. Tapi kemudian ia dikejutkan oleh fakta bahwa tiga orang gangster sudah menyambutnya di depan pintu.
Tiara pun segera berbalik arah ke pintu keluar lainnya. Tapi usahanya gagal karena seorang gangster pun sudah menjaga pintu satunya. Akhirnya Tiara menyerah pasrah ketika keempat gangster itu mendekatinya dengan wajah-wajah sangar mereka. Dan kemudian, Tiara merasakan sebuah pukulan di tengkuk yang membuat dunianya gelap seketika.
---
"Kol, bocahnya dah sadar!"
Sebuah suara bass asing terdengar saat Tiara mulai membuka mata. Kegelapan dan rasa pusing di kepala adalah dua hal yang pertama kali disadarinya.
'ini dimana?'
Pertanyaan itu sempat menggantung selama sedetik dalam benak Tiara. Sebelum akhirnya kesadaran menghampirinya. Bahwa ia berada dalam tangkapan para gangster yang mengejarnya tadi. Kemudian, kembali ia menyadari satu hal lain.
"jam...jam berapa sekarang?"
Tiara tak menyadari bahwa baru saja ia mengucapkan pertanyaan itu cukup keras, sehingga seorang gangster yang duduk paling dekat dengannya akhirnya tertawa pelan.
"heh. Ni bocah berani juga. Dia malah nanya jam. Heh. Heh. Heh." Ucap gangster itu.
Lalu, seorang gangster lain ikut berkata.
"namanya juga anak sekolah. Ya neng? Kelas berapa Neng?"
Takut-takut dan sedikit ragu Tiara menjawab pertanyaan gangster itu.
"kke..kelas.. delapan.."
"kelas delapan? Emang SD bukannya sampe kelas enam doang ya, Cil?" Tanya gangster itu pada kawannya.
"dodol, lu! Kelas delapan tu artinya kelas 2 SMP. Masa gitu aja lu kagak tau."
"ooh..."
Selagi mendengarkan obrolan dua gangster itu, Tiara mengamati ruangan tempatnya berada kini.
Saat ini Tiara duduk bersender di ruangan yang minim cahaya dengan banyak balok-balok kayu tua. Ukuran ruangan ini cukup luas. Sekitar 10 x 7 meter. Selain balok-balok kayu, ia hanya bisa melihat sebuah kursi dan meja yang berada sekitar 2 meter dari tempatnya duduk. Dan di ruangan ini ia hanya bertiga dengan dua gangster ini. Sampai kemudian dilihatnya sesosok gangster lain datang dari arah pintu masuk.
Melihat sosok yang baru datang, kedua gangster di dekat Tiara langsung sigap berdiri. Dari sikap kedua gangster itu, Tiara menduga bahwa gangster yang baru datang ini adalah atasan gangster.
Gangster itu kemudian mendekati tempat Tiara duduk. Dan kini Tiara bisa melihat lebih jelas rupa orang yang dikira Tiara sebagai atasan gangster itu. Orang itu memiliki tinggi tubuh sekitar 170-an dengan tubuh yang gempal dan cukup kekar. Ia memiliki rahang yang lebar dengan garis dahi seperti yang dimiliki orang-orang suku batak. Mata agak sipit, hidung pesek, serta bibir tipis berwarna kehitaman. Mungkin akibat terbiasa menghisap rokok. Orang itu mengenakan jaket kulit berwarna hitam di atas kaos hitam bergambarkan tulang ikan di bagian depannya. Celana jins biru pucat menjadi pilihan serasi yang dipakai gangster itu sehingga menampakkan penampilan kasar dan urakan. Ditambah lagi dengan aksesoris rantai dengan bandul-bandul tengkorak dan hiasan logam runcing lainnya yang dipakainya secara asal di bagian pinggang. Terlihat pula oleh Tiara sebuah tato entah gambar apa di telapak tangan sebelah kanan orang itu. Membuat Tiara jadi tambah takut dan kini menundukkan kepalanya dalam-dalam.
......
Sementara Tiara ada di markas para gangster, Ao, San dan Flo kini sudah berada di dalam kelas. Entah bagaimana mereka bisa masuk dan duduk di bangku mereka kini. Dan ekspresi mereka pun nampak seperti tak mengalami pengejaran oleh gangster tadi pagi.
Ketiganya sibuk mengikuti kegiatan sekolah saat ini. Ao dan San kemudian terlihat berkumpul bersama kelompok putra yang bermain bola. Dan Flo tampak berpasangan dengan remaja putri lain bernama Emi, bermain bulutangkis. Tak ada dari mereka yang mengingat ataupun menduga bahwa kawan mereka, Tiara saat ini diculik oleh para gangster yang sempat mengejar mereka tadi pagi.
Ao, San dan Flo baru menyadari bahwa Tiara tak pulang ke rumahnya, ketika Emak Tiara datang ke rumah Ao pada sore harinya, menjelang waktu ashar. Emak datang dan menanyakan keberadaan putri semata wayangnya itu yang sampai sore itu tak kunjung pulang. Tak seperti biasanya yang selalu memberi kabar lewat telpon jika memang hendak pulang sore. Emak menduga barangkali Ao tahu keberadaan putrinya itu saat ini.
Ditanya seperti itu, Ao memiliki dugaan. Tapi ia tak mengatakan dugaannya itu kepada Emak. Ia malah berbohong dan mengatakan tak tahu. Tapi setelah dilihatnya Emak telah pergi, Ao segera memanggil San dan Flo yang saat itu memang berada di ruangan lain di rumahnya.
Saat keduanya sudah berada di hadapan, Ao langsung memicingkan matanya. Ia menatap tajam Flo yang kini terlihat menundukkan kepalanya dalam-dalam. Di samping Flo, San pun sama-sama menunduk.
Entah kenapa sikap ketiga remaja itu telah berubah. Mereka tidak lagi bersikap seperti remaja umumnya. Lebih seperti orang dewasa dalam tubuh anak kecil.
"Tiara ada di tangan gangster itu. Kita ke markas mereka sekarang juga." ucap Ao dengan nada asing, seperti nada seorang pria dewasa.
"Tapi Tuan! itu berbahaya!" ucap San berusaha mencegah niat Ao, atau 'tuan'-nya seperti yang ia katakan.
"Biar saya saja yang membereskan ini, Tuanku." Kali ini Flo memberanikan diri tuk bicara.
"Dan kau akan membuat masalah lagi, Flo? seperti semalam tadi? Mereka mengenalimu sebagai 'orang' yang terakhir kali dilihat mereka bersama Chan."
"saya akan kembali menjadi ghullian. Jadi mereka tak akan mengenali saya, Tuan.."
"saat hari masih terang begini, kau ingin menjadi ghullian untuk menghadapi segerombolan manusia itu seorang diri?"
"ss...saya..."
"cukup!. Kita bertiga ke sana. Kita bersihkan mereka diam-diam dan mengembalikan Tiara ke rumahnya. Kita harus menjaga ketenangan di kampung ini. Agar kelompok lain tak mengenali penyamaran kita di sini." ucap Ao menutup kalimatnya.
"baik, Tuan.." ucap San dan Flo bersama-sama.
.....
'sudah sore-kah?'
Tiara kini sedang makan sebungkus roti yang tadi disodorkan oleh gangster bernama Bocil. Selagi makan, ia memikirkan apa yang dibicarakan oleh atasan gangster dengannya tadi. Bahwa saat ini mereka sedang mencari seorang anak seumurnya yang mereka duga mengetahui keberadaan bos mereka. Semalam tadi, bos mereka pergi setelah menerima telepon dari orang tak dikenal. Bos mereka kemudian pergi seorang diri. Mungkin karena khawatir, seorang anak buahnya mengikuti dari belakang diam-diam. Lalu anak buahnya itu melihat bos mereka terlibat perbincangan serius dengan seorang remaja berpakaian seragam sekolah Tiara. Lalu bos mereka pergi dengan anak perempuan itu entah kemana. Sayangnya, di pertengahan jalan, gangster yang mengikuti malah kehilangan jejak. Dan sejak itu, bos mereka tak lagi bisa dihubungi. sampai sekarang.
Setelah mengetahui bahwa bos mereka dalam bahaya, maka seluruh anak buah pun dikerahkan oleh wakil bos untuk mencari keberadaan sang bos. Mereka mengolompokkan diri menjadi beberapa kelompok dan berjaga di beberapa pos yang biasa dilewati oleh anak sekolah. Sebelumnya gangster yang mengetahui wajah remaja perempuan yang bersama bos semalam tadi, telah menjelaskan ciri-ciri anak perempuan itu.
Tinggi sekitar 158 cm. Rambut dipangkas pendek. Sertaberasal dari ras kulit hitam. Ciri-ciri yang mudah dikenali di wilayah Waduk Ulung, karena tak banyak orang kulit hitam yang tinggal di sana.
Tiara yang mendengar ciri-ciri tersebut, langsung saja teringat pada kawan barunya, Flo.
'Tapi benarkah Flo?...' Tanya Tiara dalam hati.
'Kalau benar Flo, kenapa dia bisa berurusan dengan bos gangster? bukankah dia, San, dan Ao baru pindah dua minggu lalu? ahh.. yang paling penting saat ini adalah, bagaimana caraku untuk pulang? kenapa pula aku masih dikurung di sini??'
Saat Tiara memikirkan cara agar dia bisa pulang, terdengarlah suara Ao yang berteriak-teriak dari luar.
"Tiaraa... Tiaraa.. Tiara di dalam kan?" teriak Ao.
' Ao?'
" Ao!! Tiara di sini! di sinii!!" balas Tiara dengan berteriak pula.
Aksi dua remaja itu yang saling berteriak cukup mengganggu para gangster di gudang tempat Tiara dikurung. Alhasil gangster itu pun ikut menangkap Ao dan memasukkannya ke dalam gudang bersama Tiara. Saat itu ada tiga orang gangster di dalam gudang, serta lima gangster lainnya diluar pintu.
Tiara kira bisa lega bernapas karena ia tak lagi seorang diri. Meski ia juga merasa heran bagaimana dan kenapa Ao bisa ada di sini. Maka setelah gangster-gangster agak jauh dari mereka, Tiara pun berbisik pada Ao.
"Ssstt... Ao..kenapa ke sini..?"
Ao pun membalas ucapannya dengan berbisik pula.
"tenang. kita bebas sebentar lagi." ucap Ao dengan nada kalem.
Tiara masih bingung dengan jawaban menggantungnya Ao. Apalagi ia juga penasaran dengan dugaannya tentang Flo. Maka ia pun kembali bertanya pada kawannya itu.
"Aaooo... gimana caranya?.. oya. Floo.."
"Heh bocah! diem lu!"
Tiara terkejut ketika tetiba saja seorang gangster sudah berada di dekatnya dan membentaknya. Ia pun memilih untuk diam dan banyak berdoa. Berharap ucapan Ao tentang 'bebas' itu bisa benar dan lekas terjadi. Aamiin.
.....
Waktu terus bergulir. Sudah sekitar setengah jam berlalu sejak Ao menemani Tiara disekap di gudang tua. Hingga sejauh ini Ao tak lagi berkata apa-apa dan ini membuat Tiara kembali merasa gelisah. Sampai akhirnya...
"Tiara, nanti, saat kubilang 'lari', larilah sekencang-kencangnya. ke pintu langsung." Bisik Ao pelan.
Tiara terkejut dengan bisikan Ao itu. Karenanya ia kembali bertanya.
"Tapi kan di luar ada gangster juga, Ao..?"
"tenang saja."
Sudah. setelah perbincangan singkat itu, Tiara kembali harus menahan diri dalam kesunyian. Tapi kali ini ia tak lagi merasa gelisah. Setelah dilihatnya Ao nampak tenang dan yakin bahwa mereka benar akan bisa bebas.
Selama sisa waktu menunggu itu, Tiara pun mencoba mengurut sendi-sendi kakinya yang sedikit keram. Gerakannya ini agak dicurigai oleh tiga gangster yang ada di ruangan itu. Karenanya Tiara buru-buru memasang tampang nyengir. Tampang nyengirnya Tiara itu tampak aneh di mata para gangster. Karena Tiara tak sadar bahwa sesungguhnya rasa takut telah bercampur dengan cengiran terpaksa miliknya.
Dan akhirnya, datanglah detik-detik kebebasan yang diharapkan oleh Tiara.
Ini dimulai dengan Ao yang tetiba saja berteriak dan menunjuk ke salah satu pojok gudang.
"Apa itu!"
Spontan, semua gangster termasuk juga Tiara ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Ao. Nampak di sana asap putih yang membumbung di udara.
Seorang gangster mendekati pojokan itu, lalu berteriak,
"Cil, api cil!"
Dari tempat duduknya, Tiara bisa melihat sebuah balok kayu terbakar. Api yang membakar balok kayu itu tetiba saja membesar. Ini menyebabkan kedua gangster lain menjadi panik dan segera mendekati sumber api itu sambil membawa air botol. Dan saat itulah, Ao menarik tangan Tiara.
"lari!" katanya pelan.
Pada mulanya Tiara terkejut dengan tarikan Ao yang tiba-tiba. Tapi sedetik kemudian ia sadar bahwa inilah kesempatan bebas yang ditunggunya sedari pagi. Maka ia pun segera lari sekencang-kencangnya ke arah pintu.
"sial! bocahnya kabur, Kol!"
Tiara mendengar teriakan gangster di belakangnya itu. Ia pun kian menggegaskan langkahnya menuju pintu. Meski samar-samar ada kekhawatiran dalam hatinya.
" Ao! gimana kita ngadepin gangster yang di luar!?"
"terus lari!" jawab Ao ringkas.
Setelah mencapai pintu dan keluar dari gudang, barulah Tiara mengerti apa maksud ucapan Ao tadi. Mereka memang hanya perlu untuk terus berlari karena semua gangster yang berada di luar gudang kini sudah bergeletakan di tanah.
"Mereka kenapa?" tanya Tiara sambil berlari.
"tidur"
"Kenapa bisa ti.. Argh!"
Tetiba saja Tiara jatuh. Kakinya terjebak di antara ranting-ranting dua pohon yang telah rubuh.
Mendengar teriakan Tiara, Ao pun sadar dengan apa yang terjadi. Ia bergegas kembali dan membantu Tiara membebaskan kakinya dari himpitan ranting pohon itu.
Entah kenapa, mereka kesulitan untuk membebaskan kaki Tiara dari himpitan ranting pohon. Tiara sendiri merasa seperti ada tangan yang mencengkeramnya erat-erat hingga tetap terjebak di himpitan batang pohon itu. Diliriknya Ao, yang sesaat melebarkan matanya. Tiara tertegun. Ia merasa baru saja melihat kilat emas di mata Ao. Atau mungkin itu hanya efek dari kelelahan yang menyergapnya saat itu.
Lalu, ketakutan kembali dirasakan Tiara ketika dilihatnya sang atasan gangster datang mendekati mereka. Dan kemudian, Tiara merasakan kakinya yang terjebak mulai bisa diangkat. Ia segera menunduk ke arah kakinya. Ia kembali tertegun. Karena sekilas saja ia melihat keanehan pada tangan Ao. Tangannya seperti memanjang dan menembus ke dalam kayu pohon sebelum akhirnya kembali ke wujud tangan biasa.
Tiara segera mengangkat pandangannya ke wajah Ao. Kali ini ia dibuat benar-benar tercengang.
"Ma..matamu!...emas!!" seru Tiara.
Sesaat Tiara menyaksikan ketika mata Ao melebar. Ia dapati perasaan terkejut dan takut di mata kawannya itu. Tapi hanya sebentar saja. Karena kemudian perhatiannya langsung kembali ke arah ketua geng. Lalu beberapa hal terjadi secara cepat dan bersamaan.
Dilihatnya sesuatu terjadi pada tangan ketua geng. Lengan ketua geng itu tetiba saja menghitam dan kisut dan... memanjang! Panjangnya bahkan mampu meraih kerah kemeja putih Tiara dan kemudian mengangkatnya hingga berdiri dan menggantung beberapa senti dari atas tanah. Lalu tetiba pula Tiara merasa tubuhnya dihempaskan jauh ke arah belakang hingga membentur keras ke sebuah pohon. Di waktu yang bersamaan ketika ia membentur pohon, dilihatnya kawannya, Ao, berdiri dan mengacungkan tangannya ke arah ketua geng. Lalu entah ilusi atau bukan ia melihat tubuh Ao membesar dan berubah menghitam dan kisut. Sesuatu yang tadinya adalah lengan milik Ao kini telah memanjang secara drastis dan tampak mengancam ke arah ketua geng. Kemudian Tiara tak tahu lagi apa yang terjadi. Karena tiga detik setelah benturannya dengan pohon, dunia menggelap bagi Tiara. Ia pingsan.
......
Saat sadar, samar-samar Tiara mendengar namanya dipanggil. Ketika kesadarannya menajam, ia dapati Ao, San dan Flo yang mengelilinginya.
"Tiara.. bangun.." itu suara San.
"bangun Tiara..." kali ini adalah suara Flo.
"Mau sampai kapan kau akan tidur? sudah mau magrib lo." ini suara Ao.
Tiara terkejut mendengar ucapan Ao. Tapi ada hal lain yang membuatnya tergesa-gesa untuk duduk dan melihat ke tiga temannya itu. Diamatinya baik-baik kondisi Ao, San dan Flo sebelum akhirnya ia mendesah lega dan memeluk orang yang berjongkok paling dekat dengannya.
"Syukurlah.. kalian gak papa. Tia takut banget kalo sampe terjadi apa-apa sama kalian." ucap Tiara.
Lalu Tiara merasakan tubuh orang yang dipeluknya menegang. Ia pun melepaskan pelukannya dan melihat wajah Ao yang nampak terkejut. Ia menoleh ke arah San dan Flo yang kini hanya diam menatapnya. Lalu kembali melihat wajah Ao yang masih juga terkejut.
Kemudian Tiara mengingat peristiwa terakhir sebelum ia pingsan. Ketua geng yang menghempaskannya dengan tangan hitam yang memanjang. Dan Ao yang membesar dan menghitam dan tangan yang memanjang..
Tiara segera melihat tangan Ao yang kini menjuntai santai di samping tubuhnya. Itu adalah tangan yang normal. Secara spontan di raihnya tangan Ao untuk diamatinya lekat-lekat.
"Tanganmu tadi hitam.. dan memanjang.. bagaimana bisa sekarang...?" ucap Tiara dengan suara bisikan.
Tak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Justru tangan Ao malah menegang sebelum kemudian ditariknya hingga lepas dari pegangan Tiara. Lalu Tiara melihat keterkejutan yang kini ada di wajah ketiga kawannya.
"kenapa?" tanya Tiara lagi.
Tak ada jawaban untuk pertanyaan Tiara itu. Lalu Tiara teringat pada hal lain.
"oya. Ketua geng itu!" seru Tiara tiba-tiba.
Ucapannya ini mampu memecah keheningan yang tadi sempat mengisi udara. Dan San pun menjawab pertanyaan Tiara yang belum terjawab.
"Tak tahu apa maksudmu dengan 'ketua geng', tapi yang jelas kita bukanlah orang yang mereka kejar."
Ucapan San ini terdengar diucapkan dengan sangat hati-hati. Lalu ia kembali berkata,
"Kamu seharian tidur di sini, Tiara?" itu adalah sebuah pertanyaan. Anehnya, Tiara merasa itu diucapkan sebagai sebuah pernyataan.
"tidur?"
Tiara heran dengan pertanyaan itu. Lalu ia pun menyadari di mana mereka berada kini. Mereka berada di lumbung padi tempat Tiara sempat bersembunyi dari kejaran para gangster tadi pagi.
Tiara mengerutkan dahi ketika mendapati cahaya lembayung yang masuk dari pintu lumbung yang terbuka lebar.
"sial! udah sore! ayo pulang!" ajak Tiara pada tiga kawannya. Mereka pun beranjak bangun dan bergegas keluar dari lumbung dengan Tiara yang melangkah cepat-cepat paling depan.
"kamu gak tidur seharian kan, Ti?" tanya Flo di samping kirinya.
"apa? tidur? enggak lah! kan Tia cuma pingsan sebentar. iya kan O?"
"aku gak tahu. aku kan seharian ini gak lihat kamu lagi."
Tiara terkejut dan menghentikan langkahnya. Ia lalu membalikkan badan dan menatap Ao.
"Kan kita dikurung bareng sama gengster itu, O." ucap Tiara dengan nada heran dan sedikit kesal.
Ao sendiri kini malah melihat Tiara dengan pandangan seperti kebingungan. Ia menatap San dan Flo bergantian. kedua temannya itu pun merasa bingung dengan ucapan Tiara.
"apa..siapa yang dikurung siapa? kapan?" tanya Flo pada Tiara.
Kali ini Tiara tak mampu menyembunyikan kejengkelannya karena ke'alpa'an memori ketiga temannya itu.
"ya Tia sama Ao. siapa lagi? kan kalian yang nyelametin kita dari kurungan gengster itu. gimana sih?"
Lalu Tiara melihat wajah ketiga temannya yang semakin kebingungan.
"Tiara.. yang kutahu, sejak tadi pagi kita berpencar lari, aku, San, sama Ao tuh di sekolah. Kita gak ngelihat kamu masuk kelas. dan kita baru tahu kalo kamu gak masuk kelas sewaktu ibumu dateng ke rumah Ao tuk nanyain kamu yang belum juga pulang. Akhirnya kami sibuk nyari kamu ke mana-mana dan ngedapetin kamu tidur di lumbung padi!"
"HAH!!?" Tiara terkejut setengah mati.
......
Di sebuah hutan, sekitar 230 km dari tempat rumah Tiara berada. Ao, San dan Flo kini berdiri dalam diam di antara barisan pohon Damar yang berjajar rapi. Mereka baru saja tiba di tempat itu sekitar lima menit lalu. Dan hingga kini, lima menit mereka lalui dalam diam dan sunyi. Sementara senja mulai menampakkan lembayungnya di kaki langit sebelah barat.
Setelah berdiam diri cukup lama, kesunyian hutan itu pun pecah oleh kata-kata Ao.
"Kau tahu kesalahanmu, Flo." ucap Ao tenang.
Saat mengatakan itu, Ao nampak melihat ke arah senja berada. Sementara San dan Flo berdiri sekitar satu meter di belakangnya. Mereka berdua menunduk dalam diam.
"Hamba salah, Tuanku.." ucap Flo sembari makin menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Kau tak menyelesaikan tugasmu semalam dengan baik. Sehingga membuat kita harus melalui hal tadi."
"Hamba salah, Tuanku..."
"Jadi, apa yang sebaiknya kulakukan padamu, Flo?" tanya Ao kembali dengan tenang.
"hamba siap menerima pedang cahaya, Tuanku." ucap Flo masih dengan kepala menunduk.
"Begitukah?" tanya Ao kembali.
"ya, Tuanku. Hamba...siap." ucap Flo lagi. Kali ini dengan kepala sedikit ditegakkan menatap kaki Ao.
Kembali. Keheningan mengisi udara di sekitar mereka. Sampai kemudian, Ao kembali berbicara. Kali ini ia bicara dengan nada penuh tekanan.
"Kesalahanmu adalah membiarkan orang-orang Chan mengikutimu semalam. Sehingga mereka tahu bahwa kau adalah orang terakhir yang mereka lihat bersama Chan. Dan itulah sebabnya mereka mencoba menangkapmu tadi pagi. Sayangnya tak berhasil dan malah menangkap Tiara
Dan selanjutnya.. Kita harus membebaskan Tiara dari tangan mereka, walau itu telah menyebabkan penyamaran kita diketahui oleh kelompok King lain. Kesalahanmu adalah itu. Dan kau memintaku untuk menebasmu dengan pedang cahaya?!"
"...." Flo tak mampu menjawab. Ia hanya kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia pasrah pada apapun keputusan Tuannya, Ao terhadapnya.
"kalau begitu bagaimana denganku!? bagaimana denganku, sebagai King Amman yang kini malah tertarik pada seorang manusia!?" Ucap Ao dengan suara keras. Saat mengucapkan kata-kata itu, ia agak menolehkan kepalanya ke arah kiri. Cukup memperlihatkan sedikit wajahnya pada kedua abdinya, San dan Flo.
"Tuanku?!" Ucap San dan Flo bersamaan .
San dan Flo terkejut mendapati sebuah ekspresi asing di wajah tuannya. Sebuah ekspresi seperti tersiksa...
Tak lama, Ao kembali menghadapkan wajahnya ke depan. Ke arah barat langit yang kini telah sempurna menenggelamkan sosok matahari. Hutan kini gelap sempurna. Hanya sedikit cahaya hijau dan biru di langit barat, bekas tempat tadinya lembayung senja berada. Dan bersamaan dengan perubahan di atas langit sana, perubahan pun menghampiri ketiga sosok hidup di hutan itu.
Ao, San dan Flo. Sosok mereka kini bukan lagi remaja manusia lelaki dan perempuan. Wujud mereka telah berubah menjadi seperti jelmaan bayangan. Sosok berwujud bayangan manusia berwarna hitam. Dengan warna mata kemerahan, kecuali satu sosok yang berdiri paling depan. Itu adalah sosok yang tadinya adalah Ao remaja. Warna mata sosok itu bukan kemerahan, melainkan keemasan. Mereka bertiga adalah Ghullian, makhluk bayangan.
Ghullian Ao kemudian menunduk untuk melihat rupa tangannya.
"Tangan ini..kegelapan ini..aku telah membandingkannya dengan cahaya yang dimiliki oleh manusia. Itu memang sedikit membuatku iri. Karena tak semua dari kaum kita yang bisa hidup di bawah cahaya matahari. Tapi..."
Ghullian Ao mengepalkan tangannya lalu menatap ke depan, ke barisan pohon yang masih bisa jelas dilihat oleh mata emas-nya. Seolah kedua bola mata itu telah cukup banyak menyimpan cahaya matahari pada siang hari tadi.
"tapi.. yang paling membuatku iri adalah dia. Manusia itu! ia memiliki ibu yang begitu....perduli padanya...sementara ibu...ku..."
"Tuanku..!" Ucap San dan Flo, lagi-lagi bersamaan.
San dan Flo mulai paham ke arah mana maksud pembicaraan Tuannya ini. Dan mereka juga tahu pada siapa manusia yang sedang membuat iri tuannya kini. Dia. Tiara. Tapi tertarik pada anak itu?
'bagaimana bisa?' tanya mereka dalam hati.
San dan Flo tak bisa berpikir jauh lagi. Karena kemudian, Tuan mereka kembali bicara.
"Dia...manusia itu.. bagaimana bisa dia begitu percaya dengan penjelasan kita tadi, setelah ia menyaksikan perubahan sosokku sebagai ghullian. Bagaimana bisa ia tak merasa takut padaku? dan bahkan dengan lancangnya memelukku!" ucap Ghullian Ao berapi-api.
"itu...hamba juga tak mengerti, Tuan." ucap San pelan. Di sampingnya, Flo sedikit menganggukkan kepala, mengiyakan kalimat San juga untuknya.
"aku bahkan tak pernah dipeluk oleh orangtuaku sendiri. King Jey terlalu sibuk melemparku ke lubang prajurit. Menuntutku untuk menjadi pewarisnya yang agung. Dan ibuku sibuk mendorongku untuk mengikuti segala perintah King Jey. aku tak pernah merasakan kasih mereka, bahkan hingga saat ini. Dan tadi... ketika anak itu memelukku... Aku sempat merasa bahwa aku bukan menjadi horor manusia. melainkan Akulah yang membantu dia menghilangkan rasa takutnya..."
Keheningan kembali mengisi udara. Hanya untuk beberapa detik saja, karena Ghullian Ao kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku. Semakhluk Ghullian.. merasakan sebuah ketertarikan padanya, seorang manusia...Aku. King Amman... Mencintai Manusia. Tiara.."
San dan Flo terkejut dengan kalimat tuannya tadi. Kini mereka memberanikan diri melihat sosok tuannya secara keseluruhan.
Tuan mereka, King Amman, yang menyamar sebagai anak manusia bernama Ao kini tampak menengadahkan kepalanya ke atas. Ke arah bulan sabit yang bersinar di langit malam yang sepi bintang. Mereka menyaksikan kepalan tangan Tuan mereka, yang seolah menunjukkan kegusaran serta kegelisahan yang tengah menghinggapi pikiran sang tuan. Tak ada kata-kata penghiburan yang bisa mereka ucapkan. Hanya keyakinan serta kesetiaan saja yang bisa mereka berikan untuk tuannya dalam satu kata yang mereka ucapkan kemudian,
"Tuanku..."
Dan perlahan, terdengarlah melodi yang disiulkan oleh para serangga hutan di kejauhan. Melodi alam yang mencoba membalut keheningan hutan di malam itu dalam melodi yang berima.
krik. krik.... krik. krik.....
Ditulis dan diselesaikan pada,
Ahad, 24 Mei 2015
Di Rumah Putih_
Genre : Petualangan, Fantasi, Misteri
Tiara terbangun oleh teriakan Emak. Remaja berusia 14 tahun itu sangat terkejut ketika ia dapati weker di samping tempat tidur menunjukkan pukul 7 pas.
'Gawat! Bisa telat, nih!'
Maka segera Tiara langkahkan kaki menuju kamar mandi. Sekedar membasahi tubuh dengan air dan menggosok gigi, setelahnya berseragam dan mencomot satu pisang goreng di piring. Lalu bersepatu dan pamit ke orang rumah.
Di perjalanan, Tiara dapati Ao, San, dan Flo juga tengah lari-lari sepertinya. Tiga temannya yang berkulit hitam itu nampaknya juga telat bangun pagi ini. Sembari berlari, ia menyapa ketiga kawannya itu. Dan mereka balas menyapa Tiara dengan sebuah anggukan.
Untuk sampai ke sekolah, Tiara, Ao, San dan Flo harus melewati belokan-belokan gang kecil di antara rumah penduduk, kali kecil, juga gedung kosong, sawah hingga kemudian tiba di sekolah. Mereka berkejaran dengan waktu yang kini sudah menunjukkan pukul setengah 8 kurang sepuluh menit. Sepuluh menit lagi batas waktu yang mereka miliki untuk bisa diperbolehkan masuk melewati gerbang sekolah oleh Pak Dril, satpam sekolah mereka.
Kemudian, saat anak-anak itu hampir sampai di depan gedung kosong, mereka mendapati sekelompok gangster tengah berkumpul di sana. Ada sekitar 11 orang gangster berbadan kekar dan bertampang sangar yang masing-masingnya memegang sebuah senjata. Entah badik, clurit, arit, atau hanya sebilah kayu balok tebal nampak kuat dalam genggaman mereka. Melihat pemandangan di depannya, Tiara dan ketiga kawannya itu mendadak berhenti.
Tiara mengenal jelas siapa kelompok gangster itu. Entah dengan Ao, San dan Flo yang baru pindah ke kampungnya sekitar dua minggu lalu. Orang-orang sangar itu adalah gangster Dravgon, gangster paling berpengaruh di wilayah Waduk Ulung, kecamatan dimana kampung Tiara berada. Biasanya kelompok gangster ini berkeliaran di wilayah Pasar pada malam hari. Kelompok Dravgon hanya muncul di siang hari hanya jika mereka hendak membasmi 'serangga', itu istilah mereka untuk para pengganggu kekuasaan kelompoknya. Dan sejauh ini, di wilayah Waduk Ulung ini ada amat sangat sedikit orang yang berani menjadi serangga-nya kelompok Dravgon. Karena apa? Karena kematian adalah putusan akhir yang akan diterima nantinya.
Maka, ketika melihat para gangster Dravgon itu, Tiara langsung merasa gentar. Dan ternyata, ketiga kawan lainnya pun nampak sedang menimbang-nimbang, apakah sebaiknya mereka berbalik pulang saja atau mungkin mencari jalan lain untuk tiba di sekolah? Hmm...
Sebagai yang paling mengetahui seluk beluk gang menuju sekolah (karena Ao, San dan Flo adalah anak pindahan), Tiara pun memikirkan jalur lain yang tercepat untuk menuju sekolah. Dan yap! Ia mendapatkannya.
Kemudian Tiara mengajak ketiga kawannya itu pergi berbalik arah menuju jalur lain ke sekolah. Tapi, belum selesai ia berkata, ucapannya terhenti oleh sebuah teriakan.
"Itu dia!"
Teriakan itu keluar dari mulut seorang gangster di depan empat anak remaja itu. Tiara tak tahu siapa yang dimaksud oleh gangster itu. Tapi karena dilihatnya gangster itu berbondong-bondong jalan ke arah mereka, Tiara pun langsung didera rasa takut tiba-tiba.
Ketakutan yang dirasakan Tiara sempat membuatnya terpaku diam. Sampai kemudian Ao berkata,
"Lari!"
Ao menarik lengan Tiara untuk segera berlari dan ia pun mengikuti langkah Ao pergi.
Langkah Tiara terbilang lambat di antara tiga kawannya yang lain. Mungkin ini disebabkan oleh tinggi tubuhnya yang terbilang paling pendek di antara mereka berempat. Meski begitu Tiara tetap berusaha lari sekencang yang ia bisa. Walau mesti diakuinya juga, bahwa ia hampir putus asa saat mendengar teriakan para gangster di belakang mereka yang kian mendekat. Hal ini menguatkan dugaan Tiara bahwa para gangster itu memang benar-benar mengejar mereka untuk sebab yang belum diketahuinya.
Kemudian, tetiba saja Ao meneriakkan saran agar mereka berpencar. Dan mereka pun berpencar. Dimana Tiara dan Ao ke arah kiri sementara San dan Flo ke arah kanan. Selanjutnya Tiara dan Ao terus berlari. Kali ini mereka sedang melewati persawahan. Sayangnya di sawah masih cukup sepi jadi tak ada yang bisa dimintakan pertolongan.
Setelah beberapa menit berlari, Tiara menyadari bahwa nampaknya ia dan ketiga kawannya yang lain sudah sangat terlambat untuk masuk sekolah. Dan yang paling mencemaskan adalah para pengejar mereka masih juga tak mau menyerah. Sembari berlari Tiara terus bertanya-tanya dalam hati, 'kenapa kami dikejar?'.
Gangster yang mengejar Tiara dan Ao kini berjumlah Lima orang. Sekilas dilihatnya dua orang memegang badik, sisanya memegang balok. Kembali, rasa gentar hinggap dalam hati Tiara. Berharap ia bisa melalui hari ini dengan selamat. Begitu juga kawannya yang lain. Aamiin.
"Hey! Berhentii!"
Terdengar kembali teriakan seorang gangster di belakang Ao dan Tiara. Diteriaki seperti itu mereka berdua malah semakin semangat memacu laju larinya.
'siapa pula yang mau berhenti kalo diacungin badik sama balok seserem itu!' rutuk Tiara dalam hati.
Kemudian, di suatu belokan, Ao menyuruh Tiara untuk bersembunyi di dalam lumbung padi di pinggir sawah. Entah milik siapa lumbung padi yang mereka masuki itu, tapi Tiara berharap pemiliknya tak akan berkeberatan saat mengetahui bahwa ia mengacak-acak padi keringnya untuk bersembunyi.
Tiara kemudian terkejut ketika Ao mengatakan,
"Kamu di sini saja. aku akan memancing mereka agar peri jauh. jika sudah aman, segeralah pulang. Oke?"
"Tapi Ao gimana?.."
Pertanyaan Tiara itu tak mendapatkan jawaban karena Ao sudah buru-buru berlari pergi. Rasa cemas pun menyergapnya. Berharap Ao, juga San dan Flo akan baik-baik saja.
"Lex, ke sini!"
Suara seorang gangster kembali terdengar. Tiara kembali terkejut dan buru-buru menimbunkan kepalanya dalam butir-butir padi. Telinganya kemudian menangkap suara langkah para gangster yang melewati lumbung padi tempatnya bersembunyi dan akhirnya pergi ke arah Ao tadi pergi.
Di saat Tiara merasa kondisi sudah aman, ia pun keluar dari tempat persembunyiannya. Ia lalu segera keluar dari lumbung lewat pintu yang tadi ia masuk. Tapi kemudian ia dikejutkan oleh fakta bahwa tiga orang gangster sudah menyambutnya di depan pintu.
Tiara pun segera berbalik arah ke pintu keluar lainnya. Tapi usahanya gagal karena seorang gangster pun sudah menjaga pintu satunya. Akhirnya Tiara menyerah pasrah ketika keempat gangster itu mendekatinya dengan wajah-wajah sangar mereka. Dan kemudian, Tiara merasakan sebuah pukulan di tengkuk yang membuat dunianya gelap seketika.
---
"Kol, bocahnya dah sadar!"
Sebuah suara bass asing terdengar saat Tiara mulai membuka mata. Kegelapan dan rasa pusing di kepala adalah dua hal yang pertama kali disadarinya.
'ini dimana?'
Pertanyaan itu sempat menggantung selama sedetik dalam benak Tiara. Sebelum akhirnya kesadaran menghampirinya. Bahwa ia berada dalam tangkapan para gangster yang mengejarnya tadi. Kemudian, kembali ia menyadari satu hal lain.
"jam...jam berapa sekarang?"
Tiara tak menyadari bahwa baru saja ia mengucapkan pertanyaan itu cukup keras, sehingga seorang gangster yang duduk paling dekat dengannya akhirnya tertawa pelan.
"heh. Ni bocah berani juga. Dia malah nanya jam. Heh. Heh. Heh." Ucap gangster itu.
Lalu, seorang gangster lain ikut berkata.
"namanya juga anak sekolah. Ya neng? Kelas berapa Neng?"
Takut-takut dan sedikit ragu Tiara menjawab pertanyaan gangster itu.
"kke..kelas.. delapan.."
"kelas delapan? Emang SD bukannya sampe kelas enam doang ya, Cil?" Tanya gangster itu pada kawannya.
"dodol, lu! Kelas delapan tu artinya kelas 2 SMP. Masa gitu aja lu kagak tau."
"ooh..."
Selagi mendengarkan obrolan dua gangster itu, Tiara mengamati ruangan tempatnya berada kini.
Saat ini Tiara duduk bersender di ruangan yang minim cahaya dengan banyak balok-balok kayu tua. Ukuran ruangan ini cukup luas. Sekitar 10 x 7 meter. Selain balok-balok kayu, ia hanya bisa melihat sebuah kursi dan meja yang berada sekitar 2 meter dari tempatnya duduk. Dan di ruangan ini ia hanya bertiga dengan dua gangster ini. Sampai kemudian dilihatnya sesosok gangster lain datang dari arah pintu masuk.
Melihat sosok yang baru datang, kedua gangster di dekat Tiara langsung sigap berdiri. Dari sikap kedua gangster itu, Tiara menduga bahwa gangster yang baru datang ini adalah atasan gangster.
Gangster itu kemudian mendekati tempat Tiara duduk. Dan kini Tiara bisa melihat lebih jelas rupa orang yang dikira Tiara sebagai atasan gangster itu. Orang itu memiliki tinggi tubuh sekitar 170-an dengan tubuh yang gempal dan cukup kekar. Ia memiliki rahang yang lebar dengan garis dahi seperti yang dimiliki orang-orang suku batak. Mata agak sipit, hidung pesek, serta bibir tipis berwarna kehitaman. Mungkin akibat terbiasa menghisap rokok. Orang itu mengenakan jaket kulit berwarna hitam di atas kaos hitam bergambarkan tulang ikan di bagian depannya. Celana jins biru pucat menjadi pilihan serasi yang dipakai gangster itu sehingga menampakkan penampilan kasar dan urakan. Ditambah lagi dengan aksesoris rantai dengan bandul-bandul tengkorak dan hiasan logam runcing lainnya yang dipakainya secara asal di bagian pinggang. Terlihat pula oleh Tiara sebuah tato entah gambar apa di telapak tangan sebelah kanan orang itu. Membuat Tiara jadi tambah takut dan kini menundukkan kepalanya dalam-dalam.
......
Sementara Tiara ada di markas para gangster, Ao, San dan Flo kini sudah berada di dalam kelas. Entah bagaimana mereka bisa masuk dan duduk di bangku mereka kini. Dan ekspresi mereka pun nampak seperti tak mengalami pengejaran oleh gangster tadi pagi.
Ketiganya sibuk mengikuti kegiatan sekolah saat ini. Ao dan San kemudian terlihat berkumpul bersama kelompok putra yang bermain bola. Dan Flo tampak berpasangan dengan remaja putri lain bernama Emi, bermain bulutangkis. Tak ada dari mereka yang mengingat ataupun menduga bahwa kawan mereka, Tiara saat ini diculik oleh para gangster yang sempat mengejar mereka tadi pagi.
Ao, San dan Flo baru menyadari bahwa Tiara tak pulang ke rumahnya, ketika Emak Tiara datang ke rumah Ao pada sore harinya, menjelang waktu ashar. Emak datang dan menanyakan keberadaan putri semata wayangnya itu yang sampai sore itu tak kunjung pulang. Tak seperti biasanya yang selalu memberi kabar lewat telpon jika memang hendak pulang sore. Emak menduga barangkali Ao tahu keberadaan putrinya itu saat ini.
Ditanya seperti itu, Ao memiliki dugaan. Tapi ia tak mengatakan dugaannya itu kepada Emak. Ia malah berbohong dan mengatakan tak tahu. Tapi setelah dilihatnya Emak telah pergi, Ao segera memanggil San dan Flo yang saat itu memang berada di ruangan lain di rumahnya.
Saat keduanya sudah berada di hadapan, Ao langsung memicingkan matanya. Ia menatap tajam Flo yang kini terlihat menundukkan kepalanya dalam-dalam. Di samping Flo, San pun sama-sama menunduk.
Entah kenapa sikap ketiga remaja itu telah berubah. Mereka tidak lagi bersikap seperti remaja umumnya. Lebih seperti orang dewasa dalam tubuh anak kecil.
"Tiara ada di tangan gangster itu. Kita ke markas mereka sekarang juga." ucap Ao dengan nada asing, seperti nada seorang pria dewasa.
"Tapi Tuan! itu berbahaya!" ucap San berusaha mencegah niat Ao, atau 'tuan'-nya seperti yang ia katakan.
"Biar saya saja yang membereskan ini, Tuanku." Kali ini Flo memberanikan diri tuk bicara.
"Dan kau akan membuat masalah lagi, Flo? seperti semalam tadi? Mereka mengenalimu sebagai 'orang' yang terakhir kali dilihat mereka bersama Chan."
"saya akan kembali menjadi ghullian. Jadi mereka tak akan mengenali saya, Tuan.."
"saat hari masih terang begini, kau ingin menjadi ghullian untuk menghadapi segerombolan manusia itu seorang diri?"
"ss...saya..."
"cukup!. Kita bertiga ke sana. Kita bersihkan mereka diam-diam dan mengembalikan Tiara ke rumahnya. Kita harus menjaga ketenangan di kampung ini. Agar kelompok lain tak mengenali penyamaran kita di sini." ucap Ao menutup kalimatnya.
"baik, Tuan.." ucap San dan Flo bersama-sama.
.....
'sudah sore-kah?'
Tiara kini sedang makan sebungkus roti yang tadi disodorkan oleh gangster bernama Bocil. Selagi makan, ia memikirkan apa yang dibicarakan oleh atasan gangster dengannya tadi. Bahwa saat ini mereka sedang mencari seorang anak seumurnya yang mereka duga mengetahui keberadaan bos mereka. Semalam tadi, bos mereka pergi setelah menerima telepon dari orang tak dikenal. Bos mereka kemudian pergi seorang diri. Mungkin karena khawatir, seorang anak buahnya mengikuti dari belakang diam-diam. Lalu anak buahnya itu melihat bos mereka terlibat perbincangan serius dengan seorang remaja berpakaian seragam sekolah Tiara. Lalu bos mereka pergi dengan anak perempuan itu entah kemana. Sayangnya, di pertengahan jalan, gangster yang mengikuti malah kehilangan jejak. Dan sejak itu, bos mereka tak lagi bisa dihubungi. sampai sekarang.
Setelah mengetahui bahwa bos mereka dalam bahaya, maka seluruh anak buah pun dikerahkan oleh wakil bos untuk mencari keberadaan sang bos. Mereka mengolompokkan diri menjadi beberapa kelompok dan berjaga di beberapa pos yang biasa dilewati oleh anak sekolah. Sebelumnya gangster yang mengetahui wajah remaja perempuan yang bersama bos semalam tadi, telah menjelaskan ciri-ciri anak perempuan itu.
Tinggi sekitar 158 cm. Rambut dipangkas pendek. Sertaberasal dari ras kulit hitam. Ciri-ciri yang mudah dikenali di wilayah Waduk Ulung, karena tak banyak orang kulit hitam yang tinggal di sana.
Tiara yang mendengar ciri-ciri tersebut, langsung saja teringat pada kawan barunya, Flo.
'Tapi benarkah Flo?...' Tanya Tiara dalam hati.
'Kalau benar Flo, kenapa dia bisa berurusan dengan bos gangster? bukankah dia, San, dan Ao baru pindah dua minggu lalu? ahh.. yang paling penting saat ini adalah, bagaimana caraku untuk pulang? kenapa pula aku masih dikurung di sini??'
Saat Tiara memikirkan cara agar dia bisa pulang, terdengarlah suara Ao yang berteriak-teriak dari luar.
"Tiaraa... Tiaraa.. Tiara di dalam kan?" teriak Ao.
' Ao?'
" Ao!! Tiara di sini! di sinii!!" balas Tiara dengan berteriak pula.
Aksi dua remaja itu yang saling berteriak cukup mengganggu para gangster di gudang tempat Tiara dikurung. Alhasil gangster itu pun ikut menangkap Ao dan memasukkannya ke dalam gudang bersama Tiara. Saat itu ada tiga orang gangster di dalam gudang, serta lima gangster lainnya diluar pintu.
Tiara kira bisa lega bernapas karena ia tak lagi seorang diri. Meski ia juga merasa heran bagaimana dan kenapa Ao bisa ada di sini. Maka setelah gangster-gangster agak jauh dari mereka, Tiara pun berbisik pada Ao.
"Ssstt... Ao..kenapa ke sini..?"
Ao pun membalas ucapannya dengan berbisik pula.
"tenang. kita bebas sebentar lagi." ucap Ao dengan nada kalem.
Tiara masih bingung dengan jawaban menggantungnya Ao. Apalagi ia juga penasaran dengan dugaannya tentang Flo. Maka ia pun kembali bertanya pada kawannya itu.
"Aaooo... gimana caranya?.. oya. Floo.."
"Heh bocah! diem lu!"
Tiara terkejut ketika tetiba saja seorang gangster sudah berada di dekatnya dan membentaknya. Ia pun memilih untuk diam dan banyak berdoa. Berharap ucapan Ao tentang 'bebas' itu bisa benar dan lekas terjadi. Aamiin.
.....
Waktu terus bergulir. Sudah sekitar setengah jam berlalu sejak Ao menemani Tiara disekap di gudang tua. Hingga sejauh ini Ao tak lagi berkata apa-apa dan ini membuat Tiara kembali merasa gelisah. Sampai akhirnya...
"Tiara, nanti, saat kubilang 'lari', larilah sekencang-kencangnya. ke pintu langsung." Bisik Ao pelan.
Tiara terkejut dengan bisikan Ao itu. Karenanya ia kembali bertanya.
"Tapi kan di luar ada gangster juga, Ao..?"
"tenang saja."
Sudah. setelah perbincangan singkat itu, Tiara kembali harus menahan diri dalam kesunyian. Tapi kali ini ia tak lagi merasa gelisah. Setelah dilihatnya Ao nampak tenang dan yakin bahwa mereka benar akan bisa bebas.
Selama sisa waktu menunggu itu, Tiara pun mencoba mengurut sendi-sendi kakinya yang sedikit keram. Gerakannya ini agak dicurigai oleh tiga gangster yang ada di ruangan itu. Karenanya Tiara buru-buru memasang tampang nyengir. Tampang nyengirnya Tiara itu tampak aneh di mata para gangster. Karena Tiara tak sadar bahwa sesungguhnya rasa takut telah bercampur dengan cengiran terpaksa miliknya.
Dan akhirnya, datanglah detik-detik kebebasan yang diharapkan oleh Tiara.
Ini dimulai dengan Ao yang tetiba saja berteriak dan menunjuk ke salah satu pojok gudang.
"Apa itu!"
Spontan, semua gangster termasuk juga Tiara ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Ao. Nampak di sana asap putih yang membumbung di udara.
Seorang gangster mendekati pojokan itu, lalu berteriak,
"Cil, api cil!"
Dari tempat duduknya, Tiara bisa melihat sebuah balok kayu terbakar. Api yang membakar balok kayu itu tetiba saja membesar. Ini menyebabkan kedua gangster lain menjadi panik dan segera mendekati sumber api itu sambil membawa air botol. Dan saat itulah, Ao menarik tangan Tiara.
"lari!" katanya pelan.
Pada mulanya Tiara terkejut dengan tarikan Ao yang tiba-tiba. Tapi sedetik kemudian ia sadar bahwa inilah kesempatan bebas yang ditunggunya sedari pagi. Maka ia pun segera lari sekencang-kencangnya ke arah pintu.
"sial! bocahnya kabur, Kol!"
Tiara mendengar teriakan gangster di belakangnya itu. Ia pun kian menggegaskan langkahnya menuju pintu. Meski samar-samar ada kekhawatiran dalam hatinya.
" Ao! gimana kita ngadepin gangster yang di luar!?"
"terus lari!" jawab Ao ringkas.
Setelah mencapai pintu dan keluar dari gudang, barulah Tiara mengerti apa maksud ucapan Ao tadi. Mereka memang hanya perlu untuk terus berlari karena semua gangster yang berada di luar gudang kini sudah bergeletakan di tanah.
"Mereka kenapa?" tanya Tiara sambil berlari.
"tidur"
"Kenapa bisa ti.. Argh!"
Tetiba saja Tiara jatuh. Kakinya terjebak di antara ranting-ranting dua pohon yang telah rubuh.
Mendengar teriakan Tiara, Ao pun sadar dengan apa yang terjadi. Ia bergegas kembali dan membantu Tiara membebaskan kakinya dari himpitan ranting pohon itu.
Entah kenapa, mereka kesulitan untuk membebaskan kaki Tiara dari himpitan ranting pohon. Tiara sendiri merasa seperti ada tangan yang mencengkeramnya erat-erat hingga tetap terjebak di himpitan batang pohon itu. Diliriknya Ao, yang sesaat melebarkan matanya. Tiara tertegun. Ia merasa baru saja melihat kilat emas di mata Ao. Atau mungkin itu hanya efek dari kelelahan yang menyergapnya saat itu.
Lalu, ketakutan kembali dirasakan Tiara ketika dilihatnya sang atasan gangster datang mendekati mereka. Dan kemudian, Tiara merasakan kakinya yang terjebak mulai bisa diangkat. Ia segera menunduk ke arah kakinya. Ia kembali tertegun. Karena sekilas saja ia melihat keanehan pada tangan Ao. Tangannya seperti memanjang dan menembus ke dalam kayu pohon sebelum akhirnya kembali ke wujud tangan biasa.
Tiara segera mengangkat pandangannya ke wajah Ao. Kali ini ia dibuat benar-benar tercengang.
"Ma..matamu!...emas!!" seru Tiara.
Sesaat Tiara menyaksikan ketika mata Ao melebar. Ia dapati perasaan terkejut dan takut di mata kawannya itu. Tapi hanya sebentar saja. Karena kemudian perhatiannya langsung kembali ke arah ketua geng. Lalu beberapa hal terjadi secara cepat dan bersamaan.
Dilihatnya sesuatu terjadi pada tangan ketua geng. Lengan ketua geng itu tetiba saja menghitam dan kisut dan... memanjang! Panjangnya bahkan mampu meraih kerah kemeja putih Tiara dan kemudian mengangkatnya hingga berdiri dan menggantung beberapa senti dari atas tanah. Lalu tetiba pula Tiara merasa tubuhnya dihempaskan jauh ke arah belakang hingga membentur keras ke sebuah pohon. Di waktu yang bersamaan ketika ia membentur pohon, dilihatnya kawannya, Ao, berdiri dan mengacungkan tangannya ke arah ketua geng. Lalu entah ilusi atau bukan ia melihat tubuh Ao membesar dan berubah menghitam dan kisut. Sesuatu yang tadinya adalah lengan milik Ao kini telah memanjang secara drastis dan tampak mengancam ke arah ketua geng. Kemudian Tiara tak tahu lagi apa yang terjadi. Karena tiga detik setelah benturannya dengan pohon, dunia menggelap bagi Tiara. Ia pingsan.
......
Saat sadar, samar-samar Tiara mendengar namanya dipanggil. Ketika kesadarannya menajam, ia dapati Ao, San dan Flo yang mengelilinginya.
"Tiara.. bangun.." itu suara San.
"bangun Tiara..." kali ini adalah suara Flo.
"Mau sampai kapan kau akan tidur? sudah mau magrib lo." ini suara Ao.
Tiara terkejut mendengar ucapan Ao. Tapi ada hal lain yang membuatnya tergesa-gesa untuk duduk dan melihat ke tiga temannya itu. Diamatinya baik-baik kondisi Ao, San dan Flo sebelum akhirnya ia mendesah lega dan memeluk orang yang berjongkok paling dekat dengannya.
"Syukurlah.. kalian gak papa. Tia takut banget kalo sampe terjadi apa-apa sama kalian." ucap Tiara.
Lalu Tiara merasakan tubuh orang yang dipeluknya menegang. Ia pun melepaskan pelukannya dan melihat wajah Ao yang nampak terkejut. Ia menoleh ke arah San dan Flo yang kini hanya diam menatapnya. Lalu kembali melihat wajah Ao yang masih juga terkejut.
Kemudian Tiara mengingat peristiwa terakhir sebelum ia pingsan. Ketua geng yang menghempaskannya dengan tangan hitam yang memanjang. Dan Ao yang membesar dan menghitam dan tangan yang memanjang..
Tiara segera melihat tangan Ao yang kini menjuntai santai di samping tubuhnya. Itu adalah tangan yang normal. Secara spontan di raihnya tangan Ao untuk diamatinya lekat-lekat.
"Tanganmu tadi hitam.. dan memanjang.. bagaimana bisa sekarang...?" ucap Tiara dengan suara bisikan.
Tak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Justru tangan Ao malah menegang sebelum kemudian ditariknya hingga lepas dari pegangan Tiara. Lalu Tiara melihat keterkejutan yang kini ada di wajah ketiga kawannya.
"kenapa?" tanya Tiara lagi.
Tak ada jawaban untuk pertanyaan Tiara itu. Lalu Tiara teringat pada hal lain.
"oya. Ketua geng itu!" seru Tiara tiba-tiba.
Ucapannya ini mampu memecah keheningan yang tadi sempat mengisi udara. Dan San pun menjawab pertanyaan Tiara yang belum terjawab.
"Tak tahu apa maksudmu dengan 'ketua geng', tapi yang jelas kita bukanlah orang yang mereka kejar."
Ucapan San ini terdengar diucapkan dengan sangat hati-hati. Lalu ia kembali berkata,
"Kamu seharian tidur di sini, Tiara?" itu adalah sebuah pertanyaan. Anehnya, Tiara merasa itu diucapkan sebagai sebuah pernyataan.
"tidur?"
Tiara heran dengan pertanyaan itu. Lalu ia pun menyadari di mana mereka berada kini. Mereka berada di lumbung padi tempat Tiara sempat bersembunyi dari kejaran para gangster tadi pagi.
Tiara mengerutkan dahi ketika mendapati cahaya lembayung yang masuk dari pintu lumbung yang terbuka lebar.
"sial! udah sore! ayo pulang!" ajak Tiara pada tiga kawannya. Mereka pun beranjak bangun dan bergegas keluar dari lumbung dengan Tiara yang melangkah cepat-cepat paling depan.
"kamu gak tidur seharian kan, Ti?" tanya Flo di samping kirinya.
"apa? tidur? enggak lah! kan Tia cuma pingsan sebentar. iya kan O?"
"aku gak tahu. aku kan seharian ini gak lihat kamu lagi."
Tiara terkejut dan menghentikan langkahnya. Ia lalu membalikkan badan dan menatap Ao.
"Kan kita dikurung bareng sama gengster itu, O." ucap Tiara dengan nada heran dan sedikit kesal.
Ao sendiri kini malah melihat Tiara dengan pandangan seperti kebingungan. Ia menatap San dan Flo bergantian. kedua temannya itu pun merasa bingung dengan ucapan Tiara.
"apa..siapa yang dikurung siapa? kapan?" tanya Flo pada Tiara.
Kali ini Tiara tak mampu menyembunyikan kejengkelannya karena ke'alpa'an memori ketiga temannya itu.
"ya Tia sama Ao. siapa lagi? kan kalian yang nyelametin kita dari kurungan gengster itu. gimana sih?"
Lalu Tiara melihat wajah ketiga temannya yang semakin kebingungan.
"Tiara.. yang kutahu, sejak tadi pagi kita berpencar lari, aku, San, sama Ao tuh di sekolah. Kita gak ngelihat kamu masuk kelas. dan kita baru tahu kalo kamu gak masuk kelas sewaktu ibumu dateng ke rumah Ao tuk nanyain kamu yang belum juga pulang. Akhirnya kami sibuk nyari kamu ke mana-mana dan ngedapetin kamu tidur di lumbung padi!"
"HAH!!?" Tiara terkejut setengah mati.
......
Di sebuah hutan, sekitar 230 km dari tempat rumah Tiara berada. Ao, San dan Flo kini berdiri dalam diam di antara barisan pohon Damar yang berjajar rapi. Mereka baru saja tiba di tempat itu sekitar lima menit lalu. Dan hingga kini, lima menit mereka lalui dalam diam dan sunyi. Sementara senja mulai menampakkan lembayungnya di kaki langit sebelah barat.
Setelah berdiam diri cukup lama, kesunyian hutan itu pun pecah oleh kata-kata Ao.
"Kau tahu kesalahanmu, Flo." ucap Ao tenang.
Saat mengatakan itu, Ao nampak melihat ke arah senja berada. Sementara San dan Flo berdiri sekitar satu meter di belakangnya. Mereka berdua menunduk dalam diam.
"Hamba salah, Tuanku.." ucap Flo sembari makin menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Kau tak menyelesaikan tugasmu semalam dengan baik. Sehingga membuat kita harus melalui hal tadi."
"Hamba salah, Tuanku..."
"Jadi, apa yang sebaiknya kulakukan padamu, Flo?" tanya Ao kembali dengan tenang.
"hamba siap menerima pedang cahaya, Tuanku." ucap Flo masih dengan kepala menunduk.
"Begitukah?" tanya Ao kembali.
"ya, Tuanku. Hamba...siap." ucap Flo lagi. Kali ini dengan kepala sedikit ditegakkan menatap kaki Ao.
Kembali. Keheningan mengisi udara di sekitar mereka. Sampai kemudian, Ao kembali berbicara. Kali ini ia bicara dengan nada penuh tekanan.
"Kesalahanmu adalah membiarkan orang-orang Chan mengikutimu semalam. Sehingga mereka tahu bahwa kau adalah orang terakhir yang mereka lihat bersama Chan. Dan itulah sebabnya mereka mencoba menangkapmu tadi pagi. Sayangnya tak berhasil dan malah menangkap Tiara
Dan selanjutnya.. Kita harus membebaskan Tiara dari tangan mereka, walau itu telah menyebabkan penyamaran kita diketahui oleh kelompok King lain. Kesalahanmu adalah itu. Dan kau memintaku untuk menebasmu dengan pedang cahaya?!"
"...." Flo tak mampu menjawab. Ia hanya kembali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia pasrah pada apapun keputusan Tuannya, Ao terhadapnya.
"kalau begitu bagaimana denganku!? bagaimana denganku, sebagai King Amman yang kini malah tertarik pada seorang manusia!?" Ucap Ao dengan suara keras. Saat mengucapkan kata-kata itu, ia agak menolehkan kepalanya ke arah kiri. Cukup memperlihatkan sedikit wajahnya pada kedua abdinya, San dan Flo.
"Tuanku?!" Ucap San dan Flo bersamaan .
San dan Flo terkejut mendapati sebuah ekspresi asing di wajah tuannya. Sebuah ekspresi seperti tersiksa...
Tak lama, Ao kembali menghadapkan wajahnya ke depan. Ke arah barat langit yang kini telah sempurna menenggelamkan sosok matahari. Hutan kini gelap sempurna. Hanya sedikit cahaya hijau dan biru di langit barat, bekas tempat tadinya lembayung senja berada. Dan bersamaan dengan perubahan di atas langit sana, perubahan pun menghampiri ketiga sosok hidup di hutan itu.
Ao, San dan Flo. Sosok mereka kini bukan lagi remaja manusia lelaki dan perempuan. Wujud mereka telah berubah menjadi seperti jelmaan bayangan. Sosok berwujud bayangan manusia berwarna hitam. Dengan warna mata kemerahan, kecuali satu sosok yang berdiri paling depan. Itu adalah sosok yang tadinya adalah Ao remaja. Warna mata sosok itu bukan kemerahan, melainkan keemasan. Mereka bertiga adalah Ghullian, makhluk bayangan.
Ghullian Ao kemudian menunduk untuk melihat rupa tangannya.
"Tangan ini..kegelapan ini..aku telah membandingkannya dengan cahaya yang dimiliki oleh manusia. Itu memang sedikit membuatku iri. Karena tak semua dari kaum kita yang bisa hidup di bawah cahaya matahari. Tapi..."
Ghullian Ao mengepalkan tangannya lalu menatap ke depan, ke barisan pohon yang masih bisa jelas dilihat oleh mata emas-nya. Seolah kedua bola mata itu telah cukup banyak menyimpan cahaya matahari pada siang hari tadi.
"tapi.. yang paling membuatku iri adalah dia. Manusia itu! ia memiliki ibu yang begitu....perduli padanya...sementara ibu...ku..."
"Tuanku..!" Ucap San dan Flo, lagi-lagi bersamaan.
San dan Flo mulai paham ke arah mana maksud pembicaraan Tuannya ini. Dan mereka juga tahu pada siapa manusia yang sedang membuat iri tuannya kini. Dia. Tiara. Tapi tertarik pada anak itu?
'bagaimana bisa?' tanya mereka dalam hati.
San dan Flo tak bisa berpikir jauh lagi. Karena kemudian, Tuan mereka kembali bicara.
"Dia...manusia itu.. bagaimana bisa dia begitu percaya dengan penjelasan kita tadi, setelah ia menyaksikan perubahan sosokku sebagai ghullian. Bagaimana bisa ia tak merasa takut padaku? dan bahkan dengan lancangnya memelukku!" ucap Ghullian Ao berapi-api.
"itu...hamba juga tak mengerti, Tuan." ucap San pelan. Di sampingnya, Flo sedikit menganggukkan kepala, mengiyakan kalimat San juga untuknya.
"aku bahkan tak pernah dipeluk oleh orangtuaku sendiri. King Jey terlalu sibuk melemparku ke lubang prajurit. Menuntutku untuk menjadi pewarisnya yang agung. Dan ibuku sibuk mendorongku untuk mengikuti segala perintah King Jey. aku tak pernah merasakan kasih mereka, bahkan hingga saat ini. Dan tadi... ketika anak itu memelukku... Aku sempat merasa bahwa aku bukan menjadi horor manusia. melainkan Akulah yang membantu dia menghilangkan rasa takutnya..."
Keheningan kembali mengisi udara. Hanya untuk beberapa detik saja, karena Ghullian Ao kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku. Semakhluk Ghullian.. merasakan sebuah ketertarikan padanya, seorang manusia...Aku. King Amman... Mencintai Manusia. Tiara.."
San dan Flo terkejut dengan kalimat tuannya tadi. Kini mereka memberanikan diri melihat sosok tuannya secara keseluruhan.
Tuan mereka, King Amman, yang menyamar sebagai anak manusia bernama Ao kini tampak menengadahkan kepalanya ke atas. Ke arah bulan sabit yang bersinar di langit malam yang sepi bintang. Mereka menyaksikan kepalan tangan Tuan mereka, yang seolah menunjukkan kegusaran serta kegelisahan yang tengah menghinggapi pikiran sang tuan. Tak ada kata-kata penghiburan yang bisa mereka ucapkan. Hanya keyakinan serta kesetiaan saja yang bisa mereka berikan untuk tuannya dalam satu kata yang mereka ucapkan kemudian,
"Tuanku..."
Dan perlahan, terdengarlah melodi yang disiulkan oleh para serangga hutan di kejauhan. Melodi alam yang mencoba membalut keheningan hutan di malam itu dalam melodi yang berima.
krik. krik.... krik. krik.....
Ditulis dan diselesaikan pada,
Ahad, 24 Mei 2015
Di Rumah Putih_