Ahad, 25 Sya’ban 1435 H.
Cerita
Panjang:
Tadi
siang, demamku datang. Syukurlah setelah tidur siang cukup lama, kondisiku
hanya menyisakan pening sedikit.
Hari
ini adalah hari keempat tahlilan Abah Ende. Rumahku masih cukup riuh dengan kehadiran
beberapa saudara yang menginap. Sayup-sayup suara para mu’alim terdengar sedang
mengaji di kamar Abah. Prosesi yang akan terus berlangsung sampai tiga hari ke
depan. Untuk menggenapkan tahlilan selama tujuh hari untuk mendo’akan almarhum
abah.
Hmm…
Di
kesempatan ini, aku akan menceritakan detail peristiwa wafatnya Abah Ende. Dan
inilah dia, ceritaku..
---
Hari
itu, Rabu siang, aku dan Bapak baru pulang dari jaulah ke rumah temannya, Pak
Muklis, selaku Ketua Yayasan Daarul Muqimin. Jam menunjuk pada pukul 11.10 wib.
Bapak dan Emak lantas pergi kondangan sementara aku menunggu rumah sembari
membuat lembaran kertas file dari kertas-kertas HVS yang sudah tak terpakai.
[Cara membuat
kertas file ini cukup mudah. Jadi, awalnya kertas-kertas print-an skripsi yang
sudah tak terpakai lagi, kuberi garis lurus di bagian kertas yang sisinya lebih
panjang. Garis lurus ini kelak akan menjadi batas atas kertas file. Setelah
diberi garis, kemudian kertas itu kulipat sama panjang. Setelah dilipat, kertas
HVS itu akan seukuran buku tulis biasa. Lalu, kuambil satu contoh kertas file
(CKF) yang sudah berlubang lalu kusejajarkan dengan kertas HVS yang sudah
kulipat tadi. Setelah itu, dari lubang-lubang CKF itu aku membuat titik di
setiap bagian tengah lubangnya. Agar titiknya besar, aku memakai spidol. Lalu,
ketika dilepas dari CKF, kertas HVS pun memiliki titik-titik besar sepanjang
pinggiran kertasnya. Kemudian, kulubangi pinggiran kertas HVS itu menggunakan
pelubang kertas. Ketika melubanginya, aku harus mengusahakan untuk membuat
titik-titik yang ada di kertas HVS itu ada di tengah lubang. Akhirnya, setelah
kulubangi kertas HVS di semua titiknya, kudapatkanlah kertas file. Kertas file
ini bisa kugunakan dan kuselipkan di binder. Sama seperti kertas file yang ada
di toko. Gitu deh. ^.^]
Tak
lama kemudian Bapak dan Emak pulang. Menit berikutnya adzan zhuhur
berkumandang. Bapak kemudian segera ke kamarnya tuk melangsungkan shalat zhuhur
sementara aku masih menyelesaikan tumpukan lembaran kertas file.
Usai
Bapak shalat, aku gantian shalat. Dan setelahnya, aku kembali menekuni
pekerjaanku sebelumnya. Membuat kertas file. Beberapa menit kemudian Bunde
muncul di muka pintu. Bunde pamit ke Sukadiri dan meminta Bapak untuk sebentar
menjaga Abah. Saat itu jam menunjuk pukul 12.25 wib.
Selanjutnya,
Bapak menyerahkan amanat Bunde tuk menjaga Abah kepadaku, lantaran Bapak ingin
tidur dahulu. Maka, setelahnya Bapak tidur dan berbaik hati meninggalkan 2
gorengan pisang di kresek hitam untukku dan Emak. Tak sampai semenit, 2
gorengan pisang itu sudah habis kami makan.
Saat
kuhabiskan sisa-sisa remah gorengan yang ada di kresek, aku mendengar suara
ketukan di kamar sebelah. Kamar Abah Ende.
Tok.
Tok. Tok. Tok.
“Mak,
itu Abah Ende ya?” aku bertanya pada Emak di sampingku untuk memastikan pendengaranku.
Emak mengangguk, mengiyakan.
Menit
berikutnya aku merapihkan lembaran kertas HVS dan meja tulis milik Herdi lalu
membawanya ke kamar Abah.
Sesampainya
di sana, benar saja. Kulihat Abah sudah erat-erat memegang tabung pispotnya
untuk kembali mengetukkannya ke lantai.
Setelah
kuletakkan meja tulis dan lembaran kertas HVS di samping Abah, aku bersegera
menyapanya. Butuh sekitar setengah menit lamanya untukku sebelum akhirnya
kupahami makna ucapan terbata-batanya.
[Penyakit
stroke yang sudah menemani Abah Ende selama enam tahun ini tak hanya membatasi
pergerakan tubuhnya, melainkan juga kemampuan bicaranya. Abah hanya mampu
bicara dengan ucapan terbata-bata. Itu pun dengan volume suara yang kecil.
Sejak stroke, Abah mulai tinggal bersama anak-anaknya. Beserta Abah, mengikut
juga Bunde, istri ke-tiganya, dengan setia. Di rumah Bi Mar, Mak Ati, di rumah
Mama’ Amad, kembali ke rumah Mak Ati, dan akhirnya tiga bulan lalu Abah dan
Bunde tinggal di kamar kosong samping rumahku yang pernah ditempati oleh keluarga
A’ Asep.]
Ternyata
Abah Ende menanyakan Bunde. Segera setelah kuketahui makna ucapan Abah itu,
kuberitahu ia bahwa Bunde sedang ke Sukadiri. Kulihat Abah nampak sedikit
kecewa dengan isi jawabanku. Kemudian kutawari Abah untuk minum. Sayang, Abah menolaknya.
Lalu, kunyalakan TV untuk dilihat Abah. Dan Aku pun kembali menekuni
lembaran-lembaran kertas yang siap dilubangi untuk dijadikan kertas file.
Tak.
Tik. Tak. Tik.
Begitulah
bunyinya.
---
Menit
demi menit berlalu begitu saja. Sudah dua setengah jam kiranya aku menemani
Abah Ende. Selama itu, sudah berkali-kali Abah memintaku untuk melakukan
sesuatu untuknya. Menambah dan meninggikan bantal. Menanyakan Bunde. Merubah
posisi bantal. Kembali menanyakan Bunde. Menggeser arah kipas angin. Lagi-lagi menanyakan
Bunde. Menanyakan Bunde. Menanyakan Bunde. Merubah posisi bantal guling.
Kembali menanyakan Bunde. Kembali menanyakan Bunde.
Selanjutnya,
saat jam menunjuk pukul 3 lewat 15 menit, kudengar suara Bapak yang baru
bangun. Perutku kemudian berbunyi untuk mengingatkanku bahwa aku belum makan
siang. Aku pun pamit pada Abah Ende sebentar untuk kemudian menemui Bapak dan
memintanya menjaga Abah, sementara aku makan.
Aku
makan di ruang TV, ruang sebelah kamar Abah Ende. Kunyalakan TV untuk
menemaniku makan dan kemudian asyik pada tayangan TV (maaf. Aku lupa saat itu
tayangannya tentang apa). Selesai makan, aku sempat tersedak saat minum.
Tumpahan air yang siap kutelan malah muncrat ke mana-mana membasahi lantai. Ini
sungguh aneh. Karena saat itu aku tak terburu-buru minum. Jadi, bagaimana bisa
tersedak? Kutengok jam, setengah 4 wib.
Aku
kembali duduk di depan TV dan melipat pakaian yang baru saja diangkat dari
jemuran oleh Emak. Saat melipat baju, sempat terdengar suara Bapak seperti ini:
“Bah,
Ulah ka mana-mana, nyak? Kula ndeuk shalat ashar heula.” (kira-kira seperti itu
redaksinya. Jika di-Bahasa Indonesia-kan maka akan menjadi, “Pak, Jangan ke
mana-mana ya. Saya mau shalat ashar dahulu”)
Emak
yang ada di dekatku, tertawa mendengar ucapan Bapak itu. katanya,
“Orang
gak bisa jalan ke mana-mana juga. Bapak mah aneh”
Aku
ikut tersenyum sebelum akhirnya berkata,
“Maksud
Bapak tuh jiwanya, Mak.. jiwanya..”
Emak
mengangguk mafhum.
“Ooh..”
Tak
lama kemudian Bapak berpesan kepadaku untuk menjaga Abah Ende, sementara ia
shalat ashar. Aku pun mengiyakan dan bergegas melipat baju terakhir. Saat itu
Bunde belum pulang.
Bapak
tak lama shalat dan segera kembali menjaga Abah Ende. Sementara aku pun kembali
asyik menjahit kaos yang sobek. Terdengar olehku suara Bapak mengaji dan
beberapa kali ia berkata ‘Bunde belum pulang’. Kuterka sendiri bahwa Abah tentu
kembali menanyakan Bunde. Kembali kulihat jam, 15.43 wib.
“Ndin!”
Kutengok
jendela.
“Alhamdulillaah…
Bunde udah pulang.” Desisku pelan.
Aku
kembali menekuni jahitan kaosku. Dan bersenandung pelan shalawat Badar.
Di
kesempatan berikutnya, aku dikejutkan oleh teriakan Bapak yang memanggil
namaku.
“Mel!
Mel! Sini! Abah Ende udah gak ada.”
Aku
terkejut. Dadaku berdegup kencang. Kulangkahkan kakiku dengan goyah. Dan
pikiranku langsung menyuruhku untuk mengabarkan berita ini pada seseorang. Tapi
kemudian di dapur, aku yang sudah sibuk mencari-cari nomor bibi di HP bapak,
terkejut ketika Bapak membentakku untuk menemui jasad Abah Ende yang belum lama
ditinggalkan oleh jiwanya. Maka, kuletakkan kembali HP Bapak di kamarnya dan
bergegas ke tempat jasad Abah.
…
Di
sana.
Di
atas kasur kapuk yang bersepraikan kain lusuh berwarna pink, terbaring jasad
Abah Ende yang nampak seperti sedang tidur. Satu detik lamanya aku diam
tergugu. Memandangi wajah Abah yang terlihat begitu….. damai.
Setelah
jarakku semakin dekat, terlihat jelas sekali ada perbedaan Abah Ende saat itu
dengan Abah Ende yang sedang benar-benar tidur, seperti biasanya. Wajah di
hadapanku itu saat itu terlihat pucat. Kurus. Tak ada urat. Meski juga nampak
damai.
“Abah..
Abah Ende…” aku menjerit dalam hati saat kusungkurkan kepalaku ke pelukan
tangannya yang mulai mendingin. Aku menangis dalam hati ketika kuucapkan do’a
perpisahanku untuknya yang akan berpindah ke alam kubur.
“Allahummagfirlahu.. warhamhu..
wa’aafihii.. wa’fu ‘anhu.. wa akrim
nuzulahu.. wa wassi’ madkhalahu.. waghsilhu.. bil maa-i watstsalji..
walbaradi.. wa naqqihi.. minal khathaaya.. kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu..
minaddanasi wa abdil-hu.. daaraan khairaan.. min daarihi.. wa ahlann khairann..
min ahlihi.. wa zaujann khairann.. min zaujihii.. wa qihi.. fitnatal qabri.. wa
‘adzaabannaar.. amin.. allahumma amiin..”
[Arti doa di
atas: “Ya Allah, ampunilah dia. Dan kasihanilah dia. Sejahterakan ia dan
ampunilah dosa dan kesalahannya. Hormatilah kedatangannya. Dan luaskanlah
tempat tinggalnya. Bersihkanlah ia dengan air, salju, dan embun. Bersihkanlah
ia dari segala dosa sebagaimana kain putih yang bersih dari segala kotoran. Dan
gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya yang dahulu. Dan
gantikanlah baginya ahli keluarga yang lebih baik daripada ahli keluarganya
yang dahulu. Dan peliharalah ia dari siksa kubur dan adzab api neraka.
Kabulkanlah.. kabulkanlah, Ya Tuhan kami..]
Kukecup
kening Abah dengan lembut. Dan tetes air mataku mulai menjebol pertahanan
kelopak mataku. Segera saja kujauhkan wajahku untuk mengusap dua aliran air
mataku agar tak sampai menyentuh jasad Abah. Barulah setelahnya kusadari
keberadaan Bunde dan keponakannya yang mungkin sudah sedari awal ada di
dekatku. Aku hanya terlalu fokus pada wajah Abah, saat aku masuk ke ruangan 3x4
meter itu, hingga tidak menyadari keberadaan mereka.
Kulihat
Bunde menangis. Aku ingin ikut menangis. Tapi tidak! Kutegaskan diriku untuk
menabahkan hati agar menyimpan tangisku hanya saat aku berdua dengan-Nya. Ada
hal yang lebih pantas untuk kuberikan kepada Abah Ende dibandingkan aliran air
mata yang tiada henti. Ada pemberian yang lebih baik untuk Abah Ende, lelaki
yang memiliki nama arti ‘Hamba yang Pengasih’, AbdurRahman. Dan pemberian itu
adalah do’a.
Akhirnya,
kuputuskan untuk segera beranjak bangun dan mengambil wudhu. Setelah ashar,
kuambil mushafku dan segera mengaji surat-surat pilihanku untuk Abah Ende.
Yaasiin. Ar Rahmaan. Al Kahfi. Nuur. Kembali Ar Rahmaan. Al Waaqi’ah. 26 surat
di juz 30. Dan terakhir adalah surat As Saff.
Selesai
mengaji, kusadari di sekelilingku sudah cukup banyak pelayat yang datang.
Kutengok jam, pukul setengah 6 lewat. Aku pun bergegas mandi dan kembali
mendapati jumlah para pelayat yang berlipat ganda dibanding sebelumnya. Saat
itulah Bunde mengingatkanku untuk menelpon Herdi. Aku pun menelponnya.
---
Menit-menit
berikutnya aku sibuk membantu persiapan ini-itu. Aku pun ikut membantu
memandikan wajah Abah Ende.
Menjelang
isya’ Herdi pulang.
Segera
setelah Herdi selesai mengajikan Abah Ende, jasad Abah pun dibawa ke mushala
untuk dishalatkan. Dalam prosesi ini, aku turut serta. Ba’da isya (sekitar jam
8 lewat), iringan Abah dan para pelayat berangkat menuju makam keluarga besar
di Jati Pasar. Aku ikut mengantar dan menyertai sampai prosesi penguburan
selesai. Ketika sampai di rumah, waktu menunjuk pukul 9 lewat.
---
Hmm…
Peristiwa
yang terjadi pada hari itu sungguh memukul telak batinku. Meski begitu, di
antara sekian peristiwa yang terjadi di hari ini, ada satu moment yang paling membekas di benakku. Moment itu ada di dua setengah jam kebersamaanku dengan Abah
sebelum ia wafat.
Saat
itu, ketika Abah Ende berkali-kali nampak kecewa mendengar jawaban
pertanyaannya yang menanyakan Bunde, aku pun mengelus-elus pelan kepalanya.
Kukira perbuatanku itu akan membuat Abah merasa nyaman dan tertidur. Karena aku
pun mudah tertidur jika ada yang mengelus-elus kepalaku. Tapi kemudian aku
terkejut, ketika kulihat Abah nampak –entah- meringis kesakitan atau menangis
(entah karena apa). Aku pun segera berhenti mengelus kepalanya dan menanyakan
apa yang bisa kulakukan untuknya. Saat itu Abah menjawab dengan gelengan lemah
sembari memejamkan mata. Kejadian ini berlangsung tiga kali. Aku mengelus dan
Abah Ende nampak meringis/menangis, sebelum akhirnya kembali menanyakan Bunde.
Dan aku setia menjawab pertanyaan Abah dengan jawaban yang sama.
“Bunde
belum pulang, Bah.. Abah mau minum? Atau tambah bantal lagi? Atau kipasnya mau
digeser? Atau abah mau lihat channel TV yang lain?”
Dan
seperti sebelum-sebelumnya, rentetan pertanyaanku itu dijawab Abah dengan
gelengan lemah sambil memejamkan mata.
---
Berkali-kali..
Berkali-kali
setelah prosesi penguburan Abah selesai, Aku berpikir.
Saat
itu..
Jika
saja aku tahu bahwa Abah Ende tengah diburu batas waktu, aku tentu akan
bersegera memenuhi permintaannya untuk memanggil Bunde pulang. Entah dengan
cara bagaimana.
…
Saat
itu..
Jika
saja aku tahu bahwa Abah sedang ditunggu malaikat Izrail yang akan mengajak
serta nyawanya pergi dari raga, aku tentu akan melantunkan ayat pilihanku
untuknya, surat Ar Rahmaan, di sampingnya. Akan kubacakan pula terjemahan surat
itu dengan suara lantang, seperti yang biasa kulakukan di setiap ba’da maghrib
pada hari-hari sebelumnya.
…
Saat
itu..
…
…
Argh!
Astaghfirullaahal’azhiim…
Tentu
saja aku tahu bahwa kematian makhluk adalah salah satu rahasia yang
pengetahuannya hanya dimiliki oleh-Nya, selaku Sang Pemegang Kendali Waktu. Pun
jua kematian Abah Ende ini. Aku pun tak memiliki hak untuk meminta-Nya
menggulung kembali lembaran takdir yang telah terjadi.
Aku
tahu..
Aku
tahu itu…
Tapi,
Tetap
saja.
Aku
masih mengharapkan hal-hal mustahil seperti ‘memutar waktu’ untuk bisa terjadi.
Karena sampai saat ini, aku memiliki beban yang belum terangkat di benakku.
Terutama perihal Abah Ende ini.
…
…
---
Allah..
aku meluruh ke hadapan-Mu…
---