Jumat, 21 Februari 2014

Cerpen-Epilog "Aku, Dia & Waktu"

Kepada Hujan
Ruangan putih.
Tiga jiwa merintih.
Meli mencaci. Mei merengek. Lia menyerah.

Menghujat. Menangis. Pasrah.

Sementara langit menurunkan tetes airnya, Lia mengadu.

"Hujan,
terima kasih untuk penyertaanmu di pagi ini.
Berjanjilah, untuk tetap menemaniku hingga akhir hari ini.
Karena esok, mungkin hatiku tak lagi menangis bersamamu.
Malaikatku telah berjanji akan mengantarkanku pada taman cahaya milik-Nya.
Ya.
Kuharap begitu.

Hujan,
sampaikan salamku.
Untuk mereka-mereka yang kusimpan namanya di hatiku.
Juga mereka-mereka, yang menyimpan namaku di hatinya.
Bisikkanlah pada ruh mereka.
Bahwa aku menyayangi mereka.

Hujan,
ini bukanlah perpisahan.
Kepergianku esok adalah untuk kembalinya diriku yang lama.
Doakan aku.
Semoga aku bisa melebihi diriku yang dulu.
Menjadi lebih baik, tentunya.

Hujan,
saksikanlah aku.
Di hari mendatang akan kumiliki keberanian itu.
Keberanian untuk menyampaikan rasaku,
Kepada mereka yang memiliki tangis untukku.
Aku berjanji,
kelak ketika kami berjumpa kembali
tak akan kubiarkan tangis meluncur di pipi mereka.
Mungkin hanya menggenang saja di bola mata.
Tapi tidak karena terluka (lagi).
Saksikanlah aku, hujan!

Hujan,
sudah seberapa seringkah aku mengadu padamu?
Tentunya tak sebanyak tetes airmu bukan?
Maaf.
Maaf karena aku selalu saja mengusikmu dengan segala pengaduan remehku.
Aku tak memiliki keberanian untuk berbagi rasa ini pada yang lainnya.
Karenanya hanya padamu bisa kuutarakan keluhku.
Kuharap ini tak mengganggumu.
Terima kasih, hujan.

Hujan,
Jika kamu tanyakan kabar tentang Meli, aku akan menjawabnya.
Meli baik-baik saja.
Ia mungkin kini masih mencerca dan menghujat dunia.
Tapi pikirannya yang selalu negatif itu tidaklah lagi terlalu menggangguku.
Karena aku sudah lebih mengerti kini.
Bahwa semua kekacauan pikirannya cukuplah beralasan.
Ya, hujan.
Bahkan seorang Meli yang mandiri  dan pongah pun memiliki kelemahan.
Kau tahu apa itu, hujan?
Meli takut sekali pada kesendirian.
Ya.
Meli takut sekali pada kesendirian.
Jiwanya yang takut akan kesepian telah menuntutnya untuk membuat onar di kehidupan kami.
Ia menuntut dirinya untuk berbuat sesuatu,
Agar orang-orang di sekitarnya tidak bisa mengabaikannya.
Entah disadari atau tidak olehnya,
Bukankah justru sikapnya itulah yang membuat dunia abai akan dirinya?
Ya. Kupikir juga begitu.
Memikirkan hal ini,
Aku jadi memiliki simpati untuknya.
Untuk meli, hujan.
Kuharap, di hari setelah esok,
Meli bisa menyadari bahwa
Ia sebenarnya tak pernah sendiri.
Dunia tak pernah abai akan dirinya.
Justeru  selama ini, dialah yang telah abai akan hidupnya.
Kuharap nantinya kami bisa bersahabat kembali, hujan.
Doakan kami ya!

Bagaimana dengan Mei?
Kamu bertanya tentang Mei, hujan?
Baiklah, aku akan kembali menjawabnya.

Aku tak pernah menyangka bahwa akan datang masanya ketika aku akan berselisih dengan Mei.
Seperti saat-saat ini, hujan.
Baru kusadari kini.
Bahwa Mei tidaklah sebaik yang kupikirkan.
Keceriaan yang selalu ditunjukkannya kepada orang-orang ternyata hanya sekedar kamuflase bagi kepengecutannya terhadap masalah.
Ya.
Mei ternyata pengecut, hujan.
Aku baru mengetahuinya kini.
Mei terlalu pengecut untuk hanya sekedar meminta maaf.
Kepada Lonta, Maya, Gandi, juga kepada yang lainnya.
Mei memilih untuk menyiksa dirinya dalam rasa bersalah yang tak berkesudahan.
Menjadi martir yang tak berguna bagi siapa pun.
Benar-benar konyol bukan?
Aku berharap,
Di hari setelah esok,
Mei akan memahami bahwa
Kepengecutannya untuk mengakui kesalahan itu hanya akan membuatnya terkurung dalam dunia sepi.
Seperti apa yang pernah dialami oleh Meli.

Hujan,
Aku sudah sampai pada akhirku kini.
Pesanku untukmu,
Kumohon, bertemanlah dengan angin.
Bagikan kebaikan kalian kepada penghuni alam ini.
Sampaikanlah salam kedamaian bagi semuanya.
Dan sementara itu,
Aku akan tetap di sini, hujan.
Menunggu kepulangan malaikatku yang akan menjemputku menuju taman cahaya.

Sampai jumpa lagi!
^_^"
Tamat

Ditulis dan diselesaikan pada,
Selasa, 21 Januari 2014
Di Rumah Putih.

(Berkaitan dengan kisah sebelumnya: "Aku, Dia dan Waktu")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar