[bismillaahirrahmaanirrahiiim..
hmm.. deg-degan juga nih kali ini.
Tanya kenapa? Karena kali ini aku akan mem-publish novelet keduaku yang berjudul "Aku, Dia, dan Waktu". Novelet ini adalah karya pertamaku yang kuakui proses penyusunannya tuh cukup sulit. Genrenya kali ini bukan hanya roman, melainkan lebih ke psikologi.
Bermula dari membaca beberapa buku psikologi dan juga buku yang menceritakan kisah nyata tentang "beep.. beep.."
Ups! maaf ya, kawan! kukira aku tak bisa bercerita lebih jauh lagi. Kupikir kalian bisa membaca ceritanya saja langsung setelah mengunduhnya di sini.. ^_^
Selamat membaca..]
hmm.. deg-degan juga nih kali ini.
Tanya kenapa? Karena kali ini aku akan mem-publish novelet keduaku yang berjudul "Aku, Dia, dan Waktu". Novelet ini adalah karya pertamaku yang kuakui proses penyusunannya tuh cukup sulit. Genrenya kali ini bukan hanya roman, melainkan lebih ke psikologi.
Bermula dari membaca beberapa buku psikologi dan juga buku yang menceritakan kisah nyata tentang "beep.. beep.."
Ups! maaf ya, kawan! kukira aku tak bisa bercerita lebih jauh lagi. Kupikir kalian bisa membaca ceritanya saja langsung setelah mengunduhnya di sini.. ^_^
Selamat membaca..]
*Aku, Dia, dan Waktu.
Oleh : Mei
“Jadi, Kamu adalah Meli?”
Kembali kuulangi pertanyaan
yang beberapa menit sebelumnya tak jua dijawab oleh sosok wanita di hadapanku. Usia
wanita itu tak lebih dari tiga puluh tahun. Sedikit lebih muda dariku.
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan
diri untuk kehadirannya di ruangan ini sejak kemarin malam. Dan di sinilah ia.
Sejak dua puluh menit telah berlalu, tak banyak yang bisa
kuketahui tentang maksud wanita ini datang ke rumahku.
Sosok di hadapanku bergeser
sedikit dari posisi awal duduknya. Rok berbahan jin yang dikenakannya tampak
meregang begitu ia menopangkan kedua lengannya di paha dan memajukan badannya
ke arahku. Ia nampak sedang menilaiku sebentar sebelum akhirnya menjawab
pertanyaanku.
“ya. Aku Meli.”
Kali ini ia kembali bersandar
ke sofa oranye di ruangan ini. Sofa yang persis berhadapan dengan kursi putar
yang sedang kududuki. Tiba-tiba saja ia tersenyum sinis padaku. Ini membuatku
terkejut. Terkejut pada perubahan emosi yang begitu cepat ditunjukkan olehnya.
Sama seperti ketika di menit-menit pertama ia melangkahkan kakinya ke ruangan
ini.
Aku kembali menunjukkan sikap
acuh pada sosok di hadapanku. Pengalaman telah mengajarkanku bahwa untuk
menghadapi orang seperti Meli ini aku harus bersikap hati-hati. Aku tak boleh
bersikap simpati, ataupun terlalu ingin tahu. Aku harus bersikap seolah kami
ada di posisi yang sejajar. Akhirnya, aku pun mencoba untuk menyapanya.
“hai! Aku Anne. Mei sudah bercerita cukup banyak tentangmu. Tahukah kamu kalau,..”
“si cengeng itu lagi-lagi mengadu.”
Aku terkejut dengan interupsi Meli yang tiba-tiba. Kali ini ia tak lagi memandangiku dengan sinis,
melainkan garang. Aku merasa sedikit gentar dengan perubahan emosinya ini. Tapi
aku toh sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini jadi kulanjutkan saja
ucapanku.
“si cengeng? Maksudmu Mei, Mel?”
“ya! Siapa lagi kalau bukan
dia. Kau ini bodoh ya!”
Aku beristighfar dalam hati. Sudah
terbayang di benakku bahwa hari ini akan berakhir dengan cukup melelahkan
karena perbincanganku dengan Meli ini.
“jadi, menurutmu Mei itu
cengeng, Mel?”
“ya. Cengeng sekali. Mei
sering menangis hanya karena hal sepele. Melihat kucing yang tergilas motor di
jalanan saja membuatnya menangis! Bisa kau bayangkan itu?”
Aku tak menggeleng juga tak
mengangguk. Aku hanya menambah fokus perhatianku pada Meli. Dan ia kembali
bicara.
“bahkan ada hal yang lebih
konyol lagi tentang Mei. Dia menganggap semua orang itu baik. Tak ada yang
jahat. Adapun orang-orang yang bersikap jahat selama ini terhadapnya itu
dianggapnya sebagai orang baik yang khilaf. Konyol sekali bukan?! Hah! Aku muak
dengan pikiran naifnya itu!”
“o.. begitu.. bagaimana dengan
Lia? Apa pendapatmu tentangnya, Mel?” aku mencoba melontarkan tanya.
Ekspresi Meli kembali berubah.
Kali ini kegarangan di wajahnya sedikit meluntur dan ia tampak berpikir sejenak
sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.
“Lia? Hmm.. sebenarnya dia
cukup pintar. Jika saja dia tak memilih untuk berpihak pada Mei dibandingkan
denganku. Lihat saja sekarang. Lia mendekati kehancuran hidupnya. Hah!”
Kucatat beberapa hal di note
yang ada di tanganku. Dan Meli memperhatikan perbuatanku ini.
“apa yang kau catat, Dok?”
Meli acuh bertanya.
“bukan apa-apa. Dan Aku bukan dokter. Panggil saja Anne.”
Aku tersenyum dan kembali
melontarkan pertanyaan lainnya.
“jadi, sejak kapan semua ini
bermula? Sejak kapan kamu mengenal Mei dan Lia?”
“perlu apa kau tahu tentang
hal ini, Dok?” lagi-lagi Meli menjawab pertanyaanku dengan sinis. Aku pun
akhirnya memutuskan untuk sedikit lebih tegas terhadapnya.
“Aku perlu
untuk tahu agar Aku bisa membantu kalian bertiga memecahkan masalah rumit kalian itu. Sudah. Tak
susah kan untukmu menceritakannya padaku, Mel.”
Meli memperbaiki posisi
duduknya masih dengan pandangan garang yang sama. Kemudian ia akhirnya
memutuskan untuk melanjutkan bercerita.
“Segalanya bermula dariku.
Seperti yang sudah kau tahu, Dok, aku adalah sulung dari dua bersaudara.
Keluargaku awalnya hidup dalam keterbatasan hidup sebelum akhirnya kondisi
ekonomi kami membaik ketika usiaku memasuki masa sekolah. Aku yang sudah dibiasakan
mandiri oleh ayah-ibuku pun akhirnya tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Atau
kau juga bisa menyebutku sebagai gadis yang penyendiri.”
Beberapa hal penting yang baru
kudengar dari mulut Mel itu kucatat di note ku. Kali ini Meli tak menggubris
perbuatanku. Ia kembali melanjutkan ceritanya.
“... tak lama setelah aku
memasuki SD, Mei muncul. Dia muncul dengan sikapnya yang jelas sekali menentang
persepsiku tentang dunia ini. Aku yang sudah menganggap bahwa dunia ini dihuni
oleh orang-orang yang acuh dan egois dengan kepentingannya masing-masing
akhirnya mesti kalah oleh segala kekonyolan Mei tentang ‘hidup berbahagia’.”
Di sini kuamati baik-baik
ekspresi Meli yang kembali berubah. Kali ini ia nampak seperti seorang yang
baru saja kalah dari peperangan.
“Mei dengan keceriaannya
akhirnya mampu mengalahkanku dari singgasanaku. Dia adalah gadis yang ceria dan
dicintai oleh orang-orang sekitarnya. Kemampuannya yang mencintai tanpa batas
itu bahkan mampu meluluhkan hati tiran milik ayah. Aku, sulung yang diam-diam
sejak lama mengharapkan kasih sayang
ayahku akhirnya harus mengakui kekalahanku dari Mei. Ayah mencintai Mei
melebihi cintanya terhadapku. Aku pun akhirnya memutuskan untuk mengasingkan
diri. Berharap mungkin saja waktu kejatuhan mei kelak akan datang, dan
sementara itu kuputuskan untuk menunggu dari balik tabir...
“Tahun terus berganti dan Mei
tumbuh menjadi remaja yang membuatku semakin iri. Ayah mendaftarkan kami ke MTs
tempat bibi-bibi kami pernah bersekolah. Mei menurut dan kembali mendapatkan hidup
dan kawan-kawan baru. Kawan. Cih. Sesuatu yang bahkan hampir tak
pernah bisa kuimpikan..
Aku sedikit bergidik ketika sekilas
kusaksikan kebengisan muncul di wajah Meli.
“Di MTs itu, Mei langsung
memiliki kelompok sekawan bernama Four in One. Seingatku, Four in One
beranggotakan Astuti, Lizma, Ahfa, dan Mei sendiri. Di kelas satu MTs itu pula
awal mula munculnya Lia. Kau mau tahu juga, Dok, kenapa Lia bisa hadir di
kehidupan kami?”
Aku cukup terkejut ketika Meli
menanyakan hal itu padaku. Bukan karena apa yang diucapkannya. Melainkan karena
apa yang kudapati dari ekspresi di wajahnya. Meli tersenyum satir...
Sedikit tergagap kujawab
pertanyaan retoris dari Meli itu dengan anggukan sambil mencatat hal penting
yang baru saja kusaksikan. Dan Meli kembali bercerita.
“Lia hadir setelah ayah kami memberikan pujian
yang sangat antusias ketika raport akhir tahun kami menunjukkan hasil yang
bagus. Juara satu. Sebenarnya aku sudah curiga. Aku curiga Dok, bahwa Lia sudah
ada jauh sebelum kami menyadarinya. Hanya saja yang jelas adalah bahwa sejak
juara satu di akhir tahun pertama kami di MTs itu lah Lia mulai mendominasi kehidupanku
dan Mei. Lia yang aktif di organisasi sekolah. Tak hanya pramuka, melainkan
juga PMR, OSIS, dan Pidato. Lia yang terampil dan kreatif menciptakan hal-hal
baru di pelajaran kesenian. Lia yang semahir anak lelaki dalam bermain bola.
Lia yang begitu berpikiran positif dan visioner tentang mimpi dan masa
depannya. Lia yang seperti itulah yang membuat ayah sangat membanggakannya di
hadapan tetangga dan keluarga kami. Bahkan keceriaan Mei bisa tertutupi oleh
semua kesempurnaan yang Lia miliki. Aku sempat merasa kasihan pada Mei yang saat
itu mesti menghadapi masa kejatuhannya. Atau setidaknya begitulah menurutku.
Sayangnya aku harus kembali geram ketika kudapati Lia tak mau berpihak
kepadaku. Lia lebih memilih Mei yang ceria dibandingkan aku yang selalu
berpikiran negatif. Akhirnya, sejak itulah tercipta garis permusuhan di antara aku dan mereka. Hingga saat ini...”
Aku mulai bisa memahami jalan permasalahan
rekan di hadapanku ini. Sepintas, kuakui aku sedikit mengagumi kemahiran Meli
dalam bercerita. Tak seperti Mei. Meski segala kesinisan dan kebengisan yang
terkadang muncul di wajahnya itu juga cukup menggangguku.
“sayangnya, masa kejayaan Lia mesti
terhenti, Dok. Hah! Itulah akibatnya jika selalu berbaik sangka pada dunia.
Kalian tak pernah tahu, kapan dunia bisa berlaku sangat kejam terhadap kalian.”
Kali ini aku kembali bergidik.
Kebengisan di wajah Meli bertahan dalam waktu yang cukup lama. Membuatku sedikit
gemetar ketika kutulis hal itu di note.
“apa yang terjadi, Mel?”
lamat-lamat aku bertanya.
Meli menatapku sebentar dengan
tatapan bengisnya sebelum akhirnya menjawab.
“sudah pernah kukatakan
kepadamu bukan, Dok? Manusia itu egois. Selalu iri dengan apa
yang dimiliki orang lain. Jika menang, kalian berlaku sombong. Dan jika kalah,
kalian tak mau menerimanya. Begitu juga Laras, seorang sahabat Lia. Laras
adalah rival Lia dalam hal akademis sekaligus juga adalah sahabatnya yang
paling dekat. Juara umum sekolah selalu berpindah tangan di antara mereka
berdua. Dan di akhir tahun ke tiga dan sekaligus juga adalah akhir tahun kami
di MTs, Laras kalah oleh Lia. Juara umum sekolah menjadi milik Lia. Dan Laras
membencinya karena hal itu.”
“tidak! Laras tak membenciku!
Aku hanya salah paham padanya!”
Aku terkejut dengan kehadiran
suara lain di ruangan ini. Suara ini tak seperti milik Mei yang penggugup
ataupun milik Meli yang tinggi dan bernada kasar. Mendengar suara ini membuatku
teringat pada suara seorang yang biasa menjadi protokol dalam upacara bendera.
Begitu jernih, tegas, dan teratur. Suara ini kuasumsikan adalah milik Lia.
Selanjutnya kuamati sosok yang
kini duduk di hadapanku. Penglihatanku telah membenarkan asumsiku semula. Bahwa
Lia adalah seorang yang visioner dan cerdas seperti yang telah dikatakan Meli
itu agaknya benar pula. Lia duduk di kursi yang sama yang tadi diduduki oleh
Meli. Tak ada yang berbeda dari rupa dan
baju yang mereka kenakan. Tapi ada hal lain yang membuatku mampu membedakannya
dari Meli dan Mei. Dan itu adalah dari cara Lia duduk dan menatap lawan
bicaranya.
Lia tak seperti Mei yang
terlalu gugup dan hampir setiap waktu selalu menangis. Lia juga tak seperti
Meli yang duduk bersandar tanpa memperdulikan lawan bicaranya. Lia tampak
anggun ketika duduk dengan posisi punggung yang tegak tanpa bersandar. Juga tampak
cerdas ketika ia menautkan jemari-jemarinya di atas pangkuan. Lia memang
cemerlang seperti yang disampaikan oleh Meli kepadaku.
Perlahan, aku mencoba
memastikan identitas wanita yang kini duduk anggun di hadapanku.
“maaf, apakah kamu Lia?”
Wanita di hadapanku ini agak
terkejut ketika kusapa. Butuh beberapa detik baginya sebelum menjawab sapaanku.
“ya.. dan kamu adalah Anne,
bukan? Maafkan aku Anne, atas ketidak sopananku ketika berteriak tadi. Pikiran
Meli seringkali sangat menggangguku. Termasuk tentang hal Laras tadi. Meli
hanya percaya pada asumsinya saja dan tak mau mendengar fakta yang sebenarnya.
Kami sering bertengkar karenanya.”
Lamat-lamat kuperhatikan Lia. Alisnya
bertaut pertanda memikirkan hal yang cukup rumit. Meski di awal tadi aku sempat
merasakan kecemerlangan dan kecerdasan yang terpancar di mata Lia, kini aku
bisa menilai dengan lebih obyektif. Bahwa Lia tak secemerlang kelihatannya. Dalam
pandanganku kini, Lia nampak seperti singa yang sudah terlalu tua untuk menjaga
tahta kekuasaannya. Tiba-tiba saja aku bersimpati pada sosok wanita di
hadapanku itu.
“jadi Lia, apa yang sebenarnya
terjadi padamu? Jika kamu mau, kamu bisa menceritakannya padaku.”
Lia nampak sedang menimbang-nimbang
sebelum akhirnya melontarkan tanya.
“sebelumnya Anne, bisakah kamu
jujur kepadaku?”
Kudapati permohonan dalam
pandangan mata Lia ketika mengucapkan kalimat itu padaku.
“tentang apakah itu?”
Lagi-lagi Lia nampak
mempertimbangkan sesuatu. Ia bergumul dalam diamnya sejenak sebelum akhirnya
kembali bicara.
“katakan padaku. Apakah aku
sudah gila? Maksudku.. yah.. kau tahu, Anne. Meli adalah aku. Sementara aku
adalah Lia. Dan Mei adalah bagian dari kami berdua. Maksudku, apakah aku tak
gila karena bisa berbagi pikiran dengan Mei dan Meli dalam satu tubuh ini?”
Kupahami maksud pertanyaan Lia
itu. Bukan sekali ini aku mendapatkan pertanyaan seperti itu. Karena hampir
semua tamu yang berkunjung ke rumahku ini selalu menanyakan hal serupa.
Pertanyaan apakah mereka gila karena memiliki pikiran yang bercabang. Ataukah
hanya sekedar imajinasi yang berlebihan dikarenakan terlalu letih akibat overwork. Butuh kesabaran untuk
menghadapi setiap dari mereka yang kebanyakan memiliki masalah kejiwaan yang
tak stabil. Salah satunya adalah Lia di hadapanku ini.
Perlahan kuhembuskan nafasku
sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Lia.
“tidak. Kamu tidak gila, Lia.
Sebagai seorang psikiater, aku sudah cukup sering menghadapi orang-orang
dengan masalah serupa seperti yang kamu alami. Ini wajar terjadi pada
orang-orang yang pernah memiliki trauma atau peristiwa ekstrim sehingga memacu
munculnya satu, dua, atau lebih alter*. Atau
biasanya adalah ekspresi dari kepribadian utama yang muncul karena pribadi
utama tidak dapat mewujudkan hal yang ingin dilakukannya.”
Lia terlihat sedikit lebih
lega. Dan aku pun kembali mengulangi pertanyaanku yang belum sempat dijawabnya.
“jadi, apa yang sebenarnya
terjadi denganmu dan Laras, Lia?”
Kali ini Lia langsung menjawab
pertanyaanku dengan lancar.
“sebelumnya Meli sudah
menceritakan padamu bukan bahwa aku memiliki sahabat dekat bernama Laras? Ya. Kami
memang sangat dekat. Dia adalah rival pertamaku di dunia ini. Sekaligus juga
adalah motivatorku untuk terus berprestasi. Aku juga membentuk kelompok sekawan
bersama Laras, Tami dan Anna yang bernama Four
of one. Mirip seperti grup sekawan yang dibentuk oleh Mei dan kawan Four in
One-nya. Dalam Four of one, aku
mengenal banyak hal baru. Setiap personil Four
of one pun sangat kusayangi dan kukagumi. Laras dengan kemandirian dan rasa
percaya dirinya yang tinggi. Anna yang paling supel dan berani. Juga Tami yang
paling dewasa dan selalu bertindak seperti ibu bagi kawanan Four of one. Aku mencintai mereka.
Sangat...
“yah.. sayangnya terjadilah
peristiwa itu. Tahukah kamu Ann, aku dan Laras seringkali mempersaingkan
hal-hal sepele...”
Kulihat Lia tertawa satir.
Kucatat apa yang kusaksikan itu di note.
“kami selalu bersaing setiap
kali ada ulangan. Dan yang paling lucu adalah, Laras selalu sesumbar akan
mengalahkanku setiap akan ulangan Matematika. Padahal dia jelas tahu kalau aku
memang lebih pandai darinya dalam mata pelajaran itu. But, well, kuacungi jempol untuk Laras yang selalu gigih mencapai
keinginannya. Dia hampir selalu nyaris mengimbangi nilai ulangan Matematikaku
yang sempurna..
“seperti yang sudah kukatakan
padamu Ann, Laras adalah seorang yang ambisius dan memiliki rasa percaya diri
yang tinggi. Sifat itu didapatnya dari Abi* kebanggaannya. Laras sering mengatakan kepadaku,
bahwa ia akan selalu memberikan yang terbaik untuk Abi-nya. Menjadi juara satu
di sekolah adalah salah satu kado untuk Abi-nya. Selama dua tahun kami
bersahabat, aku tak pernah bermasalah dengan sifat ambisius Laras ini. Masalah
di antara kami baru muncul ketika aku mulai semakin akrab dengan Anna, personel
Four of one lainnya..
“jadi... empat personel Four of one harus terpisah ketika kami
naik ke kelas tiga. Aku dan Tami di kelas B. Sementara Laras dan Anna di kelas
A. Mulai sejak kenaikan kelas itulah Mei yang selama ini diam-diam mengagumi
Anna yang pemberani, memintaku untuk mengakrabkan diri dengan Anna. Saat itu
kusadari, bahwa Mei telah menganggap Anna sebagai sahabatnya. Alhasil, selama
kurang lebih masa-masa awal kami kelas tiga itulah Mei mulai sering bertukar
surat dengan Anna..”
“Maaf Lia, aku memotong
ucapanmu. Jadi, saat itu kamu sudah mengenal Mei?”
“oh, ya. Dan aku sangat
mengaguminya. Kamu tahu, Anne. Mei memiliki magnet gaib yang entah bagaimana
membuat setiap orang di sekitarnya selalu nyaman hanya dengan melihat
senyumnya. Dan aku juga sangat menyayanginya. Memang, pada awalnya juga aku
merasa aneh dengan kesadaranku akan kehadiran Mei. Tapi perlahan, aku mulai
terbiasa.”
Kucatat hal itu di note-ku dan
kembali melontarkan tanya.
“dan apakah saat itu kamu juga
sudah mengenal Meli?”
Kuamati baik-baik gestur dan
mimik wajah Lia ketika menjawab pertanyaanku ini.
“hmm.. tidak. Saat itu aku
belum mengenal Meli.”
Kuakui aku cukup terkejut
ketika melihat Lia tersenyum. Sangkaku sejauh ini adalah bahwa antara Lia dan
Meli telah terwujud garis permusuhan. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Lia
di awal mula kemunculannya di ruangan ini. Setelah kucatat hal yang baru saja
kudapatkan, kemudian kupersilahkan Lia untuk melanjutkan ceritanya.
“baiklah.. maaf. Sampai di
mana cerita kita tadi? Oh ya, Mei mulai berkirim surat dengan Anna. Bisakah
kita melanjutkannya?”
Lia tersenyum dan kembali
bercerita.
“jadi. Sejak perbedaan kelas
itu, Mei mulai mengakrabkan diri dengan Anna melalui surat. Sesekali Mei meminta
bantuanku untuk membuat puisi sebagai balasan dari puisi yang dibuat Anna untuk
Mei. Kami juga memiliki satu diary yang khusus untuk kami tulis dan baca
berdua. Jika hari ini Mei menulis di diary itu, maka esoknya ia akan
memberikannya kepada Anna untuk ditulis olehnya. Kemudian lusanya diary itu
akan kembali ke Mei untuk kemudian ditulisnya lagi. Begitu seterusnya.
“waktu terus berlalu dan tak
terasa masa-masa kami di MTs akan segera berakhir. Mendekati hari ujian
sekolah, suasana tegang mulai mendominasi para siswa kelas tiga. Waktu bermain
bagi kami kelas tiga semakin minim. Pertemuanku dengan tiga personel Four of one pun semakin jarang. Hanya
dengan Anna, kegiatan menulis diary bersama itu kulakukan. Selain belajar, tak
ada aktivitas lain yang kulakukan usai pulang dari sekolah. Di bawah tekanan
adanya isu kenaikan angka standar kelulusan dari 4,00 menjadi 4,25
untuk setiap mata ujian, aku belajar
segigih mungkin untuk bisa
lulus dari sekolah.
“sebelum menghadapi ujian
sekolah dan ujian nasional, kami kelas tiga dilatih terlebih dahulu dalam try
out. Seingatku ada dua kali try out yang berlangsung saat itu. Dalam try out
pertama, aku masih tak lulus di mata ujian sejarah. Sementara Laras lulus di
semua mata ujiannya. Meski begitu aku cukup dikagetkan ketika tiba-tiba saja di
suatu pagi Laras bersikap sinis sekali padaku. Laras tiba-tiba saja berkata, hebat banget ya temen Anna itu. try out
matematika-nya dapet sepuluh. Aku terkejut. Heran. Terlebih lagi
merasa sakit hati ketika kudapati pandangan sinis milik
Laras itu tertuju padaku. Di tengah-tengah Anna, Tami dan kawan-kawan kami
lainnya, Laras menyindirku dengan sikap serius..
“aku baru mengetahui alasan
sikap Laras itu keesokan harinya, Ann. Anna memberitahuku lewat surat
ringkasnya bahwa Laras menemukan diary bersama milikku dan Anna. Kami duga
Laras cemburu dengan kedekatan kami sehingga bersikap sinis seperti itu.
Setelah mengetahui hal itu, aku pun berniat untuk meminta maaf kepada Laras.
Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa tak akan ada yang berubah dari hubunganku
dengannya ataupun hubungannya dengan Anna. Sayangnya, niat baikku itu tak
pernah terlaksana. Karena Laras sudah lebih dulu membuat garis pembatas antara
kami berdua..
“esok paginya, aku baru saja
tiba di sekolah dan melihat Laras, Anna, Tami serta beberapa teman lainnya
sedang duduk di teras depan kelas. Dari jauh kulihat Laras sedang asyik tertawa
dengan lainnya. Melihat hal itu, aku pun semakin berani untuk meminta maaf
kepada Laras. Dari jarak lima belas meter aku sudah memasang senyum riang ke
arah sekumpulan kawanku itu. Sayangnya, baru saja aku hendak menyapa, Laras
yang saat itu baru menyadari kedatanganku kemudian tiba-tiba saja berdiri dan melengos pergi. Ia mengajak serta
Anna dan Mae untuk kemudian masuk ke dalam kelasnya. Anna melihatku dengan
pandangan tak enak hati. Sementara kawan-kawanku lainnya menatap bergantian
antara Laras yang baru pergi, dan aku yang saat itu terkejut dan merasa sakit
hati..
“hari-hari setelahnya, sikap
dingin Laras selalu ditujukannya kepadaku. Hal ini membuatku sangat sedih.
Meski begitu aku mencoba untuk tetap berpikiran positif. Saat itu kupikir Laras
membutuhkan waktu untuk menyadari kesalahannya. Kesalahannya atas kecemburuan
yang tak berdasar terhadap persahabatanku dengan Anna. Sayangnya sikap Mei
terhadap permasalahan ini tidaklah membantuku. Mei merasa sangat bersalah untuk
apa yang kualami. Merasa karena dialah Laras cemburu. Ia berpikir jika saja ia
tak berbagi diary dengan Anna tentu semua hal ini tak akan terjadi. Aku
berusaha untuk menghibur Mei dan di waktu yang bersamaan pula aku mencoba untuk
menghibur diriku sendiri. Meski begitu, terkadang kesedihan dan rasa bersalah
Mei juga mempengaruhiku. Aku sempat berpikir mengapa Laras hanya bersikap sinis
terhadapku. Tidak kepada Anna juga. Tanpa kutahu asalnya dari mana aku juga
pernah berpikir apakah persahabatanku dengan Laras selama ini tidaklah sebaik
yang kuduga.
“Akhirnya kuputuskan untuk tak
menjawab pikiran negatif itu dan berfokus pada apa yang sedang kuhadapi. Dan selama
sisa masa ujian sekolah itu, aku pun berusaha sekeras mungkin untuk tetap bisa
fokus belajar dan tak menghiraukan segala sikap dan ucapan Laras yang
menyakitkan.
“hhh.. maaf Anne, ijinkan aku
untuk minum dahulu.”
Aku tergugu sebentar sebelum
akhirnya kupersilahkan Lia meneguk
habis sisa air jeruk di mug-nya. Kemudian kami kembali ke jalur cerita.
“masa ujian terus saja
berjalan. Hingga tibalah kami di hari terakhir ujian praktik sekolah. Saat itu
sedang diujikan praktik kesenian musik dan gambar. untuk seni musik, Bu Santi, guru seniku memberikanku nilai 8,8. Dan selanjutnya adalah seni gambar.
Saat itu, entah kenapa aku tak bisa menggambar seperti biasanya. Sehingga hasil gambarku adalah seperti apa yang biasa digambar oleh anak seumuran anak TK.
Rumah, pohon, awan, dan kucing. Datar sekali. Untuk gambarku yang payah itu aku
mendapatkan nilai 5,8.
“maaf Anne, sebenarnya bukan
nilai praktik seni itu yang ingin kuceritakan kepadamu. Tapi apa yang telah
terjadi setelah kudapatkan nilai itulah yang menjadi salah satu kenangan
terkuat di memoriku dan ingin kuceritakan kepadamu.”
Aku mengangguk pelan pertanda
memaklumi ceritanya. Dan selanjutnya kembali memfokuskan perhatianku pada
cerita Lia.
“jadi, tepat setelah kuterima
hasil ujian praktik seni, Laras muncul di muka pintu kelasku. Aku terkejut. Itu jelas sekali. Berminggu-minggu setelah ia acuh dan
mendiamkanku, Laras akhirnya mau kembali menghadapiku. Meski masih tak ada senyum darinya, ia kemudian mengajakku untuk ke base camp Four of one saat itu juga. Berdua dengannya.”
Lia berhenti bicara. Kuamati
sikapnya ketika ia memindahkan pandangannya ke pinggir meja, tak lagi menatap
lurus ke mataku. Ini kuasumsikan sebagai pertanda bahwa ia mulai kesulitan
untuk bercerita. Entah karena sebab ada hal yang ingin disembunyikannya dariku
atau mungkin juga karena luapan emosi yang dirasakannya. Akhirnya kuputuskan
untuk memberikan dorongan moril kepadanya.
“Lia?”
Kuamati sikap dan ekspresi yang
tertampil di wajah Lia. Saat itu kudapati kesenduan menghiasi wajahnya.
Pandangannya yang terarah ke pinggir meja tampak kosong ketika ia kembali
bicara.
“…Aku terkejut Ann… Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang ingin dikatakan
Laras kepadaku saat itu…
Tentu saja aku berharap bahwa setelah pembicaraan itu persahabatan kami akan kembali membaik..”
Dan Lia kembali diam. Aku pun ikut
diam mengamatinya. Kali ini kuputuskan untuk membiarkan Lia sendiri yang
memecah kebisuan.
Setelah beberapa jenak lamanya
ruangan tamuku hening dari suara, kuputskan untuk meregangkan kakiku dan
menukar posisi tumpuannya. Kali ini, kaki kananku kutumpukan pada kaki kiriku.
Mungkin menyadari adanya
pergerakanku, Lia kembali disadarkan pada keadaannya saat ini. Secara perlahan
Lia mengangkat pandangannya, kembali ke mataku. Tapi butuh belasan detik lagi
untuknya kembali bicara dan melanjutkan ceritanya.
“hm.. jadi saat itu kuikuti langkah Laras menuju base camp kami, yakni kamar mandi tua di belakang gedung sekolah. Selama
menuju ke sana, kami melaluinya dalam keheningan. Aku memutuskan untuk
mendengarkan terlebih dahulu apapun yang akan dikatakan Laras nantinya. Baru
jika memungkinkan, aku akan mengatakan sesuatu agar perselisihanku dengan Laras
segera berakhir. Begitu pikirku saat itu.
“sesampainya di base camp, Laras berhenti dan masih
berdiri membelakangiku. Selama hampir tiga menit lamanya Laras masih tidak mau
menghadap padaku secara langsung, akhirnya kesabaranku sudah habis. Kuputuskan
untuk menjadi yang pertama memecah keheningan di antara kami ini. Saat itu aku
bertanya padanya, apa yang diinginkannya. Sayangnya aku mesti melewati beberapa
menit terlebih dahulu dalam sunyi sebelum akhirnya kudengar jawabannya. Laras
tiba-tiba saja berbalik dan menatapku. Tanpa alasan yang jelas ia kemudian
memelukku dan menangis. Ia meminta maaf untuk apa yang sudah dilakukannya kepadaku
selama beberapa minggu ini.
“Bisa kamu tebak, Anne, apa
yang kulakukan setelahnya? Tiba-tiba saja aku menjadi gagu dan tak mampu
mengatakan pertanyaan yang sebelumnya ingin sekali kutanyakan kepada Laras. Aku
ingin tahu, apa alasan Laras sebenarnya hingga membuat ia bersikap buruk padaku
selama beberapa minggu sebelumnya. Sayangnya aku benar-benar menjadi gagu, Ann.
Mei juga turut melarangku untuk mengucapkan apapun. Akhirnya saat itu aku hanya
diam dalam pelukan Laras. Aku tak ikut menangis sepertinya. Mei lah yang ikut
menangis bersama Laras saat itu.
“setelah apa yang terjadi di base camp, Laras kembali bersikap baik
terhadapku. Ia kembali mengajakku bersaing di setiap sesi belajar bersama kami.
Anna dan Tami turut berbahagia mendengar personel four of one sudah berbaikan.
Meski begitu Anne, aku tak bisa memungkiri. Bahwa sejak saat itu aku mulai
lebih bersikap hati-hati dalam berteman dengan siapa pun. Aku lebih menjaga
jarak dalam membangun hubungan yang baru dengan orang-orang di sekitarku.
Karena bagiku, masih ada hal yang belum terselesaikan dalam perkawananku dengan
Laras.”
“dan kuduga saat itulah kamu
mulai menyadari keberadaan Meli, Lia?” aku memotong ucapan Lia. Dan kemudian
Lia membenarkan dugaanku itu dengan anggukan singkat. Kucatat kembali hal-hal
penting di note. Beberapa saat Lia tak melanjutkan ceritanya. Sampai ketika
kudapati ia sedang melihatku yang tadi sempat berfokus pada catatan di
tanganku. Kemudian aku berhenti mencatat dan tersenyum kepadanya.
“nampaknya ada hal lain yang
mengganggumu, Lia?”
Lia tampak sedikit terkejut ketika
mengetahui kepekaanku akan emosinya. Beberapa detik lamanya ia masih terdiam
dan aku tetap menunggu ia bicara. Akhirnya, Lia mengutarakan apa yang ada di
pikirannya saat itu.
“Maafkan aku, Anne. Baru saja
ada pikiran Meli yang menggangguku.”
Mendengar nama Meli disebutkan
oleh Lia, aku menambah kefokusan perhatianku padanya. Kuraih kembali pena yang
tadi sempat kuletakkan di atas note-ku.
“tentang apakah itu, Lia?”
“hmm.. maaf sebelumnya.
Sebenarnya aku tak pernah tahu bahwa Mei berencana untuk menemui seorang
psikiater. Jadi tadi aku sempat kaget ketika Meli mengatakan padaku bahwa Mei
sedang menceritakan tentang kami kepadamu. Aku menduga-duga, oleh sebab apa Mei
tidak mengatakan tentang kedatangannya ke sini. Kemudian Meli memberitahuku
bahwa Mei mungkin merasa ragu untuk menceritakan kepadaku tentangmu, Anne. Tapi
baru saja Meli mengatakan padaku. Bahwa Mei menduga aku mungkin akan
melarangnya berkonsultasi padamu ketika aku mengetahui hal lain tentangmu.”
Aku sedikit terkejut dengan
perubahan topik pembicaraan ini. Sedikit banyaknya aku sudah bisa menduga apa
yang akan dikatakan Lia selanjutnya. Tapi demi keprofesionalan, kuputuskan
untuk bersikap tenang dan menunggu Lia menyelesaikan kalimatnya.
Lia tampak mengamati reaksiku sebelum ia melanjutkan kalimatnya
kembali.
“jadi, Meli baru saja
memberitahuku bahwa kamu adalah sepupu jauh Laras. Benarkah itu, Anne?”
“ya. Itu benar. Laras adalah
sepupu jauhku. Abi-nya adalah pamanku.”
Aku memutuskan untuk jujur tentang
statusku ini kepada Lia. Kupikir jika aku berbohong dan menyembunyikan
identitasku, itu malah akan membuat kepercayaan Lia kepadaku berkurang.
Selanjutnya kuserahkan kepada Lia untuk menyikapinya seperti apa. Masih dengan
tetap tersenyum, aku menunggu ucapan Lia berikutnya.
“begitu.. hmm. Maafkan aku,
Anne. Aku sungguh tak tahu bahwa kamu adalah sepupu Laras. Jika aku tahu aku
mungkin..”
“oh.. tak apa-apa, Lia. Jangan
terlalu mengkhawatirkan hal itu. Dalam kondisi ini aku adalah rekanmu. Jadi
Laras adalah seorang yang lain dari kenangan milikmu. Aku berusaha untuk
menjadi pendengar yang baik untukmu, Lia. Jadi, jangan khawatir, oke. Rahasiamu
ini aman bersamaku.”
Kusentuh punggung tangan Lia
yang menangkup di atas pahanya dengan lembut. Aku mencoba meyakinkan Lia lewat
sentuhanku. Berharap dia tak merasa terbebani dengan apa yang baru diketahuinya
ini.
Lia kembali nampak
mempertimbangkan ucapanku. Setelah beberapa lama, ia kembali bertanya.
“baiklah. Maafkan atas
ketidaksopananku, Anne. Bukannya aku tidak mempercayai keprofesionalanmu di
sini. Aku hanya sedikit mengkhawatirkan perasaanmu. Tapi tentu saja. Tampaknya
aku sudah mengkhawatirkan hal yang tak perlu.”
Lia tersenyum malu. Melihat
hal ini membuatku lega. Kupikir aku bisa memintanya untuk kembali melanjutkan
kisahnya.
“jadi, bisakah kita kembali ke
ceritamu, Lia?”
“oh. Ya. Tentu. Tentu. Sampai
di mana tadi? Oh ya. Jadi, aku kembali berbaikan dengan Laras. Meski peristiwa
itu masih menyisakan hal yang tak mengenakkan buatku. Kurang dari sebulan kemudian
kami menghadapi Ujian Nasional. Selama tiga hari ujian Nasional itu, syukurlah
aku bisa melaluinya dengan baik. Pun jua kawan-kawanku yang lain. Setelah UN
berlalu, kami kelas tiga jadi memiliki banyak waktu luang di sekolah.
Kesempatan ini kami isi dengan membuat kenangan bersama satu angkatan kami dan
mengabadikannya dalam kamera.
“dan tibalah saat pengumuman
kelulusan. Saat itu semua wali murid diminta hadir untuk menerima surat
kelulusan setiap anaknya. Mereka semua dikumpulkan di aula sementara aku dan
kawan-kawan seangkatanku menunggu di depan kelas kami masing-masing. Setiap
dari kami merasa cemas sekali. Karena menurut isu yang beredar, ada dua orang
di antara murid angkatanku yang tidak lulus. Tentunya setiap dari kami tak
ingin menjadi bagian dari dua orang itu.
“Menit demi menit berlalu.
Kebanyakan para orang tua atau wali murid dari kawan-kawanku sudah keluar dari
aula. Beberapa menit sebelumnya kami terkejut setiap kali ada nama salah satu
dari kami yang disebut oleh Pak Maulana, Wakasek bidang Kesiswaan melalui
pengeras suara di aula. Dan ketika orang tua atau wali murid itu menghampiri
salah seorang dari kami untuk kemudian menunjukkan kertas keterangan kelulusan,
kami semua yang ada di sana turut merasa gugup dan akhirnya turut bersorak bahagia
ketika mengetahui kertas itu menyatakan lulus.
“jam di tangan Anna
memberitahukan kami bahwa sudah satu jam berlangsung sejak nama seorang kawan
kami disebut. Sejauh ini belum ada kertas yang menyatakan ketidaklulusan. Di
satu sisi ini menimbulkan kelegaan. Tapi di sisi lain hal ini membuat kami yang
namanya belum disebut jadi kian gugup dan takut. Beberapa di antara kawanku
sudah pulang bersama orang tuanya setelah menerima berita kelulusan. Tapi tak
sedikit juga yang memilih untuk tetap di sekolah dan menemani kami yang belum
mengetahui nasib kelulusan kami.
“jujur Anne, saat itu aku
merasa kesal sekali. Kenapa pula nama-nama kami dipanggil secara acak. Jika
saja sesuai alfabet, tentu namaku akan menjadi deretan sepuluh orang pertama
yang dipanggil. Dan saat itu, aku malah menjadi bagian dari sepuluh orang
terakhir yang belum juga dipanggil.”
Kuamati Lia. Ia nampaknya
ingin mengetahui pendapatku tentang hal ini karena ia tak bersegera melanjutkan
ceritanya. Akhirnya, setelah beberapa detik, aku pun mengomentari keluhannya
itu.
“hmm.. aku juga tak tahu pasti
sebabnya kenapa, Lia. Tapi kupikir ada kebijakan lain yang dibuat oleh staf
guru sekolahmu dulu sehingga memanggil nama muridnya secara acak.” Aku mencoba
membuat asumsi. Dan Lia nampak menerima asumsiku itu.
“Ya. Kamu benar. Hmm.. apakah semua psikiater
selalu tahu tentang banyak hal, Ann?”
“hahaha...” aku tak bisa
mencegah diriku untuk tertawa pelan. Aku tertawa karena sudah seringkali
klien-ku menanyakan pertanyaan serupa.
“apakah menurutmu aku tampak
tahu banyak hal, Lia?”
“well, bagiku kamu seperti itu. Kamu selalu tahu apa yang dipikirkan
atau dirasakan orang lain.”
Aku tersenyum lembut.
“begitukah? apakah itu
mengganggumu, Lia?”
“tidak.. sebenarnya membantu
sekali bahkan.”
“bagus. Kalau begitu, tak
apa-apa kan kalau kita kembali ke topik awal kita? Atau kamu mungkin ingin
membicarakan hal lain, Lia? sehingga sudah beberapa kali ini selalu mengalihkan
topik?”
Saat kuucapkan kata-kata itu,
aku sengaja berpura-pura memasang ekspresi kesal. Lia menyadari candaanku dan
kemudian tertawa.
“hahaha. Kamu benar, Ann.
Tampaknya secara tak sadar aku sudah mengganti topik pembicaraan kita berkali-kali.”
Lia nampak menilaiku sebentar
sebelum akhirnya berujar,
“Psikiater itu benar-benar
jeli ya.”
Aku membalas pujian Lia itu dengan
senyuman. Dan selanjutnya, kami pun kembali ke topik semula.
“jadi, datang juga waktunya
ketika ibuku keluar dari aula dan membawakan surat keterangan lulus tidaknya
milikku. Saat itu aku merasa sedikit kesal pada ibuku, Ann. Bayangkan saja.
Orang tua lain yang baru keluar dari
aula kebanyakan memberikan ucapan selamat kepada anak-anaknya atas kelulusan.
Sementara ibuku dengan acuhnya hanya tersenyum sekilas dan memberiku amplop
berisi surat kelulusan yang masih tersegel rapih. Masih dengan cueknya ibuku
berkata, ah. Pasti lulus.
“akhirnya segeralah kubuka
amplop itu bersama Anna dan beberapa kawanku lainnya. sementara saat itu ibuku
sudah pamit pulang duluan. Aku gugup dan khawatir sekali. Karena hanya tinggal
aku yang belum tahu hasil kelulusanku. Dan sejauh ini belum ada yang mendapat
surat tidak lulus.
“kelegaan baru bisa kurasakan
ketika kudapati kata ‘lulus’ tercetak tebal di kertas yang sedang kupegang. Aku
mengucap rasa syukurku berkali-kali. Kawan-kawan seangkatanku yang masih ada di
area sekolah kemudian bersorak bahagia. Ternyata isu bahwa ada di antara
angkatan kami yang tidak lulus itu tidaklah benar. Buktinya, kami semua lulus.
“setelahnya bisa kamu duga,
Ann. Kami pun akhirnya mulai sibuk mengurus rencana kehidupan kami setelahnya.
Kebanyakan dari kami sibuk dalam urusan pendaftaran ke SMA pilihan
masing-masing. Sedikit yang memutuskan untuk menghentikan kesempatan bersekolah
lagi dan memilih untuk melakukan hal lain. Entah itu menikah, atau langsung
mencari kerja demi membantu ekonomi keluarga.
“Aku memilih untuk meneruskan
sekolahku ke SMA di kecamatan. Tami memilih untuk ke MAN yang letaknya
berseberangan dengan MTs. Anna akan melanjutkan ke SMA di kabupaten. Dan Laras
akan meneruskan ke pondok pesantren di Kuningan. Di antara kami berempat,
mungkin Laras lah yang akan sangat jarang kami temui nantinya. Tapi kami
berjanji untuk tetap berteman.
“kemudian tibalah waktunya
ketika Laras akan berangkat menuju pondok pesantren di Kuningan. Saat itu Tami
tak bisa turut hadir ke rumah Laras. Sehingga saat itu aku hanya berdua dengan
Anna yang membantu Laras mengepak barang-barangnya. Saat itu aku tak tahu.
Bahwa kedatanganku ke rumah Laras akan memberiku satu kejutan tak menyenangkan.
“jadi ketika aku tiba di rumah
Laras, Abi Laras sedang ada di rumah. Jujur kuakui, meski aku sering berkunjung
ke rumah Laras untuk bermain atau belajar bersama, tapi aku belum pernah
bertemu dengan Abi secara langsung. Mungkin ini juga disebabkan oleh profesi
Abi Laras yang seorang anggota dewan sehingga sering beraktivitas di luar
rumah. Jadi, di hari keberangkatan Laras itulah kali pertama aku berkenalan
dengan Abinya. Dan aku mendapatkan kejutan tak menyenangkan setelahnya.
“aku terkejut ketika Abi Laras
memujiku yang bisa menjadi juara umum sekolah di tahun akhirku di MTs. Pada
mulanya aku memang terkejut biasa. Karena aku juga tak tahu benar-tidaknya apa
yang dikatakan oleh Abi itu. Tapi kemudian Laras yang baru muncul dari dalam
rumah membuatku tersentak. Karena ia memberiku senyum sinisnya lagi. Anna yang juga
merasa serba salah akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan. Dan setelahnya,
aku bisa terbebas dari percakapan dengan Abi Laras.
“meski begitu, suasana yang
sudah terlanjur tak mengenakkan tak lagi bisa diperbaiki. Begitu Abi Laras
pergi, aku, Anna, dan Laras tiba-tiba menjadi bisu. Bahkan sampai aku dan Anna
pamit, Laras tak lagi memberikan kami senyumannya. Hhh...”
Lia berhenti sejenak dan
menuang jus jeruk di teko ke gelasnya yang sudah kosong. Kuamati dia ketika ia
meneguk minuman di tangannya itu dan memulai kembali ceritanya.
“sejak hari itu, butuh waktu
bertahun-tahun setelahnya untuk kami bisa bertemu lagi. Dan kamu bisa
menduganya, Ann. Segalanya tak lagi sama. Aku mulai menjaga jarak dengan teman
sebayaku. Hanya kepada Anna aku bisa menjadi diriku sendiri. Bersama Mei, aku
menyayangi Anna sebagai sahabatku. Sahabat terbaikku.”
Aku menghela nafas perlahan.
Butuh waktu untukku mencerna dan menyaring info-info penting yang bisa
membantuku menemukan solusi bagi permasalahan Lia, Mei, dan Meli. Setelah
beberapa detik kami lalui dalam hening, aku pun kembali mengajukan pertanyaan.
“itu tentu terasa berat
untukmu, Lia?”
“sebenarnya tidak juga, Ann.
Hanya saja sejak kelulusan MTs itu aku memang lebih selektif dalam memilih
teman akrab. Teman-teman baruku di SMA tidaklah terlalu banyak. Tapi aku masih
bisa menjadi diriku sendiri. Well,
kurasa tidak juga.”
Kulihat Lia mengernyit. Hal
ini tak luput dari catatanku.
“kenapa Lia?” kutanya ia
dengan keantusiasan yang masih normal.
“hmm.. sejak SMA itu, ada
pikiran Mei yang mempengaruhiku dan sedikit merubah diriku.”
“dalam hal apa itu?”
Kulihat Lia agak gelisah untuk
menjawab pertanyaanku. Ini terlihat dari ketergesaannya ketika membenarkan
letak duduknya.
“mm.. Mei berpikir, mungkin
jika aku sedikit menahan diriku di bidang akademis aku tak akan lagi mengalami
kejadian seperti di MTs. Menurutnya, kecemerlanganku dalam beraktivitas telah
membuat orang lain menjadi iri.”
Aku mengernyit heran. Cukup
bingung dengan apa yang dikatakan Lia ini. Melihatku bingung, Lia buru-buru
menambahkan,
“well, kupikir maksud Mei adalah bahwa jika aku tak terlalu
menonjolkan diriku di sekolah, maka tak akan ada lagi Laras yang kedua. Tentu
saja aku menganggap pikiran Mei ini sedikit konyol. Maksudku, aku toh tidak
merasa berbuat salah. Aku tidak bermaksud menyakiti orang-orang. Aku hanya
mengerjakan segala sesuatunya sebaik yang kubisa, jadi wajar saja jika ada satu
atau dua orang yang iri dengan keberhasilanku. Tapi Mei terus-menerus
mencekokiku dengan pintaannya agar aku tidak menonjolkan diri. Menurutnya itu
demi kebaikan kami.”
“lalu, kamu mengikuti
sarannya, Li?” aku bertanya.
Kali ini, Lia terlihat semakin
gelisah. Ia menjawab pertanyaanku dengan lambat.
“yah. Pada akhirnya aku memang
menahan diriku dari berprestasi. Apalagi di kelas 1 itu ada seorang kawan
kelasku yang memiliki sifat ambisius seperti Laras. Jadilah akhirnya aku selalu
berusaha untuk menjaga posisiku tetap menjadi yang kedua di kelas.”
“maaf, Lia. Kenapa kamu
memilih untuk menjadi yang ke dua? Jika memang kamu mau menahan dirimu dari
berprestasi, mengapa tidak sekalian saja kamu tak perlu belajar sehingga kamu
tidak berprestasi?”
“aku merasa serba salah, Ann.
Di satu sisi aku tak bisa menolak permintaan Mei. Tapi di sisi lain aku juga
tak bisa menahan keinginanku sendiri untuk menjadi seseorang yang bisa
dibanggakan. Terutama untuk keluargaku. Saat itu aku berpikir, mungkin dnegan
tetap menjaga posisiku di ranking dua di kelas kelak akan membuat Mei sadar
bahwa apa yang dimaksudkannya dengan mengalah itu tidaklah benar.”
“dan apakah Mei sudah
menyadari kesalahannya itu, Li?”
Kulihat wajah Lia tampak
murung sekali. Aku sudah bisa menebak bahwa jawabannya adalah belum. Meski
begitu aku mencoba untuk menunggu jawabannya langsung dari mulut Lia.
“kurasa belum.”
“ada apa lagi, Lia? Apakah ada
hal buruk lain yang terjadi?”
Lia nampak terkejut mendengar
ucapanku. Agaknya ucapanku yang awalnya hanya dugaanku saja ternyata benar. Ada
hal lain yang kembali terjadi dalam hidup wanita di hadapanku. Namun tampak
sekali Lia agak kesulitan untuk menceritakan tentang hal-entah-apa itu.
Akhirnya kuputuskan untuk tidak memaksanya tuk bercerita. Dan kutawarkan
padanya alternatif lain.
“Lia, jika kamu tak bisa
menceritakannya padaku saat ini. Tidak apa-apa. kita masih memiliki kesempatan
di lain waktu. Lagipula, sudah waktunya makan siang. Bagaimana kalau kita
sudahi dulu sampai di sini dan kita makan bersama di luar?”
Lia kembali terkejut ketika
melihat jam di tangannya. Kami memang sudah berbincang cukup lama. Dua jam
lebih. Segera dengan anggunnya Lia berdiri dan menolak halus ajakanku untuk
makan siang.
“terima kasih, Anne. Tentu
akan menyenangkan sekali jika kita bisa makan siang bersama. Tapi aku hampir
saja lupa. Jam satu nanti aku ada janji dengan kawan lama. Ia memintaku untuk
mengantarnya membeli barang-barang hantaran untuk pernikahan kakaknya. Jadi,
mungkin lain waktu saja ya. Dan terima kasih Anne, untuk hari ini. Senang bisa
berkenalan denganmu.”
Aku turut mengantarkan langkah
Lia sampai depan pintu rumah. Sebelum berpisah, sempat kukatakan kepadanya.
“Lia, kuatkan hatimu. Yakinkan
Mei bahwa kalian bisa melalui masalah kalian dengan baik. Dan dengan Meli,
berbaik sangkalah. Aku tahu, Meli sesungguhnya juga menyayangi kalian berdua.”
Lia tertegun sejenak usai
mendengar ucapanku. Sebelum menuruni tangga berandaku, Lia tersenyum untuk
terakhir kalinya.
“akan kucoba, Anne. Sampai
jumpa minggu depan.” Lia melambai pelan.
Aku balas melambaikan tangan
dan tersenyum meyakinkan. Kuamati kembali kepergian tamu spesialku itu dari
muka pintu. Kuakui, keanggunan Lia ketika bersikap tentulah akan membuat
orang-orang di sekitarnya sulit menyangka bilamana ia memiliki masalah alter
ego. Tiba-tiba terpikirkan di benakku, hal apa lagi yang telah terjadi dalam
kehidupan wanita itu. karena sejauh ini, aku belum mendapatkan alasan utama
mengapa alter Lia dan Mei muncul dalam kehidupan Meli. Apa yang kudengar di
hari ini hanyalah alasan lemah dari alasan utama yang masih berusaha
disembunyikan oleh Meli, Mei, dan Lia. Aku merasa waktu seminggu untuk kami
berjumpa kembali akan menjadi masa yang terlalu panjang untuk membuatku
tersiksa dalam rasa penasaran. Tapi aku akan bersabar. Setiap hal selalu
membutuhkan proses. Jadi aku tak boleh tergesa-gesa menyimpulkan persoalan nona
Ameliana tentang alter Meli, Mei, dan Lia ini. Lagipula, aku juga teringat.
Bahwa aku masih memiliki permasalahan dari klienku yang lain. Jadi, kuputuskan
untuk membiarkan waktu mengalir seperti yang seharusnya saja.
Kuhela napasku dan kemudian
kututup pintu rumahku. Kutinggalkan bayangan kisah Lia rapat-rapat dalam
note-ku. Sementara kini kuputuskan untuk kembali ke kehidupan normalku.
“shower ah.. habis itu zuhur.
Terus caw deh ke Malin.”
Tiba-tiba saja terbayang di
benakku aroma mie aceh buatan Ci Malin yang warungnya terletak tak jauh dari
gerbang komplekku. Mie aceh buatan Ci Malin itu memang adalah mie terlezat yang
pernah kunikmati sepanjang dua puluh sembilan tahun usiaku. Aku tersenyum. Tak
ingin berlama-lama menyiksa perutku yang sudah keroncongan sedari tadi. Aku pun
bergegas menuju kamar mandi. Di luar, terdengar adzan zhuhur berkumandang.
“Allaahu Akbar.. Allaahu Akbar..”
###
(Pembuka yang menjadi penutup)
Saat ia datang, jam di ruanganku menunjukkan
pukul sembilan. Ketika kali pertama kulihat penampilannya yang berdiri di muka
pintu, aku cukup merasa aman. Karena penampilan wanita di hadapanku ini sudah
sering kutemui pada kebanyakan wanita yang datang mengunjungiku. Gugup dan
cemas.
Ia mengenalkan dirinya sebagai
Nona Ameliana. Ia memintaku untuk
memanggilnya Mei. Maka
kusapalah ia dan mempersilahkannya untuk duduk di sofa oranye di salah satu
ruangan rumahku.
Mei masih tampak gugup ketika ia menceritakan
masalahnya kepadaku. Ada tiga nama yang disebutkannya dalam cerita ini, yaitu
Meli, Mei, dan Lia. Beberapa kali aku mesti memintanya untuk berhenti dan
menanyakan beberapa hal terkait apa yang diceritakannya itu. Saat itulah, di
menit ke delapan belas dari rentetan ceritanya, Mei mulai mengejutkanku dengan perubahan ekspresinya yang tiba-tiba.
Mei, wanita gugup yang sejak belasan menit yang lalu
hampir tak bisa menahan air matanya ketika bercerita, tiba-tiba saja
bertransformasi menjadi seseorang dengan kepribadian yang jauh berbeda.
Apakah dia Meli? Atau Lia?
###
Ditulis dan
diselesaikan pada,
Selasa, 21 Januari
hingga
Rabu, 22 Januari
2014
Di Rumah Putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar