Oleh : Mei
Aku masih di sini. Bersama dengan Rania di sudut kantin sekolah. Tampak sekali sekitar kami sudah sepi. Yang memastikan bahwa hampir semua siswa SMA Pramudya Aksara sudah pulang ke rumah.
Aku masih di sini. Bersama dengan Rania di sudut kantin sekolah. Tampak sekali sekitar kami sudah sepi. Yang memastikan bahwa hampir semua siswa SMA Pramudya Aksara sudah pulang ke rumah.
"Aku
tak bisa, Dai."
Itu
adalah ucapan Rania yang sudah dikatakannya lebih dari lima kali sepanjang kami
berbincang sejak bel pulang berbunyi tadi.
Kenapa?
aku membatin.
"Kenapa?"
aku bertanya hati-hati.
Kuamati
lagi gadis yang duduk gelisah di hadapanku ini. Tak mengerti dengan jalan
pikirannya yang selalu berbelit-belit. Apa sebenarnya dasar logis yang dimiliki
Rania sehingga ia menolak kedatangan cinta yang sudah lama diharapkannya?
"Aku
tahu kamu sangat mencintainya, Rania. Terlampau mencintai, malah. Jadi apa
alasannya kamu menolaknya? dia sudah datang untukmu!"
Hampir-hampir
saja aku tak bisa menahan amarahku. Syukurlah ada angin yang berhembus melewati
kami dan membuat kekesalanku sedikit berkurang..
Duh..
Rania sungguh keras kepala! umpatku dalam diam.
"Aku...
Aku tak bisa, Dai.. Dan kamu tahu sebabnya kenapa."
Ah... Aku
terhenyak ketika kudapati buliran kristal cair itu luruh dari kedua mata
Rania. Ia menangis...
Habis
sudah keberanianku untuk mendesak Rania yang keras kepala. Aku pun menunduk
memandangi es kelapa di gelas Rania yang tinggal setengahnya. Memikirkan apa
yang seharusnya kuucapkan lagi agar Rania merasa lebih baik.
Rania
mungkin saja benar. Dengan mengatakan bahwa aku tahu sebab dari pilihannya itu.
Kenapa ia menolak kedatangan Bri dan malah memilih untuk menjauh darinya.
Kukira sebabnya adalah karena Rania merasa ia tak berhak untuk memiliki
kebersamaan dengan Bri..
Bri sudah
memiliki Syifa. Dan Rania tak ingin merusak keharmonisan Bri dan keluarga
barunya.. Dan lagi,, ada neneknya yang tinggal seorang diri di rumah mendiang
ayahnya. Bagaimana mungkin Rania tega meninggalkannya sendiri? Akhirnya, Rania
pun memilih menolak permintaan Bri yang mengajaknya tinggal bersama. Aku tahu,
Rania mencoba untuk mengalah (lagi). tapi tetap saja...
"Dai,,
aku tak apa-apa. Aku akan baik-baik saja."
Rania
tersenyum lemah. Mendengarnya berkata begitu, masih tak cukup meyakinkan diriku
bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Aku tahu hatinya pasti sedih sekali.
Tapi apa yang bisa kulakukan lagi untuknya? aku hanya sahabat yang hanya bisa
mendengarkan. Tak bisa lebih dari itu!
Akhirnya
aku pasrah. Biarlah Rania dengan keputusannya itu. Hanya saja kuharap, ia bisa
kembali ceria seperti Rania yang kukenal dulu.
^_^
"Rania..."
Aku
terkejut ketika mendapati Bri yang tengah berjalan ke arah kami. Rania spontan
menoleh ke belakang. Butuh beberapa detik untuknya sebelum ia bisa menyahut
panggilan Bri kepadanya.
"Ibu..."
Bri
tersenyum lembut mendengar suara Rania. Sedikit ayunan angin di jilbab putihnya
membuat Bri tampak cantik sekali. Sementara di sampingnya, Syifa berjalan
perlahan mengikuti Bri dan menatapku.
Aku diam.
Tiba-tiba saja merasa tak pantas berada di sini. Tapi aku tak bisa ke mana-mana
dikarenakan Rania tadi segera memegangku erat-erat. Akhirnya kuputuskan untuk
diam saja.
"Pulanglah
bersama ibu, nak. ayo."
Rania
tampak akan menangis lagi. Kali itu, Bri sudah duduk di sampingnya. Tangan
kirinya masih memegang tangan Syifa agar tak pergi ke mana-mana. Dan Syifa
masih menatapku penasaran. Aku masih tetap memilih diam.
"Rania
pulang ke rumah nenek saja, bu.. Tak apa-apa."
Bri tersenyum sebentar sebelum
akhirnya kembali bicara,
"Maafkan
ibu, Nia. Maafkan ibu karena sudah meninggalkanmu bersama ayah. Maafkan ibu
karena lebih memilih islam dibandingkan kalian, keluarga yang juga sangat ibu
cintai. ..." Bri berhenti berucap. Terlihat matanya mulai memanas dan
berkaca-kaca. Lalu, lanjutnya lagi..
"Tapi...
ibu tak pernah menyesal dengan keputusan ibu lima tahun lalu itu, nak.. Yang
ibu sesalkan adalah ibu tak bisa membawamu serta bersama ibu. Saat itu ayah tak
mengizinkan ibu untuk membawamu.. Ia tak mau kamu meninggalkan cinta kepada
Yesus.. Dan ibu tak berdaya..."
Rania tak
bisa menahan buliran air matanya. Ia menatap Bri dengan pandangan penuh cinta.
Ia tahu pasti bagaimana kesusahan yang dialami ibunya ketika dulu memilih
berpisah dari ayahnya. Ibunya jatuh cinta kepada Islam. Yang akhirnya membuat
pernikahan mereka harus diakhiri. Meski mereka masih sama-sama mencintai..
"Tapi
sekarang.." lanjut Bri berkata.
"Kini
ayah sudah meninggal. Kamu bisa ikut dengan ibu, Nia.. Kita kembali bersama
sebagai satu keluarga. Meski..." Bri melirik sekilas ke arah Syifa. Balita
empat tahun itu tampak asyik melihatku. Dan ini membuatku sedikit jengah.
"
...Meski kini ibu sudah memiliki keluarga baru. Tapi ibu tetap mencintaimu,
Rania.. Tinggallah dengan ibu.. ibu mohon..."
Bri pun
tampak tak lagi bisa menahan airmatanya. Ibu dan anak itu saling menatap dengan
tangisan di pipinya. Saling memandang. Mengharapkan satu sama lain untuk saling
memiliki. Sementara aku?
Hampir
saja aku menangis. Tapi tidak! Aku tak bisa menangis... Aku masih bergumul
dalam haru dan kediamanku saat ini.
"Ibu..."
Rania akhirnya berucap juga.
"Rania
sudah memaafkan ibu. Rania mengerti dengan pilihan ibu. Rania pun sangat
mencintai ibu. Tapi..." Rania diam sejenak. "...Rania harus bersama
nenek. kasihan nenek. Ia hanya tinggal seorang diri."
'Hancur'
mungkin adalah kata yang tepat untuk menjelaskan hati Bri saat mendengar
penuturan Rania itu. Sedikit banyaknya aku tahu, Bri berharap Rania, puterinya
mau ikut tinggal bersamanya dan juga mau menerima Islam seperti dirinya.. Tapi
apalah daya. Rania sudah sangat keras kepala (meneguhkan hatinya) untuk
mengambil pilihan ini. Saat itu,
Syifa
masih menatapku penasaran. Tapi aku mengacuhkannya.
"Baiklah...
Ibu mau menerima keputusanmu, nak.. Tapi ibu sangat berharap Nia kelak bisa
tinggal bersama ibu."
Rania
melihat mendung dan kecewa itu di mata Bri. Kami sama-sama melihatnya. Aku
tahu, Rania pasti merasa sangat bersedih juga dengan keputusannya ini. Sehingga
sejenak kemudian, dalam tempo yang cukup lambat, ia kembali berkata.
"Meski
Nia tidak tinggal bersama ibu..." Rania terdiam lagi dan terlihat seperti
meneguhkan hatinya untuk bisa melanjutkan ucapannya
"...Nia
bersyukur karena Nia juga bisa jatuh cinta pada pilihan ibu lima tahun
lalu."
Bri
terpana. Aku juga. Syifa tampak kebingungan menatap ke ibunya dan Rania.
"Alhamdulillah..."
ucap syukur Bri saat memeluk Rania.
"Alhamdulillah..."
ucap Rania untuk semua kebaikan yang dialaminya di hari itu.
Aku
terharu. Aku berharap bisa menangis bersama ibu dan anak itu. Mensyukuri
lahirnya keimanan baru yang merengkuh kehidupan baru Rania. Merubah segalanya
jadi indah pada akhirnya. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa diam.
"Kak
Rania.." Suara mungil Syifa terdengar lembut. Bri dan Rania melepas
pelukannya dan beralih melihat Syifa.
"Boneka
beruangnya lucu. Namanya siapa? Buat Syifa ya?"
Aku
beralih menatap Rania. Ia tersenyum mengangguk dan kemudian berkata dengan
senyum penuh di wajahnya. Membuatku tak kuasa menahan senyumku juga..
"Namanya
Dai... Dan kamu bisa memilikinya. Dai adalah sahabat yang sangat baik. Mama
Britani yang kasih Dai buat kakak.."
Aku
tersenyum.. Kubagi pula senyuman itu untuk ketiga orang perempuan di hadapanku.
Perlahan Rania melepas pegangan tangannya dariku dan tiba-tiba saja aku sudah
ada dalam pelukan tangan mungil Syifa.
Saat
itu,, kurasakan bahagia yang tak ada kiranya. Dan aku tahu pasti, ini semua
disebabkan oleh satu hal.
Cinta
Keluarga.
^_^...
>>>sedikit
quote tambahan dariku: mom's love always around u. (senyum lagi ah...)^_^.
(ini semua tentangmu, "ibu")...
Oya, untuk draf cerpennya bisa didownload di sini, kawan! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar